Untuk siapa lagi ia melakukannya, kalau bukan untuk Xavier? Lelaki pujaan hati sejuta umat. Yang artinya, Rashi meniadi salah satu jarum di antara tumpukan jerami jika ingin ditemukan oleh Xavier.
Rashi hanya sedang berusaha memantaskan diri untuk bersanding dengan Xavier yang nyaris sempurna itu. Bagaimana seorang manusia bisa menutupi kekurangannya sampai sedetail itu? Sejauh ia bekerja di Marlon, Xavier tetap lah Xavier yang tanpa cela.
Kali ini Rashi memilih metode diet dengan tidak makan nasi. Selain itu ia juga rutin jogging selama setengah jam setiap malam. Lumayan, berat badannya sudah berhasil turun 6 kg semenjak mulai diet dua bulan lalu.
Meskipun perubahannya masih belum terlalu terlihat, Rashi tetap senang, karena berat badannya sudah nyaris mencapai kepala lima.
Itu hanya lah segelintir bukti bahwa Rashi memang benar - benar berusaha, agar Xavier mau meliriknya barang sedikit.
Awalnya dulu Rashi hanya mengagumi lelaki itu diam - diam saat training kerja di hotel Sahid, Surabaya. Siapa, sih, yang tidak kagum pada Xavier? Ia selalu mencolok saking sempurnanya. Manusia tak ada yang sempurna, iya tahu. Namun Rashi belum menemukan kekurangan dalam diri Xavier sejauh ini. Atau jangan - jangan Xavier keturunan blasteran malaikat.
Sialnya karena terlalu sering menatap Xavier, akhirnya Rashi terjerumus untuk terbang bersama angan - angan liar. Dan sekarang ia telanjur jatuh terlalu dalam.
Niat diet itu awalnya juga tidak ada. Mengingat kebiasaan dietnya selalu berakhir kegagalan, yang kemudian membuat berat badannya naik lebih banyak daripada sebelumnya. Rashi seperti trauma untuk melakukan diet lagi.
Tapi Rashi mengesampingkan traumanya itu. Semua karena Mega. Ya, Mega.
Beberapa bulan yang lalu, Xavier terpilih menjadi ikon iklan pamphlet promosi Marlon cabang ini. Kabar buruknya, Xavier tidak sendirian. Ada Mega yang dipilih menjadi partnernya. Andai saja itu bukan Mega, mungkin Rashi tidak akan marah atau pun kesal. Sayangnya sekali lagi, itu adalah Mega.
Mega.
Apa kelebihannya? Ia hanyalah gadis kurus kering yang memiliki tinggi badan kelewat normal. Gaya bicaranya mendesah - desah, tatapan matanya nakal, dan make up-nya selalu sangat tebal, membuatnya terlihat seperti ondel-ondel. Anehnya, semua karyawan lelaki di sini menyukainya.
Yang membuat Rashi semakin sesak adalah, semenjak Mega dipilih menjadi partner Xavier, Xavier menjadi lebih sering berkunjung ke divisi ini. Untuk apalagi, kalau bukan untuk bicara pada Mak Lampir itu?
"Nggak heran, sih. Mega, kan, emang cantik. Cocok dipartnerin sama Xavier." Itu Yulia.
"Demi apa? Cantik? Mega cantik?" protes Rashi.
"Gue yakin, setelah ini penjualan produk kita akan semakin meningkat." Ini Melody.
Melody dan Yulia itu sebenarnya sahabat macam apa? Kenapa malah memuji - muji saingan sahabat sendiri secara terang - terangan begitu?
"Kalian nggak lihat badannya sekurus lidi? Apanya yang cantik?" Rashi masih tak terima.
"Mega itu seksi kali, Li! Pinggangnya ramping, tapi b****g dan dadanya ... beuh ... montok!" Yulia meletakkan tangannya di d**a, menggambarkan ukuran d**a si Mega.
"Datar begitu!" Rashi masih belum terima.
"Lo, tuh, cuman cemburu, Li. Makanya gue sama Yulia nggak pernah capek ngingetin lo. Stop dreaming! Karena Xavier beda kelas sama kita."
"Kalian ini temen macam apa? Dasar, Sampah!"
Yulia dan Melody buru - buru kembali pada bangku masing - masing. Tak ingin mendengar lanjutan dari sumpah serapah Rashi, yang pastinya akan panas dan sangat panjaaaaaaaaang.
***
Dua minggu berlalu semenjak berat badan Rashi turun menjadi 59 kg. Anehnya, berat badannya tak kunjung turun lagi sampai sekarang. Padahal sudah hampir satu bulan berlalu sejak Rashi memulai diet.
Rashi meratapi pantulan dirinya dalam cermin. Bentuk tubuhnya sama sekali tak enak dipandang. Kalau begini terus, kapan Xavier mau menoleh padanya? Menyadari keberadaannya? Membalas cintanya?
Rashi berjalan gontai kembali ke mejanya. Apa ia harus berhenti diet? Untuk apa menyiksa diri, jika berat badannya tetap banyak?
Namun tiba - tiba Xavier datang, melintas di divisinya. Senyuman Rashi mengembang lebar secara otomatis. Aura dan cahaya di sekitar tubuh Xavier bersinar terang. Xavier benar - benar seperti malaikat. Seketika Rashi kembali bersemangat menjalani diet.
Saking semangatnya, Rashi mengubah metode dietnya menjadi jauh lebih ekstrem.
Per hari ini, Rashi mulai menjalani metode diet baru. Setiap jam delapan, Rashi sarapan satu buah apel. Tepat jam dua belas, Rashi makan satu buah jeruk. Sore hari sebelum jam lima, ia minum satu gelas s**u rendah lemak.
Untuk olah raga, Rashi tetap memilih jogging rutin selama setengah jam setiap malam, sebelum tidur.
Liur Rashi seakan menetes melihat Yulia dan Melody makan besar dengan lahap di hadapannya. Menu makanan mereka sangat beragam dan lengkap. Kapan Rashi bisa hidup bebas — dan makan enak — tanpa takut gemuk seperti mereka?
"Serius lo cuman mau makan gituan? Bisa - bisa lo kelaperan, dan berakhir makan banyak di tengah malam! Malah tambah gembrot entar," nasihat Yulia.
"Iya, Li," lanjut Melody. "Jangan terlalu ekstrem, lah! Kunci diet adalah kesabaran. Percuma berat badan lobl turun banyak dalam waktu singkat, tapi setelah itu naik lebih banyak karena lo nggak sabaran dan putus asa. Xavier nggak lari ke mana - mana kok. Lagian, misal Xavier emang ditakdirkan buat lo, dia bakal terima lo apa adanya."
Rashi mendengkus pasrah. Ia meletakkan kepalanya di meja. Kedua tangan memegangi perutnya yang lapar.
Semua yang dikatakan oleh Yulia dan Melody adalah benar. Tak ada yang salah. Sayangnya, Rashi sudah telanjur terobsesi dengan keinginannya untuk kurus.
"Kalian sering ngomong Xavier itu beda kelas sama kita. Makanya gue harus berusaha. Biar setidaknya kelas gue naik dikit, lah." Wajah Rashi terlihat sangat kasihan dan melas. "Kenapa, sih, nasib percintaan gue belum pernah mujur?"
Yulia dan Melody saling berpandangan. Jujur, sebenarnya mereka sudah jengah dengan curahan hati Rashi yang selalu sama — meratapi nasib percintanya — yang memang belum pernah mujur. Tapi, bukankah itu salahnya sendiri?
"Makanya kalo kita nasihatin, tuh, yang nurut, Shi! Semua orang emang punya hak buat milih pasangan hidup. Tapi harus diinget, kita nggak boleh pasang kriteria terlalu tinggi. Inget, ini dunia nyata, bukan drama Korea!
"Apa lo mau seumur hidup jomblo, cuman gara - gara lo terlalu picky? Enggak, kan? Belajar nerima kekurangan orang lain aja, lah! Toh sebenernya banyak, kan, yang suka sama lo."
Lagi - lagi Rashi hanya bisa mendengkus. Sekali lagi, perkataan kedua teman nya adalah benar. Sama sekali tak ada yang salah. Tapi mau bagaimana lagi?