MC - 4

1074 Words
                Angka tiga belas. Kenapa dari sekian banyak angka di dunia ini harus angka tiga belas yang dipilih? Ada apa dengan angka itu?                 Otakku tak bisa berhenti menebak dan mengira-ira kenapa si pelaku harus memilih angka itu. Angka yang selalu dikelilingi dengan mitos kurang bagus. Setelah aku cari di beberapa sumber yang ada di internet, katakan delapan dari sepuluh informasi mengatakan angka tiga belas adalah angka yang kurang baik, atau bisa disebut juga dengan angka sial.                 Kenapa bisa begitu? Apakah si pelaku sengaja memilih angka itu agar kematian Jo terasa semakin misterius?                 Saat ini aku sudah tidak bisa berpikir positif. Otakku mulai memikirkan banyak spekulasi yang mungkin saja salah satunya benar. Tapi sebentar, yang sama sekali belum terpikirkan adalah kenapa Jo harus dibunuh? Apa salahnya sampai dia harus dibunuh? Apa Jo diam-diam memiliki musuh?                 Semua semakin terasa aneh dan janggal begitu aku tahu fakta bahwa rekaman cctv gedung fakultas pada hari Jo meninggal telah hilang. Ini jelas disengaja, kan?                 Ting!                 Lamunanku seketika buyar begitu mendengar notifikasi email.                 alanna_pz01@g*******m : Baru kali ini aku merasa jadi manusia paling berdosa gara-gara dapat nilai A. Lain kali nggak usah dibenerin semuanya, Al. Aku takut dosenku curiga. Haha!                 Bibirku langsung mengembang begitu membaca pesan itu.                 aldikazavier@g*******m : Dari awal jawabanmu sudah benar. Aku cuma mengoreksi bagian +C di setiap jawabnmu. Ingat, integral tak tentu harus ada +C setelah hasil akhir.                 alanna_pz01@g*******m: Ok, noted. Thanks, ya! Oh iya, Satu minggu kedepan jangan kirim email, karena aku pasti nggak akan membalasnya. Aku akan pulang, menjenguk kakakku.                 aldikazavier@g*******m : Ya. Kamu punya kakak, ternyata?                 alanna_pz01@g*******m : Tadinya, tapi sekarang dia sudah nggak ada.  Tiba-tiba saja, tanda lingkaran hijau pada akunnya hilang. Itu berarti, dia sudah tidak online lagi. Kali ini aku langsung menutup laptopku, dan menghempaskan badanku di atas ranjang. Aku memejamkan mata sejenak, menikmati semilir angin yang berhembus dari luar jendela. Persis seperti biasanya, ketika aku mulai tak memikirkan apa-apa, perlahan tapi pasti bayangan wajah pucat Jo sore itu terbayang jelas di wajahku. Aku rasa aku akan terus merasa seperti ini sampai tahu siapa yang sebenarnya membunuh Jo. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa menemukan siapa pelakunya. Aku tidak akan main hakim sendiri, tapi paling tidak, aku harus bertanya langsung padanya, kenapa dia harus membunuh Jo, apalagi dengan cara seperti itu.    “Oh iya, aku harus segera menemui Mas Angga.” ***                 Aku mengedarkan pandangan, menatap tiap sudut rumah yang dindingnya bercat coklat s**u, lengkap dengan interior warna senada. Saat ini aku sedang berada di kontrakan Mas Angga, setelah sebelumnya aku menghubunginya dan dia bilang sedang tidak kemana-mana.                   Jujur saja, Mas Angga masuk dalam daftar yang saat ini aku curigai. Belum sepenuhnya memang, karena aku belum memiliki bukti apa pun. Akan tetapi, hari ini aku ingin melihat keadaannya pasca dia ditinggal Jo. Dia dan Jo berpacaran sudah lama, jadi kurasa dia harusnya hampir sama terpukulnya denganku. Atau bisa jadi lebih, mengingat mereka juga saling bertukar kebahagiaan dalam waktu yang lama.   “Al...”                 Aku segera menoleh, begitu mendengar seseorang memanggilku. Ternyata Mas Angga, dia berdiri menjulang di pintu yang sepertinya menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah. Serius, aku cukup terkejut ketika melihat penampilan Mas Angga yang sekarang. Dia jauh terlihat lebih kurus, juga tak terawat. Rambutnya kusut, juga panjangnya sudah melebihi panjang rambut dia biasanya. Belum lagi, dia juga sepertinya tidak mencukur kumis juga jambangnya. Benar-benar jauh dari penampilan Mas Angga yang biasa aku lihat. Mas Angga ini, meski dia sekarang berada di tahun yang sama denganku, tapi dia sudah pernah gap year dua tahun juga lulus S1 sampai dua belas semester. Jadi, dia jelas lebih tua dariku. Itulah kenapa aku memanggilnya dengan sebutan ‘mas’ seperti yang Jo lakukan padanya. Aku memang tidak dekat dengannya, tapi aku cukup tahu tentangnya karena Jo sering sekali bercerita.    “Maaf mas, saya mengganggu waktunya,” ucapku begitu Mas Angga duduk di sofa yang berada tepat di depanku. “Nggak papa. Gimana? Ada yang mau kamu tanyakan?”                 Aku langsung mengangguk, karena tak ingin terlalu lama berbasa-basi. “Sebelumnya aku minta maaf mas, aku mau tanya, di hari kematian Vita, dia bilang ingin bertemu dengan Mas Angga. Benar?” “Kamu jauh-jauh ke sini untuk membahas Vita?” tanyanya dengan ekpresi yang seketika berubah. “Iya, Mas.” “Kenapa kamu tiba-tiba bahas Vita denganku?” “Karena aku menemukan sebuah kejanggalan—“ “Al, siapa sih yang nggak ingin menangkap pelaku? Aku diam karena aku menghormati keputusan ibu Vita yang nggak ingin meneruskan kasus ini. Kenapa kamu masih bersikeras?”                 Keningku langsung berkerut samar untuk beberapa saat, begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut Mas Angga. Padahal pertanyaanku tadi cukup dijawab dengan iya atau tidak. Bukannya malah balik bertanya, juga seolah menyudutkanku. “Aku nanya aja, mas, apa benar hari itu—“ “Iya, benar. Hari itu aku ketemu Vita. Kami makan di kantin fakultas sekitar jam dua siang. Dia bilang masih ada kuliah sampai sore. Ketika aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, dia bilang kalau dia akan pulang denganmu. Jadi ya sudah, aku langsung pulang habis itu karena memang aku hanya kuliah pagi.”                 Aku melihat tiba-tiba air mata Mas Angga menggenang di pelupuk. Dia buru-buru mengusapnya, lalu menatapku lurus-lurus. “Jangankan menyelidiki kasus itu, Al, sekedar menghadiri pemakaman Vita saja, aku nggak bisa. Aku sama sekali nggak kuat. Kabari aku kalau pelakunya sudah ketemu.”                 Mas Angga tiba-tiba berdiri. “Aku minta maaf, kalau kamu datang hanya untuk membahas kematian Vita, aku nggak bisa bicara banyak.”                 Setelah mengatakan itu, Mas Angga kembali masuk, meninggalkanku yang masih duduk sendirian di ruang tamu kontrakannya. Akhirnya, aku keluar kontrakan tanpa pamit karena si empunya bahkan sudah pergi lebih dulu. Aku buru-buru naik motor, lalu bergegas pergi.                 Namun, ketika aku berhenti di lampu merah, tiba-tiba aku merasakan ponsel yang ada di saku celanaku bergetar beberapa kali. Ternyata dari Tante Umi, beliau misscall dua kali dan juga mengirimiku pesan. Aku segera membukanya, dan begitu aku membaca pesan itu, mataku seketika membeliak kaget.                 Tante Umi mengirimiku foto, di mana di foto itu ada fotoku dan Jo yang sudah disobek kecil-kecil.                 ‘Al, bisa ke rumah tante sebentar? Baru saja ada pesan masuk di ponsel Jo, berupa foto itu. Dari nomor yang sama dengan yang waktu itu.’                 Sebelum membalas pesan dari Tante Umi, kupastikan dulu aku keluar dari kemacetan lampu merah dan berhenti di pinggir jalan. Aku memutuskan untuk langsung menelfon Tante Umi saat itu juga. “Aku ke sana sekitar dua jam lagi, Tan. Habis ini masih ada kuliah...”   *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD