Bila kembali ke rumah biasanya ibu masih berada di toko, tapi hari ini ibu pulang lebih dulu sebelum Elin sampai di rumah. Bahkan pekerjaan rumah yang terlantar karena Elin selalu menunda-nunda kerjakan sudah ibu bereskan, membuat Elin merasa bersalah.
“Kamu sudah pulang? Bagaimana sekolah?” Ucap ibu menyambut kedatangan putri semata wayangnya dengan senyuman hangat.
“Baik Bu. Semua baik-baik saja...”
“Tapi,” Ibu mendekat ingin mengamati wajah Elin lebih jelas. “Kamu terlihat sangat lelah Nak...” Cemas ibu.
Elin tidak pernah bicarakan pada ibu bahwa untuk mencapai sekolah ia harus berjalan saat pergi dan pulang sebelum menggunakan transportasi umum. “Tidak apa Bu, sungguh! Hanya belakangan ini aku memang sedikit berolahraga saja agar lebih bugar. Hehe...”
“Kalau begitu kamu pasti merasa lapar, kita makan bersama yaa... Ibu membeli beberapa makanan kesukaanmu.” Di atas meja sudah ada bungkusan makanan yang tinggal ibu hangatkan untuk Elin.
“Ibu memang yang terbaik!” Semangat Elin langsung terisi penuh mendengar makanan kesukaannya.
Ibu membelai lembut rambut Elin, memperhatikan setiap detail bagian wajah Elin. “Lekas ganti pakaian, lalu kita makan bersama. Ibu juga tidak sabar ingin mendengar cerita di sekolahmu.”
Elin menelan ludah, memaksakan senyuman. Ia harus pandai mengemas cerita kesehariannya di sekolah agar ibu tidak merasa cemas. Di dalam kamar saat berganti pakaian Elin berpikir keras mencari hal baik tentang sekolahnya, atau kejadian yang bisa dibagi cerita pada ibu dan membuat ibu senang saat mendengarnya. Ibu memang memiliki aturan atau kebiasaan untuk selalu menjaga komunikasi dalam keluarga terutama setelah mereka hanya tinggal berdua saja.
“Bu,” Panggil Elin.
“Oh El, tunggu. Ibu sedang hangatkan makanannya sebenar.” Ibu berdiri membelakangi Elin. Melihat punggung ibu, Elin teringat hari-hari lalu. Kenangan di mana setiap hari yang mereka lalui selalu ceria dan bersinar bersama sosok ayah. Elin sangat merindukan hari-hari itu.
Ibu dan Elin hanya tinggal berdua sejak ayah Elin jatuh sakit dan meninggal dua tahun lalu. Bisnis ayah jatuh, mereka harus meninggalkan rumah lama dan menutup beberapa usaha. Ibu sampai menjual aset peninggalan ayah hingga ia bisa memulai usaha baru. Dengan kata lain keluarga Elin bangkrut atau jatuh miskin meski tidak sampai menjadi gelandangan. Syukurnya hutang perusahaan bisa selesai dan ibu mendapat bantuan relasi lama maka mereka bisa memulai hidup baru di tempat ini. Sebatas itu yang Elin ketahui. Kenapa Elin bisa masuk ke sekolah elite ibu tidak pernah menceritakan secara jelas. Bisa tetap bersekolah bagi Elin patut ia syukuri, tidak ada tempat dan waktu untuk berkeluh kesah.
“Ini dia...” Santapan hangat mulai mengisi meja makan. Ibu bergabung dengan Elin di meja makan setelah semua makanan sudah siap.
“Ibu...” Entah kenapa tiba-tiba Elin merasa emosional, ingin menangis. Tapi Elin tidak pernah bisa menangis jujur di hadapan ibu, ia tidak ingin ibu sedih dan membuat hati ibu hancur. Kepergian ayah, bukan hanya Elin yang merasa kehilangan. Pasti ibu melalui kesulitan yang jauh lebih berat dari Elin.
Ibu menggenggam tangan putrinya. “El, ada apa? Kenapa kamu hanya memanggil tapi tidak menyelesaikan ucapanmu?”
Karena Elin sendiri tidak tahu pasti apa yang ingin dia katakan, ia hanya merasa ingin memanggil ibu. “Aku hanya ingin memanggil Ibu dan memastikan Ibu tidak kelelahan karena bekerja.”
“Ibu baik-baik saja sayang... Rencana pembukaan toko berjalan lancar dan sesuai jadwal. Weekend nanti kita sudah bisa mulai usaha.”
“Weekend?” Jika acaranya weekend Elin tidak harus bolos sekolah.
“Iya, kamu bisa datang. Ajak temanmu juga.” Kata ibu antusias ingin bertemu teman sekolah baru Elin.
“Teman?” Batin Elin. Sampai saat ini belum ada seseorang yang bisa ia sebut sebagai teman di sekolah. Elin hanya bisa memasang senyuman palsu mendengar permintaan ibu.
“Lalu, bagaimana sekolah? Ada kejadian seru?” Tanya ibu memulai sesi quality time ibu dan anak.
“Ah, Ibu tahu sekolah baruku punya kantin sekolah yang super mewah dan makanannya lezat sekelas hotel berbintang...” Dan seterusnya Elin mulai bercerita hal-hal menarik yang ia temui di sekolah seputar fasilitas, gedung tapi tidak dengan orang-orang yang ia temui di sana.
***
Di acara Grand Opening ibu sibuk menyambut para tamu undangan juga calon pelanggan baru mereka. Tapi secara khusus hari itu ibu menunggu satu tamu undangan yang kedatangannya paling ibu nantikan. Ya, tamu itu memang spesial karena bisa dikatakan berkat bantuan orang tersebut juga ibu dan Elin bisa memulai hidup baru di kota ini dan bisa membuka usaha mereka tanpa kendala. Sebuah mobil mewah meluncur mulus kemudian berhenti tepat di depan toko. Kedua sisi pintu mobil bagian penumpang terbuka, turun dari sana seorang wanita dengan busana elegan khusus rancangan designer ternama tampak anggun ketika berjalan. Dari sisi yang lain seorang pemuda rupawan dengan kemeja warna dasar putih motif garis-garis berwarna pink memberi kesan rapih dan elegan, berjalan mengikuti langkah wanita yang turun bersamanya. Tidak luput juga bunga di tangannya.
“Jeann! Akhirnya kamu sampai...” Sambut ibu Elin penuh semangat dan wajah berseri.
Wanita yang dipanggil dengan nama asli Jeanne menerima sambutan hangat dan membalasnya dengan kecupan di pipi. “Aduuh maaf Bel, aku sedikit terlambat ya...”
“Tidak apa-tidak apa, yang terpenting kita bertemu sekarang.” Ibu Elin yang bernama asli Belinda merasa senang mendengar namanya dipanggil setelah sekian lama.
“Oh ya! Ayo kenalkan, ini Ikizhi putra semata wayangku...” Jean dengan penuh kebanggaan dan cinta memperkenalkan pemuda rupawan yang mendampinginya sejak turun dari mobil.
Nada suara Belinda kembali antusias. “Wuahh Iki sudah besar yaa...”
“Selamat siang Tante... Selamat untuk pembukaan tokonya.” Iki menyerahkan rangkaian bunga yang dipersiapkannya sebagai hadiah.
“Terima kasih... Indah sekali bunganya!” Rasa senang Belinda bertambah menjadi kebahagiaan setelah menerima rangkaian bunga yang tidak terbayang sebelumnya. Karena bunga menjadi barang langka, sudah lama tidak ia dapatkan sejak ayah Elin tiada. “Oh, ayo masuk! Kita bicara di dalam lebih nyaman, ayo...”
“Iya-iya... Tapi Belinda, di mana anak gadismu aku ingin bertemu!” Tanya Jean tidak sabar.
“Dia belum sampai, mungkin masih diperjalanan.” Andai Elin hadir tepat waktu dan berada di toko saat ini maka hari Belinda akan terasa sempurna.
“Oohh, kudengar dia bersekolah di SOPA benar? Iki juga sekolah di sana.” Bahkan bagi Jean sendiri, SOPA mendapat siswa pindahan adalah hal yang menarik karena jarang terjadi.
“Iya, keputusan akhirnya memang disatu-sekolahkan dan aku mengikuti saja.” Kata Belinda yang memang dasarnya ia tidak ikut mengurus masalah kepindahan sekolah Elin.
Sebelum menemukan tempat nyaman yang dimaksudkan di dalam toko, kedua ibu-ibu itu sudah mulai seru bertukar kabar. Peran Iki hanya menjadi pendengar kedua wanita yang terlihat akrab seperti teman lama itu. Tapi tidak menaruh perhatian atau penasaran dengan isi pembicaraan keduanya. Relasi orang tua Iki yang berlatar belakang pengusaha besar sudah membuat Iki tidak tertarik lagi atau terlalu lelah untuk menghafal mereka satu per satu. Attitude ramah-tamah, memberi kesan akrab seperti membawa rangkaian bunga contohnya, adalah didikan keluarga yang ditanamkan sejak ia masih TK. Datang ke acara Grand Opening ini juga karena ajakan mama yang beralasan papa tidak bisa datang menemani maka digantikan keberadaan Iki. Anak semata wayang itu tidak banyak bertanya hanya menurut dan tetap diam, berpikir ini hanyalah salah satu agenda orang tuanya memperluas hubungan bisnis mereka.