Aku tersenyum getir manatap makam di depanku, makam yang tanahnya terlihat basah, juga bunga yang tertabur di atasnya masih segar. Tampaknya, sebelum aku datang, ada yang berkunjung ke makam ini entah siapa.
Aku berjongkok sebentar, lalu menyiram makam itu dengan air di botol yang aku bawa dari rumah. Setelah itu, aku juga menaburi makam itu dengan bunga yang aku beli dari nenek tua penjual bunga tabur yang duduk di dekat makam.
Aku berdoa sebentar, sebelum akhirnya kembali berdiri setelah sebelumnya mengusap makam itu, makam Jo, yang tampak selalu terawat.
“Jo, baik-baik saja kan, di sana?” gumamku sembari mengusap air mata yang tanpa sadar sudah menggenang di pelupuk. Aku menghela napas panjang, sebelum akhirnya pergi dari area pemakaman.
Bohong besar kalau aku bilang aku sudah rela Jo pergi. Aku masih belum rela, terlebih kalau ingat Jo meninggal karena di bunuh. Rasanya tidak akan pernah rela sampai aku bisa menangkap siapa si pelaku.
Sejujurnya, dulu aku juga pernah ditinggal meninggal teman sebangkuku waktu aku masih SMP. Dia meninggal karena sakit, jadi aku hanya menangis sehari dua hari di rumahnya, setelah itu aku sudah mencoba ikhlas dan tidak pernah sama sekali merasa seperti ketika aku ditinggal Jo.
Entah alasan utamanya karena aku yang dulu belum sepemikir sekarang, atau entah karena temanku yang dulu tidak sedekat seperti aku dengan Jo, atau entah juga karena temanku yang dulu meninggal secara wajar, sedangkan Jo tidak. Aku benar-benar tidak tahu apa alasan utamanya. Yang aku tahu hanyalah aku harus segera mengetahui siapa si pelaku, bagaimanapun caranya.
“Ah, mau hujan?” tanpa sadar, aku menggumam begitu mendongak melihat langit tampak mendung. Aku menyipitkan mata heran, pasalnya, ketika tadi aku masuk area pemakaman, langit masih sangat cerah. Aku bahkan hampir mememakai topi karena silau.
Aku buru-buru keluar dari area pemakaman, dan bergegas menuju motorku yang terparkir tidak jauh dari pohon besar yang tinggi menjulang.
“Mas!” aku mendengar seseorang berteriak. Aku celingukan, karena merasa di sekitarku tidak ada orang.
“Mas jaket hitam!”
Kali ini aku melihat nenek yang tadi menjual bunga sedang lari tergopoh ke arahku.
“Saya, Nek?” tanyaku sembari menunjuk diri sendiri.
Nenek itu mengangguk, lalu berhenti begitu beliau berdiri tepat di depanku. “Iya, sebentar. Masnya dapat titipan.”
“Titipan?”
Nenek itu mengangkat sedikit bajunya, lalu mengambil sesuatu dari ‘kemben’ yang beliau pakai. Keningku berkerut bingung, begitu tahu kalau Nenek itu mengeluarkan amplop berwarna putih tulang.
“Ini, Mas.”
“Bentar, Nek...” Aku menahan Nenek itu, ketika beliau langsung hendak pergi begitu aku menerima amplop itu.
“Kenapa, Mas?”
“Sebentar, Nek, nggak ada dua menit.”
Tiba-tiba saja, feelingku mendadak buruk tentang isi amplop ini. Aku buru-buru membukanya, lalu untuk kesekian kalinya aku dibuat terkejut dengan isinya.
Di dalam amplop itu, ada fotoku yang sudah dicoret dengan bulpoin merah, lalu ada angka-angka random yang belum bisa kumengerti apa maksudnya.
“Nek, tadi yang ngasih ini cowok atau cewek, ya?” tanyaku detik berikutnya.
“Yang ngasih cowok, Mas, tapi dia juga sama cewek di belakangnya. Mereka naik motor dan pakai masker plus kacamata warna hitam.”
“Motornya kaya apa, Nek?”
“Wah, saya lupa, Mas. Saya juga ndak merhatiin.” Nenek itu menggeleng, juga mengusap pelan dahi beliau.
“Oh gitu. Ya sudah, Nek. Terimakasih banyak, Ya...” Aku tersenyum, dan beliau juga tersenyum.
“Sama-sama, Mas.”
Ketika Nenek itu hendap pergi lagi, aku kembali menahan beliau. “Ada apa, ya, Mas?”
Aku buru-buru mengeluarkan dompetku dari saku celana, lalu memberikan tiga lembar uang merah muda pada beliau. Hanya tiga lembar itu yang tersisa di dompetku sekarang, karena aku tidak begitu suka membawa banyak uang cash. Aku lebih suka mengambil uang berkala di ATM daripada harus menyimpan uang cash banyak-banyak di dompet.
“Maaf, Mas. Saya ndak minta-minta—“
“Memang enggak, Nek. Ini saya yang mau ngasih. Nenek sekarang mending langsung pulang saja, sudah mau hujan.” Aku menyela, sebelum nenek itu benar-benar menolak.
“Wah, tadi saja sudah nggak mau dikasih kembalian. Masa masih ngasih banyak sekali.”
“Cuma sedikit, kok, Nek. Beneran, diambil saja.” Aku tersenyum, sembari menahan tangan beliau yang tampak ingin mengembalikan uang itu.
“Terimakasih banyak, ya, Mas. Semoga rezekinya selalu dilancarkan.”
“Amin, Nek, Amin. Kalau gitu saya permisi dulu.”
“Baik, Mas. Sekali lagi terimakasih banyak.” Aku mengangguk, lalu kami berdua berpisah. Aku mengendarai motor dan pergi dari pemakaman itu.
Sepanjang perjalanan, aku terus saja kepikiran apa maksud dari angka-angka itu. Aku belum bisa menebak karena belum sempat melihat dengan teliti, lagipula tadi di pinggir jalan.
Begitu aku sampai di rumah, aku segera memarkirkan motorku di garasi, lalu berlari masuk. Aku yang terlalu buru-buru, tak sengaja menabrak Kak Dila yang hendak membuang sampah.
“Eh... maaf, Kak!” Aku hanya sempat meminta maaf sekenanya, lalu segera naik menuju kamar, mengabaikan teriakan Kak Dila yang marah-marah karena sepertinya sampah yang dia bawa jadi tercecer di lantai.
“ALDIKA! AWAS KAMU, YA!”
***
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat beberapa menit. Aku masih belum juga beranjak dari meja belajar. Bukan, aku bukan sedang mengerjakan tugas. Tugasku sudah selesai sejak tadi sebelum aku pergi ke makam. Saat ini aku masih terus menerka kira-kira apa maksud dari angka-angka random yang tadi aku terima.
Memang, tidak sepenuhnya dari tadi aku mengamati angka-angka itu. Apalagi sejak tadi pukul sepuluh, aku terus diganggu oleh penghuni pohon belimbing milik tetangga. Mereka terus menimbulkan suara-suara aneh yang sangat berisik. Belum lagi, kalau keusilan mereka sedang menjadi, jendela kamarku terkadang seperti dilempari batu, tetapi tidak sampai pecah.
Kreeek!
Aku segera menoleh ke arah jendela kamar yang berderit. Jendela itu perlahan terbuka, membuat pohon belimbing milik tetangga benar-benar terlihat jelas dari arahku duduk saat ini. Aku melihat penampakan mereka, dan salah satunya menatapku tajam dengan mata merah yang menyala terang. Setelah itu, aku mulai mendengar kikikan tawa usil yang tidak kuketahui dari mana asalnya.
“Please, aku sedang nggak mau diganggu!” geramku tertahan, lalu segera menutup jendela kamarku dan menguncinya rapat-rapat.
Aku baru saja kembali duduk di kursi meja belajar, ketika tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang. Energi itu sangat kuat, sampai bulu kudukku meremang dengan mudahnya. Ini tidak seperti biasanya, ini terlalu kuat!
“Itu kamu, Jo?” aku mulai bermonolog sembari mengedarkan pandangan ke penjuru kamar yang lampunya sudah kuganti dengan lampu kecil agar tidak terlalu silau.
Tidak ada jawaban, sebagai gantinya bulpoinku lagi dan lagi menggelinding, kali ini ke kolong tempat tidur. Aku menghela napas panjang, menetralkan napasku yang sempat memburu untuk beberapa saat.
‘Al, berhenti saja...’
Aku terlonjak kaget ketika mendengar suara bisikan itu. Aku kembali mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Bisikan itu terasa sangat nyata, sampai aku merasa kalau itu seperti bisikan orang, bukan makluk lain. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Kuulangi sekali lagi, yang barusan benar-benar terdengar sangat nyata!
“Kenapa aku harus berhenti? Itu kamu, kan? Kemana saja akhir-akhir ini?” Aku seperti orang bodoh, terus bertanya padahal sudah tahu tidak akan pernah mendapat jawaban. Dadaku mulai naik turun, karena mendadak kamarku terasa sangat sesak.
Brak!
Aku dibuat sangat terkejut karena figura lukisan bola di dinding kamarku jatuh ke lantai. Untung saja lukisan itu tidak dilapisi kaca, jadi tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan anggota keluargaku yang lain.
‘Jaga diri baik-baik, Al. Aku pergi..’
“JO? JOVITA?”
***