Empat Puluh Enam

2135 Words
PENGALAMAN pertama Furuya Satoru naik helikopter merupakan pengalaman terakhirnya juga. Berkat kemurahan hari Departemen Keamanan Masyarakat Kanto, dia dipindahkan melalui udara dengan kecepatan sekitar seratus lima puluh kilometer per jam, tiga ribu kaki di atas puncak perbukitan, dan dia tidak bisa melihat apa-apa di bawah sana. Dia terjepit di antara para penjaga, dua laki-laki muda bertubuh gempal yang memandang ke luar jendela sambil merengut, seolah-olah Operasi Detai mungkin memiliki satu atau dua peluru kendali udara dalam amunisinya. Di bagian depan, duduk dua orang pilot, para pemuda berwajah serius yang tegang dan bersemangat dalam menuntaskan misi mereka. Perjalanan yang bising dan mengguncang itu membuat Furuya mual, jadi dia memejamkan mata, menyandarkan kepala di plastik keras itu, dan berusaha memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Dia tidak sanggup. Dia melatih pernyataan terakhirnya, mengucapkan setiap kata tanpa bersuara, meskipun dengan kebisingan helikopter itu dia bisa saja meneriakannya dan tidak satu orang pun yang akan memperhatikan. Dia memikirkan para tahanan lain—beberapa temannya, beberapa musuhnya, hampir semuanya bersalah, namun hanya sedikit yang menyatakan diri tidak bersalah—dan bagaimana mereka menghadapi kematian. Perjalanan itu berlangsung selama dua puluh menit, dan saat helikopter itu mendarat di lapangan rodeo lama di dalam penjara Nagano, sekelompok kecil tentara telah menunggu kedatangan si tahanan. Furuya Satoru, yang dibebani rantai-rantai dan gembok-gembok, bisa dibilang dijunjung oleh para pengawalnya menuju sebuah van. Beberapa menit berselang, van itu masuk ke dalam lorong berpagar besi yang dirantai dan ditutupi selembar layar tebal untuk menahan angin dan dihiasi kawat berduri mengilap di bagian atasnya. Furuya Satoru dikawal dari van, melewati sebuah pintu gerbang, menyusuri trotoar pendek menuju sebuah gedung kecil yang rata dan berdinding bata merah, tempat di mana Kanto melaksanakan setiap pembunuhannya. Di dalam, dia menyipitkan mata dan berusaha melihat lingkungan barunya. Ada kedelapam sel di sebelah kanannya, yang masing-masing mengosong ke dalam sebuah lorong pendek. Di meja ada beberapa Kitab Suci, termasuk satu yang berbahasa Spanyol. Satu lusin penjaga berkeliaran, beberapa membicarakan tentang cuaca, seolah-olah cuaca dianggap penting pada saat itu. Furuya Satoru ditempatkan di depan kamera dan difoto. Setiap cengkeraman borgolnya dilepas, dan seorang teknisi memberitahu padanya kalau mereka saat ini akan mencetak setiap sidik jari di tangannya. “Untuk apa?” tanya Furuya. “Prosedur,” demikian tanggapannya. Dia memegang satu jari dan menggulingkannya di bantalan tinta. “Aku tidak mengerti untuk apa kau membutuhkan sidik jari seseorang sebelum kau membunuhnya.” Teknisi itu terdiam. “Aku tahu,” sahut Furuya. “Kau hendak memastikan kau akan membunuh orang yang benar, kan?” Teknisi itu menggulingkan sebuah jari lain. “Nah, kau akan membunuh orang yang keliru kali ini. Aku bisa memastikan itu.” Saat pengambilan sidik jari itu selesai, dia dikawal menuju sel penahanan, salah satu dari kedelapan sel yang ada. Ketujuh sel lainnya kosong. Furuya Satoru duduk di tepi ranjang. Dia mengamati betapa mengilap lantai selnya, begitu bersih seprai-seprai itu, dan betapa menyenangkannya suhu yang ada di dalamnya. Di balik setiap jeruji itu, di lorong, ada beberapa pejabat negara. Salah seorang di antaranya melangkah menghampiri dan mengatakan, “Furuya, aku Ben, aku sipir di Nagano sini.” Furuya Satoru mengangguk takzim, namun dia masih duduk. Dia menatap lantai. “Pendeta kami bernama Tomi. Dia ada di sini dan dia akan tetap di sini sepanjang sore.” Tanpa mendongak, Furuya Satoru mengatakan, “Aku tidak butuh Pendeta.” “Terserah kau. Saat ini dengarkan aku, karena aku mau memberitahumu mengenai apa saja yang terjadi di sini.” “Aku rasa aku tahu apa yang terjadi.” “Nah, ya, intinya aku akan memberitahumu.”   *** USAI sejumlah pidato, masing-masing lebih berapi-api daripada sebelumnya, demo itu mulai kehilangan intensitasnya. Sekelompok orang kulit hitam berkerumun di seputar bagian depan gedung pengadilan, bahkan tumpah ke Jalan Utama yang telah ditutup. Saat tidak satu orang pun memanfaatkan pelantang suara, para penabuh drum menunjukkan aksi mereka, dan kerumunan orang tersebut mengikuti musik sambil menyusuri Jalan Utama, mengarah ke barat, meneriakkan yel-yel, melambaikan spanduk. Glover menempatkan diri sebagai pemimpin parade dan menggerakkan SUV-nya di depan para penabuh drum. Irama rap menghantam setiap toko dan kafe di pusat kota tempat para pemilik, karyawan, dan pelanggan mereka berdiri di jendela-jendela dan pintu-pintu. Kenapa, sih, orang-orang kulit hitam terlihat marah sekali? Toh anak itu sudah mengaku kalau memang dia pembunuh dari gadis itu. Dia mengaku kalau dia membunuhnya, mata ganti mata. Tidak ada kerusuhan, namun kota kelihatannya sudah siap meledak dalam waktu yang singkat. Saat Glover dan para penabuh drum itu sampai di Avena, mereka menikung ke kanan, bukan ke kiri. Dengan menikung ke kiri akan mengalihkan parade itu ke selatan, kembali ke tempat di mana parade itu dimulai. Menikung ke kanan artinya mereka mengarah ke wilayah pemukiman orang-orang kulit putih. Meski demikian, belum ada yang melemparkan sesuatu. Tidak ada ancaman yang dilemparkan. Sejumlah mobil polisi mengikuti mereka di belakang, sedang yang lain membayangi parade itu dari jalanan-jalanan yang sejajar. Dua blok di utara Jalan Utama dan mereka berada di wilayah pemukiman yang lebih tua. Hingar-bingar itu membuat banyak orang keluar ke beranda, dan setelah melihat apa yang sedang terjadi, mereka kembali bergegas masuk ke dalam, menyasar lemari-lemari senjata. Mereka kemudian meraih telepon untuk menghubungi Wali Kota dan Kepala Polisi. Parade itu tergolong mengganggu ketenangan, kan? Kenapa, sih, aliansi kulit hitam itu begitu geram? Toh anak itu telah mengaku dengan sendirinya. Lagi-lagi. Lakukan sesuatu. Taman Civitan merupakan kompleks lapangan bisbol dan sofbol remaja di Avena, lima blok di utara Jalan Utama, dan Glover memutuskan mereka sudah berjalan cukup jauh. Para penabuh drum menyamping, dan parade itu pun selesai. Saat ini mereka menjadi sebuah perkumpulan, gabungan antara jiwa muda, kegeraman, dan perasaan kalau tidak ada yang lebih baik yang bisa mereka lakukan di sore hari dan malam itu. Seorang kapten polisi mengestimasikan kerumunan orang itu berjumlah kira-kira seribu tiga ratus orang, hampir semuanya di bawah tiga puluh tahun. Sebagian besar orang kulit hitam yang lebih tua telah mengundurkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Telepon genggam menginformasikan detail terbaru, dan mobil-mobil yang penuh dengan lebih banyak pemuda kulit hitam lainnya terlihat mengarah ke Taman Civitan. Di seberang kota, kerumunan lain dari orang kulit hitam menyaksikan para petugas pemadam kebakaran menyelamatkan apa yang tersisa dari Gereja Gunung Sinai Tuhan Dalam Yesus. Berkat panggilan 911 yang cepat, dan tanggapan yang gesit, kerusakan yang terjadi tidak separah yang menimpa Gereja Baptis Pertama, namun tidak bisa dikesampingkan begitu saja, tempat tersebut lumayan rusak. Kobaran api sudah dipadamkan, namun kepulan asap masih membumbung di setiap atap rumah, mengepul melalui ventilasi jendela. Tanpa angin, asap itu menggelantung di seluruh permukaan kota dan menambahkan selapis ketegangan.   ***   Kepergian Minami Stefa menuju Nagano terekam dengan begitu baik. Dia mengundang beberapa sanak sekeluarga dan teman untuk sebuah adegan memilukan lainnya, di mana semua orang menangis di depan banyak sorot kamera. Ketika itu, Sean Najwa masih berada dalam pesawat jet, dalam penerbangan dari Tokyo menuju Nagano, dia akan melakukan wawancara pra-eksekusi di sana. Bersama Ryusei, dengan kedua anaknya yang lain, dan Jacob, pun ada sekitar lima orang dalam kelompok Minami Stefa, sedang mereka akan melakukan perjalanan selama tiga jam yang mungkin tidak akan menyenangkan. Jadi sebelumnya, Minami Stefa meminta kebaikan hati dari pendetanya untuk bisa meminjam salah satu van gereja, dan bahkan dia meminta agar Jacob sendiri yang menjadi kemudinya. Jacob sendiri sebetulnya merasa kelelahan, baik lelah fisik maupun mental, namun dirinya tidak tega berdebat dengan Minami Stefa, tidak pada ketika itu, tepatnya tidak pada “hari terpenting dalam kehidupan Minami Stefa”. Mereka naik ke dalam van dan melaju pergi, Jacob di belakang roda kemudia sebuah van yang memiliki kapasitas untuk sepuluh orang yang di mana kedua sisi bodinya memamerkan tulisa terang “Gereja Baptis Pertama Kanto”. Semua orang melambaikan tangan kepada teman-teman dan para pendukung itu. Semua orang melambai kepada kamera. Sementara Minami Stefa sibuk menangis sebelum mereka sampai di pingiran kota.   ***   Berselang lima belas menit berada di dalam kegelapan dan ketenangan di ruang kerja Eijun, Harry telah kembali sadar. Dia merebahkan tubuhnya di sofa, pikirannya bebal karena sakit, kaki dan tangannya masih gemetar. Saat Ivan mengintip dari balik pintu, Harry menyahut, “Aku masih ada di sini, Pendeta. Aku masih hidup.” Ivan berjalan mendekat dan bertanya, “Gimana kondisimu, Harry?” “Jauh lebih enak, Pendeta.” “Kau menginginkan sesuatu?” “Kopi. Sepertinya itu bisa membantuku meredakan rasa sakit.” Tidak menunggu lama, Ivan langsung pergi dan menutup pintu. Dia mendapati Eijun dan melaporkan bahwa Harry masih hidup. Pada ketika itu, reporter pengadilan tengah mentranskrip semua pernyataan Harry. Riko dan kedua paralegal itu, Kazuya dan Ibuki, dengan panik menyusun berkas yang telah dijuluki “petisi Harry Kazuya:. Hakim Kojiro memasuki kantor, melalui resepsionis kemudian menuju ke ruang pertemuan. “Sebelah sin,” sahut Eijun, dan dia membimbing hakim itu menuju sebuah perpustakaan kecil. Dia menutup pintu, mengambil remot kotrol dan melaporkan, “Kau harus melihat ini.” “Ada apa?” tanya Hakim Kojiro sembari duduk di kursi. “Tunggu sajalah.” Eijun mengarahkan remot kontrol itu ke layar dinding, dan Harry muncul. “Ini adalah orang yang membunuh Bella Setafa. Kami baru saja merekam ini.” Video itu berlangsung selama empat belas menit. Mereka berdua menontonnya tanpa berkata apa pun. “Di mana dia saat ini?” tanya Hakim Kojiro saat layar menggelap. “Ada di ruang kerjaku, di sofa. Dia mengidap penyakit jenis tumor otak, katanya mematikan, dan dia sedang sekarat. Dia datang ke kantor seorang Pendeta Lutheran di Fukui pada hari Senin pagi dan menceritakan kisahnya. Dia mengajak bermain sedikit, namun akhirnya pendeta itu berhasil mengajaknya naik mobil. Mereka tiba di sini sekitar dua jam yang lalu.” “Pendeta itu sendiri yang menyopirnya kemari?” “Ya… Tunggu.” Eijun membuka pintu dan memanggil Ivan masuk. Dia memperkenalkan Ivan kepada Hakim Kojiro. “Ini pendetanya.” Sambil menepuk pundak Ivan. “Silakan duduk. Hakim Kojiro ini merupakan hakim yang berwenang di pengadilan kami. Jika dia yang menjadi hakim di persidangan Furuya Satoru, kita tidak akan berada di sini saat ini.” “Senang bertemu dengan anda,” sapa Ivan. “Aku dengar kau telah mengalami petualangan yang seru.” Ivan tertawa dan mengatakan, “Aku tidak tahu di mana aku dan apa yang sedang dan telah aku lakukan.” “Jika memang begitu, kau telah datang di biro hukum yang tepat,” sahut Hakim Kojiro. Mereka semua tertawa, singkat, sejenak kemudian semua kelakar mendadak bungkam. “Gimana menurutmu?” tanya Eijun kepada Hakim Kojiro. Sama seperti reaksi orang bingung pada umumnya, Hakim Kojiro menggaruk pelipisnya, dia berpikir keras sejenak, lalu mengatakan, “Pertanyaannya adalah apa yang akan dipikirkan mahkamah banding? Sejauh ini kita masih belum bisa memperkirakannya. Mereka pasti membenci setiap kesaksian yang muncul mendadak menjelang detik-detik terakhir dan mengubah hampir smeua fakta yang sudah berumur sepuluh tahun. Ditambah lagi, seorang laki-laki yang berkiprah di bidang p*********n seksual kemungkinan besarnya tidak akan dianggap serius. Menurutku akan kecil kemungkinan bahwa mereka akan menghentikan eksekusi.” “Itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang kami punya dua jam yang lalu.” “Kapan akan kau ajukan? Sekarang sudah mau jam dua.” “Satu jam lagi. Aku ada pertanyaan lagi. Apa kita juga musti memberitahu media tentang Harry? Aku bisa mengirimkan video rekaman itu ke pengadilan dan ke Gubernur. Aku pun akan mengirimkannya ke stasiun televisi lokal, atau aku bisa mengirimkan itu ke seluruh stasiun yang ada di Jepang. Atau kalau lebih formal lagi, aku akan mengadakan konferensi pers di sini atau di gedung pengadilan dan membiarkan seluruh dunia mendengarkan, sementara Harry menceritakan kisahnya.” “Dan apa untungnya?” “Mungkin aku ingin dunia tahu bahwa Kanto telah mengeksekusi orang yang salah. Dan aku ingin mengatakan inilah pembunuh yang sebenarnya, dengarkan dia.” “Dan yang perlu kau ketahu adalah bahwa dunia tidak bisa menghentikan eksekusi itu. Hanya ada dua otoritas yang berwenang untuk menghentikannya, yaitu pengadilan dan Gubernur. Aku akan berhati-hati di sini, Eijun. Keadaan sudah semakin genting saat ini. Dan jika orang-orang melihat Harry di setiap televisi mereka dengan kisah-kisahnya, bisa-bisa tempat ini akan meledak.: “Toh tempat ini akan tetap meledak.” “Apa kau ingin terjadi perang antar ras?” “Jika mereka tetap membunuh Furuya, ya. Aku tidak keberatan apabila ada perang antar ras. Yang kecil-kecil saja.” “Ayolah, Eijun. Hingga saat ini kau masih bermain-main dengan bom. Berpikirlah strategis, bukan dengan emosional. Kemungkinan bisa saja Harry berdusta dalam hal ini. Ini tidak akan menjadi eksekusi pertama di mana seseorang berpura-pura menjadi pelakunya. Pers pasti tidak akan menahan diri ketika orang itu masuk televisi. Semua orang terlihat bodoh dan akan begitu murka.” Sementara Eijun sambil berjalan mondar-mandir, empat langkah di satu sisi, kemudian berbalik, dan empat langkah lagi di satu sisi yang lain. Kegelisahannya benar-benar serius, namun hebatnya di masih bisa berpikir jernih, sekalipun detik-detik semakin besar mengulurkan emosi. Dia menaruh ketertarikan besar terhadap Hakim Kojiro, dan Eijun cukup pintar untuk mengetahui bahwa dia memang sedang butuh nasihat pada saat itu.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD