34. Tamu Di Rumah

1236 Words
Di rumah sebesar ini tidak banyak orang terlihat seperti malam kemarin, Jeanne bersama beberapa pekerja di rumah. Alasannya mungkin karena pagi hingga sore hari Iki dan Athur berada di luar rumah dengan aktivitas masing-masing. “Ayo masuk sayang... Jangan sungkan. Ini rumahmu juga.” Ajak Jeanne pada Elin. Wajah ceria dan senang Jeanne terlalu sulit untuk Elin menolak ajakannya. “Di waktu seperti ini Om masih ada di kantor dan Iki mungkin masih asik main dengan teman-temannya.” Jeanne membawa Elin ke ruang santai. “Ah, kamu sudah makan siang?” “Eh, sudah kok Tante di sekolah.” Jawab Elin kikuk. “Kalau begitu teh dan cemilan ringan saja ya,” Jeanne menawarkan suguhan pada Elin. “Kamu santai saja di sini, oke sayang... Tante segera kembali.” “Tapi Tante jangan repot-repot...” Sayangnya Jeanne terlalu cepat berlalu meninggalkan Elin hingga mungkin tidak mendengarnya. Lalu saat Elin sendiri menunggu, Iki baru saja pulang ke rumah. Hal pertama yang Iki lakukan begitu melihat sosok Elin di rumahnya adalah tengok kiri-kanan melihat sekitar. Merasa aneh karena hanya ada Elin di ruang santai rumahnya. Mencoba mencari tahu apa yang terjadi, pikirnya tidak mungkin tiba-tiba Elin ada di sana tanpa alasan bukan. “Kau!” Teriak Iki pada Elin. Elin sendiri merasa situasi ini konyol, baru tadi pagi ia mengatakan pada Iki untuk jangan lagi bicara dan mencarinya di sekolah. Tapi saat ini ia duduk di ruang santai rumah Iki. Jika bisa Elin hanya meminta satu hal dalam situasi ini, untuk Iki mengabaikan keberadaannya. “Sedang apa kau di sini?” Tanya Iki galak dengan suara lebih rendah. “Kau bisa mengabaikan keberadaanku dan melanjutkan aktivitasmu seperti biasa.” Kabar Elin pada Iki. Elin sungguh berharap pemuda itu melakukan seperti apa yang diucapkannya. Tapi sayangnya tidak. “Oh Iki, kamu sudah pulang? Mama ajak Elin main ke rumah saat tadi kami bertemu di jalan. Bukan begitu sayang...” Jeanne kembali sudah berganti pakaian yang lebih santai dari yang ia kenakan sebelumnya terlihat formal. Sementara Elin tersenyum kaku dan mengangguk canggung mendengar panggilan sayang untuknya di akhir kalimat Jeanne. Iki melayangkan tatapan keberatan atas kehadiran Elin, yang dapat langsung Elin pahami sebagai bentuk tidak senang padanya. Namun apa boleh buat Elin berada di posisi yang tidak bisa menolak. “Nak, ayo duduk.” Pinta Jeanne pada putranya. Iki menolak, mencari alasan. “Tidak Ma Iki baru pulang dan sedikit capek, lebih baik Iki di dalam kamar saja istirahat.” “Duduk sebentar saja bersama Mama dan Elin. Ada yang ingin Mama sampaikan.” Kata Jeanne lagi masih mencoba sabar. “Tapi Ma―” Sangkal Iki yang tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena takut. Jeanne menatap Iki dengan serius. “Iki, Mama tidak pernah mengajarkan sikap tanpa santun begitu.” Tanpa banyak sanggahan lagi Iki langsung duduk bersama mereka. Teh yang disiapkan pekerja rumah tangga keluarga Iki datang, teh yang sedari awal memang hanya untuk dua orang disuguhkan bersama makanan pendamping. “Kamu suka chamomile tea? Ini bagus untuk tubuh dan relaksasi.” Jeanne menjelaskan khusus untuk Elin. Sekilas dibacanya raut wajah putra semata wayangnya itu sudah dalam kondisi suasana hati buruk. Jeanne tidak bisa mengulur waktu. “Yang ingin Mama katakan padamu Ki,” Jeanne menyesap tehnya sebelum melanjutkan bicara. “Mulai besok kamu dan Elin akan berangkat sekolah bersama. Begitu juga ketika pulang.” Mandat Jeanne tiba-tiba. “Apa Ma?!” Iki merasa telah salah dengar. “Kamu mulai besok harus antar-jemput Elin ke sekolah.” Jeanne menambahkan kata harus kali ini. Melihat reaksi Iki yang berlebihan, Jeanne yakin putranya akan menolak keras. “Apa Mama kira kami ini anak TK, pakai anter-jemput segala?” Protes Iki masih dalam hati. Elin yang mendengar ucapakan Jeanne sama terkejutnya. “Apa ini yang Tante pikirkan saat di mobil tadi.” “Mama berlebihan. Elin sudah besar, dia bisa pergi ke sekolah sendiri.” Ini peraturan paling konyol yang pernah Iki dengar di usianya 16 tahun ini. “Benar Tante, tidak perlu sampai seperti itu.” Elin jadi merasa tidak enak. “Tante sudah putuskan sayang... Kamu ikuti saja perkataan Tante ya.” Belai sayang Jeanne pada Elin. “Lalu Iki, ini bukan permasalahan Elin bisa pergi sendiri atau tidak. Kamu pikir Mama tidak tahu itu.” Kata Jeanne mulai marah pada Iki. “Tapi ‘kan Ma, aku ke sekolah pakai motor.” Iki tahu mamanya pasti tidak akan membiarkan Elin naik motor, berharap alasan ini bisa mengecualikannya. “Kamu dan Elin bisa pulang dan pergi sekolah menggunakan mobil Mama, nanti pak Tewo yang Mama tugaskan. Mengerti Ki?” Sudah dikatakan Jaenne merencanakan ini dan semua pastinya sudah diperhitungkan termasuk jalan pikiran Iki yang mencari alasan. Iki masih bersikeras menolak. “Kalau begitu kenapa tidak Elin saja yang diantar-jemput dan aku tetap naik motorku.” “Tinggalkan motormu itu, sejak awal Mama tidak pernah setuju kamu naik motor. Tidak ada tawar-menawar! Mulai besok kalian berangkat sekolah bersama.” Perintah Jaenne lebih keras dalam sikapnya kali ini. “Tapi...” Tatapan tajam Jeanne padanya membuat Iki menyerah. Jika keputusan Mama sudah final, Iki hanya dapat menerima. “Baiklah, aku mengerti.” Mungkin ini juga pertanda jawaban untuk permasalahan Iki tentang peringatan Wildan di sekolah. “Kalau begitu sudah jelas ya!” Ucap Jeanne dengan suasana hati senang. *** Iki dan Elin sengaja mengambil waktu untuk bicara empat mata di halaman. Dalam pandangan Jeanne saat mereka meminta waktu bicara berdua, sama artinya dengan mereka berdua cukup dekat hingga bisa saling berbagi rahasia, bukan begitu. Secara senang hati Jeanne undur diri untuk memberi waktu anak muda cengkrama. “Kenapa kamu dengan mudah menerima perkataan Tante?” Protes Elin menatap Iki dengan kesal. Iki tidak ingin kalah, baginya Elin lebih buruk lagi. “Lalu kau sendiri kenapa hanya terdiam di sana? Nervous berhadapan dengan calon mertua?” Elin meninju Iki di bagian perut, benar-benar marah sampai tidak tahan untuk memukul. “Jika kau ada di posisiku, mengalami situasi yang sama berurusan dengan Ibuku, apa kamu bisa membantah? Berani menolak ucapan seseorang yang ingin kau beri kesan baik.” Pukulan Elin tak sampai sekeras itu untuk memberi efek pada tubuh Iki yang kekar dengan otot, hasil dari olahraga. “Kau bicara apa, ucapanmu sulit kumengerti.” Maklumi saja mungkin karena emosional Elin yang meluap hingga pemilihan katanya kurang tepat dalam mengekspresikan ketidaksetujuannya. “Aku tidak mengerti kenapa Mama tiba-tiba ingin aku mengantar-jemputmu ke sekolah?!” Dari mana topik itu bisa muncul dan terpikirkan oleh Jeanne, itu yang Iki pertanyakan. Peraturan antar-jemput tiba-tiba diberlakukan, itu karena alasan Elin yang selalu pulang dan pergi berjalan kaki untuk mencapai sekolah. Tapi Elin tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya pada Iki, bila ia tahu situasi Elin maka akan lebih buruk dan memalukan bagi Elin. “Untuk antar-jemput itu, turunkan saja aku di jalan depan perumahan. Aku akan menggunakan tranportasi umum sampai ke rumah seperti biasa.” Kata Elin mencoba memberi penjelasan pada Iki tentang rencananya. “Maksudmu?” Iki lagi-lagi gagal memahami bahasa Elin. “Yang aku maksudkan itu, kau cukup mengantar dan jemput aku di depan jalan masuk perumahan ini. Jangan buang waktumu untuk pulang-pergi ke rumahku lalu kembali lagi ke sini, itu maksudku!” Entah harus dengan penggunaan kata seperti apa lagi agar Iki mengerti apa yang Elin maksudkan. Atau jika Iki tidak mengerti juga Elin hanya perlu menunjukkan maksudnya, mungkin itu lebih cepat untuk dipahami. Karena sepertinya tugas antar-jemput yang harus Iki lakukan itu bukan dimulai esok hari tapi sore ini juga, mengantar Elin pulang ke rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD