21 | Calon Jodoh

3212 Words
DENTA keluar dari kamar. Gadis itu terlihat rapi dengan kaus biru muda berlengan panjang, serta bawahan celana training warna hitam lengkap dengan sepatu sport putih bercorak pink. Rambut coklat sepunggungnya diikat tinggi. Yah, Minggu sore yang lumayan cerah ini, Denta mau jogging. “Loh, Nta, Mau ke mana? Kok rapi banget. Padahal baru pulang dari pasar sama Oma.” Denta tersentak, membulatkan mata sedikit kaget karena Rio--sang papa menyapanya dari ruang keluarga. Meskipun suara Rio terkesan datar, tetap saja Denta kaget. Setaunya, papanya sedang pergi dengan Opa ke rumah om Surya. “Mau jogging, Pa, mumpung cerah banget ini cuacanya. Biasanya kan hujan kalau jam-jam segini.” “Tumben?” Entah bertanya atau justru mencibirnya, “Bilang aja kamu lagi punya gebetan anak komplek sini. Iya kan?” tebaknya. Denta mendelik. “Wah, papaku sotoy sekali ya? Aku mau olahragalah, biar sehat. Nggak lihat, badan aku agak gendutan gini? Lagian ya, Pa. Aku tuh masih pacaran sama Gasta. Aku setia tau,” cerocosnya santai. “Sama siapa? Vero?” “Sendiri. Vero lagi tidur.” “Sama Papa aja, gimana? Udah lama Papa nggak jogging. Kamu tunggu di sini dulu! Papa mau ganti baju. Masa jogging pakai kemeja gini?” Denta hampir tersedakludahnya sendiri. Jika saja level kaget hanya ada sampai sepuluh, sekarang level kaget Denta justru naik ke angka lima puluh. Selama 17 tahun hidup, boro-boro jogging, bahkan mau diajak foto keluarga saja sudah syukur. Lah ini? Mimpi apaan coba bisa begini? *** DENTA tidak menyangka hari Minggu yang indah bersama sang papa telah dirusak oleh kehadiran sesosok tampan rupawan dengan sifat tengil di sekolah. Siapa lagi jika bukan Aryan. Seharusnya Denta sudah bisa menebak, tapi dia melupakan fakta bahwa komplek perumahan mereka bersebelahan. Dia juga lupa, jika Aryan sering sekali jogging pagi atau sore pada hari Minggu. “Om, om Rio nggak ada niat gitu buat poligami? Setau aku, pilot itu banyak banget yang punya istri lebih dari satu. Biasanya cinlok sama pramugarinya sendiri,” tanya Aryan yang sudah berapa kalinya ia lontarkan padaRio. Rasanya, Denta ingin sekali menggaruk usus besar Aryan karena dengan tampang polosnya, bertanya hal demikian. Sepertinya Aryan ini masuk kategori bibit-bibit suami tukang selingkuh nantinya. “Om setia kok. Yan. Lagian, Om cinta mati sama mamanya Denta,” sahut Rio sambil tersenyum hangat. Daritadi sebenarnya dia pengen ngakak juga dengan teman putrinya ini. Baru kenal, tapi bisa-bisanya bertanya hal demikian. Kalau saja bukan Rio, mungkin leher Aryan sudah ditebas. “Masa sih nggak ada pramugari yang godain Om di sana?” tanya Aryan kepo setengah mati. “Pastinya ada. Tapi kan, Om setia sama istri Om,” balas Rio. Aryan manggut-manggut. “Emang pramugari di sana nggak cantik ya, Om? Sampai Om Rio aja nggak kegoda. Ada tuh, temennya Papa aku, pilot juga, tapi selingkuh. Tau nggak, Om, istrinya sekarang berapa?” “Berapa?” “Boro-boro cuma dua, tapi ini empat sekaligus. Kalau nambah satu lagi, rekor. Ngalahin baginda Nabi Muhammad,” cerocosnya ceramah. Rio terkekeh. “Ngapain kegoda sama yang lebih cantik? Mamanya Denta saja sudah cantik banget. Dia primadona dulu di sekolah Om.” Memang Denta tau, bahwa kedua orang tuanya berpacaran sejak masih di bangku sekolah. Jangan pikir, cuma dari bangku SMA. Mereka pacaran sejak di bangku SMP kelas dua. Kalau kata Rio, Anggia itu cinta pertamanya. Kisah cinta mereka itu sederhana, bermula saat bola basket menggelinding jauh, tepat mengenai kaki Anggia. Anggia memberikan bola yang tadi menggelinding kepada Rio. Dari situlah benih-benih cinta muncul di hati keduanya. “Wow, Om ini setia banget dong ya ternyata? Patut dicontoh,” puji Aryan dengan cengiran lebar. Aryan sengaja mengajak berbicara Rio terus-menerus, agar bisa dekat dengan Denta. Licik sekali otaknya ini. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. “Iyalah, bokap gue setia. Nggak kayak lo,” cibir Denta pedas, membuat Aryan melengos keras. “Ngomong-ngomong, kamu sudah punya pacar, Ar?” tanya Rio. Denta tertawa geli. “Boro-boro pacar, gebetan aja belum kelihatan hilal nya.” Aryan mendelik sinis. “Apaan sih lo, gue tuh bukannya nggak laku ya, cuma lagi males pacaran aja,” alibinya, walau itu memang tak sepenuhnya salah. Sejak datangnya Denta sebagai murid baru, dia sudah malas nyepik sana-sini. “Emang ada kata-kata gue yang bilang lo nggak laku?” tanya Denta sensi. “Nggak ada sih,” balasnya tenang. “Kamu mau nggak, Om jodohin sama keponakan Om? Namanya Nadia. Dia dua tingkat di bawah kamu. Sekarang kelas sepuluh,” Rio menyebutkan nama anak dari Surya. Secara garis berasnya, Nadia itu adik Jayden. Aryan merengut ketika melihat Denta malah ngakak. Lebih kesal lagi dengan ocehan enteng Rio. Ekspresinya jadi masam, seperti cewek PMS yang lagi ngambek. “Nggak deh, Om. Terima kasih. Aku mah nunggu jodoh datang aja,” kata Aryan dengan sebal. “Jodoh tuh dicari dan diperjuangin, Yan! Nggak mungkinlah, jodoh kamu bakalan datang sendiri,” ujar Rio. “Betul,” timpal Denta semangat. Rasanya Aryan pengen mengumpat saja. Kalau saja yang mau dijodohin sama dia itu Denta, mungkin Aryan tidak perlu repot-repot menolak. Justru menerima dengan lapang d**a dan gembira. Sayangnya saja, Rio tidak tau, bahwa Aryan naksir sama anaknya sekarang. *** SEJAK jam enam, Gasta sudah stand by di rumah cewek itu, berniat mengajak berangkat bareng. Sejak Gasta tiba, cewek itu sudah membuat keributan di dapur. Cowok itu kira kenapa, tahunya dia sedang mencoba membuatkan sarapan untuk Gasta. Katanya ingin memantaskan diri sebelum menjadi istri sah Gasta. Memantaskan apanya? Justru dia malah terlihat memaksakan diri. Cukup lama, dia hanya berdiri di depan kompor, dengan bumbu-bumbu nasi goreng hasil ulekannya. Denta bingung, bagaimana cara menyalakan kompor listrik? Ujung-ujungnya Gasta yang mengajari. Akhirnya, Denta bisa leluasa masak nasi goreng, seperti yang pernah diajarkan Vero padanya, plus telur mata sapi setengah matang, kesukaan Gasta. Ya, sarapan yang menyenangkan namun harus mendapat konsekuensi berupa terlambat ke sekolah. Lihat saja, gerbang SMA Sevit kini tertutup rapat. Denta berdecak kesal. Sementara Gasta, dia tenang saja, Lagipula, satpam di SMA Dharma Wijaya, di sogok rokok sebungkus juga luluh. “Buka gerbangnya dong. Pak!” Teriakan lantang itu membuat satpam di pos terkejut setengah mati. Kopi yang baru diseruputnya sampai tersembur.“Pak satpam, bukain gerbangnya dong! Yaelah sombong amat, sok tuli,” pekik Denta lagi. Buru- buru si satpam berlari ke sumber suara. Gasta masih menunggu di jok motor, sampai Denta sudah diperbolehkan masuk. “Buset deh, ada apaan sih sampai teriak? Santai dikit dong, jangan ngegas! Kan bapak jadi kaget ini,” omel pria bertubuh gempal itu. Sementara orang di luar gerbang hanya nyengir kuda. “Saya tuh murid di sekolah ini, Pak. Mau masuk ceritanya, tapi gerbangnya ditutup.” Pria itu mendecak. “Ya iyalah, kamu telat banget datangnya. Coba lihat, sudah jam berapa ini?” katanya. Denta akui hampir jam delapan dan dia baru datang. Biasanya murid telat itu, cuma kelebihan lima sampai dua puluh menit saja. Lah ini? Hampir satu jam. Untung Gasta masih di sini. Setidaknya kalau tidak bisa masuk, mereka bisa bolos. “Pak, please deh ya! Saya ini pengen pintar, mau menuntut ilmu biar jadi orang sukses. Tolong dong, jangan ngehalangin mimpi saya dengan nutup gerbang begini!” “Nggak apa, Pak! Saya nggak marah kok. Because saya tipe cewek yang baik dan pemaaf. Saya juga cukup strong berdiri di depan gerbang sejak tadi. Jadi, bapak buruan bukain gerbangnya, biarkan saya masuk untuk menjalankan misi menjadi murid pintar dan teladan.” Gasta dan satpam itu sampai tercengang oleh gelora semangat dari gadis cantik ini. Tapi karena sudah peraturan, tetap saja Denta tidak diizinkan masuk. “Nggak bisa, Mbak! Sudah peraturan kalau yang telat nggak boleh masuk.” “Wah, peraturan macam apaan tuh? Secara nggak langsung, pihak sekolah nyuruh saya bolos dong? Yah, gimana sih, Pak?” gerutu Denta kesal. “Saya pamitnya ke Mama, Papa saya mau sekolah, bukannya mau bolos. Masa iya udah jauh-jauh sampai sini disuruh balik lagi?” sambungnya sambil mencak-mencak. “Lo ada ulangan?” tanya Gasta. Kalau di SMA Dharma Wijaya, Gasta tidak perlu repot-repot menanyakan ini. Tinggal membawa Denta ke gerbang belakang sekolah, terus ngangkat dia sampai bisa nyemplung ke dalam sekolah. Denta menoleh. “Ada. Makanya mau nggak mau gue harus masuk. Apa gue minta tolong Aryan aja ya? Dia pasti tau, tempat mana yang bikin gue bisa masuk,” ujarnya dibalas delikan tajam oleh Gasta. “Kenapa Aryan terus, sih?” protesnya seolah tidak terima. “Lah, dia temen gue.” “Nggak ada. Mending kita balik. Lo ikut ulangan susulan aja!” celoteh Gasta tidak mau dibantah. “Menurut L? Ini ulangan matematika, Gas. Lo tau kan sebloon apa otak gue kalau udah ngadepin matematika. Gue nggak bisa nyontek, kalau susulan,” kata Denta membuat Gasta mendesah. “Masnya juga telat?” tanya si satpam yang masih berdiri di sana. “Saya bukan anak sekolah sini, Pak.” “Oh, pacaran LDR sekolah.” Si satpam manggut-manggut sok tau, membuat Gasta dan Denta mendelik spontan. Gadis itu melengos. “Ya udah, gue chat Naufan aja kalau gitu.” “Naufan mana?” “Yang kemarin ketemu di pasar. Yang kakaknya kedelai hitam,” balasnya. Gasta mendecak. Meskipun bukan Aryan, tetap saja Gasta merasa cemburu. Buru-buru ia turun dari motor ninjanya.“Bapak digaji berapa sebulannya?” tanya Gasta dibalas delikan oleh Denta dan satpam. “Gas, lo mau ngapain?” “Empat jutaan, Mas, kenapa?” sahut si satpam tenang. “Nanti kirimin saya nomor rekening, Bapak. Biar saya langsung transfer. Asal, biarin pacar saya masuk. Dia ada ujian,” katanya tenang membuat sang satpam membelalak. “Lo mau nyogok bapaknya?” pekik Denta nyaris menjerit. Sang satpam hampir saja khilaf mau bukain pintu, asal dapat sogokan. Tapi dia urungkan, saat melihat Dante si ketua OSIS datang bersama dengan Naufan. Sepertinya, mereka baru kembali dari lapangan upacara. “Kamu telat?” tanya Dante diangguki cepat oleh Denta. Sementara Gasta sudah mengumpat pelan, ketika melihat pemuda berkacamata bening dengan bingkai hitam bersikap sok manis sekali dengan pacarnya. “Iya. Bisa buka pintunya? Gue nggak bisa masuk,” ujarnya sok memelas, agar dikasihdikasihani. Gasta jadi mendecih, melihat Denta jadi kucing anggora begini. Sok imut. “Kok lo bisa telat sih, Nta?” omel Naufan di sebelah Dante. “Takdir, Fan,” balasnya asal. Pandangan Dante beralih pada cowok di sebelah Denta. Dia mengenakan seragam kebanggaan SMA Dharma Wijaya. Seragamnya hampir mirip dengan seragam SMA Sevit. Hanya saja berbeda warna. Kalau Sevit kotak-kotak hitam, sedangkan Dharma Wijaya kotak-kotak merah. Memang, seragam himpunan tiga sekolah swasta elite, mulai dari Sevit, Dharma Wijaya, sampai Cendrawasih dibikin ala-ala korea. Walau tidak memungkiri, putih abu-abu tetap dipakai Rabu dan Kamis. “Kalau yang ini?” tunjuk Dante pada Gasta, sementara satpam sudah sibuk membuka gerbang. “Gue cowoknya. Antarin aja,” balas Gasta dengan tenang. “Kamu bisa masuk, tapi tetep dihukum.” ujar Dante pada Denta. “Oke deh!” “Jangan suruh dia lari!” kata Gasta dengan tegas, diangguki oleh Dante. Naufan terkekeh kecil, melihat pacar Denta yang kelihatan banget nggak tega. “Nggak kok. Palingan cuma disuruh bersihin perpustakaan aja.” “Udah sih, Gas. Nggakpapa kok. Asal gue bisa masuk dan nggak ikutan ulangan susulan,” balas Denta. “Bener?” “Iya, udah sana! Lo nggak butuh sekolah apa?” usir Denta. “Oke, gue balik ya!” pamit Gasta diangguki cepat oleh Denta. “Makasih udah diantarin terus ditungguin!” “Sore nanti gue jemput,” kata Gasta. “Oke.” “Eh, mau ngapain?” tanya Gasta. Dia merasa heran, ketika melihat Denta tiba-tiba menyodorkan tangannya. Kira Gasta, Denta mau cium tangan, biar kayak istri sholehah, membuat Gasta ikutan menyodorkan tangannya yang langsung ditepis oleh Denta tanpa dosa. “Sayang, sebagai seorang pacar yang baik, rajin, pandai, murah hati dan dermawan, udah seharusnya dirimu memberikan kontribusi berupa subsidi uang jajan,” katanya tanpa beban. Gasta mendelik. “Tumben minta uang jajan?” Meskipun merasa aneh, dia tetap mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya. Mengeluarkan selembar uang seratus ribuan pada kekasihnya itu. *** BU AINUN lagi-lagi tertidur di kelas 12 IPS 3. Kepalanya maju mundur cantik. Rasa kantuk menguasai tapi setelah tersadar, ia akan menarik kepalanya ke belakang dan begitu seterusnya. Kemerdekaan bagi murid yang diajar oleh Bu Ainun. Setelah menerangkan, dia akan meminta semua murid mencatat, tapi tidak pernah dicek. Setelah menyuruh mencatat, maka dia akan tertidur di kelas. Sampai bunyi bel terdengar, membuat para murid bersorak kegirangan, buru-buru merapikan buku dan alat tulis, bersiap menuju kantin, untuk memanjakan cacing di perut. “Nta, kantin nggak?” seru Aryan pertama kali. Cowok itu sudah berdiri di dekat bangkunya. Denta menoleh. “Iya, kenapa?” “Barengan sama gue dan anak-anak aja! Kita mau ke kantin juga,” ocehnya. “Oke.” Pandangan Denta beralih pada Fina yang masih duduk. “Yok, Fin!” “Eh, ayo!” *** “WAH, makasih Hauri sayang,” kata Aryan sambil mengedipkan sebelah matanya genit, sesaat Hauri dengan baik hatinya, membawakan pesanan batagor Aryan, lengkap sama es teh manisnya. “Ekhem, bini orang, Sat,” sindir Raghil langsung menarik Hauri mendekat. Melihat Aryan sebulanan ini jomlo membuat Raghil suka parno kalau ternyata Aryan tiba-tiba naksir Hauri. Aryan mendelik, kemudian melihat Tsabita yang baru datang, bersama Fina, membawa semangkuk bakso telur panas. “Eh, Neng Fina makin cantik aja,” goda Aryan lagi-lagi. Kelihatannya siluman buaya Aryan memang lagi berulah. “Punya gue,” pekik Nezar seolah tidak terima, Fina digodain. Dia bahkan menjitak kepala Aryan, membuat si empunya meringis. “Fin, cowok lo nih!” adu Aryan. Fina melengos. “Apa sih? Masih terang ini. Udah ricuh aja.” “Apaan sih, Yan?” kata Nezar gondok. “Fin, kata Nezar lo cewek idamannya yang bakal dijadiin bini di masa depan,” seloroh Aryan, dibalas delikan oleh Nezar dan yang lain. Nezar jadi menciut malu. “Cih, berani nyepik doang, tapi nggak berani nembak,” sindir Aryan. “Lah, ketimbang lo? Naksirnya sama cewek orang. Malu sama julukan playboy idaman,” balas Nezar tak mau kalah. Denta melengos saja, karena tau dirinya tengah disindir juga. “Yang penting nggak penikung,” sahut Aryan langsung sensi. Tidak perlu dikasih tau pun, satu kelas juga tau kalau Aryan bucin parah kalau sama Denta. “Nungguin doi putus masih lama, Sat. Cowoknya aja bos geng utama paling sadis di Jakarta. Mana mungkin dilepehin gitu aja, karena milih lo,” cecar Oky. Memang di wilayah Jakarta, nyaris setiap sekolah pasti ada bos geng utama, alias petingginya para berandal sekolah. Meskipun begitu, nggak semua terkenal atau ganteng. Dan yang paling terkenal itu, Gasta, Raja, Chesen, Ryan, Geovan, Fahri, Akhtar, Titan sama Karrel. Aryan? Dia emang bos geng utama, ganteng juga, tapi nggak terlalu terkenal di luar lingkup sekolah karena jarang tawuran, kecuali sama anak sekolah Bima. SMA Cendrawasih, dia punya bos geng utama, yaitu Karrel Davian Andara. Dari semua bos geng di SMA swasta yang ada di Jakarta, cuma Karrel yang keturunan bule sendiri, eh samasatulagiChesenKeenandra William—anak SMA Ghanesa. Meskipun Cendrawasih itu unggul di bidang akademiknya, tapi sering juga masuk catatan kepolisian, akibat kasus tawuran. SMA Dharma Wijaya, diketuai oleh Gasta Nismara Alvredo. Dia nggak kalah tenarnya dari Karrel. Malahan lebih parah. Eranya Gasta, paling sadis dari semua era. Yang paling sering trending topic, waktu SMA Dharma tawuran sama Cendrawasih. Mengingat, dua sekolah itu memang musuh bebuyutan sejak lama. Tapi dengar-dengar, mereka sudah akur kalau sekarang. Kalau Raja Ernanda Mahevan, dia bos geng utama SMA Ghaveria. Sempat satu sekolah sama Aryan dulunya. SMA Ghaveria itu sendiri, berlokasi tidak jauh dari SMA Sevit. Hanya saja, tidak masuk lingkup gabungan sekolah wilayah Rajekwesi.Selain Raja, Aryan juga akrab sama Chesen juga—bosgeng SMA Ghanesa. Bosgeng di Jaksel emang banyak, tapi yang popular kira-kira 9 sampai 10 orang doang. “Kalau emang jodoh gue juga nggak ke mana,” balas Aryan sambil nyengir kuda menatap Denta. “Yan, mau nyobain es campur punya gue nggak?” Tsabita menawari es campur pada sang mantan. Mata Aryan berbinar. “Makasih, Neng. Manis bener kayak Tsabita. Sayang ya, kenapa kita harus jadi mantan,” oceh Aryan. Tsabita bukannya baper, yang ada malah mual. “Semuanya aja lo embat, Yan. Besok-besok, tukang sedot WC di komplek rumah gue, lo embat juga,” seloroh Naufan yang dari tadi duduk di sebelah Denta. “Ini nih yang bikin gue nggak mau kepincut sama Aryan,” sahut Denta, membuat perkumpulan kelas pangeran itu tertawa renyah. Aryan langsung misuh-misuh saja. “Ya iyalah. Ketimbang sama Aryan, mending sama gue aja, Nta,” balas Naufan sambil menaik turunkan alis tebalnya. Denta mendelik, mengetuk kepala Naufan dengan sendok. “Lo juga sama. Udah punya cewek juga, masih aja gatel.” Naufan justru terkekeh, dengan gemas mengapit kepala Denta ke dalam ketiaknya. Tentu saja Denta langsung meronta dan memaki pemuda itu. “Gila, nggak bisa napas gue. Aryan, tolongin gue dong ah elah,” pekik Denta masih di ketiak Naufan. “Heh-heh, lepasin, Fan! Kasihan lehernya Denta sakit,” sewotnya. Naufan terkekeh, kemudian melepas Denta, yang kini masih mencak-mencak, sambil menabokinya. “Denta! Mama cariin dari tadi, nggak taunya di sini.” Tiba-tiba seorang wanita cantik datang menghampiri perkumpulan mereka yang tengah duduk di bangku kantin. Delapan pemuda ditambah empat gadis itu jadi menoleh kompak. “Loh, Mama?” Denta refleks berdiri, membuat semua orang jadi saling lempar tatap dan bingung. Denta langsung menarik kursi yang didudukinya tadi. Pokoknya Mama Anggia itu yang paling spesial. Makanya dia harus jadi ratu kalau sama Denta. Setelah Anggia duduk anteng di sebelah Naufan, barulah Denta duduk di sebelah Aryan, mengingat hanya bangku di sebelah Aryan yang masih kosong. “Woilah, Ma, mau ke mana dandan cantik banget begini? Mau ketemu presiden?” oceh Denta memperhatikan mamanya yang udah pakai baju ala-ala nyonya besar, plus dandanan kayak ibu-ibu pejabat. “Ada rapat guru, buat bahas UNBK angkatan kamu,” balas Anggia. Awalnya, semua berjalan tenang. Sampai ketenangan itu buyar, saat Naufan tiba-tiba menyelatuk, disahuti yang lain. “Tante-tante, nama saya Naufan. Calonnya Denta loh, Tante.” Itu suara Naufan langsung nyaring. Di antara semuanya, sepertinya hanya Nezar, Raghil dan Oky lah yang waras. Nezar memang kalem. Kalau Raghil sudah dipelototi pacarnya duluan. Sementara Oky--dasarnya dia sudah kenal Denta dari zaman masih SMP, jadinya anteng saja. “Maaf ya, Tante! Temensayaampassemua. Mohon dimaklumi!” kata Hauri, lalu melototi satu-satu temannya yang udah dia anggap anaknya. Anggia hanya terkekeh, sudah sangat maklum dengan kelakuan anak muda zaman sekarang. “Oh ya, Mama ada apa nyariin Denta sampai ke sini?” tanya gadis itu. Anggia mengambil sesuatu dari dalam tas hitamnya, memberikan sebuah dompet pink ke arah cewek itu. “Dompet kamu. Tadi Mama ketemu ini di meja makan. Ceroboh banget sih? Terus kamu jajan ini, ngutang sama siapa?” tanyanya. Denta nyengir. “Tadi dikasih uang jajan sama Gasta,” balasnya sambil nyengir kuda. Anggia mendelik. “Dikasih apa kamu yang minta?” “Harusnya nggak usah minta Gasta, Nta. Gue ridho kok berbagi uang jajan kalau sama lo,” kata Aryan sambil cekikikan dibalas delikan Naufan. “Halah, bagi uang jajan palingan cuma sepuluh ribu doang. Lo tau nggak, Gasta ngasih uang jajan ke Denta berapa?” “Berapa?” “Seratus ribu, Nyet,” balasnya cepat. Raghil melengos. “Cih, cuma seratus ribu. Gue dong, semua tabungan plus ATM gue kasih, ke Hauri semua. Namanya lagi belajar, buat jadi suami idaman.” “Dih, ngadi-ngadi,” balas Hauri sewot. “Ketauan banget bohongnya,” cibir Denta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD