9. Perubahan Sekitar

1191 Words
Masih dari residensial Bhennika Budi di mana rumah empat sekawan tinggal. Kawasan elite seluas 3000 Ha ini mengadopsi konsep city and nature, dilengkapi berbagai fasilitas mewah yang tidak terhitung. Keluarga Iki, Wildan dan Riga sudah lama tinggal di sana sebelum mereka lahir, hanya Carol yang bergabung tepat sebelum masuk sekolah taman kanak-kanak. Karenanya selama waktu itu juga mereka sudah sangat saling mengenal satu sama lain. Wildan kembali ke kursi belajar menghadapi buku yang tengah ditekuninya tadi sebelum intrupsi kehadiran Riga dalam kamarnya itu. Riga bersantai sambil bermalas-malasan di atas ranjang pemiliki kamar yang tampak tidak keberatan atau mungkin tidak perduli dengan apa yang terjadi pada tempat peristirahatannya itu. “Wil, kamu harus lebih sering melakukan aktivitas di luar ruangan. Bahkan di sekolah sekali pun kerjamu hanya mengurung diri di ruang OSIS ‘kan?” Terka Riga meski tanpa pengakuan Wildan sekali pun ia tahu jawabannya tepat. “Biarkan aku sendiri, aku nyaman dengan apa yang kulakukan.” Jaman sekarang dengan bantuan teknologi, tetap berdiam diri berada di dalam ruangan siapa pun bisa melakukan banyak hal. Lebih penting lagi Wildan merasa nyaman dengan pola hidupnya. “Tapi sekarang aku sudah pulang, aku ingin berkumpul bersama kalian.” Rajuk Riga merasa kesepian baik itu saat jauh atau dekat seperti ini. “Kenapa sulit sekali untuk menemui kalian di satu tempat? Dulu tanpa janji sekali pun pasti kita ke tempat yang sama dan bertemu.” Setelah kembali Riga belum melihat semua temannya berkumpul bersama, juga sedikit merasa janggal mengapa mereka terpencar-pencar seperti ini. “Jadi, karena alasan itukah kamu datang untuk bertanya padaku?” Ucap Wildan suaranya terdengar datar. Kursi belajarnya berputar mengarah ke Riga, sorot mata Wildan tampak berubah. “Tentang tempat kita biasa berkumpul dan ruang club?” Sekarang Wildan mengerti, orang yang telah menyulut suasana hati Iki belakangan ini adalah Riga. Riga terduduk dengan postur tegak menantikan Wildan berbagi cerita padanya. “Apa semua itu Iki yang melakukannya? Tempat berkumpul kita juga ruang club. Ada apa dengan kalian? Apa terjadi sesuatu?” “Tidak ada apa pun.” Jawab Wildan tidak ingin membuat panjang pembicaraan ini. Ia juga tidak ingin memperburuk suasana di antara mereka mengingat Riga baru saja kembali. Tapi Riga sudah terlalu banyak pertanyaan di benaknya yang membutuhkan jawaban. “Kecelakaan yang terjadi pada Iki 3 bulan lalu juga,” Saat Riga mendapat kabar tentang kecelakaan Iki karena balapan motor, ia sedang berada di luar negeri. Karena jadwal yang padat juga ia tidak bisa kembali menemui Iki. Riga terlanjur memenuhi jadwal sekolahnya agar bisa selesai lebih cepat. “Apa karena kejadian satu tahun lalu itu? Karena Alpha?” “Cukup!” Wildan tidak tahan mendengar ocehan Riga lebih jauh lagi, kabar baiknya yang mendengar itu semua dirinya dan bukan Iki. “Jangan pernah kau sebut nama itu lagi Ga! Jangan di depan Iki atau Carol! Saat kau pergi―” Wildan berhenti. Tidak, ia tidak ingin mengungkit permasalahan ini. Wildan hanya ingin dan berharap berlalunya waktu bisa menghapus semua. “Katakan!? Apa yang terjadi saat aku pergi?” Riga mulai tidak sabar karena Wildan terkesan menutupi. “Katakan Wil, ada hal lain yang tidak kuketahui? Mengapa kau berhenti? Kau ingin menyembunyikan dariku juga?” Desak Riga. Wildan menatap tajam wajah sahabatnya itu, ada keseriusan di matanya. “Aku tidak menyembunyikan apa pun darimu, pada Iki atau pun Carol.” “Lantas apa alasanmu hingga emosional seperti ini? Mengapa menyebut nama Alpha menjadi hal tabu? Alpha sahabat kita juga, ingat?” Riga mengerti apa yang terjadi pada Alpha meninggalkan luka dan kekecewaan bagi empat sekawan, tapi bukan berarti mereka harus menghapus kehadiran Alpha. “Sejujurnya hari ini aku berencana bertemu Iki untuk bertanya hal yang sama―” Riga terlonjak karena Wildan dengan cepat bangkit dan menghampirinya. “Riga dengar!” Wildan merengkuh bahu Riga, memberi penekanan. “Lakukan seperti apa yang kupinta. Jauhi Iki atau biarkan Iki melakukan apa pun yang dia inginkan. Dan jangan pernah membahas Alpha lagi di antara kita, mengerti?” Riga sama sekali tidak bisa memahami sikap Wildan saat ini. “Wil, kau tahu, ini bukan seperti dirimu. Apa yang membuatmu sangat cemas? Kenapa dengan Iki dan Carol?” Seolah Riga seperti memasuki labirin, ia tersesat pada apa yang coba Wildan sembunyikan. “Aku hanya ingin semua tetap dalam kendali, meski perbuatan Iki semakin hari kian meresahkan tapi aku masih bisa menanganinya.” Wildan terlihat amat lelah dan memiliki banyak beban. “Iki meresahkan?” Batin Riga, teringat dengan kejadian di kantin sekolah tempo hari. “Apa itu bukan hanya sebuah kebetulan?” Semakin dipikir memang keadaan teman-temannya telah berubah drastis dengan saat sebelum Riga pergi dulu. Bagaimana Riga harus mengungkapkan dengan kata yang tepat, seperti hubungan yang merenggang begitu. Misalnya dengan melihat kondisi Wildan yang menjadi tidak stabil sekarang ini saat Riga mengajaknya bicara. “Oke Wil, aku mengerti. Aku tidak akan melakukan apa pun seperti yang kamu katakan, selama kamu bisa merasa tenang.” Janji Riga, sebelum mencari tahu lebih banyak rasanya Riga harus mengamati lebih jauh perubahan situasi teman-teman di sekitarnya. *** Krisis besar melanda Elin, dari pertama sebelum pindah sekolah Elin bukan seorang murid yang unggul dalam prestasi atau nilai akademik. Sekali pun ia siswa yang rajin dan memiliki rasa keadilan yang tinggi aspek itu hanya menambah nilai kepribadian. Celakanya sekolah elite ini amat menjunjung tinggi bakat dan kelebihan setiap siswa, baik dalam prestasi akademik dan non akademik. SOPA terkenal dengan siswa terbaik dari kelas elite, terutama dalam akademik. Maka bila ditanya kelebihan apa yang Elin miliki hanya semangatnya dalam menunut ilmu, apa hal itu cukup membantu Elin menghadapi ujian nanti dalam catatan rapotnya. “Elin bisa kita bicara?” Pinta Resca dengan sengaja mengejar langkah Elin menuju suatu tempat. “Em, sekarang?” Elin tetap menjawab tanpa menghentikan langkah kakinya meski dicegat Resca. “Iya. Kamu sibuk?” Tanya Resca sekali lagi mengiringi langkah Elin. “Aku ingin ke perpustakaan Res, ada apa?” Kini Elin yang balik bertanya karena Resca tidak menyerah dengan apa pun yang sedang ia rencanakan. “Aku ingin minta kamu melakukan interview untuk koran sekolah.” Bisa dilihat Resca membawa kamera digitalnya beserta lampu blitz yang siap terpasang. “Hah! Koran sekolah?” Ucap Elin terkejut. Pikirnya kenapa ia harus masuk kolom berita koran sekolah sementara ia tidak ingat berbuat apa pun. “Kamu tertarik?” Resca senang melihat perubahan reaksi Elin. “Sama sekali tidak!” Tolak Elin tegas. Bukan Resca bila ia menyerah begitu saja. Mengapa Resca yang awalnya adalah anggota club fotografi lalu bisa direkrut oleh club koran sekolah, alasannya karena Resca punya bakat naluri reporter dan ia pantang menyerah. “Tunggu, jangan tolak dulu tawaranku. Biarkan aku jelaskan dulu padamu.” Elin juga tetap fokus pada tujuannya. “Tapi aku punya keperluan pergi ke perpustakaan Res. Aku akan dengarkan tawaranmu nanti.” “Begini saja El, aku akan ikut ke perpustakaan bersamamu. Bila kau perlu bantuan, biarkan aku membantumu. Dan selagi kita melakukannya bersama, aku akan jelaskan tentang interview ini kepadamu. Bagaimana?” Tawaran Resca untuk membujuk Elin meluangkan waktunya meski sibuk sekalipun. Padahal Resca belum tahu keperluan apa Elin datang ke perpustakaan. Elin sejenak berpikir menimbang tawaran Resca. “Lakukan seperti yang kau inginkan.” Ucap Elin memberi Resca persetujuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD