Lavi melenguh pelan. Tubuhnya terasa pegal hampir di setiap bagian. Entah ini sudah jam berapa, Lavi merasa enggan untuk membuka mata. Andai bukan karena sinar mentari yang mengusiknya, ia lebih memilih untuk terus terpejam. Seharian ini, Pras sama sekali tak membiarkan Lavi sekadar membuka jendela dan menikmati embusan angin di sana. Karena hal ini juga, Lavi bertekad jikalau Pras menginginkannya lagi, ia harus tegas menolak. Tubuhnya butuh penyegaran. “Abang,” panggilnya sembari menarik sedikit selimut untuk menutupi bagian atas tubuhnya. Panggilan itu membuat sang pria menoleh juga terkekeh. “Kenapa ditutupi begitu? Abang sudah puas melihatnya.” Lavi mengerutkan kening. Matanya tertuju pada Pras yang tampak mengenakan kemeja. “Abang mau ke mana?” “Ada urusan.” Pras terdiam lant