20 | Malu

2902 Words
HARI Minggu, di mana Denta bisa bermalas-malasan sepanjang hari, di kamar. Bergelung dalam lilitan selimut tebal, menggeliat sebentar lalu meregangkan otot badannya yang kaku. Ia melirik jam yang kini menunjukkan pukul setengah sebelas siang. “Elah, masih subuh ternyata,” katanya sebal, kembali menutup wajahnya dengan bantal, melanjutkan tidurnya yang sempat terjeda. Namun, belum sampai lima menit dia kembali terlelap, dering ponsel yang sangat nyaring, membuat gadis itu tersentak. Nama Gasta tertera di atas layar, membuat Denta melengos sebal, ketika tau bahwa itu bukan panggilan telepon biasa, melainkan panggilan video. “Apa sih ini cowok? Nggak tau apa kalau gue masih ileran sama belekan begini?” gerutunya sewot sendiri, langsung menggeser tombol hijau dengan posisi tengkurap dan kepala masih tertempel pada bantal. Tidak pakai acara jaim segala, insecure alias tidak pede sama sekali. Kalau kata dewi batinnya, “Mau mukanya kayak monyet, kalau udah cinta, tetep aja cantik. Wah, inikah indahnya orang jatuh cinta?” “Pagi, Gas!” sapa Denta dengan suara serak terkesan sangat malas-malasan. Matanya bahkan masih menyipit, belum mau terbuka sepenuhnya. “Pagi?” Terdengar suara Gasta di sebrang sana memekik protes. Dari layar, bahkan kelihatan wajahnya bersungut. Jam setengah sebelas, dan Denta masih bisa-bisanya bilang ini pagi? “Kenapa?” “Baru bangun?” tanya Gasta dengan ekspresi tidak percaya. “Masalah? Lagian ini hari Minggu.” “Jangan dibiasainlah!” omel Gasta, membuat Denta mendelik sendiri. “Apaan sih? Ini hari bebas gue. Jangan cerewet deh!” katanya balas ngomel. “Mandi sana!” suruh pemuda itu. “Mager,” balas Denta ogah-ogahan. “Iler sama belek lo ke mana-mana Nta! Mandi sana!” “Gue niatnya mau tidur lagi malah. Tapi lo ganggu,” gerutunya. Mulut Gasta terlihat menganga. Matanya juga membola, seolah tak percaya. “Astaga!” “Gue mau lanjut tidur. Jangan telpon gue lagi! Entar aja biar gue yang telpon,” sahut Denta. “Suami lo mau lo kasih makan apaan kalau bangun aja males,” cibirnya, membuat Denta membuka matanya spontan dengan ekspresi sewot. “Makan batu, kenapa?” tantangnya sambil melotot galak. “Nggak sekalian keramik?” sahut Gasta dengan sinis. “Gue malah rencananya mau kasih aspal sama semen. Biar lebih greget,” balas cewek itu seolah tak mau kalah. Pemuda itu melengos keras. “Wow, istri sholehah sekali.” “Nggak usah nyindir gue deh! Gue tau lo mau ngatain gue istri durhaka kan? Kenapa haa? Kenapa? Lo nyesel mau jadiin gue calon istri? Cih,” kata Denta sambil merubah posisinya menjadi duduk lalu mengibaskan rambutnya dengan sangat lebay. “Nggak.” “Bohong.” “Nggak.” “Masa?” “Iya.” “Huuu, nggak percaya.” “Udah. Sana mandi! Bau,” katanya. “Sorry, sekalipun gue nggak mandi setahun, tetep aja wangi,” sahutnya. Gasta mendesis. “Oh ya, kaki lo sakit?” tanya Gasta. “Dih, apaan sih? Nge-gas banget. Gue tau lo mau gombal kan? Karena mau ajakin gue jalan?” ujar gadis itu pede. “Entar malem aja deh, masih pagi gini gue mager keluar rumah.” Cowok itu terlihat menggeram, tapi mencoba untuk tetap sabar. “Kaki lo yang kepentok pintu kemarin, masih sakit nggak?” tanyanya memperjelas, membuat wajah Denta langsung panas karena malu, terlalu kepedean. Ah iya, dia ingat. Gara-gara dia terlalu semangat membuka pintu rumah ketika tau Gasta akan datang sambil membawakan martabak manis malam-malam, kaki Denta kepentok pintu. Bukannya panik atau khawatir, yang ada, Gasta malah mengomelinya habis-habisan. “Cuma lebam biru doang kok,” sahut gadis itu menyengir. “Mm, bagus deh.” “Kenapa? Mau ajak jalan?” “Lo ngebet ya jalan sama gue?” tanya Gasta sambil menahan tawa. “Dikit. Lo kan janji mau ajakin gue ke Dufan. Tapi nggak jadi-jadi.” “Habis kemah aja ya!” “Oke.” “Ya udah, mandi sana! Jangan tidur lagi!!” “Lo mau ke mana? Tumben buru-buru banget mau nutup telponnya?” “Antarin mama belanja.” “Oh, oke deh. Bye!” “Bye! Mandi beneran loh!” “Iya, Bulbul.” Denta tersenyum puas setelah panggilan video sudah terputus. Gasta pikir, dia akan menurut begitu? Dalam kata lain bangun, terus mandi? Big no! Yang tadi cuma untuk pencitraan saja, biar Denta kelihatan jadi pacar yang penurut. Gadis itu kembali bergelut dengan selimut tebal dan melanjutkan acara tidurnya. Sayangnya, matanya sulit untuk terpejam. Kemungkinan terburuknya, jatah dia istirahat sudah selesai. Dengan malas, gadis itu menyibak selimut, meraih ponsel dan menyambung via bluetooth, pada music box milik Aryan yang masihdibawa bertengger manis di atas nakas. Setelah tersambung, Denta memutar musik dengan volume besar. “Mandi ah. Sekali-kali nurut sama ayang beb kan berpahala,” cerocosnya sambil membenarkan daster merah muda yang terlipat naik. Beginilah Denta, paling suka kalau di rumah atau pas tidur, memakai daster. Di dalam lemari saja, banyak sekali daster dengan berbagai macam motif dan bentuk. Bahkan ada pula daster bermotif Dora yang dimiliknya sejak SMP, dan masih muat dipakainya meskipun sudah ada bagian yang bolongnya. Nggakapa. Malah bagus, jadi lebih sepoi-sepoi. Anginnya masuk ke badan, adem. “Ya Allah. Jam segini gadis perawan baru mandi?” pekik Ratih nyelonong masuk setelah menggedor pintu kamar mandi berulangkali. “Bener-bener ya kamu ini.” “Musik di kamar kamu, bisa nggak dikecilin dikit volumenya? Berisik tau nggak. Mana lagunya nggak jelas lagi!” Rol rambut wanita tua itu bergerak semrawut sambil berkacak pinggang. Denta yang masih lengkap dengan dasternya pun menoleh. Padahal udah enak banget tadi, dia joget sambil nyanyi lagu Blackpink. Inilahh yang tidak Denta sukai jika melihat oma dan opa menginap di rumahnya. Rasanya sudah seperti tempat pelatihan militer. Apa-apa harus disiplin. Tidak boleh seenaknya. Seolah memang sudah ditakdirkan, bahwa garis keturunan Beckinsale harus sempurna. Baik dari segi wajah, otak, maupun perilaku. Sayangnya, untuk otak dan perilaku, Denta sangat jauh dari dua kata itu. Tingkahnya saja masih suka pecicilan. “Cepetan mandinya!” seru oma galak. “Hah?” sahut gadis itu seperti bodo amat. Dia sibuk berkumur sekarang. “Antarin Oma ke pasar habis ini!” seru sang oma tidak mau dibantah. “Sopirnya Papa kan ada. Atau nggak sama Papa. Papa kan udah balik dari semalam,” protes Denta. Niat hati mau rebahan seharian. “Jangan ngebantah Oma! Lagian Opa sama papamu lagi ke rumah Surya. Jengukin istrinya yang lagi sakit.” Denta ber-oh ria, ketika Oma menyebutkan nama adik bungsu dari papanya. Sebenarnya, selain Sandy, dia masih punya sepupu cowok yang seangkatan dengannya. Namanya Jayden--anak Cendrawasih. Sayangnya saja, mereka berdua tidak terlalu akrab. Hanya bertemu sesekali, itu pun kalau ada acara keluarga. Jayden pendiam. Tidak jauh berbeda dengan Gasta. Anaknya good looking parah, tapi dia memakai kacamata bening kayak anak nerd. Tapi bukan berarti dia nerd. Otaknya juga pintar. Dengar-dengar dia anggota OSIS. “Vero ajalah. Denta sibuk banget, ada banyak tugas yang mesti dikumpul besok Senin,” alibinya. Oma melengos. “Kamu kira Oma nggak tau? Sekolahmu kan bakal free class terus karena sibuk nyiapin acara kemah gabungan buat besok Rabu,” semprotnya sambil melotot. “Tapi kan Oma--” “Pokoknya Oma mau sama kamu. Lagipula banyak banget nanti belanjaan yang mesti dibawa. Sekali-kali kamu berbakti sebagai cucu,” oceh wanita cantik itu. “Dikata gue kuli,” dumel Denta pelan. “Heh, Oma denger ya kamu ngomong apa!” kata Ratih, membuat Denta meringis geli. *** TEPAT setelah dirinya mandi, Denta mulai menata rambut basahnya dengan jari. Masih dengan handuk putih yang melilit bagian atas dadanya sampai lutut. Tangan kanannya bergerak meraih hair dryer, mengeringkan rambut basahnya. Dia ini selebgram. Harus kelihatan good looking dalam setiap waktu dan suasana. Tidak peduli jika saat di rumah penampilannya kayak gembel karena hanya memakai daster. Tapi beda lagi kalau di luar rumah. Di bumi ini, good looking lebih dihargai dari good attitude. “Gue bahkan yakin 99,9%, kalau seandainya gue nggak punya kuping atau kepala, Gasta nggak bakal mau jadiin gue pacar.” Gadis cantik itu melengos keras. “Cih, boro-boro di jadiin pacar, di lirik aja nggak. Udah ngeri duluan kali ah, gara-gara gue nggak punya kepala sama kuping.” sambungnya sambil memilih-milih baju di lemari. Pilihannya jatuh pada celana jeans navy selutut, kaus hitam dan hoodie merah bata dengan ukuran lumayan besar. Benar saja, ketika dipakai, tubuh Denta nampak tenggelam. Dan beberapa waktu kemudian, di sinilah gadis itu berdiri sekarang. Di tengah-tengah pasar tradisional yang ramai dan bising. “Oma, sempaknya bagus-bagus. Cute banget, ada gambar Barbie. Denta mau beli,” ocehnya heboh. Ratih yang semula misuh-misuh karena tangannya ditarik paksa oleh sang cucu jadi mendelik. Kemudian menoleh melihat tumpukan sempak berbagai variasi ukuran, bentuk dan warna, terpajang nyata di hadapannya. Mata Ratih jadi ikutan berbinar, tidak jauh berbeda seperti Denta. Dari Belgia, wanita cantik itu memang lupa membawa sempak dan BH. Tentu saja dia senang bukan main, apalagi diobral begini. Jangan kira keluarga Beckinsale itu kaya, jadi alergi barang murah begini. Tentu saja tidak. Malahan seneng, bisa irit pengeluaran. “Mang, ini beneran sempaknya obral sepuluh ribu dapat tiga?” oceh Denta, mengabaikan Oma yang heboh melihat-lihat BH dan sempak untuk orang lansia. “Bener, Neng. Mau beli berapa?” “BH-nya juga sepuluh ribu tiga?” ujar Denta lagi, sambil menenteng sempak Barbie warna pink. Pedagang itu mendelik. “Si eneng ya, dikasih murah malah ngelunjak. Yang obral sepuluh ribu tiga, cuma sempak doang, Neng. BH-nya beda lagi,” balas pria dewasa itu, membuat Denta manggut-manggut sok paham. “Oma, beliin Denta BH sekalian ya!” Oma Ratih menoleh. “Iya, beli aja sekalian. Mumpung murah-murah. Tapi jangan yang ada kawatnya! Bahaya itu, bisa-bisa kena kanker p******a pas tua entar,” ocehnya tanpa melihat Denta. “Sip.” “BH-nya jadi, Neng?” tanya pedagang. “Jadi, Mang. Bentar, saya lihat-lihat dulu yang bagus.” “Semuanya bagus, Neng. Awet ini, dipakai setahun juga nggak rusak.” Ngomong-ngomong, Denta sudah mendapatkan sempak yang dia mau. Dia tamak sekali, beli sempak sampai 9 buah. Mumpung obral katanya. “Cari ukuran berapa neng? Yang 34 ya? Saya teh ada, barangnya baru sampai kemarin. Ukuran 34, bagus-bagus,” oceh pria itu mulai dengan sesi menunjukkan BH berbagai macam warna. Denta mendelik sinis pada sang pria itu. Bukan ingin mengatai bapak penjualnya ini m***m. Tapi Denta sedikit nggak terima, karena si penjual secara nggak langsung mengatai ukuran dadanya kecil. Enak aja ngatain ukuran d**a 34, padahal aslinya 36. “Beli sempak kok kayak beli gorengan. Murah amat,” cibir seseorang. Dengan ragu-ragu, Denta menoleh. Wajahnya langsung berubah panik asli. Rasanya jantungnya pengen jatuh ke pankreas. Gimana tidak panik kalau yang di sebelahnya sekarang adalah Gasta. Malu banget asli. Denta sampai buru-buru nyembunyiin 9 sempak yang sempat dipilihnya tadi, dengan wajah merah. “K-kok lo di sini?” pekik Denta lantang tanpa prolog, apalagi sinopsis. Dia mau mati saja rasanya. Tapi nggak lucu, semisal ada berita muncul di TV dengan judul ‘Seorang Gadis Dinyatakan Meninggal di Pasar Akibat Terlalu Syok Terciduk Sang Kekasih Saat Membeli Sempak Obral Sepuluh Ribu Dapat Tiga.’ “Antarin Mama. Lo mau beli sempak doang ke sini?” tanya Gasta dengan ekspresi tanpa dosa. “Gara-gara tau ada obral?” sambung pemuda tampan itu. Denta menggeram, tangannya lincah menampol jidat Gasta yang tertutup oleh poni, “Enak aja. Gue antarin Oma kali. Siapa juga yang mau beli sempak obral begini? Oma gue kali yang mau beli, bukan gue,” elaknya berbohong, sementara penjual sempak yang berdiri tidak jauh dari Denta langsung mendelik sewot. “Yang lo pegang?” tanya cowok itu dengan alis terangkat. Padahal, dia sedang mati-matian menahan tawa. “I-ini? Gue lihat-lihat aja tadi. Bagus gitu gambar Barbie, ha-ha-ha,” kata Denta dengan tawa palsunya. Dia benar-benar mati kutu sekarang. “Nggak usah malu.” “Siapa yang malu? Udah gue bilang kan, gue nggak mau beli,” balas Denta dengan raut muka sinis. “Beli aja! Entar gue bayarin,” sahut pemuda itu tanpa beban. Kasihan juga melihat Denta yang susah payah memilih sempak dan BH dari tadi, tapi dibatal gara-gara kepergok Gasta. “Beneran--eh maksud gue, nggak perlu. Sempak gue di rumah yang masih baru banyak kok. Jadi nggak perlu repot-repot beli lagi,” balasnya. “Bang, ini bungkusin ya!” kata Gasta sambil menunjuk sempak di tangan kanan Denta, ditambah dua BH yang sempat Denta lihat-lihat tadi. “Ih, dibilang nggak usah!” kata Denta ngegas, membuat Ratih sang oma sampai menoleh. Baru sadar jika ada Gasta di sini. “Loh, ada Gasta?” pekik Ratih tanpa sadar, wajahnya bahagia. Gimana nggak bahagia, kalau ketemu sama cucu pertama Adjimoko dan Laras--teman satu SMA-nya di Jakarta. Kebetulan lagi, Adji sama Djarian adalah teman dekat. Sementara dia yang notabene-nya pacar Djarian kala itu, jadi akrab dengan Laras karena dia pacar Adji. Meskipun berbeda kelas, mereka sering nge-date bareng. Nge-date orang zaman dulu sama sekarang beda. Kalau dulu, diajak ke pasar malam sambil makan jagung bakar sudah seneng. Beda sama anak zaman sekarang. Nge-date harus di tempat mahal. Minimal mall atau Dufan. “Siang, Oma. Tumben ke pasar?” ujar Gasta ramah. “Iya. Ini loh, opanya Denta minta dimasakin semur jengkol sama sambal petai. Di mana lagi cari bahannya kalau bukan di sini?” sahut Ratih sambil terkekeh pelan, membuat Gasta ikutan tertawa juga. “Sekalian sama tepung panirnya ya, Bu. Berapa semuanya?” kata Rita pada penjual bahan-bahan kue. Kebetulan, kios-nya ada di sebelah kios penjual sempak. “Eh, baking soda dan baking powder juga ya!” sambung wanita cantik itu, sambil mengabsen daftar belanjaan di kertas. “Wah, mau bikin kue ya, Tante?” tanya Denta ramah, sambil menghampiri Rita. Meletakkan kembali sempak di genggaman. “Eh, ada Denta? Pantesan Gastanya nangkring di kios sebelah. Maaf ya, Tante nggak perhatiin tadi,” kata Rita sambil terkekeh kecil. “Tumben, Tan, belanja sendiri? Tante kan ada pembantu di rumah?” ujar Denta dengan jarak tak terlalu jauh. “Iya nih, repot banget, Nta. Mau ada hajatan di rumah. Kakek neneknya Gasta baru balik dari umroh. Tadi sama mbaknya juga tapi Tante suruh beli ayam sama ikan,” kata Rita. “Eh, Denta ke sini sama siapa?” “Sama Oma. Oh ya, Oma, kenalin ini Tante Rita--mamanya Gasta. Calon mertua Denta,” ujar Denta semangat, membuat Rita mau tak mau mendekat mengingat umurnya yang lebih muda. “Halah, kayak Gastanya mau aja punya istri malas kayak kamu,” cibir Ratih dengan sengak, membuat Denta mengumpat pelan. Semakin kesal melihat Gasta yang justru tertawa pelan. Denta jadi tidak tahan untuk tidak mencekiknya dari belakang. “Rita, Bu,” ujar Rita--mama Gasta dengan sopan, sambil berjabat tangan. “Ratih. Kamu anaknya Adji?” tanya Ratih, membuat Rita sedikit kaget mengapa Oma Denta mengenal mertuanya. “Bukan, Bu. Yang anaknya Pak Adji itu suami saya. Kebetulan saya ini menantunya,” ujar Rita. Ratih mengangguk. “Saya kira malah Daffa yang menantunya. Maklumlah ya, saya sama suami udah jarang banget kumpul bareng sama Adji dan Laras.” Rita terkekeh pelan, mengangguk seolah maklum, mengabaikan dua makhluk remaja yang saling sikut di dekatnya. “Ngomong-ngomong mau cari apa ya, Bu. Kok sampai datang ke pasar begini?” Jika melihat penampilan Ratih yang fashionable sekali, bisa Rita tebak jika wanita ini bukan orang sembarangan. Mana mungkin orang kaya dengan barang branded mau ke pasar tradisional yang bau ikan begini. Meski Denta berpacaran lama dengan Gasta, bukan berarti Rita mencari seluk beluk gadis itu. Dari golongan keluarga kaya atau tidak. Yang jelas, putranya bahagia itu saja. “Mau cari jengkol buat suami saya. Habis dari Belgia, dia pengen makan jengkol. Kangen katanya. Tapi dari tadi muter-muter, nggak ketemu juga. Seingat saya, terakhir kali ke sini, ada penjual sayuran langganan saya. Apa sudah nggak jualan lagi ya?” Ratih berucap sambil membenarkan rambutnya yang disanggul. “Oh, saya tau. Penjualnya emang pindah kios, Bu. Di sebelah ujung sana. Mau saya antar?” “Wah boleh-boleh.” Ratih langsung girang menghampiri Rita, yang kini mulai sibuk membayar belanjaannya. “Bu, sempaknya gimana?” protes penjual sempak obral tadi, melihat Ratih dan Rita yang mulai berjalan. “Denta, kamu urusin sempak punya Oma,” pekik omanya. Denta dan Gasta yang baru mau beranjak mengikuti dua wanita dewasa itu, jadi langsung berhenti dan mendelik. “Lah, kan uangnya sama Oma,” pekik Denta mencak-mencak. “Gue bayarin,” kata Gasta sambil menarik tangan Denta kembali pada kios sempak obral tadi. “Totalnya berapa?” “Apaan sih Oma, di Indonesia juga cuma dua minggu doang, belinya sempak segini banyak,” gerutu Denta ngedumel sendiri. “Punya lo sekalian,” oceh Gasta, membuat Denta menoleh. Meskipun agak malu, pada akhirnya Denta tetap meletakkan sempak-sempak barunya tadi, ditambah BH ke dalam kantong kresek. Diliriknya Gasta yang mulai mengambil dompet dari saku. “Lo nggak malu ya, beliin gue daleman kayak gini?” tanya Denta dengan wajah memerah malu. Gasta menoleh. “Kenapa?” “Biasanya cowok bakal malu, kalau harus beliin cewek barang beginian. Tapi, lo biasa aja.” “Gue udah pernah beliin lo pembalut pas tembus dulu. Kenapa sekarang harus malu?” katanya membuat Denta jadi semakin merutuk. “Kali aja.” Gasta terkekeh pelan. Mengacak gemas puncak kepala Denta. “Nggak ada yang bikin gue malu,” ucapnya dengan tenang. Denta tersenyum malu-malu. “Ayo susul mereka,” ajak Denta sambil meraih dua kantong kresek setelah Gasta membayar. Gasta nyaris limbung sesaat begitu gadis itu menggenggam tangannya dengan erat. Denta,bagaimana bisa gadis itu membuatnya lemah seperti ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD