18 | Srikandi Zaman Now

4521 Words
“WOI!Gimana nih!” pekik Alvaro sambil gendor-gendor papan tulis sok galak, ketika anak-anaknya mulai rusuh tak terkendali. “Diem dong, elah! Fokus dulu ke gue!” Miya angkat tangan heboh. “Woi, Al! Gue bawa pembantu dari rumah boleh nggak sih? Mami yang nyuruh. Biar gue lebih mudah pas di hutan.” Satu kelas kompak mendecih, hingga membuat Miya terlonjak lantaran terkejut bukan main. Gadis mungil itu bahkan sampai mengurut dadanya saking kagetnya. “Manja lo dasar!” “Nggak sekalian emak, bapak, sampai nenek lo ajakin kemah semua?” Naufan langsung memekik sewot sendiri. “Kalau perlu, Mi, ajak sekalian nenek moyang lo yang udah di kuburan. ” timpal Aryan. Alvaro melengos sebal, kemudian berkacak pinggang. Ucapan teman-temannya anggap saja angin lalu. Padahal dia sedang tidak ingin membahas hal itu sekarang, “Ini gimana jadinya? Acara pensi pas kemah kelas kita jadi nampilin apa? Udah mepet banget nj*r, yang serius dong! Jangan malah bercanda!” “Dance ajalah, Al. Suruh anak cewek yang makilin!” pekik Raghil usul. Hauri melirik sewot. “Jangan dance dong Ghil! Kalau dance, enakan yang cowok dong nggak ikutan mikir.” Nezar angkat tangan. “Paduan suara aja, Al! Sekelas bisa nyanyi semua.” Denta mendelik, “Terus kita bakalan nyanyi apaan, Zar? Nyanyi kisah asmara tunas kelapa?” Gadis itu menyebutkan salah satu lagu favorit saat pramuka. “Indonesia Raya aja,” sambar Oky. “Temon Holic aja, Al! Entar biar Alka yang jadi pemimpin jogetnya!” usul Fina tanpa beban. Adiba mencibir langsung. “Yang ada rubuh nanti panggungnya, kalau kita sekelas temon holic semua.” Fina merapatkan bibir sebentar. “Terus apaan dong? Udah mepet ini, tinggal lima hari doang. Mau tampil apa selain Temon Holic yang paling mudah,” ujar cewek itu. Aryan tiba-tiba angkat tangan. “Al, nge-band aja gimana? Kan seru. Entar gue aja yang jadi penyanyinya,” kata cowok itu tenang. “Jangan nge-band dong! Yang cewek mau ikut tampil juga,” protes Nafa seolah tak setuju. Rafka tiba-tiba berseru, sambil mengangkat tangan dengan heboh. “Mending kita bikin drama aja. Kan semua bakalan kebagian entar. Meskipun nggak dapat peran, kan tetep masih bisa sibuk nata panggung dan propertinya. Setidaknya ikutan kerja semua.” “Tumben pinter!” Seisi kelas kompak memekik nyaring, membuat cowok bongsor itu tiba-tiba terlonjak. Namun tak berselang lama, dia jadi mengulum senyum jumawa, menepuk d**a dengan sombong. “Tapi jatah kita cuma tinggal lima hari doang. Emang keburu?” tanya Alvaro kebingungan. “Kita bikin cerita yang gampang aja, Al! Cerita yang sering dibaca dan alurnya gampang dingerti,” celoteh Aina tiba-tiba. “Pokoknya gue mau jadi antagonis. Gue pengen bagian yang nindas aja. Soalnya antagonis nggak perlu acting mewek segala,” seru Denta seolah tak mau kebagian yang sulit-sulit. “Lagian nih, muka gue tuh muka-muka sadis. Lebih cocok jadi pemeran jahat ketimbang baik.” “Gue juga, Al! Gue nggak mau acting jadi cewek lemah.” “Eh, kita bikin cerita Cindelaras aja gimana? Entar biar si Raghil aja yang jadi ayamnya,” kata Hauri, membuat Raghil melotot sewot. “Kok gue sih?” protesnya. “Jangan Cindelaras! Sangkuriang aja gimana? Entar Aryan yang kebagian jadi anjingnya, terus mati dibunuh,” timpal Denta membuat seisi kelas tertawa. Aryan langsung menendang bangku cewek itu dari belakang. “Iya, lo jadi dayang sumbinya, terus nikah sama anjing,” sahut Aryan sarkas. “Najis,” balas Denta. “Pas banget dong, Aryan kan fuckboy. Cocok kalau jadi anjing,” pekik Naufan sambil ngakak. “Malin kundang aja lah, Al. Entar si Oky yang dikutuk jadi batu,” sahut Tsabita mengasal. Oky melotot. “Gue udah diem dari tadi biar nggak di-bully. Tapi tetep aja gue di-bully.” “Gue ada ide. Gimana kalau kita bikin drama putri tidur aja?” usul Nafa. Semua orang saling lempar pandang, seolah memberi kode yang sama. “Setuju. Entar gue jadi putri tidurnya,” kata Hauri lebay. Oky mendelik sinis. “Najis woi! Lo pantesnya tuh jadi penyihir.” “Oky, lo mau gue bacok?” ancam Hauri sambil melotot galak, membuat Oky langsung nyengir. “Jadi, gimana? Setuju nggak kalau kita bikin drama putri tidur aja?” tanya Alvaro meminta persetujuan yang lain. Sekelas langsung diam. Kemudian melempar pandang satu sama lain, berpikir sebentar, sebelum akhirnya memilih mengangguk setuju saja. Tidak ada pilihan yang lain, selain mengiakan. “Dib, bikin kertas perannya! Cari di Google, peran apa aja yang dibutuhin kalau pementasan putri tidur!!” Adiba menurut saja. Gadis mageran itu langsung mengeluarkan kertas dan ponselnya, kemudian mencatat nama peran dibantu oleh Tsabita. Sementara yang lain menunggu dan adu pendapat. Baik tentang kostum, naskah dan lain sebagainya. Tidak lama, hanya sekitar sepuluh menit saja, Adiba sudah selesai dengan gulungan kertas yang ditaruh di dalam botol aqua kosong. Gadis itu maju ke depan, memberi perintah agar teman-temannya mengambil kertas peran. Satu persatu anak mulai mengambil kertas. Denta dengan langkah malasnya mengambil kertas, sempat baku hantam sebentar dengan Aryan lantaran cowok itu dengan sengaja menginjak sepatu barunya. “Jangan dibuka dulu!” teriak Adiba. Alka dan Oky yang kepergok mau buka kertas, jadi memekik kaget. “Oke, buka sekarang!” pekik Alvaro langsung heboh ikutan membuka kertas perannya sendiri. Mereka semua langsung membuka kertas peran masing-masing. Semua orang menampilkan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang tidak terima, kesenengan, adapula yang heboh minta tukar. “Kok gue jadi pohon sih?” protes Nafa tidak terima. “Gue juga. Masa iya tugas gue cuma berdiri doang?” gerutu Oky langsung angkat suara. Fina merengut. “Gila! Gue pengen jadi putri tidur, kenapa harus dayang sih?” “Gue juga dayang!” seru Adiba. “Gue juga,” pekik Aina senang. Alvaro melirik Hauri yang tengah mencak-mencak sendiri. “Ri, lo dapat peran apaan?” tanya Alvaro. “Si*lan emang si Oky. Doanya dijabah sama Allah. Gue beneran jadi penyihir!” katanya sambil mencak-mencak tak karuan, membuat seisi kelas kompak tertawa. “Kan udah gue kata, lo cocoknya emang jadi penyihir,” ujar Oky. “Si*lan.” Sampai suara tangis yang dibuat-buat membuat semua mendelik. Itu suara Miya--si mungil, membuat semua kepala refleks menoleh. Gadis itu bahkan sok-sok an mengelap air matanya yang hanya berbentuk udara. “Gue kecil, Anj*r. Ngapa harus jadi emaknya putri tidur?” protesnya sebal. Aryan mendelik. “Lah, gue bapaknya.” “Naj*s amat pasangan sama Aryan.” “Idih, gue juga naj*s pasangan sama lo. Dasar pentol,” sinis Aryan. “Heh-heh, ada yang mau tukar sama gue nggak?” teriak Denta sambil angkat tangan, membuat semua anak heboh melihatnya. “Gue udah bilang kan, pengennya jadi antagonis aja. Sumpah, gue nggak cocok banget meranin cewek lemah gemulai gini,” oceh gadis itu sambil bergidik geli sendiri. Alvaro mengerutkan kening. “Lo dapat peran apaan, Nta?” “Putri tidur. Gue nggak mau jadi putri tidur. Gue pengennya jadi nenek sihir aja,” kata Denta kekeuh. Hauri sumringah. “Tukeran aja sini, Nta, sama gue,” katanya membuat Denta tersenyum senang. Tapi tidak berlangsung lama, karena Alvaro lebih dulu menyemprot keduanya. “Kagak ada tukar-tukaran!” pekik Alvaro lantang. “Pokoknya gue nggak mau jadi putri tidur. Entar apa kabar cowok gue kalau lihat? Gue yakin dia bakalan ngamuk pas pementasan,” cerocos Denta menjelaskan. “Lo nggak lupa kan, cowok gue itu macan? Kemarin aja, gue ketauan main basket sama Aryan, dia udah ngambek coy! Apalagi kalau ini?” ujar Denta menyambung kalimatnya tadi. “Halah, lagian bukan Aryan juga yang meranin pangerannya. Dia kan jadi bapaknya putri tidur,” balas Alvaro. Aryan mendelik. “Emang ya si Gasta mukanya aja yang sangar. Padahal mah bucin unlimited,” cibirnya sewot. “Yang jadi pangerannya siapa?” tanya Hauri tiba-tiba. Naufan angkat tangan. “Gue dong,” serunya dengan bangga dan sombong. “Tuh kan. Apalagi Naufan. Dia kan punya cewek anak Cendrawasih. Kalo ceweknya tau Naufan jadi pangeran, bisa abis gue yang dijambak,” gerutu Denta. Naufan melengos. “Tenang aja, Nta, cewek gue mah santuy! Lagian gue seneng kok jadi pangeran,” ujarnya tenang, membuat Aryan melirik sinis. “Sini, tukeran aja sama gue! Biar gue aja yang jadi pangeran,” kata Aryan heboh berusaha mengambil kertas peran di tangan Naufan. “Enak aja. Udah gue nih,” oceh Naufan dengan sewot. “Al, gue yang jadi dayang aja deh! Gue nggak mau jadi putri tidur. Malas banget harus hafalin dialog paling banyak sendiri. Lo tau sendiri kan, otak gue tuh zonk. Bakalan susah masuk ke otak, apalagi cuma lima hari. Apalagi, lo tau sendiri monyet gue cemburuan.” Sebenarnya bukan karena Gasta sepenuhnya. Denta hanya malas saja ketika perannya nanti paling penting dan otomatis menjadi sorotan. Belum lagi, hafalin teks paling banyak. Apalagi pasangannya sama Naufan yang udah ada pawangnya. Bisa habis dia kena jambak. “Dah-dah, bacot banget. Pokoknya lo tetep putri tidur. Besok naskahnya dibagi! Hafalin! Kita latihan tiap pulang sekolah. Soal kostum udah diurusin sama Tsabita dan Fina.” Denta mengumpat. “Pokoknya harus lo yang tanggung jawab, kalau cowok gue ngamuk nanti.” “Udah sih, Nta. Kerjaan lo selama di panggung cuma rebahan doang. Abis itu dicium pangeran. Udah deh, kelar!” kata Adiba, membuat Denta langsung mengumpat. Pandangannya beralih pada Naufan yang kini melihatnya. “Heh! Awas aja lo ya cium-cium gue nanti! Gue bantai lo kalau sampai kejadian beneran!” Naufan melengos. “Apa sih, Nta. Palingan juga cuma kening doang, nggak sampe bibir,” alibinya. “Wah, sembarangan lo, Fan! Siapa yang bolehin lo cium Denta?” gerutu Aryan langsung ngegas. “Bapaknya putri tidur, diem-diem aja ya! Ngapa jadi lo yang ngegas? Lagian kan, ini udah bagian dari peran. Gue nyium anak lo, biar anak lo bangun,” seru Naufan, membuat bibir Aryan mencebik. “Ogah! Nggak ada adegan-adegan begituan,” pekik Denta jadi mengamuk. “Iya, nggak usah ada adegan begituan. Lagian kita masih SMA,” sahut Alvaro, membuat Naufan menghela napas sok kecewa berlebihan. *** SEBUAH mobil dakar Fortuner, melaju angkuh menuju SMA Dharma Wijaya. Disusul mobil sedan warna putih, hitam, lalu Toyota Yariz warna merah, dan terakhir sebuah mobil All New Honda Jazz RS. Tiba di depan sebuah gerbang megah bertuliskan SMA Dharma Wijaya di atasnya, yang kini sudah ramai sesak oleh murid-murid yang bertolak akan pulang ke rumah, mobil mereka berhenti dan terparkir secara berurutan ke belakang. Di urutan pertama Denta, disusul berikutnya Hauri, ketiganya ada Tsabita, lalu Fina, dan yang terakhir diisi oleh mobil Nafa. Sesaat mobil mereka terparkir rapi dengan posisi berurutan, nyaris semua pasang mata, menatap takjub mobil yang dikendarai mereka. Bukan hanya dari mobilnya, namun cara mobilnya berlaju dengan kecepatan berlebih. Banyak para murid yang melihat ke arah mobil mereka berlima dan tak sedikit ingin tau siapa pengendaranya. Halaman depan gerbang yang luas, membuktikan betapa hebatnya gerombolan gadis cantik yang mengenakan seragam kebanggaan SMA Sevit--kemeja putih berlengan pendek yang di balut rompi V-neck warna abu-abu, dengan bawahan rok kotak-kotak warna hitam. Mereka berlima keluar dengan gaya mereka masing-masing. Denta yang terlihat cantik saat kebiasaan mengunyah permen karet ketika mengendarai mobil, Hauri memasang ekspresi juteknya, Nafa mengulum senyum lebar, sementara Tsabita terlihat anggun mengibaskan rambut panjangnya, dan terakhir Fina yang masih sempat-sempatnya mengacungkan kamera recorder-nya dengan sangat rusuh. Denta--gadis cantik berambut coklat sebahu yang di curly pada bagian ujungnya, melangkah angkuh dengan dagu sedikit terangkat. Kacamata hitam masih bertengger pada hidung mancungnya yang mungil. Diikuti oleh Hauri, Nafa, Tsabita dan Fina di belakangnya. Sontak saja, banyak murid yang dibuat kaget. Denta tau, kedatangannya di sekolah lamanya pasti akan membuat kehebohan SMA Dharma Wijaya. Apalagi jika bukan karena ada segelintir murid yang belum tau mengenai kesembuhannya. Rata-rata mereka masih berpikir, jika dirinya masih koma dan berada di Belanda. Gadis itu melengos. Enggan peduli. Tujuannya datang bukan untuk ini, melainkan yang lain. Langkah mereka yang bak model itu, seakan sudah penanda akan datangnya suatu bencana. Terlebih, melihat beberapa jenis bahan yang berada di tangan. Mulai dari tepung, telur, air, bahkan tangan Nafa sekarang sudah memegang gunting, entah untuk apa. “Loh, itu Denta kan?” tanya seorang siswa dengan wajah cengonya. “Sumpah, makin cantik banget rambutnya dipotong pendek gitu.” “Iya ih, tapi kok dia pakai seragam Sevit? Apa dia pindah ke Sevit ya?” “Eh, tapi mau ngapain anak Sevit ke sini? Bawa tepung, telur gitu?” “Mau ngerayain ulang tahun kali.” “Gue cari Gasta dulu, deh. Pasti dia senang tau ceweknya datang,” sambar yang lain, kemudian berlari ke dalam. “Denta! Gue manggil, b***k,” panggil Fina yang di barisan belakang. Denta yang tengah melangkah, jadi merinding juga. Lalu menoleh ke belakang perlahan, mendengar desisan seseorang, yang akhirnya dia menemukan sosok mungil Fina lah yang memanggil. Gadis itu agak menintip di belakang tubuh bongsor Hauri. “Apaan?” tanya Denta. “Nta, yang bener nih?” tanya Fina dengan kegelisahan tiada tara. Tangannya tak berhenti meremas tongsis yang dipegangnya. “Beneran lah. Lo kalau takut, mending balik sono!” usir Denta langsung. “Gue nanya aja, Gobl*k. Eh, tapi aman kan? Kali aja kita bakal dikeroyok satu sekolah kalau nge-bully salah satu siswinya,” ujar Fina lagi. Denta menatap sebal. “Siapa yang berani keroyok gue? Gue pernah sekolah di sini sebelumnya. Jangan lupa, gue ini queen bee dulunya,” sahutnya sambil menepuk dadanya bangga. Fina mencebikkan bibir. “Halah, itu kan dulu. Sekarang queen bee-nya juga udah ganti. Dan lo bukan anak Dharma Wijaya lagi,” tukasnya sebal. Denta memutar bola matanya agak jengah. “Palingan juga queen bee-nya si Alesia. Gampang itu mah, gue udah sering baku hantam sama dia dulu. Kecil kalau cuma Alesia doang, nggak ada apa-apanya kalau sama gue dan Hauri,” oceh gadis cantik itu. Hauri menepuk bahu Denta ikutan bangga. “Ini baru temen gue. Nyali gede kayak macan. Pemberani.” “Heh, Fin! Lagian ngapain sih lo takut kalau kita dapat masalah? Cowoknya Denta tuh bos geng di sini.” “Lah iya, lupa,” kata Fina heboh. “Nta, cowok lo tau kalau lo bakalan ke sini?” tanya Nafa. Denta menggeleng. “Gue nggak sempat ngasih tau dia. Lagian nggak penting juga, kalau dia tau. Yang ada, gue malah disembur nanti kalau bikin masalah terus.” “Oh ya, pokoknya nanti biar Hauri yang diberhentiin. Lo berdua hadang kanan kiri. Gue kapten, kalau Fina bagian yang dokumentasi,” ujar Denta, diangguki oleh mereka. Kelimanya berdiri di sisi kanan gerbang, sembari mengamati gedung megah di depannya, mengingat orang yang mereka cari ada di dalam sana. “Ciri-cirinya gimana sih?” tanya Fina sambil celingukan melihat. “Tingginya sama kayak Nafa. Rambutnya hitam, dipotong bob gitu. Kayak Dora,” balas Denta mencoba mengingat-ingat gadis di rumah sakit, yang duduk di sebelah Gasta hari itu. Kelimanya kembali menatap ke dalam. Mengintai sang mangsa yang belum juga kelihatan batang hidungnya. “Eh, yang itu bukan?” seru Hauri langsung heboh, menunjuk seorang siswi yang keluar dari lobi gedung dengan langkah riangnya, sendirian. “Ingat ya, lo berdua hadang kanan kiri, gue yang berhentiin!” tukas Hauri seolah mengingatkan Nafa begitu juga dengan Tsabita. “Siap siaga?” komando Denta. Alhasil keempatnya langsung bersiap keluar dari tempat persembunyian. Alias sisi kanan gerbang, yang membuat tubuh mereka tidak terlalu kelihatan, karena tertutup oleh tembok. “Serbu!” seru kelimanya kompak, membuat banyak murid terlonjak, merasa terkejut setengah mati. Sebelum mengeksekusi target yang akan di-bully, mereka lebih dulu memastikan bahwa tidak ada guru ataupun satpam yang berjaga di sini. Denta tau, biasanya ketika pulang sekolah begini, para satpam sibuk di parkiran, untuk mengeluarkan motor anak-anak di parkiran. Setelah dirasa sudah aman, kelima gadis cantik itu berjalan tergesa menghampiri Lavina. Kemudian mengelilingi tubuhnya, sampai si empu mengeryit bingung, ketika tiba- tiba dikepung begini. “Jadi bener, kalau lo yang namanya Lavina?” Hauri berujar tajam, yang sudah berada di depannya. Lavina mengangguk. “I-iya, kalian ini siapa ya?” tanya gadis itu. Sekarang jadi tersentak, ketika Nafa dan Tsabita sudah memegang kedua lengannya. “Eh, apa-apaan sih. Kok tangan gue dipegang gini?” “Cih, nggak usah masang muka sok melas deh! Lo pikir gue bakal kasian lihat lo? Nggak!” tukas Hauri. “Maaf. Tapi ada apa ya? Emangnya kita kenal?” tanya Lavina dengan raut bingung yang kentara sekali. Hauri mendengkus kesal. “Sorry, gue aja nggak sudi kenalan sama lo. Dasar pelakor,” sinis cewek itu. “Pelakor? Gue maksudnya?” tanya Lavina dengan nada meninggi. “Iyalah lo. Ya kali gue,” balas Hauri sengit, membuat banyak pasang mata menatap mereka sambil melongo. “Mbak, maksud lo apa ya ngatain gue pelakor? Gue kenal situ aja nggak. Kok bisa-bisanya ngatain, kalau gue pelakor?” seloroh Lavina tajam. Hauri, gadis bongsor itu mendecak, kemudian menyodorkan ponselnya, memperlihatkan foto Gasta yang sempat diambilnya dari akun i********: pemuda itu. Tentu saja karena suruhan Denta. “Gimana, lo kenal kan sama cowok yang ada di dalam foto ini?” Kali ini suara Fina yang tengah merekam aksi mereka terdengar. Kata Fina untuk dokumentasi saja. Awas saja kalau sampai kesebar terus viral. Denta nggak segan-segan buat nyekik dia. Sontak saja mata Lavina dibuat melebar sempurna. “G-Gasta? Lo pacarnya Gasta?” “Bukan gue, tapi teman gue.” “Teman lo?” tanya Lavina bingung. Hauri menggeser posisinya agak ke kiri. Dan Denta yang sejak tadi masih berdiri di belakang Hauri langsung melangkah ke depan. Pas sekali posisinya berada tepat di depan Lavina yang tercengang. “Nta, enaknya kita apain nih?” tanya Hauri, membuat Denta langsung menarik senyum miring. Gadis cantik itu berkacak pinggang, memandang Lavina remeh. Melihat penampilan gadis itu mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang diperhatikan terus menundukkan kepalanya jadi ciut. Kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, sudah dilepas dan dicantelkan pada bagian kerah lehernya. “Bisa gue minta waktu sebentar?” ujar Denta hanya sekedar basa-basi. “Hm.” “Agak dekatan dong! Gue mau ajak lo cerita kisah nabi-nabi nih,” ujarnya sambil terkekeh sinis, dengan kedua tangan menyilang di depan d**a. “Jadi bener kalau lo yang namanya Lavina?” “Iya, kenapa?” Denta mencoba menguasai diri. Dia mengangkat dagu dengan angkuh. Ukuran Lavina yang hanya sedagu Denta, membuatnya terlihat mungil. Gadis itu sampai khilaf, untuk menyudahi aksinya dan melepaskan Lavina saja. Merasa kasihan juga dengan gadis ini. Wajahnya itu polos, tidak seperti Alesia atau Alicia yang memang sudah hukum alam, punya wajah sengak belagu. Tapi jiwa iblis jahatnya lebih mendominasi daripada sisi malaikat baiknya. Lagipula, kalau dibiarkan, pelakor macam Lavina akan bertindak lebih parah dari ini. Denta jadi ingat dengan Melody. “Jadi eloyang ngejar-ngejar cowok gue, terus motoin gue sama Aryan yang lagi main basket, terus kirim ke Gasta supaya kami berantem?” Mata Lavina dibuat melebar seketika. Gadis itu gelagapan bukan main. Mau mengelak tapi tidak bisa karena memang dibilangfakta. “Wah, anak mana lo berani banget sama gue?” tanyanya, membuat Lavina semakin diam. “Kenapa lo diem? Lo dekatin cowok gue aja berani, kenapa setelah gue samperin lo ciut begini?” Tiba-tiba saja Denta mendorong bahu Lavina, sampai membuat gadis itu terpental mundur ke belakang dan jatuh. Denta mengambil langkah maju, mencengkram kerah seragam Lavina, membuat tubuh Lavina sampai agak terangkat. “Bukannya udah gue peringatin sebelumnya. Nggak usah jadi pelakor dengan dekatin cowok gue, kalau lo nggak mau dapat masalah. Lo boleh jadi pelakor di hubungan gue, kalau nyali lo gede. Tapi kayaknya nyali lo itu cuma kecil.” Gadis itu kemudian mendorong badan Lavina sampai gadis itu terjatuh, membuat Lavina menggeram. Tangannya terkepal, gadis itu bangkit dengan wajahnya yang kesal, mendorong bahu Denta tak kalah kasar, namun sama sekali tidak berhasil membuat Denta jatuh. “Faktanya emang lo selingkuhin Gasta kan? Kenapa lo marah?” tanya Lavina menyentak. Denta mendelik, merasa tidak terima sama sekali. “Sorry,” ucapnya seolah memprotes. “Kalau nggak tau apa-apa nggak usah sotoy deh! Aryan cuma teman sekelas gue,” balasnya sengit. Lavina mengangkat sebelah alisnya tinggi. “Oh ya? Yakin cuma temen sekelas aja? Kalau temen sekelas nggak mungkin semesra itu,” balasnya tidak mau kalah. Denta menarik napas berat.“Gue rasa lo sengaja lebih-lebihin hal ini supaya ada bahan bikin Gasta marah terus minta putus sama gue. Sorry ya La-vi-na, Gasta nggak akan ninggalin gue cuma buat cewek kampungan kayak lo. Jadi, nggak usah susah-susah cuci otak Gasta pakai mulut sampah lo,” katanya dengan nada manis yang dibuat-buat. “Gue main basket nggak cuma berdua doang. Ada Naufan, Oky dan lain juga. Mesra apaan? Gue aja cuma naik ke atas pundaknya.” “Lo pikir, dengan foto itu bakal berhasil bikin Gasta ngamuk? Ya elah, Lav, gue udah sering kali joget-joget di atas pundak Leo atau cowok lain, dan Gasta nggak gimana-gimana tuh. Lo aja yang alay,” sambungnya, membuat Lavina mendelik sebal. Lavina berdehem, mencoba untuk menguasai ekspresi. “Wah, lo murah banget dong ya?” Garis wajah Denta berubah dingin. Membuat Lavina tanpa sadar meremas roknya karena ketakutan. “Murah kata lo?” tanya Denta sambil tersenyum sinis. “Apa bedanya sama lo yang berusaha jadi pelakor dihubungan gue dan Gasta?” sambung gadis cantik itu. “Dandan yang cantik dulu lah, kalau mau rebut Gasta dari gue. Bedain maskara sama eye liner aja nggak bisa. Sok-sokan mau jadi pelakor, cih,” kata Denta lagi, angkuh. Lavina mengeraskan rahang, menajamkan tatapannnya dan melipat kedua tangan. Walau tidak dipungkiri kakinya sudah agak bergetar sekarang. Dia mengambil selangkah maju. “Ciwi-ciwiku!” teriak Denta heboh ketika melihat Dira, Ivon, dan Gista keluar dari lobby utama. Ketiga gadis yang tadinya saling sikut, jadi tersentak dan buru-buru menoleh. Hauri menepuk kening begitu Denta yang masih bisa-bisanya menyapa sahabatnya dalam keadaan tegang begini. “Denta!” teriak Dira lebay, sambil berlari ke arah Denta ala-ala film India, yang coba di slow motion. “Lo kok di sini, Nta?” tanya Gista ikut heboh, sementara Ivon masih diam melihat keempat teman Denta dari SMA Sevit, dengan kening mengerut. “Loh, Lavina?” pekik Dira tertahan. Denta tersenyum remeh. “Sahabat baru lo bertiga kan?” “Nggaklah, Nta. Cuma temen biasa saja,” balas Gista. Memang benar kok, hanya teman biasa. Mereka bertiga tidak sama sekali berminat menambah orang di geng mereka, meskipun Denta pindah sekolah. “Jadi, nggak masalah kan kalau misal nya dia gue bully?” Dira terkekeh. “Bolehlah, kenapa coba nggak bol--eh, lo serius mau bully dia? Kenapa, Nyet?” tanya Dira syok baru tersadar. Gista dan Ivon melengos saja, seolah sudah paham otak b****k Dira tidak jauh berbeda dengan Denta. “Entar gue jelasin. Gue mau selesaikan dulu, sebelum si macan datang terus ngajak gue pulang,” balas Denta, sambil mengingat wajah galak Gasta. Denta mengalihkan pandangan pada Lavina kembali. Mengibaskan rambut sebahunya dengan rahang mengeras. Tangan Denta mulai maju ke depan. Mencengkram kerah seragam Lavina, beralih menjambak rambut bob gadis itu dengan brutal. Membuat semua orang yang ada di sana memekik histeris secara kompak. Berbeda dengan Hauri CS, Dira dan juga Ivon yang masih tenang saja menonton kejadian ini. Tidak berniat sama sekali memisahkan. “Nta, udah! Entar ketauan guru sini elah,” teriak Gista, yang langsung ditabok oleh Dira agar gadis mungil itu mau diam. “Lo udah gila?” amuk Lavina juga maju menarik-narik rambut sebahu Denta kasar. Denta tersenyum kecil di balik jambakan Lavina. Ternyata gadis itu hampir mirip seperti Alesia, meskipun badannya kecil. Berbeda dengan Alicia yang bermulut besar tapi kemampuan baku hantam nol. “Udah pernah ngapain aja sama Gasta hah? Gue yakin, lo pasti udah pernah tidur sama dia kan? Makanya dia nggak bisa lepas dari lo?” “Bangs*t! Lo emang pantesnya buat gue habisin sekarang,” seru Denta mencakar wajah baby face Lavina lalu mencengkram rambut pendeknya. Menariknya dengan kasar sampai Lavina berteriak kesakitan. Tidak ada yang berniat maju untuk menolongnya. Semua orang hanya bisa dibuat bungkam melihat hal ini. Memangnya siapa yang akan berani dengan Denta? Gadis itu queen bee di sekolah ini, sebelum Alesia yang menggantikan posisi itu. Belum lagi, Gasta adalah the king senior high school. Pemuda yang paling berpengaruh di sini. Jangan lupakan, bahwa Djarian Navvere Beckinsale, pengusaha yang memiliki saham terbesar di sekolah ini, adalah kakek Denta. Lavina mencoba balas menjambak, tapi Denta lebih dulu mendorong tubuh kurusnya sampai terpental jauh. Lavina belum sempat melawan, ketika Denta menampar pipinya, dan balik menarik seragam sekolahnya, juga rambutnya dengan kasar. Makin berteriak, ketika Denta mencengkram rahang bawahnya dengan kuat. “Woy, Dodit! Panggilin Gasta!! Cepetan!” pekik Gista makin kalut dan heboh. “Gasta di mana?” tanyanya. “Di rooftop coba cari! Atau nggak di parkiran, cepetan elah!” Lavina terus meronta agar bisa melepaskan diri, ketika Denta malah mencekik lehernya. Sungguh, Lavina baru sadar jika cerita kesadisan Denta benar adanya. Dia bukan queen bullying seperti karakter bad girl di tokoh n****+. Dia adalah queen bee atau primadona sekolah berhati macan kalau ada orang yang membuat dia tidak senang. “Habisin dia!” perintah Denta, membuat Hauri dan yang lain langsung bergerak maju melempari tepung, telur dan juga air, membuat Lavina membelalakkan mata. Wajah Lavina sudah seperti adonan kue, yang tinggal dimasuk ke oven. Bukannya tatapan iba yang dia terima, justru banyak murid yang tertawa terbahak-bahak melihat wujudnya sekarang. “Ya Allah, Denta, Gas!” teriak alex melesat maju, menarik lavina. “Panda, ngapain pelukin Lavina segala?” protes Dira, membuat Alex membelalak. Buru-buru melepas Lavina digantikan Nugraha yang baru datang dengan syok. “Gasta! Pawangin cewek lo dulu noh!” pekik Leo membuat Gasta yang masih melongo langsung berlari maju mendekati Denta. Denta masih terus mengacak rambut Lavina yang kini histeris meminta ampun Rasanya emosi Denta meroket, ketika ingat Lavina mengatakan bahwa dirinya pernah tidur dengan Gasta. “Nta, Denta udah!” Suara Gasta terdengar, menarik Denta menjauh, melepaskan tangan cewek itu dari rambut Lavina yang penuh telur dan tepung. “Lepasin gue!” teriak Denta, sambil menyikuti Gasta namun sama sekali tidak membuat pelukan Gasta mengendor. Justru cowok itu semakin mengencangkan pelukan, agar gadis itu tidak bisa mencampai tubuh Lavina yang kini sudah menangis. “Gasta, lepasin! Gue masih mau acak-acak wajah cabe ini, Gas!” Lagi-lagi Denta berontak, menatap sengit Lavina. “Nggak usah masang muka sok polos deh! Ngapain lo nangis segala? Mau caper sama cowok gue? Dasar cabe!” Denta mendengkus jengkel. Kalau dia melihat Lavina menangis begini, Denta merasa seperti tengah berada di dunia per-film an. Di mana nanti si pemeran utama cowok akan ngamuk pada pacarnya yang bully cewek lain sampai nangis, kemudian membantu si cewek lemah itu, dan mereka pemeran utama cowok akan bertengkar dengan pacarnya. Awas saja kalau sampai kejadian seperti itu. Denta nggak akan segan-segan buat nyekik Gasta. “Apa sih, Gas! Lepasin gue! Gue belum selesai bikin perhitungan sama cabe ini.” “Nggak! Udah, Nta. Ngapain sih kayak gini segala?” tanya gasta tegas. “Kenapa? Lo mau bela dia. Bela aja kalau lo mau war juga sama gue!” amuk Denta. Gasta hanya bisa beristighfar saja. Pusing kepalanya melihat tingkah laku Denta. Dia cewek, tapi ganasnya cowok aja kalah. Anehnya, Gasta nggak kesal, justru gemes. Apalagi melihat Denta yang meraung seperti macan begini, membuat Gasta tidak tahan untuk tidak mengarunginya terus bawa pulang. “Udah-udah, ayo pulang! Nanti kakek lo tau, habis lo di gundulin,” gemas Gasta dan langsung membawanya pergi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD