Empat Puluh Lima

1425 Words
“Di bukit di bagian Selatan Shibuya. Sangat jauh di antara bukit-bukit.” “Shibuya, paling tidak sekitar lima jam dari sini.” “Bisa lebih dari itu. Bella dan aku berkendara ke sana.” “Jadi, dia masih hidup saat kau meninggalkan Kanto?” Cedutan seperti biasa, akhirnya, “Ya. Aku membunuhnya di Shibuya. Memerkosanya dari sini ke sana.” “Apa bisa menghubungi pihak yang berwenang di Shibuya dan mengatakan pada mereka gimana caranya menemukan mayat gadis itu?” Harry Kazuya berhasil tertawa mendengar kelucuan itu. “Menurutmu aku bodoh? Kenapa aku menguburkannya di suatu tempat yang bisa ditemukan seseorang? Aku bahkan tidak yakin masih bisa menemukannya sesudah bertahun-tahun ini.” Robert Eijun telah mengantisipasi ini dan tidak mau kalah. “Kalau gitu kita musti mengambil pernyataanmu, dengan video dan cepat.” “Oke. Aku siap.” Mereka berjalan ke ruang pertemuan, Kazuya telah menunggu dengan sebuah kamera dan seorang reporter pengadilan. Harry Kazuya diarahkan ke kursi yang menghadap kamera. Reporter pengadilan itu duduk di samping kanannya, sedang Eijun di kirinya. Kazuya menangani kamera. Para anggota biro yang lain mendadak muncul—Eijun mau mereka menjadi saksi mata—dan mereka berdiri bersama Ivan sekitar tiga meter jaraknya. Harry Kazuya mengamati mereka semua satu per satu dan tiba-tiba menjadi gugup. Dia merasa seperti tahanan yang menghadapi eksekusinya sendiri, bersama disaksikan orang banyak. Reporter pengadian itu memintanya mengangkat tangan kanan dan bersumpah untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Harry menurutinya, lalu Eijun mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Nama, tempat lahir, alamat, pekerjaan, status terkini sebagai tahanan bebas bersyarat, dan catatan kriminalitas. Tidak ada apa pun yang dijanjikan. Apakah dia tinggal di Kanto pada bulan Desember 2002? Kenapa dan berapa lama? Setiap pertanyaan yang diucapkan oleh Eijun begitu kembut nan efisien. Harry Kazuya memandang kamera lurus-lurus, tanpa mengerjap maupun mengernyit, dan terlihat mulai menikmati perannya. Anehnya, cedutan itu menghilang. Ceritakan pada kami tentang Bella Stefa. Harry Kazuya berpikir sejenak, lalu mulai bercerita. Pertandingan futbol, keterpesonaannya pada gadis itu, obsesinya, gairahnya, penguntitan yang dilakukannya, dan akhirnya penyergapan yang dia lakukan di luar mal, tidak ada satu orang saksi mata di mana-mana. Di lantai truknya, dia menempelkan sepucuk pistol di kepala Bella dan mengancam untuk membunuhnya jika gadis itu berteriak, lalu dia mengikat pergelangan tangan dan kaki gadis itu dengan bantuan isolasi. Dia membungkam mulut gadis itu. Dia mengemudi ke suatu tempat di pedesaan, namun dia tidak tahu pasti di mana, dan sesudah memerkosa gadis itu untuk yang pertama kalinya, dia hampir saja membuang gadis itu di sebuah selokan, terluka, tapi masih hidup, tapi ingin memerkosanya sekali lagi. Mereka meninggalkan Kanto setelah itu. Telepon genggam gadis itu di dalam tas yang masih menggantung di tangannya, nada telepon genggamnya itu terus saja berdering, sehingga dia berhenti di sebuah jembatan di atas Sungai Merah. Dia mengambil semua uang tunai gadis itu, kartu kredit, surat izin mengemudinya, lalu melemparkan tas selempang itu ke sungai. Mereka berkendara melintasi daerah tenggara Oklahoma. Persis sebelum matahari terbit, dia melihat motel murahan tempat dia pernah menginap, sendirian. Dia membayar sewa kamar secara tunai, lalu dengan pistol menempel di kepala gadis itu, membawanya masuk ke kamar tanpa terlihat. Dia mengikat pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan membungkam mulut gadis itu lagi, dan kemudian menyuruh gadis itu untuk tidur. Dia sendiri tidur selama beberapa jam, tidak yakin apakah gadis itu benar-benar tidur. Mereka menghabiskan hari yang panjang di motel itu. Dia meyakinkan gadis itu kalau jika dia mau bekerja sama, memberikan apa yang dia inginkan, maka dia akan membebaskan gadis itu. Namun sesungguhnya dia sudah tahu hal yang sebenarnya. Sesudah malam tiba, mereka melanjutkan perjalanan, menuju utara. Menjelang fajar di har Minggu, mereka telah berada di selatan Shibuya, di sebuah daerah terpencil dan berhutan lebat. Gadis itu memberontak dan memohon-mohon kepadanya, namun dia tetap membunuh gadis itu. Bukan sebuah pekerjaan yang gampang, gadis itu melawan mati-matian, mencakar, memukul, entah gerakan apa lagi yang sampai membuatnya berdarah-darah. Dia menjejalkan tubuh gadis itu ke sebuah kota peralatan besar dan menguburkannya. Tidak satu orang pun yang akan pernah menemukannya. Dia kembali mengemudi ke Kanto dalam keadaan mabuk. Eijun masih sibuk menulis. Reporter pengadilan itu memencet tombol mesin stenotype-nya. Orang-orang yang lain tidak bergerak. Tidak satu orang pun terlihat bernapas. Harry Kazuya membungkam, ceritanya telah selesai diucapkan semua. Penuturannya yang dingin dan kejelian detail yang diutarakannya benar-benar mengerikan. Martha Tristin di kemudian hari menulis: “Memperhatikan mata dan wajah Harry sedang dia menceritakan semua perbuatan jahatnya membuat kami sama sekali tidak ragu kalau kami memang sedang berhadap dengan seorang pembunuh sadis. Cerita yang kemungkinan tidak akan pernah kita ketahui, atau lebih baik justru tidak pernah kita ketahui mengenai penderitaan dari seorang gadis yang malang itu.” Eijun, yang tenang tapi juga gemas untuk menuntaskan kesaksian itu, akhirnya mendesak, “Kira-kira di hari Minggu dan tepatnya pada pukul berapa kau membunuhnya?” “Matahari baru saja terbit. Dan aku menunggu hingga aku bisa melihat dengan jelas, di mana diriku pada saat itu, dan mencari tempat terbaik untuk membunuhnya.” “Dan itu hari Minggu, tepatnya tanggal 6 Desember 2002?” “Kalau kau memastikan itu. Ya.” “Jadi matahari terbit sekitar pukul setengah tujuh pagi?” “Kelihatannya, iya.” “Sekembalinya ke Kanto, ke mana setelah itu kau pergi?” “Aku pergi ke kamarku di Losmen Rebel Motor, sesudah membeli bir dengan memakai uang Bella yang telah aku curi.” “Kau juga mabuk-mabukan di Losmen Rebel Motor?” “Iya.” “Berapa lama kau tinggal di Kanto sesudah pembunuhan itu?” “Aku tidak tahu, mungkin sekitar satu setengah bulan. Aku ditangkap di sini pada bulan Januari, kau pasti punya catatannya. Sesudah itu, sesudah aku keluar dari penjara, aku langsung angkat kaki.” “Usai membunuhnya, sejak kapan kau mendengar mengenai penangkapan Furuya Satoru?” “Persisnya aku tidak tahu. Aku melihat beritanya di televisi. Dan bersama itu, aku melihatmu meneriaki setiap kamera.” “Lalu apa yang kau pikirkan saat dia ditangkap?” Harry menggeleng dan mengatakan, “Aku pikir, dasar para polisi t***l. Anak itu sama sekali tidak ada hubungannya. Mereka sudah menangkap orang yang salah.” Benar-benar saat yang sempurna untuk menyudahi. Eijun mengatakan, “Sudah itu saja.” Kazuya kemudian mematikan kameranya. Eijun bertanya pada si reporter pengadilan, “Berapa lama sebelum transkrip itu selesai?” “Sepuluh menit.” “Bagus, cepatlah.” Eijun langsung bergabung dengan anggota bironya yang lain di meja rapat, dan semua orang serentak bicara. Sementara Harry dilupakan sejenak, meskipun begitu Kento Himura masih dengan teliti mengawasinya. Harry meminta minum, dan Himura mengulurkan satu botol air kepadanya. Ivan melangkah keluar ruangan untuk menelepon istrinya dan teman karibnya—Ichiro—dan berniat untuk menghirup udara segar. Tapi sayang sekali, udara sama sekali tidak segar; penuh dengan asap dan ketegangan. Terdengar suara berdebum keras, disusul dengan jeritan, saat Harry terjatuh dari kursinya dan menghantam lantai. Dia menyambar kepalanya, mendekap kedua lutut di d**a, dan mulai berguncang-guncang sedang kejang-kejang menerpa sekujur tubuhnya. Himura dan Misaki berlutut di depannya, mereka tidak yakin harus melakukan apa. Eijun dan orang-orang yang lain berkerumun di sekeliling, menatap penuh ngeri pada kejang-kejang parah itu, yang membuat lantai kayu kantor mereka yang kuno terlihat ikut berguncang. Jujur, mereka semua yang ada di sana merasa iba pada Harry dengan kondisi seperti itu. Sedang Ivan mendengar keributan itu dan segera menggabungkan diri. “Dia membutuhkan dokter, secepatnya,” sahut Riko. “Dia punya obat, kan, Ivan?” bisik Eijun. “Ya.” “Apa kau pernah melihat yang seperti ini?” Harry masih kejang-kejang, melenguh-lenguh mengibakan. Terlihat seperti akan mau mati. Kento Himura menepuk-nepuk lengannya dengan lembut, pemandangan yang sangat langka. “Sering,” jawab Ivan. “Terakhir empat jam yang lalu, di suatu tempat di Oklahoma. Dia muntah-muntah, lalu dia pingsan.” “Apakah kita musti membawanya ke rumah sakit? Maksudku gini, Ivan, apakah mungkin kalau dia akan mati saat ini juga?” “Aku tidak tahu. Aku bukan dokter. Apa lagi yang kau perlukan darinya?” “Kita harus mendapatkan tanda tangannya untuk afidavit itu, ditandatangani di bawah sumpah.” Eijun melangkah mundur dan memberi isyarat supaya Ivan mengikutinya. Mereka berbicara dengan suara lirih. Eijun menambahkan, “Selain itu kita masih harus mencari mayat gadis itu. Bahkan dengan afidavitnyam tidak ada kepastian kalau pengadilan mau menghentikan eksekusi. Gubernur jelas tidak. Entah yang mana, kita harus segera menemukan mayat gadis itu.” Ivan menjawab, “Ayo sama-sama kita baringkan dia di sofa ruang kerjamu dan mematikan semua lampu. Aku akan memasukkan satu butir pil ke mulutnya. Semoga saja dia tidak akan mati. Setidaknya untuk saat ini.” “Ide yang bagus.” Ketika itu jam menunjukkan pukul satu siang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD