35. Tugas Pertama

1166 Words
Hari beranjak semakin sore, padahal siang tadi Elin sudah melalui jalan ini untuk kembali ke rumah. Tapi ia tertangkap basah oleh Mama Iki dalam perjalanan dan dibawa pulang ke rumah Iki bersamanya. Apa memang ini ikatan Elin dan Iki yang mengarahkan mereka pada takdir, karena terlalu banyak kebetulan yang terjadi hingga Elin merasa bosan kini. “Kau cukup turunkan aku di sini saja.” Pinta Elin ketika mobil yang mengantarnya mulai memasuki jalan umum. “Kau yakin? Di sini?” Iki tahu rumah Elin masih jauh dari kata sampai karena tempat ini baru saja keluar dari lingkungan perumahan Iki tinggal. “Lakukan saja seperti apa yang kukatakan.” Elin malas menjelaskan lagi pada Iki entah untuk keberapa kali sudah. Iki menurut saja apa yang Elin katakan. “Jika itu keinginanmu...” Elin bersiap keluar mobil. “Lalu besok kamu juga bisa jemput aku di tempat yang sama, di sini.” Iki menatap Elin yang selama masuk ke mobil bersamanya tidak sekali pun memandang wajahnya. “Waktunya? Kau tidak akan memintaku menunggu sepanjang pagi buta ‘kan?” Elin membuka pintu mobil beranjak turun. “Waktunya... 06.35 pagi.” Ini waktu yang biasa Elin tiba di perumahan lalu mulai berjalan sampai ke sekolah. “Ah! Bukan, 06.50 pagi aku rasa cukup.” “Baiklah, karena kau sendiri yang menginginkan sampai di sini. Jangan limpahkan kesalahan padaku nanti!” Iki memberi peringatan keras. Tanpa merespon Elin menatap Iki dengan ekspresi datar lalu menutup pintu dan pergi. Ya apa yang Elin harapkan, Iki bersikap baik dan lembut padanya hanya pernah terjadi sekali dan itu pun untuk menjaga image-nya. Iki dan Elin berpisah di sana tanpa saling bertukar kata perpisahan. Peraturan antar-jemput ini hanya semakin membuat situasi di antara keduanya semakin canggung dan menjadi beban. Iki menunggu sampai Elin sepenuhnya pergi dari pandangan, gadis itu menyetop angkutan umum dengan jalur trayek ke arah rumahnya. Walau Iki berpikir tugas antar-jemput ini bisa menjadi tindak pencegahan pada pergerakan Tommy yang belum bisa Iki perkirakan. Untuk memastikan lagi dan semua tetap dalam kendali Iki harus mulai bergerak juga sebelum terlambat. “Halo Ra, kalian di mana?” Iki menghubungi anak club motor. Cakra dan yang lain sekarang pasti sedang berkumpul di suatu tempat. “Aku ke sana sekarang, ada yang ingin kubicarakan padamu.” Setelah mendapat kepastian lokasi club motor berada, Iki pulang ke rumah untuk pergi bertemu Cakra menggunakan motornya karena dengan itu akan lebih cepat sampai. Jaenne hanya melarang Iki menggunakan motor ke sekolah, bukan memintanya berhenti total menggunakan motor. Tempat biasa club motor Iki berkumpul adalah bike shop yang terletak tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Di tempat itu club motor betah berlama-lama menghabiskan waktu mereka menyalurkan hobi dan ketertarikan pada motor. Cakra seperti sudah menunggu kedatangan Iki, karena begitu ia sampai Cakra langsung menyambut Iki. Mungkin karena mereka sudah cukup lama tidak datang berkumpul bersama. Pertama karena persiapan ujian lalu kedua karena kasus yang terjadi pada Iki di tengah ujian. “Hei, ada apa dengan raut wajahmu itu?” Cakra tahu ada yang mengganggu pikiran Iki, meski mereka terbilang baru dekat beberapa tahun belakangan ini tapi Cakra sudah hafal wataknya. “Aku akan katakan langsung saja padamu.” Kata Iki cukup serius. “Aku ingin minta bantuanmu untuk mengawasi Tommy dan teman-temannya.” “Tommy?” Cakra tidak mengira nama itu muncul. “Ah, apa ini karena apa yang terjadi pada Dean?” Cakra tidak mendapat respon. “Baiklah, aku akan bicara pada yang lain.” Cakra menepuk pundak Iki. Tidak ada yang bisa memaksa Iki untuk bercerita jika memang dia tidak berniat membuka mulutnya. *** Wildan lebih banyak menghabiskan waktu mengunci diri di dalam ruangan seperti perpustakaan, ruang OSIS, dalam kamar di rumahnya. Teruma jika di sekolah, Wildan ingin meminimalisir sedikit mungkin pergerakannya. Ada satu alasan kuat, ia menghindari keberadaan atau bertatap muka dengan satu sosok yang paling di bencinya di sekolah saat ini. Alex, guru mata pelajaran matematika. “Sampai kapan kau mau terus absen dari kelas yang kuajar?” Alex menghadang perjalanan Wildan. Sayangnya siang itu di tengah berlangsungnya kelas meeting Wildan baru saja kembali dari ruang guru, menyerahkan laporan OSIS. “Saat semester baru dimulai nanti kembali hadir di kelasku. Jika tidak, aku tidak punya pilihan selain mengadukanmu pada tante Sofia atau ayahmu.” Sudah cukup kesabaran Alex mentoleransi perilaku Wildan selama ini. Wildan sudah lama mangkir dari kelas matematika yang Alex ajar. Setiap kali pada jadwal pelajarannya, kursi Wildan di kelas selalu kosong. Padahal dalam seminggu jadwal mata pelajaran matematika bisa ditemukan tiga kali, sama dengan artinya Wildan bolos kelas tiga waktu dalam sepekan, 12 kali dalam sebulan. Tangan Wildan mengepal menahan amarah, Alex mendesaknya dengan ancaman akan melapor pada orang tuanya. Cara yang picik, pikir Wildan. “Aku tidak bisa menghadiri kelas seorang pengkhianat.” Hal ini yang ingin Wildan hindari, terpancing emosi karena berhadapan dengan orang yang dibencinya. “Jika itu orang lain aku tidak ambil peduli, tapi kau! Kau yang melakukan itu satu tahun lalu!” Geram Wildan. Alex masih memiliki hubungan saudara dengan Wildan, sepupu dari pihak Ibu. Dulu sekali saat Alex masih baru diangkat menjadi guru, ia merupakan orang paling Wildan percaya di sekolah. Sosok kakak sepupu yang bisa Wildan andalkan kapan pun baik dalam kehidupan sekolah, pelajaran atau keseharian nakalnya. Wildan percaya Alex selalu berada di pihaknya, tapi satu tahun lalu kepercayaan itu hancur dan menjauhkan hubungan baik keduanya. “Apa ini masih tentang siswa baru itu?” Alex melepas kacamatanya, merasa penat Wildan membahas hal yang sama setahun terakhir ini. Alex percaya permasalahan di antara mereka hanya kesalahpahaman, tapi tidak demikian dengan yang Wildan yakini. “Sampai kapan kau mau menganggapnya siswa baru, bahkan setelah ia pergi sekarang?!” Bagi empat sekawan keberadan Alpha dan kehadirannya sejak tingkat masa SMP mereka, tidak bisa terganti oleh siapa pun hingga kini. Alpha bukan lagi sekedar anak baru bagi empat sekawan. “Jika sikapmu sekarang padaku ini adalah karena puber, aku bisa mengerti. Tapi kehadiran siswa di kelas masalah berbeda, itu mencakup nilai kedisiplinanmu di sekolah.” Karena untuk nilai akademik, meski Wildan tidak pernah ikut pelajaran matematika hasil nilai ujiannya tetap yang terbaik. “Jangan sekali pun kamu berpikir karena kau anak dari dewan sekolah maka bisa berbuat sesukamu.” Alex sesunguhnya tidak ingin menggunakan cara mengungkit latar belakang Wildan untuk memojokkannya. Tapi ini sudah kesekian kali ia membujuk Wildan setelah cara apa pun tidak berhasil, jalan terakhir yang Alex pilih dengan ancaman dan intimidasi. “Nilai aku seperti apa pun yang kau ingin, dan aku akan tetap berbuat seperti apa yang kuinginkan.” Wildan percaya kasus Alpha dikeluarkan dari sekolah, Alex mengetahui kebenaran kasus tersebut dan turut andil dalam pengambilan keputusan pihak sekolah. “Selama kau masih belum bisa menjelaskan dan membuktikan dirimu tidak terlibat, aku menolak untuk diajar oleh guru sepertimu.” “Wil! William!!” Panggil Alex, masih ada hal yang ingin disampaikan namun Wildan pergi tidak menghiraukannya. Sejak kapan anak itu tumbuh besar sampai bisa melawan perintahnya, Alex merasa getir karena jarak ini membuatnya melewatkan banyak momen bersama yang seharusnya bisa mereka bagi seperti dulu.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD