“LO nggak lihat, itu cewek yang namanya Lavina tadi, mukanya bully-able banget? Sumpah ya, kalau nggak ingat bunuh orang itu dosa, udah gue bunuh dia dari tadi Gas. Serius deh!” celoteh Denta yang baru datang dari dapur, sambil memeluk berbagai macam snack dan minuman kaleng dari kulkas.
“Sengak gitu loh mukanya. Pakai acara ngatain gue murahan segala. Padahal mah apa, nyali juga cuma ampas doang, cuih,” gerutu Denta.“Pas gue maju buat jambakin dia, Gas, belom ada semenitudah nangis duluan. Dia sempat jambak gue juga, tapi lemas banget tenaganya, kayak nggak pernah dikasih makan setahun. Tinggi cuma seketek gue aja bangga.”
“Halah, gitu kok sok-sokan mau jadi pelakor. Wajah aja belum ditata yang bener. Mana rambutnya udah mirip kayak Dora lagi. Lo tau nggak, muka-muka kayak Lavina tuh mengundang hujatan netizen,” sewotnya.
Gadis cantik itu menghampiri Gasta yang tengah duduk di karpet ruang keluarga, sembari memperhatikan laptop berlogo apel yang menyala di hadapannya.
Gasta yang tengah sibuk melihat-lihat daftar film di laptop Denta, lantas melirik jengah dengan bibir mencebik samar. Sudah hafal tabiat Denta kalau habis bully orang, pasti ngomel nggak berhenti.
Hal inilah yang membuat Gasta tidak jadi membawa gadis itu jalan-jalan sekedar melupakan kejadian tadi, dan lebih memilih nonton film horor bareng dengan laptop di rumah. Gasta yakin, akan sangat percuma kalau dia membawa Denta hang out sekarang. Bukan seru-seruan, yang ada malah Denta membuat rusuh nantinya.
Denta melengos kasar. “Bukannya nomor Lavina udah sempat gue block dari HP lo ya? Kenapa dia masih bisa hubungin lo?” tanya gadis itu seolah tengah menghakimi Gasta.
“Dia pakai nomor lain,” sahut Gasta tenang, masih dengan netra yang mengarah pada laptop.
“Sumpah ya, maksain banget sih itu cewek,” kata Denta ngedumel.
“Jadi nonton yang mana?” tanya Gasta membuat pandangan Denta beralih pada laptop.
Cewek itu menarik sudut bibirnya ke samping seolah berpikir. “Lampor ajalah, kata Gista bagus. Gue juga belum sempat nonton soalnya. Baru dapat filmnya dari Dira kemarin,” katanya sambil melihat-lihat daftar film-nya.
“Lampor apaan?” tanyanya cengo.
Denta mendecak. “Keranda terbang. Masa nggak tau?”
“Yang film kuntilanak ada?” tanya Gasta sambil menyebutkan hantu Indonesiapaling populer.
“Si manis jembatan ancol aja kalau gitu,” usulnya diangguki oleh Gasta.
“Hiiiii, udah lama banget dong, gue nggak nonton film horor Indonesia begini. Biasanya Thailand atau nggak China,” celoteh Denta heboh sekaligus gemas sendiri.
Sedikit merinding juga sebenarnya dengan suasana yang terkesan angker, mengingat di rumahnya sekarang ini sedang tidak ada siapa-siapa. Adiknya sedang ada di tempat latihan panah, sementara mamanya pergi arisan dengan ibu-ibu komplek.
Netra Denta begitu fokus menghadap layar, dengan tangan kiri memegang snack kacang, sementara tangan kanannya sibuk memasukkan snack ke dalam mulutnya. Sesekali bibirnya akan berceloteh, membicarakan soal film yang ditonton. Tidak jarang juga dia akan memekik kaget, ketika tanpa aba-aba hantu si Maryam muncul.
Berbeda dengan Denta yang tidak mau berhenti ngoceh, Gasta sejak tadi fokus mempeng lihat laptop, tanpa berkomentar. Walau tidak dipungkiri bola matanya terus bergerak melirik gadis di sebelahnya. Tanpa sadar, Gasta tersenyum kecil. Apalagi ketika melihat Denta mengumpat karena hantunya muncul tiba-tiba.
“Denta,” panggil Gasta dengan suara yang rendah dan serak.
Ketika mata Denta masih begitu fokus ke layar laptop, gadis itu tersentak. Hatinya berdesir, mendengar suara serak dan parau pemuda itu menyebutkan namanya. Dia menoleh perlahan sambil menegak minuman soda kalengnya.
“Hm? Apa?” sahutnya ketika air soda yang dia minum, sudah tertelan membasahi kerongkongannya.
“Jangan nakal terus,” tegur cowok itu, membuat Denta mendelik.
“Dibahas lagi,” protesnya sebal, padahal dia sudah sempat lupa karena seru menonton film tadinya.
“Udah gede!” katanya terkesan gemas. Buktinya Gasta masih bisa-bisanya menjitak kepala Denta yang kini sudah sewotan.
“Apaan sih, Gas? Lo juga gitu. Tawuran terus, padahal udah kelas dua belas. Kenapa gue nggak boleh?” sahutnya dengan ekspresi wajah bersungut.
Gasta melengos keras. “Gue dari dulu udah gini.”
“Lo pikir gue nggak?” katanya dengan sewot, “Gue dari SMP udah kayak gini malah.”
Pemuda itu mendelik. “Bangga?”
“Banget. Kenapa nanya? Ada masalah sama lo?” tanyanya dengan jutek.
“Gue ngerasa kita devils couple tau nggak,” tukas Gasta membuat Denta gemas, ingin menggaruk wajahnya.
“Ya ampun, setelah sekian lama kita pacaran, lo baru sadar? Parah banget,” kata Denta drama.
Gasta menautkan kedua alisnya, membuat Denta mendecak. “Kenapa emangnya kalau kita devil's couple? Kalau gue sih malah bangga. Keren banget kan? Biasanya badboy kayak lo tuh tipenya yang polos-polos gemesin. Kayak Lavina contohnya,” kata Denta membuat Gasta mendelik. “Sayangnya tipe lo yang cetar membahana kayak gue. Anti mainstream banget kan? Tapi tenang aja, Gas! Berarti lo bakat cari cewek. Udah cantik, primadona, nggak sombong lagi,” kata Denta lagi.
Gasta melirik malas. “Tapi buas. Kayak macan.”
“Oh iya, gue tiba-tiba keingat. Melody apa kabar? Sumpah ya kalau ketemu gue nanti, mau gue arak dia keliling monas sambil botakin kepalanya. Dendam banget gue sama dia,” gerutu Denta membuat pemuda di sebelahnya tertawa geli.
Terkadang, Gasta masih suka heran. Kenapa dari sekian juta makhluk di muka bumi ini, dia harus suka sejenis macam kayak Denta? Apalagi pada pandangan yang pertama. Demi Tuhan, jatuh cinta pada Melody saja, butuh waktu bertahun-tahun lamanya. Rasa itu muncul saja, karena seringnya keduanya bersama sampai dia hampir melanggar peraturan alam dan manusia yang diciptakan. Mencintai saudara sendiri.
Jika ingat pertemuan pertama kali dia dan Denta di bus--ketika mereka masih SMP. Berawal dari insiden Denta minta tolong ketika akan naik ke bus, sampai kemudian Denta yang asal nyablak mengatakan pertemuan keduanya takdir sampai membuat Gasta yang masih berusia 15 tahun kala itu langsung jatuh hati.
Disusul pertemuan kembali mereka di SMA Dharma Wijaya saat MOS. Awalnya pemuda itu tidak berencana mendekati Denta, tapi melihat gadis itu berlari sendirian karena dikerjai abis-abisan oleh senior, membuatnya langsung berlari ke lapangan. Berlari bersama gadis itu, sambil memakaikan topi di kepala Denta.
Sampai fakta bahwa Denta sudah memiliki pacar, membuat Gasta mau tak mau jadi menjauh. Namun, seolah memang sudah ditakdirkan, awal semester kelas sebelas, mereka kembali dipertemukan. Gasta tau, Tuhan bukan tanpa alasan mempertemukan keduanya di bus hari itu. Sampai di sini, Gasta hanya berharap, Denta yang akan menjadi takdir terakhirnya.
“Jangan bahas Melody!”
“Kenapa? Takut naksir lagi?”
Gasta mendecak. “Nanti berantem. Emangnya mau?” tanyanya kalem.
“Nggak. Gue lagi nggak ada tenaga buat berantem sama lo,” balasnya.
“Nta, gue seneng deh.”
“Kenapa?”
“Dicemburuin,” katanya membuat Denta mendelik kaget.
Gadis itu mengeryit sesaat, jadi agak gelagapan setelah sadar. “Cemburuin apaan sih?” tanyanya sok galak.
“Lo bully Lavina atas dasar apa?”
“Karena dia gatelin lo lah,” balasnya langsung cepat dan tepat.
“Berarti cemburu kan?” tanya Gasta sambil menahan senyumnya. Denta langsung kicep setelahnya. Gasta tersenyum kecil. “Nggak pengen buat snapgram?”
Denta jadi agak mengeryit kebingungan. Setaunya, Gasta itu tidak narsis seperti Alex ataupun Nugraha. Foto-foto di akun Instagramnya saja rata-rata isinya cuma foto bareng-bareng anak basket, teman-temannya, dan juga keluarga.
Pemuda itu jadi diam. Tidak langsung menjawab. Dia sempat mengambil sekaleng s**u kemudian meneguknya.
“Pengen aja.”
“Pengen?” ulangnya.
Gasta melengos. “Lo sering bikin snapgram bareng Aryan. Kenapa sama gue nggak pernah?”
Denta mendelik. “Kapan sih, Gas? Seingat gue, gue nggak pernah bikin snapgram berdua doang sama Aryan, di akun i********: gue,” katanya.
“Itu di akun lo kan? Bukan akunnya Aryan?” balasnya, membuat Denta semakin melongo.
“Lo stalking i********: Aryan, Gas? Sumpah lo, demi apa?” katanya syok dengan ekspresi yang lebay.
Gasta gelagapan. “Apa sih, bukan gue. Tapi Nugraha.”
“Halah, nggak percaya gue.”
“Nugraha temen Aryan. Mereka saling follow di i********:,” sahut Gasta mencoba tenang. “Dia bikin snapgram sama lo. Lengket banget. Nugraha laporan ke gue,” sambungnya ketus.
Tentu saja dia berbohong. Gasta bahkan membuat fake account, agar bisa stalking akun i********: Aryan tanpa ketauan pemuda itu. Bisa jatuh harga diri Gasta yang seorang bos geng utama Dharma Wijaya, kalau sampai ketauan stalking i********: saingan, cuma karena cemburu.
“Lo iri dan lagi marah ceritanya?”
“Lo cewek gue, jelas gue marah.”
Denta menggeram sebal, membuat Gasta mengerjap memandangi Denta, beralih pada ponsel enam inci yang berada di tangan kiri Denta. Pemuda itu sedikit merapat, membuat Denta sempat tersentak, lantaran kaget.
“Ayo, bikin boomerang ya!”
“Foto aja!” kata Gasta.
“Ya, udah.Iya, foto!”
Gadis itu mulai mengacungkan ponselnya, dengan pemuda di sebelahnya mulai berpose. Tidak aneh-aneh, hanya mengulum senyum tipis, seperti Gasta biasanya.
“Lo pakai filter apaan? Mata gue jadi gede gitu,” protes Gasta.
“Silly face. Kelihatan cute tau,” kata Denta membantah.
“Ganti!” perintahnya, membuat Denta mendecak.
Gasta mendesah ketika Denta malah mengganti dengan filter yang lebih aneh daripada sebelumnya. “Filter apalagi sih ini? Kenapa muncul love gitu?” protes Gasta lagi ketika di layar, bagian matanya keluar love. Terlihat lebay.
Denta mendecak gemas. “Ya ampun, cowok gue kenapa bawel banget sih ah? Heran deh,” pekiknya kesal.
“Yang lain!”
“Lo aja deh yang pegang, cari sendiri!”
Gasta merapatkan bibir sebentar, kemudian mengambil ponsel yang disodorkan Denta padanya. Bukannya mengganti dengan filter lain, Gasta justru membuka aplikasi kamera favorit Denta.
“Pakai filter dong!” seru Denta sambil merapatkan tubuh keduanya, ketika Gasta mulai mengacungkan ponsel. Gadis itu agak maju menyentuh layar dan memilih stiker anjing.
“Bilang a coba!” perintah Denta seolah mengajari, membuat Gasta menoleh pada Denta sebentar, lalu beralih pada kamera. Menurut, dia membuka mulut. Gasta mendadak katrok. Pemuda itu dengan noraknya justru tertawa ketika kepalanya muncul telinga anjing dan lidahnya keluar dengan sangat panjang, persis anjing.
“Pakai filter yang pernah lo pakai sama Aryan waktu itu!”
“Hah yang mana?” tanyanya bingung.
“Yang kemarin lusa.”
“Mana gue ingat coba.”
“Ada love juga, tapi nggak lebay sampai mata,” tuturnya memperjelas.
“Oh,doodle heart? Itu mah langsung dari i********:,” kata Denta sambil membuka aplikasi i********:.
Dan menyuruh cowok itu kembali mengacungkan kamera. Mereka mulai berpose dengan banyak gaya. Sebenarnya hanya Denta yang selalu berpose mengganti-ganti gaya. Kalau Gasta cuma pose senyum saja sudah ganteng.
“Nih udah! Kirim ke WA!” seru Gasta diangguki cepat oleh Denta.
“Lo mau bikin snapgram juga?” tanya Denta dengan kening mengerut.
“Iyalah,” balasnya cepat.
“Biasa aja kali, Nyet. Kaget gue,” gerutu Denta setengah mengumpat. Pemuda itu mulai meronggoh ponselnya dari saku. Garis wajahnya yang semula datar berubah jadi riang. Dia bahkan cengar-cengir, ketika melihat foto yang baru dikirimkan padanya. Gasta jadi seneng bukan main. Belum lagi ketika mengecek i********:, gadis itu membuat snapgram dengan tag mantion akun i********:-nya. Gasta melirik Denta yang masih sibuk dengan ponselnya sendiri. Tak mau kalah, Gasta melakukan hal serupa. Gasta yakin, kalau foto mereka berdua muncul di i********:, pasti bakal ramai banget. Apalagi, Denta itu selebgram. Meski mereka berdua pacaran cukup lama, Denta hanya mem-posting sekali fotonya. Begitu pula dengan dirinya.
“Denta--”
Kalimat Gasta terputus. Pemuda itu tersentak, mengangkat alis ketika gadis cantik di sebelahnya, tengah memandanginya dengan mata yang melebar dan pipi memerah. Tentu saja Denta seperti itu, posisi keduanya sangat dekat, dan wajah keduanya beradu tepat seperti ini. Cowok itu bahkan tidak sadar, jika sejak tadi memeluk pinggang Denta agar gadis itu tidak terjungkal ke belakang saking kagetnya.
Denta meneguk ludah. “A-apa?”
Kening pemuda itu mengerut samar, melihat kegugupan gadis ini. Tidak seperti Denta yang biasanya, membuat Gasta mengerling, langsung iseng dengan semakin mendekatkan wajah keduanya, membuat Denta spontan memejamkan mata. Sudut bibir Gasta tertarik, melihat reaksi menggemaskan gadis ini. Padahal wajah keduanya tidak benar-benar menempel, berhenti pada beberapa senti dari wajah Denta.
Sampai derap langkah kaki mendekat membuat kedua remaja itu tersentak. Buru-buru mengalihkan pandangan ke sumber suara, di mana bunyi sepatu beradu tepat pada lantai berasal. Seperkian detik, mata kedua remaja itu dibuat melebar, melihat dua sosok orang dewasa berdiri di depan mereka. Terlebih Denta yang sudah terkejut setengah mati, melihat kehadiran dua orang ini.
“K-kalian di sini?”
***
GASTA dan Denta menunduk. Berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan tajam dari pria yang sedari tadi belum membuka suaranya sembari membiarkan istrinya mengoceh puas. Ruang keluarga yang seharusnya hangat jadi mencekam seperti ruang sidang untuk Gasta dan Denta.
Djarian Navvere Beckinsale bersama Ratih Evania Beckinsale--istrinya, benar-benar berhasil membuat Gasta dan Denta mati kutu sekarang. Apalagi saat sorot mata Ratih sambil mengomeli Denta membuat mereka jadi bungkam seribu kata.
Untuk orang seperti Denta, hanya Djarian dan Ratihlah yang berhasil membuat gadis itu kicep. Teguran papa dan mamanya seolah tak pernah digubris cewek itu sama sekali. Berbeda lagi jika sudah Ratih yang melakukannya. Apalagi Djarian--kakeknya yang terkenal dingin dan tak suka dibantah.
“Oma beneran nggak habis pikir sama kamu Denta, bisa-bisanya berantem sama orang di depan gerbang gitu,” kata Ratih sambil memijit keningnya yang berdenyut sakit melihat tingkah cucu kesayangannya. Mau bagaimana juga, Denta adalah cucu perempuan nya yang paling sulung.
“Apalagi berantemnya cuma karena cowok. Ya ampun, oma didik kamu dari kecil, biar bisa diandalkan. Jadi perempuan tata kramanya mesti dijaga, bukan malah begini,” sambungnya sebal. “Apa sebelumnya kamu juga sering kayak gini? Sudah berapa kali kamu berantem sama orang, sampai bikin geger satu sekolah begini?”
Denta langsung sibuk menghitung dengan jarinya dan coba mengingat-ingat, berapa kali dia baku hantam dengan orang. Sontak saja hal yang dilakukan Denta membuat Ratih semakin geram. Bisa-bisanya dia menghitung pakai jari. Berarti, secara tak langsung Denta sering sekali melakukan hal memalukan seperti ini.
“Aku lupa, Oma,” cicit Denta pelan, membuat Ratih jadi melotot galak.
“Lupa? Berarti sering?”
“Lumayan.”
“Lumayan?” pekik Ratih tertahan, sampai khilaf mau menjerit, membuat Denta agak manyun. “Kamu bully orang tuh mikir dululah. Kalau dia sampai masuk rumah sakit, terus keluarganya nuntut gimana? Kamu mau dimasukin ke penjara?” omel Ratih geram.
“Opa nggak akan biarin penerusnya masuk penjara, cuma gara-gara kasus bullying doang,” sahut gadis itu dengan ekspresi masam, membuat Djarian ikutan mendengkus. “Kamu cucu dari keluarga Beckinsale. Setiap gerakan kamu diperhatikan. Kamu ingat kan?”
Denta mengangguk pelan seolah patuh.
“Gasta juga. Harusnya kamu langsung bawa Denta pergi waktu dia datang ke Dharma buat bully siswi itu. Bukan malah menonton,” sambar Djarian.
Gasta meneguk ludah, ketika Djarian akhirnya membuka suara. Nadanya terkesan datar, tapi tetap saja jadi seram. Bahkan, seorang Gasta Nismara Alvredo sejak tadi tak berani mengangkat wajaha. Yang sebenarnya, alasan utama kedatangan Djarian beserta istrinya dari Belgia menuju Indonesia adalah untuk mengecek langsung perkembangan bisnis sekaligus mengunjungi cucu dan anaknya. Terutama Denta.
Terakhir bertemu, saat Djarian datang ke Belanda, menengok Denta yang kala itu masih terbaring koma. Tentu saja kesembuhan Denta tak terlepas dari campur tangan Djarian. Awalnya memang hanya untuk itu.
Namun, saat menerima laporan dan melihat hasil rekaman CCTV yang memperlihatkan aksi bullying yang dilakukan cucunya di depan umum, Djarian langsung mengambil tindakan dengan membatalkan pertemuannya dengan salah satu partner bisnisnya dan bergegas kemari. Beruntung Djarian memiliki saham besar di sekolah itu sehingga hal seperti ini dengan cepat diketahuinya.
Sementara Gasta meremas jari dengan gelisah. Niat hati ingin menghabiskan waktu dengan Denta, tapi rencana itu berantakanhingga terseret dalam sidang menegangkan sore ini. Sebenarnya bukan dirinya, tapi lebih dominan ke Denta. Namun tetap saja, namanya disebut-sebut.
“Kalau siswi itu lapor ke orangtuanya terus mereka nggak terima, kamu mau apa?” tantang Ratih galak, membuat Gasta yakin sifat yang dimiliki Denta, berasal dari neneknya.
“Itu sih cupu namanya,” ceplos Denta tanpa sadar, saking gregetannya. Dia baru sadar, ketika Gasta menyikut lengannya, sekaligus tatapan tajam sang oma layangkan padanya.
Djarian melengos kasar. “Denta, kamu nggak tau seberapa khawatirnya Opa waktu kamu kecelakaan terus koma selama itu. Opa nggak peduli, sekalipun harus mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan kamu. Asal kamu sembuh,” tuturnya dengan tegas. “Jadi Opa mohon, kalau kamu sudah sembuh begini, jangan melakukan hal yang membahayakan diri kamu sendiri.”
“Aku nggak pernah kalah, Opa, setiap kali baku hantam begitu. Aku selalu menang, iya kan, Gas?” tanya Denta seolah meminta persetujuan Gasta. “Opa nggak perlu khawatir soal itu. Lagian, aku nggak bakal bully orang kalau dia nggak cari masalah duluan sama aku.”
Djarian memijit pelipisnya yang terasa pening sekarang. Dari kelima cucunya, hanya Denta yang memiliki sifat keras kepala dan sulit diatur. Berbeda dari abangnya--Sandy yang lebih penurut. Meski begitu, Djarian tidak mengelak bahwa Denta salah satu cucu kesayangannya.
“Jangan diulang!” tegas Djarian, diangguki cepat oleh Denta.
Sebenarnya, Gasta sudah sempat angkat suara tadinya. Menceritakan alasan Denta melakukan bullying pada seorang siswi.
“Sebenarnya begini, Opa, saya sama Lavina tidak ada hubungan apa-apa. Tapi Denta ngotot nggak mau percaya. Apalagi Lavina selalu mengirimi chat ke saya, tapi demi Tuhan, Opa. Saya nggak pernah respon. Tapi Denta tetep aja ngamuk, tau-tau sudah ada di depan sekolah. Saya sudah memisahkan mereka berdua, tapi Denta malah dorong saya. Ya sudah, saya nggak nahan lagi. Karena sempat kena cakar Denta juga.”
Denta mendelik karena omongan Gasta.
“Maafin Denta, Oma! Denta tuh khilaf, makanya main labrak-labrakan gitu,” Denta berlari kecil memeluk omanya sambil merengek-rengek sok menangis, padahal air mata yang dikeluarkan, adalah air mata buaya.
“Siapa nama kamu tadi?” tanya Ratih menatap pemuda itu.
“Gasta, Oma,” balasnya pelan.
Ratih Evania Beckinsale--wanita itu masih sangat mempesona. Kerutan yang ada di wajah sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. Oma Ratih awet muda. Tubuhnya ideal dan fashionable meski sudah berumur. Ternyata wajah inilah yang mewarisi wajah cantik Denta.
“Benar kamu pacarnya Denta?” tanya Ratih dengan kening mengerut.
“Benar, Oma,” balasnya susah payah.
“Sudah lama pacaran dengan Denta?”
“Lumayan, Oma.”
“Kenal di mana? Kalian satu sekolah?”
Gasta menggeleng. “Dulu sempat satu sekolah. Tapi sekarang Denta sudah pindah ke SMA Sevit.” tuturnya.
Ratih mengangguk paham. “Ayah kamu kerja apa?”
Buset dah, ngegas amat ya! batin Denta menjerit.
Sedangkan Gasta masih terus meremas jari seolah menahan kegugupan. Walau dalam hati sudah membatin sejak tadi. Gue kayak diwawancara mau jadi menantu aja deh.
“Pengusaha, Oma.”
“Oh ya? Pengusaha di bidang apa?” tanya Ratih tak tertarik.
Gasta berdehem sebentar. “Properti.”
“Apa marga keluarga kamu?” sahut Djarian dengan alis terangkat.
Djarian dan Ratih memang paling tidak suka, jika anak atau cucunya mengenal seseorang karena urusan bisnis. Apalagi sampai menjodohkan mereka untuk alat pemersatu perusahaan. Beckinsale adalah perusahaan raksasa yang menangani banyak bidang.
“Alvredo,” balas Gasta.
“Alvredo?” pekik Ratih dan Djarian secara kompak.
“Nama lengkap kamu?”
“Gasta Nismara Alvredo,” sahutnya.
“Apa hubungan kamu dengan Daffa?” tanya Djarian gugup.
“Putranya,” kata Gasta. Sontak saja, Djarian dan Ratih dibuat kicep seketika.
***