Part 4

1677 Words
Setelah diberhentikan menjadi manajer William dengan alasan demi menjaga nama baik perusahaan seolah ia adalah kotoran di sini, Elsa kini menjadi manajer untuk seorang aktris muda yang baru memulai debut aktingnya tahun lalu. Elsa sebenarnya tidak masalah jika harus mengurus aktris atau aktor lain, tapi alasan Sean yang tidak ia sukai. Namun, meski tidak menyukai alasan itu, ia tetap tidak bisa berbuat apapun karena Sean adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan dia tidak akan mendengar penjelasan apapun setelah menanggapnya sebagai w************n.    Sejujurnya, Elsa tidak suka dicap sebagai w************n, tapi membuktikan bahwa dirinya bukan w************n juga tidak ada gunanya. Sean tidak akan percaya, sebab pria itu sepertinya hanya ingin melihat sisi buruk dalam dirinya.    Setelah memikirkan semua kata-kata William, Elsa menjadi berpikir mungkin memang ada saatnya di mana kita tidak harus membuktikan apapun tentang seperti apa kita sebenarnya. Tidak perlu membuang waktu dan tenaga untuk memberikan pembuktian pada seseorang yang bahkan tidak menganggap kehadiranmu. Semua ini sudah cukup melelahkan untuk Elsa, ia ingin berhenti, tapi langkahnya tertahan karena rasa utang budi.    Setelah jam kerjanya selesai, Elsa pergi ke rumah sakit tempat ibu mertuanya dirawat. Ibu dari Sean itu menderita kanker stadium akhir dan keadaannya terus memburuk akhir-akhir ini, jadi harus selalu berada dalam pengawasan dokter.    "Keadaannya semakin memburuk. Hal terburuk bisa terjadi kapan saja, jadi kuatkan dirimu dan lebih baik jika kau dan Sean sering menemaninya." Dokter Lim mengatakan ini pada Elsa. Elsa tahu hal terburuk apa yang dimaksud oleh pria berkaca mata itu.    Saat ini, Elsa duduk di sebelah ranjang ibu Sean yang bernama Yang Minji itu, sosok yang ia anggap sebagai malaikat karena telah memberikan banyak hal padanya. "Ibu," panggil Elsa yang berusaha menahan tangisannya. Ia tidak mengerti kenapa Tuhan menyiksa orang baik seperti ini.    Minji menoleh ke arah Elsa dan tersenyum padanya. "Kau datang, bagaimana dengan harimu? Dan, di mana Sean?" Minji bertanya dengan nada yang begitu lemah.    "Hariku baik-baik saja. Sean sebentar lagi pasti datang. Kami tidak datang bersama karena dia harus menemui rekan bisnisnya dan aku dari lokasi syuting." Elsa terpaksa berbohong karena tadi Sean mengatakan akan bertemu dengan Yuna dulu, baru datang ke rumah sakit. Hatinya terasa sangat sakit dan merasa bersalah karena harus berbohong pada orang yang sangat ia sayangi, tapi tidak ada pilihan lain.    "Kenapa kau menangis? Ibu baik-baik saja." Minji berusaha mengangkat tangannya untuk mengusap air mata Elsa, tapi karena kondisinya yang begitu lemah membuatnya sulit melakukan hal ini.    Elsa meraih tangan ibunya, lalu menciumnya, dan menggenggam erat tangan yang selalu memberikan kasih sayang padanya. "Ibu pasti sangat kesakitan dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk Ibu, padahal Ibu sudah melakukan banyak hal untukku. Maafkan aku, Ibu." Elsa menangis sembari menggenggam erat tangan sang ibu.   "Apa yang kau katakan? Kau sudah menjadi anak yang baik itu sudah cukup untuk ibu. Jika waktunya tiba, tolong jagalah Sean. Dia hanya terlihat dewasa, padahal sebenarnya tidak. Ibu hanya bisa mempercayakan dia padamu." Minji kembali bicara dengan nada lemahnya.   Entah bagaimana caranya menjaga seseorang yang bahkan tidak pernah mau bersama dirinya. Sean ingin berada dalam pelukan wanita lain, bukan dalam pelukannya. Fakta itu membuat Elsa lagi-lagi harus berbohong. Elsa menganggukkan kepalanya, seakan menyanggupi permintaan ibunya, padahal ia tahu tidak bisa melakukannya. Entah harus memberi berapa kebohongan lagi untuk menutupi semua keretakan dalam rumah tangganya.   Tidak lama setelahnya, Sean akhirnya datang. Di depan ibunya, Sean bersikap seperti seorang suami yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya. Nada bicaranya begitu manis bahkan ia juga memberikan usapan lembut di kepala Elsa. Percayalah, Sean merasa sangat muak saat harus melakukan ini, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Ibunya sudah sangat tersiksa karena penyakitnya dan Sean tidak mau semakin menyakiti ibunya dengan menunjukkan kebenaran dari pernikahannya.    Sean meraih tangan Elsa agar terlihat seolah itu adalah genggaman hangat yang penuh dengan cinta, padahal kenyataannya pria ini diam-diam sedang meremas tangan Elsa. Elsa merasakan rasa sakit itu, tapi bibirnya tetap menunjukkan senyuman seolah tidak ada yang salah dengan sikap Sean.  ••••   "Tadi, dokter mengatakan padaku kalau kemungkinan terburuk bisa terjadi kapan saja. Aku rasa kita harus ..." Elsa berhenti bicara karena Sean begitu fokus pada ponselnya.    Saat ini, sepasang suami istri ini sudah tidak lagi berada di ruang perawatan, melainkan di taman rumah sakit. Elsa ingin mengatakan sesuatu, tapi Sean selalu saja sibuk dengan ponselnya. Pasti Sean sibuk bertukar pesan dengan Yuna, itulah yang Elsa pikirkan saat ini.    "Apa kau mendengarkan aku bicara? Ini tentang Ibu!" Elsa meninggikan suaranya karena muak dengan sikap Sean yang seperti ini.    "Jangan pernah berani bicara dengan nada seperti itu padaku! Kau pikir, siapa dirimu?" dan Sean membalasnya dengan bentakan.   "Aku istrimu." Elsa dengan cepat menjawab pertanyaan Sean.    "Istriku dan kekasih orang lain," ucap Sean.    "Bahkan jika itu adalah benar, apa masalahnya denganmu?"   "Jika itu adalah benar? Itu memang benar. Aku tidak punya masalah apapun dengan itu, tapi aku hanya tidak mau jika orang lain mengetahuinya, lalu merusak segalanya. William ada di agensiku dan orang-orang tahu kau adalah istriku. Lalu, apa yang akan ...."   "Kau memiliki cermin di rumah. Apa kau tidak pernah menggunakannya?" Elsa menyela kalimat Sean dan jelas itu adalah sindiran untuk pria berusia 26 tahun itu.   Sean sadar bahwa ia sedang disindir dan Elsa sungguh tidak kenal takut karena menyindirnya. "Aku bisa menjaga apa yang seharusnya menjadi rahasia, tapi aku tidak yakin kau dan William bisa melakukannya."   "Aku juga bisa melakukannya, jadi kau tidak perlu khawatir. Aku memang orang asing tidak tahu malu yang masuk ke dalam keluargamu dan juga kehidupanmu, tapi aku tidak akan menghancurkan apapun demi kepentinganku sendiri." Elsa dengan cepat membalas ucapan Sean.    "Sekarang, mari fokus pada Ibu. Mari luangkan lebih banyak waktu untuk bersamanya," ucap Elsa lagi, kemudian pergi meninggalkan Sean.    Sean masih diam di tempatnya dan menatap Elsa yang pergi meninggalkannya. Sean sungguh tidak mengerti kenapa ia harus terjebak dalam pernikahan ini. Melihat orang asing masuk ke dalam keluarganya saja sudah menyebalkan, lalu ditambah ia harus menikah dengannya, dengan wanita yang tidak pernah ia cintai.  ••••   Masih di rumah sakit yang sama, seorang pria yang memakai hoodie berwarna hitam, memakai topi dengan warna yang sama, dan memakai masker tengah berjalan dengan kepala yang sedikit tertunduk karena ia harus menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang lain. Karena berjalan tertunduk membuatnya tidak sengaja menabrak seorang wanita.    "El ... maafkan saya," ucap pria ini, lalu pergi dengan langkah yang cepat.   "Kenapa suaranya terdengar tidak asing?" dan wanita bernama Elsa ini bergumam. Sungguh, Elsa merasa tidak asing dengan suara orang tadi, tapi ia hanya mendengar beberapa kalimat saja, jadi tidak begitu jelas hingga bisa ditebak.    Pria yang menabrak Elsa adalah William yang datang ke rumah sakit ini untuk bertemu dengan seseorang. Tadi, ia hampir saja menyapa Elsa karena lupa sedang menyamar. "Kenapa dia ada di rumah sakit? Apa dia sakit? Atau menjenguk seseorang?" dan William yang saat ini ada di dalam lift baru saja bergumam.   William berharap Elsa baik-baik saja dan datang ke rumah sakit hanya untuk menjenguk seseorang, entah teman atau hanya kenalannya saja. Beberapa saat setelahnya, pintu lift terbuka dan William langsung keluar, lalu pergi ke sebuah ruang perawatan.  Setelah menutup pintu, William langsung melepas topi dan juga maskernya, lalu seorang anak perempuan berusia 6 tahun langsung memanggilnya dengan sebutan ayah. Anak perempuan itu terlihat sangat bahagia dan kini memeluk William dengan sangat erat.    "Di mana Yuna?" seorang pria berusia 32 tahun yang sejak tadi ada di ruangan itu bertanya pada Wiliam.   "Entahlah, dia tidak mengabariku. Mungkin masih dalam perjalanan," jawab William dengan nada tidak yakin. William tidak yakin apakah Yuna akan datang atau tidak, tapi ia harap wanita itu akan datang karena malaikat kecilnya sangat merindukan ibunya.    Pria bernama Juna itu terlihat menghela napas. Ia memahami kalau adiknya itu sangat menyukai dunia modeling, tapi itu tidak diimbangi dengan waktunya untuk Lily. Bahkan sejak Lily kembali masuk rumah sakit 3 hari yang lalu, Yuna belum sekalipun datang untuk melihat kondisi Lily.    "Aku akan keluar sebentar," ucap Juna, kemudian keluar dari ruangan itu.    "Ibu pasti datang, kan? Aku sangat merindukan Ibu." Lily bicara dengan nada sedihnya.    William mengusap rambut Lily dengan sangat lembut dan tersenyum pada putri kecilnya. "Tentu saja. Ibumu pasti datang."   "Waktu itu, Ayah juga mengatakan hal yang sama, tapi Ibu tidak datang juga."    Senyuman William seketika hilang setelah mendengar ucapan Lily. Ya, tanpa sadar ia telah banyak berbohong pada putrinya sendiri. "Kali ini, ibumu pasti datang. Ayah yakin." Satu kebohongan lagi karena entah Yuna akan datang atau tidak, ia tidak tahu. Wanita itu tidak menjawab telepon atau membalas pesannya. Entah dia masih bekerja atau sedang bersama Sean.    "Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?" William bertanya pada Lily yang harus bolak balik rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Awalnya, William kira kesehatan putrinya bisa pulih secara perlahan, tapi pengobatan tidak berjalan dengan baik, bahkan dokter mengatakan jika terus seperti ini, maka Lily perlu transplantasi jantung, tapi tentu tidaklah mudah untuk menemukan donor yang sesuai.    "Kadang, aku masih merasa sakit. Apa aku akan baik-baik saja?" Lily menatap lekat kedua mata ayahnya.    "Tentu saja. Putri ayah akan baik-baik saja." William membawa Lily ke dalam pelukannya.   "Kau akan kembali bersekolah dan bisa bermain dengan teman-temanmu," ucap William.   "Lalu, apa Ayah dan Ibu akan ke sekolah agar teman-temanku percaya kalau kalian adalah orang tuaku? Mereka selalu saja mengatakan aku berbohong saat aku mengatakan siapa orang tuaku."    Air mata William akhirnya jatuh di pipinya setelah mendengar ucapan putrinya. Lily masih belum benar-benar memahami apa yang terjadi saat ini dan William berharap ia tidak akan dibenci jika di masa depan Lily salah memahami semua ini. William bukan tidak ingin mengumumkan ke seluruh dunia bahwa ia memiliki seorang anak, tapi ia belum bisa melakukan itu.    Di sisi lain, Yuna baru saja tiba di rumah sakit untuk melihat keadaan Lily. Sebenarnya, ia agak malas datang ke rumah sakit karena bukan tidak mungkin orang lain akan menangkap basah dirinya, lalu karirnya akan hancur. Namun, ia terus diminta datang oleh William dan Juna. Yuna lelah diteror lewat pesan dan telepon, jadi ia memutuskan untuk datang.    Yuna turun dari mobil sembari memakai topi dan juga masker agar tidak ada orang yang mengenalinya. Namun, sebuah suara membuatnya sangat terkejut. "Yuna?" saat Yuna menoleh ternyata yang memanggilnya adalah Sean. Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD