MC - 6

1155 Words
Hari ini aku menghabiskan hari hanya di perpustakaan. Dua mata kuliah hari ini kosong karena dosen tidak bisa hadir. Ada yang berhalangan karena mengisi seminar nasional, ada juga yang tidak bisa hadir karena sakit. Aku sendiri memanfaatkan jam kosong untuk mencari bahan-bahan untuk Tesis nanti. Memang masih lama, tapi prepare dari jauh-jauh hari itu jelas tidak ada ruginya. Aku melirik arlojiku, dan ternyata saat ini jam sudah menunjukkan pukul lima lebih dua puluh dua menit, itu artinya aku harus segera pulang, meski perpustakaan baru tutup jam delapan malam. Aku mengedarkan pandangan, lalu tersenyum tipis ketika menyadari perpustakaan sudah sepi pengunjung. Aku melihat hanya tinggal beberapa meja saja yang terisi, selebihnya hanya meja-meja kosong. Iya, kosong. Tidak ada manusia, tapi aku merasakan energi di perpustakaan ini cukup menyesakkan d**a. Aku rasa penghuni malam sudah mulai berdatangan. Klutak! Bulpoinku, yang tadi tergeletak di dekat laptop, mendadak menggelinding dan jatuh ke bawah meja. Aku benci ini, aku paling benci kalau harus melongokkan kepala ke bawah meja di jam-jam krusial mereka yang tak kasat mata mulai iseng. Aku segera mematikan laptopku, dan bergegas pergi, meninggalkan bulpoinku yang tetap berada di bawah meja. Selama ini aku seringnya memang hanya merasakan kehadiran mereka, tapi di saat-saat tertentu aku bisa melihat mereka degan sangat jelas. Hanya saat-saat tertentu saja, mungkin ketika mereka memang ingin menampakkan diri. Takut, tidak? Jelas awalnya takut. Wajah mereka unik-unik. Aku tidak akan bercerita tentang bentuk yang pernah aku lihat di kolong meja perpustakaan, aku hanya tidak mau kalian jadi ikut takut. Sebenarnya inilah alasan utama aku meninggalkan bulpoinku di sana, aku sedang malas diusili. Setelah keluar dari perpustakaan, aku langsung menuju parkiran. Aku merasakan seseorang berjalan di belakangku, tapi begitu kutoleh, tidak ada. “Kamu, Jo?” gumamku dengan sebelah alis terangkat. Jelas tidak ada jawaban, yang ada hanya embusan angin yang menerpa leher bagian belakangku. Sejujurnya, akhir-akhir ini aku mulai jarang merasakan kehadiran Jo. Bahkan, mimpi yang dulu hampir tiap hari menggangguku juga mulai hilang. Terakhir aku mimpi seperti itu, kurang lebih dua minggu yang lalu. Akhir-akhir ini tidurku nyenyak-nyenyak saja, paling hanya sesekali aku diganggu penghuni pohon belimbing milik tetangga rumah. Mereka mulai kembali usil, setelah tahu kemampuanku yang sempat hilang telah kembali lagi. Drrrt! Aku yang baru saja memasukkan kunci motor, seketika berhenti begitu merasakan ponsel di saku celana bergetar. Mataku reflek memicing begitu melihat ada pesan masuk dari nomor baru. “Apa, ini?” tanpa sadar aku menggumam begitu membuka pesan itu, yakni pesan yang berisi fotoku hari ini. Di foto itu aku memakai baju yang sedang aku pakai hari ini, dan aku sedang duduk di meja bundar yang ada di fakultas lantai dua sembari membaca buku. ‘Cukup diam saja, kalau tidak ingin ikut mati.’’ Begitu membaca pesan itu, aku segera menekan tombol ‘panggil’. Gagal, nomor itu langsung tidak aktif. Apa ini nomor yang sama dengan nomor yang mengirim di ponsel milik Jo? Besok aku harus segera bertemu dengan Tante Umi untuk mengecek apakah dua nomor itu sama. Aku sempat mengedarkan pandangan ke penjuru parkiran, sebelum akhirnya bergegas pulang mengendarai motor dengan sedikit buru-buru. *** Malam ini, setelah makan malam bersama, aku bergabung dengan Ayah yang sedang duduk di ruang tengah. Beliau tumben-tumbennya malam ini duduk di depan televisi, menonton berita, lengkap dengan satu piring potongan apel yang tadi Bunda potong kecil-kecil. “Yah...” panggilku, begitu sudah duduk tepat di sebelah Ayah. “Gimana, Al?” Ayah sempat menoleh ke arahku sejenak, sebelum akhirnya kembali fokus menatap ke depan. “Ayah dulu alumni Teknik Informatika, kan?” “Iya, kenapa?” “Punya kenalan orang yang bisa ngelacak nomer nggak, Yah?” Mendengar itu, Ayah menghentikan kunyahannya. Beliau memindahkan piring dari pangkuan ke meja yang ada di depan kami. “Ada apa?” tanya Ayah dengan ekspresi yang mendadak serius. Sepertinya aku lupa bilang, kalau Ayah orangnya sangat peka. Sebelum menjawab pertanyaan Ayah, terlebih dulu aku mengedarkan pandangan untuk memastikan kalau Bunda dan kakak perempuanku tidak akan mendengar ini. Aku hanya takut mereka berdua akan khawatir dan mulai berpikir macam-macam. “Yah, sebenarnya aku lagi menyelidiki kasus Jo diam-diam—“ “Kamu ini—“ “Bentar, Yah. Jangan disela dulu, aku bakal cerita semuanya.” Ayah diam, lalu mengangguk paham. Akhirnya, malam itu aku menceritakan semuanya pada Ayah tanpa terkecuali. Termasuk yang tadi sore, ketika akhirnya aku mendapat ancaman mati. Kurasa aku terlalu nekat kalau sampai tidak melibatkan Ayah di sini. Paling tidak, Ayah harus tahu. Aku percaya Ayahku memiliki banyak koneksi orang-orang hebat. “Aku udah nggak bisa berhenti, Yah. Terlebih setelah mendapat pesan tadi. Jelas, pelaku pasti mengenalku. Atau paling nggak, tahu aku.” “Kamu punya musuh di kampus?” Aku menggeleng. “Nggak ada sema sekali, Yah. Sebelumnya aku nggak pernah ikut campur urusan orang lain. Selama ini juga nggak ada yang terang-terangan membenciku.” “Kalau kamu lanjut, nyawa kamu taruhannya, Al.” Ayah benar, kalau aku melanjutkan penyelidikan ini, nyawaku jelas taruhannya. Apalagi setelah mendapat pesan tadi, itu sudah menjadi bukti besar, kalau pelaku sudah mengincarku andai aku tidak mau berhenti. “Tapi aku nggak bisa diam aja melihat Jo dibunuh seperti itu, Yah. Apalagi setelah itu semua, pelaku memberi clue aneh yang bikin kepikiran.” “Sesekali kita perlu egois, Al. Demi keselamatan bersama.” “Tapi, Yah—“ “Gini saja, kalau kamu memang mau menyelidiki semuanya secara diam-diam, kamu jangan sampai menunjukkan gelagat mencurigakan. Kamu harus berpura-pura baik-baik saja, seolah kamu sudah rela Vita pergi selama-lamanya.” Tatapan mata Ayah melunak, lalu beliau mulai mengambil lagi potongan apel di piring. “Kenapa gitu, Yah?” “Dia sudah tahu kalau kamu menyelidiki kasus itu, makanya dia mulai menerormu. Jangan gegabah, jangan tunjukkan apa pun kalau memang mau diam-diam.” Aku mengangguk paham. Sepertinya Ayah benar, aku harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai ada yang tahu kalau aku masih menyelidiki kasus Jo yang orang-orang tahu kasus itu sudah lama ditutup atas permintaan keluarga. “Jadi Ayah tahu nggak, orang yang bisa ngelacak nomor?” “Nanti Ayah usahakan. Ayah tanya temen-temen Ayah yang bekecimpung di dunia kaya gitu.” “Makasih, Yah...” Ayah tersenyum, lalu menepuk pundakku beberapa kali. “Sama-sama. Ayah tahu perasaanmu, makanya Ayah nggak sepenuhnya melarang. Yang terpenting adalah kamu harus hati-hati, itu saja. Ayah terus ada di belakangmu. Kamu boleh menyembunyikannya pada Bunda dan Kakak, tapi jangan degan Ayah, Ngerti?” Aku kembali mengangguk, lalu tersenyum penuh terimakasih pada Ayah. “Al, ponselmu nyala.” Tiba-tiba saja, Ayah menunjuk ponselku yang tergeletak di meja. Aku buru-buru mengambil ponsel itu, dan mataku dibuat mendelik begitu membaca pesan dari nomor yang sama dengan yang tadi sore mengirimiku foto. ‘Tahu kan, apa arti nomor ini? Mau berakhir tragis seperti sahabatmu? Kalau tak mau, cukup berhenti dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa,’ tulis nomor itu disertai foto angka tiga belas berderet banyak sekali. Angak-angka itu ditulis dengan tulis tangan di sebuah kertas putih polos yang sudah agak lusuh. Tulisan siapa, ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD