Sembilan Belas

1383 Words
MANTAN narapidana dengan khas wajah cemberut yang sama sedang menjalankan tugasnya di meja resepsionis Rumah Singgah Kanto. Dia sibuk mengisi puzzle dan tidak senang diganggu. Sementara itu, Harry Kazuya tidak ada di tempat. Ivan mendesak terus dengan ketus. “Apa dia sedang bekerja sekarang?” “Sudah kubilang dia tidak sedang di sini. Dia sedang di rumah sakit. Dia dibawa semalam.” “Apa yang terjadi padanya?” “Yang aku tahu dia kejang-kejang. Orang itu terlihat sangat kacau.” “Rumah sakit mana?” “Bukan aku sopir ambulansnya.” Usai merasa cukup memberikan informasi, dia beralih ke puzzle-nya lagi, pembicaraan berhenti. Ivan menemukan pasiennya di lantai tiga Rumah Sakit Kanto. Tepatnya di ruang semiprivat di sebelah jendela. Lembar tirai tipis memisahkan kedua ranjang itu. Sebagai orang yang sering berkunjung dan wajahnya cukup familiar, Ivan memberitahu kepada si perawat kalau Harry Kazuya pernah mengunjungi gerejanya dan ingin bertemu dengannya. Harry Kazuya sedang dalam keadaan sadar. Selang infus menancap di lengan kirinya. Dia tersenyum saat melihat Ivan dan menawarkan tangan kanannya yang lemas untuk menjabat tangannya sekilas. “Terima kasih untuk kedatanganmu, Pendeta,” katanya dengan suara khas orang yang sakit. “Apa kabar, Harry?” Lima detik usai berlalu. Harry Kazuya mengangkat tangan kirinya sedikit lantas menyahut, “Reaksi obat itu luar biasa. Aku sudah merasa enakan.” Harry Kazuya memandang ke arah luar jendela, meskipun dia tidak bisa melihat apa pun di luar sana selain langit kelabu. “Setelah kau pergi, aku sangat kacau, Pendeta. Tidak lama aku ditemukan dalam keadaan pingsan dan mereka membawaku kemari. Kata mereka aku kejang-kejang dan menghentakkan mereka.” “Aku minta maaf, Harry.” “Sebagian besar memang kesalahanmu, Pendeta. Karenamu aku mengalami stres berat.” “Ya, aku sangat menyesal. Tapi kau harus ingat, kaulah yang datang menemuiku, Harry. Kau menginginkan bantuanku. Kau bercerita tentang Furuya Satoru dan Bella Stefa, dua orang yang sebelumnya tidak pernah aku dengar namanya. Kau menceritakan siapa dirimu. Bukan aku yang menyuruhmu. Kau yang memulai semua ini.” “Benar,” ucapnya. Harry memejamkan mata, napasnya terdengar berat. Jeda pembicaraan itu lama sekali. Ivan membungkukkan badannya agar terlihat lebih dekat, dan dia berkata setengah berbisik, “Apa kau sadar, Harry?” “Ya…” “Kalau begitu tolong dengarkan, aku punya rencana.” “Baiklah.” “Awalnya, kita akan membuat video di mana kau akan menceritakan kisahmu. Sama seperti yang kau ceritakan padaku saat itu. Kau mengakui perbuatanmu terhadap gadis itu. Kau menjelaskan kalau Furuya Satoru yang sekarang menjadi terdakwa, dia tidak ada kaitannya sama sekali dengan penculikan dan kematian gadis itu. Kau benar-benar menceritakan semuanya, Harry. Dan kau juga mengatakan di mana persisnya kau mengubur mayat gadis itu. Berikan informasi yang detail, apabila kita beruntung, mereka mungkin bisa menemukannya. Kita akan membuat video itu hari ini. Di rumah sakit. Dan setelah aku mempunyai rekaman video itu nanti, aku akan mempublikasikan kepada asosiasi pengacara, khususnya pengacara Furuya Satoru, jaksa penuntut, hakim, para polisi, mahkamah agung, gubernur, dan ke setiap surat kabar dan stasiun televisi agar mereka semuanya tahu.Aku akan menyiapkan semua ini secara elektronis. Jadi, mereka semua akan menerima itu hanya dalam hitungan menit saja. Lalu, bagian kedua dari rencanaku adalah kau memberikan cincin gadis itu kepadaku. Aku akan mengambil gambar cincin itu dan mengirimkan gambarnya ke setiap orang yang sudah aku sebut tadi, dan aku akan mempublikasikan ke internet. Kemudian aku akan mengirimkan cincin itu melalui jasa ekspedisi kepada pengacara Furuya Satoru agar mereka mempunyai bukti fisik. Bagaimana menurutmu dengan rencana ini, Harry? Kau bisa menceritakan semua ceritamu tanpa harus meninggalkan rumah sakit.” Kedua mata itu tak kunjung terbuka. “Apa kau sadar, Harry?” Sebuah gumaman terdengar. “He-em…” “Rencanaku ini pasti berhasil, Harry. Kita sudah tak punya waktu untuk membuang-buang waktu lagi.” “Tetapi itu membuang waktuku.” “Apa merugikannya bagimu? Hanya nyawa seorang manusia tak bersalah.” “Kau menyebutku pendusta sebelumnya.” “Itu karena kau telah berbohong.” “Apa kau sudah menemukan catatan penangkapanku di Kanto?” “Iya.” “Jadi aku tidak berbohong.” “Bukan soal itu. Dan kau juga tidak berbohong soal Furuya Satoru.” “Baiklah, terima kasih. Aku mau tidur sekarang.” “Come on, Harry. Tidak sampai lima belas menit untuk membuat rekaman video itu. Aku bahkan bisa melaukannya saat ini juga dengan ponselku kalau kau mau.” “Kau menyakiti kepalaku lagi, Pendeta. Aku bisa merasakan serangan itu. Kau harus pergi sekarang, dan tolong jangan kembali lagi.” Ivan langsung berdiri tegak dan menghirup napas kuat-kuat.   ***   Mereka berdua sepakat memilih tempat duduk yang ada di sudut. Beruntungnya masih ada tempat kosong yang tidak terlihat mencolok. Keduanya duduk di hadapan beberapa mangkuk besar yang masing-masing berisi semur daging. Ozawa mengeluarkan beberapa lembar catatan dari kantong dan berbicara selagi mulutnya masih penuh dengan makanan. “Tidak ada peraturan khusus tentang itu, tapi kemungkinan kau akan dituduh menghalang-halangi hukum. Kau jangan pernah berpikir dan secara sengaja membawa orang itu pergi keluar dari yuridiksinya saat ini, yaitu rumah singgah.” “Aku baru saja mencoba berbicara dengan orang kita. Dia…” “Hem? Orang kita? Aku tidak sadar kalau aku juga tidak dilibatkan.” “Dia sedang ada di rumah sakit. Dia mengalami kejang-kejang kemarin malam. Penyakit itu secara perlahan-lahan menggerogoti kekuatan jasmaninya. Dia kehilangan hasrat untuk menolong. Dia manusia tidak beradab, dia psikopat.” “Kenapa dia datang ke gereja?” “Mungkin biar bisa keluar dari rumah singgah selama beberapa jam. Tidak, aku tidak boleh berkata begitu. Aku sudah pernah melihat emosi serius di wajahnya, perasaan bersalah yang sangat tulus, juga mencuatkan harapan putus asa untuk melakukan hal yang sebenarnya. Kiki menemukan salah seorang petugas pembebasan bersyaratnya. Petugas itu mengoceh sedikit dan mengatakan bahwa orang kita dulunya termasuk anggota geng kulit putih di penjara. Furuya Satoru, tentu saja, dia berkulit hitam, jadinya aku bertanta-tanya sendiri, sebenarnya seberapa banyak simpatinya di sini.” “Kau tidak makan?” komentar Ozawa sambil menyuap satu sendok lagi. “Aku tidak lapar. Aku punya begitu banyak gagasan. Bagaimana kalau kau menghubungi pengacara Furuya Satoru? Aku tidak mampu menghubunginya, walau sekadar menembus resepsionisnya sekalipun. Toh aku seorang hamba Tuhan yang sederhana. Sementara kau pengacara, jaksa penuntut, kau bisa berbicara bahasa mereka.” “Lalu kira-kira apa yang harus aku katakan padanya?” “Kau bisa berkata pada mereka bahwa kau memiliki alasan-alasan untuk meyakinkan mereka jika pembunuh yang sebenarnya ada di sini.” Ozawa sambil mengecap dan menunggu. Dia berkata bahwa, “Cuma itu? Pengacara ini mendapatkan sebuah telepon konyol dariku. Aku mengatakan apa yang harus aku katakan, dan itu tidak banyak. Serta apa yang aku katakan itu semestinya menjadi amunisi buat pengacara itu untuk bisa mengajukan banding di pengadilan sekali lagi dan berpeluang besar menggagalkan eksekusi. Apa kesimpulanku benar, Ivan?” “Aku paham bahwa kau bisa lebih persuasif daripada itu.” “Bagaimana dia bisa mendengar tentang kasus itu?” “Ada di surats-surat kabar.” “Dan bagaimana dia bisa menemukan situs internet itu?” “Dia tidak memiliki akses komputer. Dia mendekam di Lansing selama enam tahun terakhir. Para tahanan tidak mempunyai akses terhadap internet. Kau semestinya juga tahu itu. Bisakah kau membayangkan apa yang akan terjadi seandainya mereka punya? Tidak akan ada piranti lunak di dunia yang aman. Dia juga tidak memiliki akses komputer di rumah singgah. Orang ini sudah berumur empat puluh tahun lebih. Dan dia sudah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mendekam di penjara. Dia masih primitif dan mungkin takut menghadapi komputer.” “Lalu bagaimana dengan pengakuan Furuya Satoru? Tidakkah itu mengusikmu?” “Tentu saja, tapi menurut tulisan yang ada di internet…” “Ivan, ayolah. Situs itu dikelola oleh para pengacaranya. Tentu saja ini sepihak. Begitu sepihaknya sampai-sampai kehilangan kredibilitas.” “Lalu cincin itu?” “Itu cincin sekolah. Jumlahnya banyak. Tidak terlalu sulit untuk menduplikasinya.” Pundak Ivan merosot dan dia terhentak di kursi. Secara tiba-tiba dia merasa kelelahan. Dia tidak punya energi untuk berdebat. “Kau butuh tidur, Kawan,” sahut Ozawa. “Dan kau harus mencoba untuk melupakan kasus ini.” “Mungkin kau benar.” “Menutuku begitu. Dan jika eksekusi itu benar-benar terjadi pada hari Kamis malam, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kemungkinan besar mereka memang sudah menghukum orang yang bersalah.” “Dasar jaksa penuntut.” “Itu aku. Dan kebetulan kawanmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD