Masih diakhir istirahat siang, kantin sekolah. Pandangan mata Iki menatap tajam menyapu setiap siswa yang masih berdiri diam di dalam kantin. Dalam sekejap kerumunan itu membubarkan diri hanya dari isyarat mata Iki, kembali ke kelas masing-masing. Tidak luput Elin juga mendapat sorotan mata yang sama. Elin memang sempat bimbang antara tetap tinggal atau pergi seolah tak melihat apa pun. Tapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dan apa yang Iki lakukan pada anak itu jika Elin meninggalkannya.
Tatapan mata Iki masih mengawasi Elin. Cakra tampak sibuk mengintimidasi anak yang berbuat kesalahan kecil dan itu juga tidak disengaja. Mahdi dapat menangkap ketertarikan Iki yang tidak melepas pandangannya pada wajah baru itu. “Anak pindahan yang baru masuk itu, Evelin namanya.” Ucap Mahdi pada Iki.
“Aku tidak bertanya namanya. Tapi kenapa dengan tatapannya padaku itu, apa dia sengaja mencari masalah?” Iki merasa terprovokasi. Hanya dengan isyarat tangan pada Cakra, teman-teman geng membawa anak malang itu pergi menghilang dari kantin bersama Cakra.
Memang benar Elin menatap Iki dengan tatapan benci dan amarah. Jelas terpancar dari sorot matanya, Elin tidak bisa membiarkan perbuatan Iki dan teman-temannya. Menindas yang lebih lemah secara berkelompok, itu sama dengan bully. Di kejauhan seseorang mengamati situasi, mencari timing yang tepat untuk muncul. Bukan ingin tampil dengan dramatis tapi ia membaca situasi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rencana awalnya ingin memberi kejutan gagal total karena keadaan di luar kendali.
Iki menghampiri Elin. Meski jarak mereka cukup dekat tapi tidak ada yang memulai pembicaraan. Selama hitungan detik hanya kontes menatap bola mata terjadi tanpa suara. “Sebaiknya kau pergi jika tidak ingin terlibat masalah.” Ucap Iki dengan suara rendah.
Elin tidak yakin nanti ia akan menyesali perbuatannya ini atau tidak, yang pasti saat ini ia tidak ingin mundur. “Jika aku menolak?”
“Coba saja. Akan kubuat kau menyesal.” Gertak Iki sangat serius.
“Kau yang akan menyesal jika sekali lagi aku melihat kau dan teman-temanmu itu sok berkuasa.” Sekarang Elin mengerti bahwa Iki tipe anak yang merasa perbuatan merugikan orang lain bukanlah kesalahannya.
“Oh ya?! Apa yang akan kau perbuat? Mengadu?” Iki balik memprovokasi. Muncul senyuman sinis, Iki terlihat percaya diri.
Elin tidak sedikit pun berniat mundur dari adu mulut ini. “Penasaran? Coba saja kalau kau berani.”
Iki tertawa merasa konyol, apa Elin sungguh berpikir Iki akan mundur karena ancamannya. “Sebaiknya kau belajar tentang posisimu sebelum mencampuri urusan orang lain.”
Elin tidak ingin kalah. “Apa yang membuatmu berpikir kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan sesuka hati? Uang orang tuamu?”
“Kau! Katakan sekali lagi?” Iki mempersempit jarak, melangkah maju semakin mendekat ke arah Elin. Mahdi sudah siaga mencegah Iki melawan wanita tapi ia kalah cepat dari orang lain.
“IKI, my best friend!!” Teriak Riga saat berlari kepelukan Iki, tidak lebih tepatnya memaksakan pelukan pada Iki. “Aku rindu! Mana yang lain? Kenapa susah sekali aku menemukan kalian.”
“Kau!?” Iki sangat terkejut dengan kemunculan Riga. “Kapan datang? Kau sudah kembali?” Iki melepas pelukan Riga untuk menatap wajah teman lamanya itu.
“Yup! I am baaack. So, give me hug more longer please...” Riga berusaha kembali dalam pelukan Iki tapi kali ini ditolak sekuat tenaga olehnya.
“No-no, stop it!” Bentak Iki.
Di saat ini wajah Iki yang lebih menunjukkan berbagai ekpresi bukan hanya ekpresi masam atau dingin yang biasa dipasangnya membuat Elin tercengang menyaksikan dari samping. Tampaknya surprise yang dilakukan Riga tentang kepulangannya tidak sepenuhnya gagal.
Riga memberi isyarat pada Mahdi agar mereka segera pergi dari sana selagi perhatian Iki teralihkan. Terlihat jelas atau tidak, Riga memang berniat menghentikan Iki. Tentang maksud dari niat Riga itu ditangkap Elin atau tidak, ia tidak ambil perduli. Hanya, Riga tidak ingin di hari reuni berkumpul dengan teman-temannya setelah sekian lama rusak karena perkara remeh.
Datang bagai badai menerjang cepat lalu berlalu seperti keheningan setelah hujan, itulah kesan Elin pada orang yang terlihat sangat dekat dengan Iki. Ya, itu sudah sangat jelas. Dia menyebut Iki sebagai teman baiknya. Dan bukan saatnya Elin terkesima dengan seorang yang mirip badai tadi, ia juga harus kembali ke kelas. Ah, tentunya ke kelas yang sama di mana Mahdi dan Iki berada.
Sementara itu setelah Riga menyeret Iki ikut bersamanya.
“Hei, aku tanya kapan kau kembali?” Iki jengkel belum mendapat jawaban dari Riga.
“Ah itu, kau ingin dengar? Baiklah akan kuceritakan...”
***
Jadwal kepulangan Riga dari program pertukaran pelajarnya memang dipercepat, yang seharusnya ia kembali saat semester baru dimulai nanti. Tapi Riga tidak sabar berkumpul dengan teman-teman, juga sekalian ingin membuat surprise. Toh di London program yang ia ikuti sudah berakhir, tidak masalah dia pulang lebih cepat dari jadwal. Sebenarnya Riga sudah kembali ke tanah air sejak kemarin, ia juga sempat mampir mencari teman-teman di ruang club lama mereka. Berpikir semuanya akan ada di sana. Ya, seyakin itulah kepercayaan Riga hingga ia nekad datang ke sekolah tanpa membongkar lemari untuk mengenakan seragam. Tapi ternyata tidak ada siapa pun di ruang club. Lebih parahnya lagi ruang club terbengkalai seperti lama tidak dihuni. Karena rasanya agak salah berkeliaran di sekolah tanpa seragam untuk mencari keberadaan teman-temannya, maka urung niat itu Riga lakukan. Akhirnya ia tetap berada di ruang club dan membersihkan ruangan itu, bukan karena rajin tapi mencari kesibukan selagi ia sudah terlanjur berada di sana.
“Tapi kenapa? Kenapa ruang club menjadi sekacau itu?” Protes Riga. “Apa kalian tidak pernah lagi datang ke sana? Ke ruang berkumpul, markas rahasia kita?”
Mahdi inginnya mencegah Riga mengungkit hal itu, apa daya keberadaannya memang sebagai orang dengan posisi lebih lemah di antara mereka. Sementara Iki hanya diam menerima keluhan Riga. “Hei Iki?” Desak Riga meminta penjelasan.
“Kembalilah ke kelasmu. Jangan bolos pelajaran sedangkan kau baru saja kembali.” Ekspresi wajah dingin dan masam itu menjadi tameng Iki, di mana ia ingin menunjukkan pada orang di sekitarnya untuk menjaga jarak. Iki meninggalkan Riga berlalu bersama Mahdi.
“Iki! Aku belum selesai bicara...” Panggilan Riga yang diabaikan Iki. Ditinggalkan Iki, Riga tidak punya pilihan selain kembali ke kelas.
“Kau juga, kembalilah ke kelas. Jangan sampai nilai pelajaran kimiamu dapat merah lagi.” Katanya pada Mahdi yang masih setia mengikuti Iki. Sementara Iki pergi ke tempat lain setelah mengirim Mahdi kembali.
Sebagian besar siswa memang berada di kelas mereka mengikuti pelajaran. Tapi Iki amat yakin orang yang hendak ia temui pasti saat ini berada di ruangannya. Bukan karena dia membenci mata pelajaran pada jadwal di waktu ini, tapi pada pengajar yang mengisi kelas itu. Sombongnya lagi, walau tidak menghadiri kelas nilainya tetap terbaik di antara siswa pada mata pelajaran matematika. Sebagai ketua OSIS ia tidak memiliki kesulitan belajar sendiri dan mempertahankan posisinya.
Iki tidak merasa perlu untuk mengetuk ruang OSIS meski itu bukan teritorialnya. Begitu masuk ia langsung memberondong Wildan dengan pertanyaan. “Wil, apa kau tahu Riga kembali? Atau hanya aku yang tidak tahu? Lalu,” Iki merasa berat untuk mengutarakan pertanyaan berikutnya. “Kenapa tempat itu masih kau biarkan ada? Kenapa tidak kau hilangkan atau kau ganti menjadi ruangan lain? Setidaknya jika ingin kau pertahankan, seharusnya kau urus dengan benar!”
Wildan yang mendapati Iki begitu masuk ruangan penuh pertanyaan dan marah-marah diujung kalimat, bisa menduga telah terjadi sesuatu. Wildan berdiri dari tempat duduknya meninggalkan komputer yang masih menyala. “Wow wait, tenang... Ada apa? Apa yang kau bicarakan ini, Riga dan ruangan apa?” Wildan coba mengingat setiap kalimat Iki dan sekali lagi mencerna. “Tunggu! Riga sudah kembali?! Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak tahu soal itu dan baru saja mendengarnya dari kau sendiri.” Wildan senang mendengar kabar kepulangan Riga. Ia lama mengurung diri di ruang OSIS hingga belum mendengar kabar apa pun tentang yang terjadi di luar sana.
“Kapan dia kembali? Di mana dia?” Giliran Wildan yang bertanya Iki tidak menjawab. Ya, Wildan sudah terbiasa dengan perangai Iki. “Lalu, apa maksudmu dengan ruangan? Ruangan apa yang kamu maksud Iki?”
“Lupakan!” Iki berjalan keluar pergi dengan membanting pintu.