17 | Gasta Ngambek

3611 Words
DENTA bangkit dari duduknya, sesaat ada panggilan masuk dari Alex membuat ponselnya berdering. Gadis itu bersiap untuk melangkah agak jauh, takut mengganggu Gasta yang sudah terlelap tidur. Namun, belum sampai ada selangkah, tiba-tiba tangan kirinya sudah ditarik lebih dulu oleh Gasta. “Mau terima telepon. Kirain tidur tadi.” “Ya udah, di sini aja!” suruh Gasta, tidak mau dibantah. “Halo. Iya, Lex, langsung sini aja. Cepetan! Udah mau malem banget ini,” celoteh Denta pada seseorang di sebrang telepon sana. “Gue udah di parkiran sama Leo. Oh ya, soal biaya rumah sakit gue aja nanti yang urus,” balas Alex. “Oke. Oh ya, ruangannya di kamar Melati nomor 7 ya!” “Oke.” Denta yang menutup teleponnya, sesaat mendelik sebal ketika melihat Gasta mengangguk paham, seolah lega mendengar siapa yang bertelponan dengan Denta. “Mikir apaan lo? Pasti mikirnya gue mau ngangkat telepon Aryan,” oceh Denta membuat Gasta mengangguk tanpa keraguan. “Cih, hobi banget sih lo nethink sama gue,” cibir Denta kemudian bangkit dari duduknya menelusuri selang infus. “Nggak ngaca,” balas Gasta pelan. “Apa?” “Nggak kok, nggak apa,” elak Gasta memandang ke arah lain. Denta mendesah. “Ayo siap-siap. Kita pulang sekarang.” “Pulang?” pekik Gasta tertahan. “Loh? Gue belum sembuh,” sambungnya tak mau pulang cepat-cepat. Pemuda itu masih ingin di temani Denta. Kalau dia sakit begini kan, ada alasan mau modus. “Lo tuh memar dikit aja. Dasarnya aja lo lebay, sampai pingsan gitu,” kata Denta. Gasta merenggut kesal. *** INGAT Samsul? Cowok lekong dari SMA Cendrawasih--temannya Karrel. Cowok yang bikin heboh satu lapangan waktu Gasta nyanyi di malam puncak RIPU Cup, delapan bulan yang lalu. Cowok berperut buncit itu dengan seenak jidat mengatakan dirinya adalah istri Gasta. Siang ini mereka bertemu lagi. Samsul datang ke sekolahnya, dengan alasan mendapatkan undangan dari pihak sekolah untuk menjadi perwakilan siswa dalam rapat membahas tentang perkemahan gabungan dua tahun sekali, antara empat sekolah yang tergabung dalam lingkup wilayah Rajekwesi. Empat sekolah itu terdiri dari Sevit, Dharma Wijaya, Cendrawasih dan SMK Bima tentunya. “Nta, cucok yang mana sih? Warna pink atau yang merah?” Denta melirik malas pada kutek yang ditanyakan Samsul padanya. Katanya sih, baru beli kemarin dan belum sempat dipakai. Mau dipakai tadi tapi Pak Burhan menyuruhnya segera merapat ke SMA Sevit. “Bagus semua, Sul. Lo pakai aja dua-duanya,” usul Denta, dibalas gelengan tegas. “Pilih satu aja, Say! Nggak cantik nanti eke, kalau dipakai semua.” “Ya udah, pakai yang merah aja! Lebih amazing,” balas Denta dengan netra mengarah ke kanan kiri. Kali saja ada Azka tiba-tiba lewat. “Warnanya terlalu kinclong, Say! Nggak sesuai dengan image gue yang feminim manjalita aduhai!” tolak Samsul seketika. “Ini pink-nya ngejreng, Sul. Kulit lo kan item,” semprot Denta sewot. Samsul melotot. “Enak aja. Kulit gue nih eksotis say. Bukan item!” “Sama aja, Gobs,” kata Denta tak sabar. “Pokoknya gue mau yang pink!” seru Samsul tak mau dibantah. Denta tersenyum manis. “Samsul! Jangan bikin Mama marah ya! Kalau lo ngotot tetep mau pakai yang pink, ngapain tadi nanya?” teriaknya langsung emosi, membuat Samsul sampai bergidik ngeri. Melihat tingkah laku lelaki itu kadang Denta curiga, kalau dulunya Samsul pernah jadi korban penghianatan sang kekasih, makanya stres, terus mengubah diri. Tak lama kemudian, sosok Aryan mendekat sambil membawa bola basket. “Ampun, Say. Ini cogan datang dari mana? Aduh, Lisa nggak kuku nggak nana, lihat yang bening begini. Pasti blesteran Indo-Surga ya, Mas?” Aryan mendelik, agak meringis. “Indo aja, Mas—eh, Mbak. Nggak pakai surga,” sahutnya lalu nyengir. Agak gondok ketika melihat Denta mati-matian menahan tawa. Samsul merenggut. “Jangan panggil Mbak dong, Say! Panggil aja gue ini Selly. Mau panggil Luna juga boleh. Eh, darling! Baby lebih bagus,” kekehnya. Aryan mengangguk. “Oke, Luna.” “Aduh, meleleh deh hati gue dipanggil Luna sama pangeran tampan. Nta, karung mana karung? Pengen gue kantongin aja rasanya. Gemes deh.” Samsul tersenyum malu-malu pada Aryan. “Say, ndese!” Tangannya jadi melambai, memberi isyarat Aryan agar mendekat. “Udah deh, Sul. bacot banget,” gerutu Denta, kemudian mengalihkan pandangan ke arah Aryan. “Ada apa, Ar? Kok malah ke sini? Teman-teman lo lagi pada main basket tuh,” ujar Denta sambil menunjuk ke arah lapangan. “Gue mager. Tapi Naufan maksa gue main. Eh, lihat lo di sini. Ya udah, gue samperin,” balas Aryan. “Eh, siapa lo, Say? Selingkuhan lo ya? Ih, Gasta udah ganteng masa masih lo selingkuhin sih? Kasihan tau.” Denta melirik sinis. “Apa sih, Sul. Aryan ini temen sekelas gue kok.” “Oh, namanya Aryan. Bos geng Sevit kan? Eh Say, lo bukannya temen Vian?” tanya Samsul pada Aryan. Aryan mengangguk. “Temen SMP gue.” Kini pandangan cowok itu beralih lagi pada Denta. “Minggu depan kemahdi Banten. Kata Alvaro, lo disuruh cek di grup kelas aja, kebagian bawa apa-apanya. Pas pembagian tugas, lo nggak di kelas tadi. Malah di sini,” ocehnya. “Gue nggak kebagian kompor kan? Males banget, berat.” “Nggak. Kompor mah Alvaro aja. Dia yang ngalah, gara-gara yang lain pada ngomel nggak mau dikasih tugas bawa kompor.” kata Aryan. “Oh, oke deh.” “Nta, main basket yuk!” ajak Aryan. “Gue nggak bisa main basket. Gue cuma bisa main voli.” “Gue ajarin deh!” “Lapangannya kan dipakai sama teman-teman lo,” sahut Denta. “Nggak apa elah. Entar gue suruh mereka pakai separuh lapangan aja.” “Tapi panas. Entar gue item gimana?” “Nggak bakal!” Aryan langsung menarik tangan Denta agar cewek itu mengikutinya. Sementara Samsul yang ditinggal justru melengos sebal. Niat hati pengen nyepik Aryan, eh Aryanmalah ngajak Denta pergi. Lama-lama Samsul sebal deh sama cowok ganteng di muka bumi ini karena selalu bikin dia sakit hati. *** “AYO dong, Nta! Masukin!” Aryan mengaduh, tetap dengan posisi mengangkat tubuh Denta. “Susah, Yan. Gue nggak sampai. Lo sih kurang tinggi,” cibir Denta, padahal Aryan itu sudah masuk kategori cowok jangkung. Tingginya hanya berbeda beberapa senti dari Gasta. “Enak aja. Tinggi gue 178, Nyet. Sorry aja,” sinis Aryan. “Agak jinjit dong! Biar gue sampe.” Sudah lima belas menit, Aryan terus mengajarinya bermain basket. Denta tidak minta sebenarnya. Dia tidak terlalu suka basket. Namun, sejak Aryan mengajarinya teknik-teknik dasar bola basket, Denta jadi senang bukan main. Dia jadi heboh ingin belajar ini dan itu. Mulai dari chest pass, bounce pass, dribbling, sampai teknik lay up. Dan sekarang, dia mau belajar masukin bola ke ring. Ternyata, basket lebih mudah daripada voli. Tidak membuat tangannya sakit, hanya lelah saja. “Cepetan masukin!” perintah Aryan, dan Denta agak menarik dirinya ke atas, melempar bola ke dalam ring. Dan .... “Yes! Masuk, Yan. Masuk! ” Denta memekik heboh di gendongan Aryan. Saat Aryan dan Denta bersorak riang merayakan kemenangan, seseorang yang pernah menjadi bagian paling penting di dalam hatinya, masuk ke lapangan. Berpelukan ala hip-hop dengan Naufan dan Oky, sampai mata keduanya bertubrukan. “Azka!” teriak Denta melambai riang pada pemuda itu. Gadis itu langsung berlari mendekati Azka yang masih berdiri di hadapan Naufan dan Oky, diikuti oleh Aryan. Bola mata Azka melebar. “Lah, gue kira Karrel bohong pas bilang kalau lo masuk sini,” ocehnya. Denta nyengir. “Nggak lah, gue emang sekolah di sini.” Pandangan Denta beralih pada Aryan yang sudah mendekat ke arahnya. “Yan, kenalin ini Azka. Temen SMP gue sama Oky. Ka, ini Aryan. Temen sekelas gue.” Azka dan Aryan melempar senyum ramah, kemudian berjabat tangan. “Azka, mantannya Denta juga kok.” Aryan mengangguk. “Gue Aryan, temen sekelasnya Denta.” Azka melirik Denta. Kemudian bibirnya merapat. “Ini yang bikin Gasta kebakaran jenggot?” “Hah?” Belum sempat Azka menjawab, tiba-tiba keributan dari koridor membuat pandangan mereka teralihkan. Denta mendelik melihat Mei--mantan pacar Raghil, bertengkar dengan Hauri. Kayaknyarebutancowok. Denta melongo, melihat keduanya jambak-jambakan. Gadis itu menepuk keningnya sekali. Mau ngatain, tapi dia sendiri juga sering baku hantam sama cewek gara-gara Azka dan Gasta, dulunya. Tapi masalahnya yang direbutin ini Raghil. Yaelah, seganteng apa sih itu anak? Mana buaya lagi. Denta mendesah, mau tak mau mendekat, membantu Hauri yang notabene adalah temannya. Apalagi mulut Mei bener- bener pengen ditabok. Denta gemes pengen maki. *** SIANG ini SMA Sevit tampak heboh. Puluhan siswi jingkrak-jingkrak, Melihat ketiga pemuda tampan yang masih duduk di mobil SLK sport putih dengan bagian atap yang sengaja dibuka agar ketampanan mereka terpampang jelas dan nyata. Begitu kata Nugraha. Leo, pemuda yang duduk di kursi kemudi memasang ekspresi sok ganteng. Alex mengangkat dagu sambil memasang tersenyum miring. Sedangkan Nugraha yang paling kelihatan murah, malah melambaikan tangan pada puluhan siswi yang membentuk barisan penonton di sekitar mereka. Hal itu sontak saja membuat para siswi semakin menggila. “Ih, mereka siapa sih? Ganteng banget astaga. Apalagi yang nyetir.” “Eh, yang duduk di belakang juga imut kok. Gigi kelincinya bikin gemes.” “Mereka ngapain ya ke sini?” “Mereka mau jemput orang kali ya?” “Tapi siapa? Masa gue?” “”Mereka semakin menjerit heboh, apalagi, ketika Leo, pemuda yang paling putih di antara ketiganya memakai kacamata hitam sekarang. Alex dengan gaya khasnya mengunyah permen karet, lalu Nugraha menyisir rambutnya dengan tangan seperti khas Gasta sedang bermain basket. Sengaja dia pakai buat memikat hati cewek. “Nggak sia-sia gue minjem mobilnya Gasta buat jemput Denta. Gue jadi kelihatan keren banget,” oceh Leo sambil terkekeh geli. “Cih, mau ganteng tapi nggak modal.” Leo mendelik. “Kayak lo nggak aja, Nu. Ngaca dulu woy!” “Eh, anak Sevit cantik-cantik ya? Iman gue jadi goyah,” oceh Alex. “Ingat, Lex, cewek lo tuh macan. Bisa habis lo kena cakar,” kata Nugraha. “Denta mana sih? Lama bener.” “Jangan-jangan udah balik, Le? Tadi, lo bilang nggak sih kalau mau jemput?” “Lah, emangnya Gasta nggak ngasih tau dia, kalau kita yang jemput?” “Yeu.Mana gue tau.” Sementara itu di tempat lain, Denta menyusuri koridor, fokus dengan ponselnya. Sejak pagi tadi, Gasta terus saja memberondong Denta dengan banyak sekali chat, namun hampir semua diabaikan olehnya. Sengaja, biar Gasta uring-uringan. Bagi Denta, jadi perempuan memang harus pandai, tau diri dan jual mahal. Jangan mudah terbawa oleh perasaan dan suasana. Karena akhirnya akan patah hati karena kebodohan sendiri. Meskipun dia cinta mati dengan Gasta, dia pura-pura masang wajah jutek terus, biar nggak kelihatan bodoh banget kayak dulu. Saat Gasta dulunya bersama Melody sedangkan Denta meraung, menangisi nasibnya. Kalau ingat kejadian itu, Denta mendadak migrain sendiri. Sampai di lobi utama, garis wajahnya mendadak berubah, ketika melihat mobil SLK sport berhenti di depan sekolahnya. Tadinya, Denta berpikir bahwa itu Gasta. Namun, saat ingat cowok itu masing sakit, Denta jadi kepo siapa yang ada di sana. Gadis itu melangkah, mendekat ke arah kerumunan. Seketika saja, bola mata Denta melebar melihat tiga manusia b****k di mobil sana. “Mereka ngapain sih? Bikin gue malu aja,” gerutu Denta, membuat puluhan siswi langsung menoleh. Tidak ambil pusing dengan tatapan penuh tanya yang dilayangkan mereka semua, Denta melangkah mendekat dengan wajah bersungut. “Apaan nih?” tanya Denta galak. “Kuy! Cabut, Ibu Negara! Kita dapat mandat dari bos geng, disuruh jemput sang pujaan hati di sekolahnya.” Alex mulai keluar dari dalam mobil, berniat untuk memajukan jok bagian depan, agar dirinya bias masuk ke bagian jok belakang, bergabung dengan Nugraha. Sementara Denta bisa. “Lebay banget sih bos kalian. Heran deh gue,” kata Denta, duduk di jok depan bersama Leo. “Namanya juga pacar kesayangan.” “Halah. Lo bertiga juga gobl*k banget, ngapain mau sih? Lo pada dibayar berapa juta hm?” Sontak saja semua murid SMA Sevit yang melihat kini menganga. Tak menyangka jika Denta si murid baru yang pernah adu jambak dengan queen bee SMA Sevit, memiliki teman yang ganteng begini. “Gue rasa, dia bukan cewek sembarangan deh!” “Iyalah, Anj*r! Nggak mungkin kalau sembarangan teman-temannya tajir melintir begini.” Denta mendesis menatap ketiga pemuda itu sewot. “Besok lagi jangan jemput gue. Bikin malu aja!” katanya jutek, membuat ketiganya mendelik. “Apa sih lo? Harusnya seneng dong, dijemput cowok ganteng kayak kita-kita,” kata Alex nyerocos. “Najis.” “Najis darimana sih Nta? Ganteng? Iya. Tajir? Jangan tanya. Tuh! Anak-anak sekolah lo aja pada kepincut sama kita,” kata Leo. Denta menghela napas. “Tajir apaan? Mobil juga punyanya Gasta, cih.” “Sorry aja, di rumah gue mobil kayak begini mah banyak. Buat ganjel pintu malah,” kata Nugraha sombong. “Sok banget lo, Nu. Lo kira gue nggak tau, minggu kemarin lo abis digebuki bokap lo kan, gara-gara nangis minta Ferari kayak mobilnya Karrel,” kata Alex dibalas ledakan tawa oleh Denta dan Leo. Nugraha melengos “Ya udah, ayo balik!” kata Denta. “Nta, ajak masuk dulu dong!” seru Nugraha kurang ajar. Denta berkacak pinggang. “Mau mati lo?” Nugraha langsung menciut. “Iya-iya, kagak!” *** DENTA memasuki rumah mewah bergaya eropa milik keluarga Alvredo. Gadis itu mendongak menatap langit-langit rumah besar ini. Sumpah deh, Denta nggak nyangka kalau Gasta setajir ini. Dia jadi minder, kalau semisal suatu saat bakal d angkat jadi menantu tunggal dari Bapak Daffa dan Ibu Rita. Pasti deh, banyak orang bakal ngatain Denta mau jadi istrinya Gasta karena mau hartanya. Cih, padahal kakeknya Denta juga tajir. Tidak kalah dari Papa Gasta. Kadang Denta heran, kenapa sih dulu papanya ngebet banget pengen jadi pilot? Padahal, kalau jadi pengusaha lebih terjamin tajirnya dan juga tidak membahayakan keselamatan sendiri. Kalau pilot? Setiap kali ada jadwal terbang ketika musim penghujan saja, Denta dan keluarga selalu dibuat ketar-ketir. “Loh, ada Denta,” kata Rita, langsung bangkit dari duduknya, menghampiri gadis cantik itu. “Siang, Tan. Gastanya ada?” Rita mengangguk. “Ada kok. Lagi ada di kamar. Oh ya, kemarin katanya Gasta, kamu yang bawa dia ke rumah sakit?” “Iya, Tan.” “Makasih loh ya. Anak itu emang, Nta, bandel banget. Susah dibilangin. Kerjaannya ya gitu, berantem terus sampai bikin papanya ngamuk semalam,” oceh wanita cantik itu. Denta meringis. “Setau aku, nggak berantem sih, Tan. Tapi Gasta dikeroyok sama mereka.” “Sama aja kali, Nta. Ya udah sana naik ke kamar Gasta, yang pintu warna hitam ya.” “Eh, nggak apa nih, Tan?” “Loh, nggak apa. Gasta pasti seneng kalau tau kamu datang.” “Sama Tante juga ya! Masa aku cewek masuk ke kamar cowok sih.” Jujur saja, Denta sekalipun bar-bar begini, kalau masuk ke kamar cowok sendiri suka parno. Paling mentok, dia masuk ke kamarnya Sandy atau Vero. Itu pun terpaksa, kalau mau ambil sesuatu. Pernah sih masuk ke kamar Alex buat ambil kamera. Tapi kan, nggak ada orang di dalam. Yah, walaupun setelah itu Gasta datang dan main asal menyosornya kala itu. “Udah naik aja! Nanti biar Tante suruh Bibi buat minum untuk kamu.” Denta terdiam cukup lama. Sebelum akhirnya mengangguk mengiakan dan beranjak naik ke lantai dua. Tiba di pintu hitam, gadis itu mengintip sebentar lalu perlahan masuk. Ada Gasta yang masih rebahan dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya sampai leher. Denta tau, cowok itu tidak tidur. Gasta bahkan sibuk bermain ponsel, membuat cewek itu mencibir pelan. “Sakit tuh tidur. Biar agak enakan badan lo. Ini malah main game online,” kata Denta jadi mengomel. Gasta menoleh sebentar, kemudian membuang muka, kembali berkutat dengan ponselnya, membuat Denta refleks mendelik. Tidak mengerti mengapa Gasta tumben sekali sok cuek begini. Biasanya juga langsung pasang wajah sumringah, setiap kali melihat dia datang. “Kata Alex pagi tadi lo demam lagi. Emangnya bener? Terus muka lo yang bonyok udah dikasih salep?” tanya Denta sambil mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Tidak menyahut, Gasta malah justru menggeser tubuhnya menjauh dari Denta. Mengeratkan pelukannya pada guling, pura-pura merem, dan tetap sengaja membuang muka. Seolah tidak ingin melihat Denta sama sekali. Denta mengumpat pelan. “Heh, apaan sih lo? Jadi cuek begini,” Bibir gadis itu merapat sebentar. “Demam lo gimana? Udah turun belum? Sini biar gue cek.” “Cih, emangnya lo peduli?” kata Gasta dengan mata yang masih terpejam. Denta mendecak sebal, ingin sekali menjambak rambut Gasta sekarang. Tapi nggak lucu juga, semisal Denta menganiaya Gasta di rumah cowok itu. Bisa habis Denta digebuki satu komplek, karena jambakin Gasta. “Kalau gue nggak peduli ngapain gue di sini?” balas Denta terdengar kesal. Masih tidak ada jawaban. Gasta justru sengaja semakin menggeser tubuhnya dari Denta. Membuat cewek itu mengumpat pelan tanpa sadar. “Jangan jauh-jauh, Gas! Sini agak dekatan biar gue bisa cek suhu badan lo. Mau gue kompres nggak?” suruh Denta melembut. Sekarang, dia jadi merangkak naik ke atas kasur, menarik-narik kaus bagian punggung Gasta agar cowok itu mau berbalik menghadapnya. Denta melengos, mulai putus asa sendiri, melihat Gasta yang tetap saja cuek seakan tidak peduli dengannya. “Apaan sih? Lo ngambek sama gue?” Gasta mendengkus. “Bodo,” katanya terdengar gondok, membuat Denta makin mendelik saja dibuatnya. “Ih, kenapa harus ngambek coba? Gue bikin salah sama lo? Apa hm, apa? Cerita biar gue tau.” Gasta melihat Denta sebentar lalu kemudian kembali memunggungi Denta dengan sengaja. Gadis itu sampai menganga dibuatnya. Antara tak habis pikir, dan bingung sendiri. Sebenarnya agak gemes juga melihat kelakuan Gasta yang sok ngambek kayak bocah SD minta di puk-puk begini. Tapi gondok juga, melihat Gasta yang ngambek tanpa alasan. “Males,” sinis Gasta. “Lo nggak cerita, gimana bisa gue tau alasan ngambek lo. Katanya nggak mau berantem lagi. Tapi lo sendiri yang bikin kita berantem.” “Cih.” “Kok cih?” Denta mencebikkan bibirnya sebal ketika tak ada jawaban. “Terus, gue ngapain dong ke sini, kalau cuma buat dicuekin?” tanya Denta frustasi sendiri. “Gue nggak minta lo ke sini.” Jawaban Gasta membuat Denta semakin kesal. Wajah gadis itu langsung berubah merah sekarang, seolah tengah menahan emosinya yang hendak meletup-letup ke udara. “Fine, gue pulang!” kata Denta sengit. Gadis itu beranjak turun dari atas ranjang, tapi dengan sigap Gasta menahan lengannya. Gasta mengerang akibat pergelengan tangannya yang masih cedera untuk menahan tangan Denta. Gasta kalau dilembutin atau dibaikin bakalan ngelunjak. Beda lagi kalau dijutekin, pasti ngegas buat dapat perhatian. “Lo tega ninggalin gue?” Denta melengos. “Kenapa nggak, lo juga cuekin gue dari tadi. Terus, lo juga nggak hargain kedatangan gue.” “Sorry!” “Sorry-sorry! Tadi aja sok mau jutekin gue,” sinis Denta. Tanpa sadar, Gasta memajukan bibir bawahnya, membuatnya terlihat jadi imut. Denta sampai khilaf pengen nabok wajahnya. “Maaf, Nta! Sini naik lagi!” Gasta menarik tangan Denta lembut, membuat gadis itu mau tak mau tetep mendekat. Duduk sambil bersender pada kepala ranjang, dengan Gasta yang juga ikut duduk di sebelahnya. “Lo ngambek ken--” Kalimat Denta terhenti begitu saja, ketika Gasta menyandarkan kepalanya pada pundak kanan Denta, membuat gadis itu refleks melirik. “Pusing, Nta,” gumam Gasta serak. “Namanya juga sakit. Minum obat aja sana! Mau gue ambilin?” “Nggak mau.” “Dih, mau sembuh nggak sih?” Gasta tidak menjawab, memilih diam untuk sementara waktu. “Nta.” “Apa?” “Tadi siang, ngapain sih lo main basket sama Aryan?” rengeknya sekarang malah meluk Denta dari samping, membuat gadis itu melongo, tidak tau mau ngapain. “Tau darimana? Azka?” tanya Denta masih tetap tenang. “Bukan.” “Terus?” “Lavina,” balas Gasta pelan. Denta mendelik. “Kok Lavina bisa tau sih? Dia ke sekolah gue?” “Iya. Dia juga motoin kalian.” Gasta mengambil ponselnya lalu menunjukkan gambar potret di mana dirinya naik ke pundak Aryan, berniat memasukkan bola basket ke ring. “Heh? Segabut itu Lavina sampai motoin gue begini?” gumam Denta. “Ini beneran lo kan?” tanya Gasta dengan suara semelas mungkin. Anehnya bikin Denta merinding. Gadis itu terlihat melirik Gasta sebentar. Lalu mengangguk saja. Mau ngelak juga gimana, toh memang itu benar dirinya yang bermain basket dengan Aryan tadi. “Ngapain sih harus belajar basket sama Aryan? Gue juga bisa basket kok. Kaptennya malah,” kata Gasta terdengar mengomel. “Apaan sih, main basket biasa aja kok. Lagian nggak berdua juga. Ada Naufan sama yang lain lagi main basket juga.” “Alasan.” “Nggak kok, nggak alasan.” “Ya udah sana, lo minta ajarin basket Aryan lagi. Kali aja nanti makin lengket terus jadian!” Rasanya Gasta ingin menyumpahi mulutnya sendiri yang asal jeplak kalau ngomong. Gimana kalau Denta kepancing.Membayangkan hal itu terjadi saja, Gasta tidak mau. “Lo pengen putus sama gue?” tanya Denta sambil melirik Gasta. “Eh, nggak!” balas Gasta cepat. “Ngapain lo mancing-mancing terus sih? Gue sama Aryan temenan biasa. Kalau pun ada apa-apa, udah dari dulu gue putusin lo, habis itu jadian sama Aryan.” Iya juga ya? “Udahlah, nggak usah mikir macem-macem! Gue sayangnya sama lo. Dan itu mutlak, nggak bisa diganggu gugat. Gue kalau udah sayang ke satu orang, bakal susah kalah mau lupain.” Demi Tuhan kalau Gasta bukan cowok, pasti dia sudah salto sambil guling-guling sekarang, saking bapernya mendengar ucapan Denta barusan. Dia yakin kalau pipinya sudah merona, akibat malu. Apalagi, ketika tangan Denta bergerak mengusap-usap rambut hitam Gasta yang tebal, memberikan efek yang tenang untuknya. Gasta tersenyum, semakin mengeratkan pelukan. “Lo kenapa sih, Nta, bakat banget bikin gue makin sayang sama lo.” Denta terkekeh. “Lo juga sama. Bakat banget bikin gue pengen cekik lo.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD