16 | Bisnis Hati

2848 Words
DENTA mendongak kecil, ketika Gasta datang membawa ice cream pesanan mereka. Keduanya sedang berada di kedai ice cream lumayan hits di area sini. Ini juga bukan kali pertama dia datang. Dulu, sebelum koma, ketiga temannya sering mengajaknya ke sini. Untuk sekedar nongkrong dan makan ice cream saja atau biasanya ngerjain tugas. Mengingat di kedai ini, juga di fasilitasi free wifi. “Tumben lo ngajakin gue ke kedai ice cream? Biasanya nonton, atau nggak jalan ke mall,” tanya Denta sambil memakan ice cream coklat di tangan. “Pengen aja,” balasnya singkat. Denta mengeryitkan kening. “Muka lo kenapa? Soal yang tadi kan udah gue jelasin,” cerocos cewek itu. “Gue mau nanya,” kata Gasta sambil menghela napasnya panjang. “Apa?” “Soal Aryan.” Denta agak tersentak. Matanya jadi melebar kaget, mendengar pemuda ini membahas tentang Aryan. Gadis itu kemudian mengangkat alis dan kembali memakan ice cream-nya. “Kenapa sama Aryan?” tanyanya. “Gue nggak tau kalau kalian sedekat itu,” kata Gasta belum menyentuh ice cream-nya sama sekali. “Hm?” “Sejak kapan?” tanya Gasta tenang. Denta memasukkan sesendok ice cream ke dalam mulutnya sejenak, kemudian menatap Gasta, “Udah lama kok. Dari awal gue masuk ke sekolah itu, gue emang akrab sama Aryan.” Gasta mengangkat alis, mendesah pelan, lalu mulai memakan ice cream dalam mangkuk besar itu, tanpa selera. “Tadi, gue sama Aryan habis ke mall, beli keperluan lukis. Kebetulan tugasnya pasang-pasangan. Dan pasangan Aryan itu gue. Habis itu, kami ngerjain di rumah Aryan. Lagian jaraknya lumayan dekat dari rumah gue. Eh, belum sempat ngerjain, lo ngamuk duluan.” Pernyataan itu, membuat Gasta yang menyendok ice cream, jadi langsung mendongak begitu saja. Menelan sebentar, ice cream yang sudah ada di dalam mulutnya dalam diam. “Lo ....” Gasta merapatkan bibirnya sejenak, kemudian membalas tatapan Denta. “Suka Aryan?” Mata Denta melebar perlahan. Gadis itu terdiam, menatap sepasang mata hazel Gasta yang memandanginya. Beberapa saat memandangi cowok itu tanpa berkedip, membuat Gasta jadi jengah sendiri. “Lo sayang dia?” tanya Gasta pelan. Denta mendesah pelan. Ia mengubah posisi duduk sebentar. “Emang kenapa?” tanyanya balik, seakan lagi menantang, membuat Gasta langsung mengangkat alis. “Jawab dulu!” kata Gasta jadi langsung serius. Denta mengalihkan pandangan, jadi merunduk sesaat. “Kalaupun gue suka sama Aryan, emang apa urusannya sama lo, Gas?” tanya gadis itu serius. Gasta tersentak. Seperti ditembak tepat, membuatnya membeku. Mendadak, hatinya merasakan sesak luar biasa. Keduanya diam, saling tatap dengan tatapan tak terbaca satu sama lain. Gasta mengulum bibir sejenak. “Ya udah,” katanya sambil mengaduk ice cream. “Apanya yang ya udah?” “Gue lepas lo sekarang!” gumamnya dengan ekspresi wajah menyendu. Denta tidak merespon. Diam saja melihat Gasta. Lelaki itu memainkan sendok ice cream-nya, tanpa berniat memakannya. Tapi sekarang, jadi mendongak lagi dan menatap ke arahnya. “Gue terlalu seneng lihat lo di Jakarta lagi. Tapi gue lupa, kalau perasaan manusia juga ada masa kadaluwarsanya,” ucapnya pelan di depan gadis yang kini hanya menatapnya datar. “Hidup yang tenang di Jakarta, Nta. Jangan pernah sedih atau nangis. Gue nggak mau lihat lo pergi tanpa kabar lagi,” ujar Gasta dengan tatapan nanarnya, membuat Denta langsung merapatkan bibir, bungkam. Denta melengos. “Lo kenapa sih, jadi mellow gini? Lo mikir kalau gue suka Aryan, gitu?” tanyanya diangguki pelan oleh Gasta, membuat Denta jadi gemas ingin menaboki cowok ini. “Terus, lo mau ninggalin gue, kalau semisal gue suka Aryan?” Gasta mengangguk. Denta mendecak. “Makanya, kalau jadi orang tuh, jangan suka bikin kesimpulan sendiri dong! Gue kan nggak bilang, kalau gue suka sama Aryan,” omel cewek itu gondok. Gasta mengangkat wajah. “Terus tadi? Bukannya lo bilang--” “Gue tadi nanya kan, apa urusannya buat lo kalau gue suka sama Aryan. Bukan berarti gue suka beneran sama Aryan kan? Aneh lo,” kata Denta sewot. Gasta tersentak. Namun tidak lama, sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum tipis, “Jadi, lo nggak suka sama Aryan?” tanyanya langsung semangat. “Nggak. Tapi gue cinta.” “Hah?” Denta mendelik kaget, melihat Gasta yang begitu serius menanggapi ocehannya barusan. “Apa sih! Gue bercanda doang kali! Cih, emang ya cowok kaku kayak lo, nggak bisa diajak bercanda. Gue lupa,” katanya jutek, membuat Gasta langsung tersenyum lagi. Pemuda itu diam sejenak. “Ke bioskop yuk, Nta!” ajaknya tiba-tiba, membuat Denta tersentak. “Ngapain?” “Renang,” celetuknya kesal. “Ngapain jauh-jauh ke bioskop cuma buat renang. Mending ke rumah gue aja, ada kolam renangnya,” balas Denta dengan ekspresi keruh. “Nonton,” kata Gasta sabar. “Kapan?” “Habis ini,” katanya. *** DENTA menopang dagu. Terlihat agak merunduk dengan kaca mata bening bertengger di hidung mancungnya. Jari-jemarinya bergerak lincah, mengetikkan sesuatu pada keyboard laptop berlogo apple di depannya. Di sekelilingnya, kumpulan paket barang endorse berbagai volume dan berat berserakan merata-rata. Mulai dari kaus, aksesoris wanita, make up, handbody lotion, dan masih banyak lainnya. Denta melirik pemuda di sebelahnya. Mencibir pelan, melihat kelakuannya yang katanya mau membantu, tetapi malah sebaliknya. Sejak tadi, Gasta hanya memperhatikannya, sesekali berkomentar. Gadis itu kesal, merasa tertipu. Seharusnya ia membuat syarat sebelum mengiyakan ajakan Gasta. “Chat sama cewek mana lagi lo? Kali ini anak mana? Bima, Cendrawasih apa Sevit?” sindir cewek itu, dengan pandangan masih menatap laptop. Gasta mengangkat alis, beralih pada layar ponselnya. “Hm?” “Cantik nggak?” tanya Denta tiba-tiba, membuat Gasta terkejut. “Apaan?” “Yang chat sama lo! Pakai nanya lagi,” balas Denta langsung pedas. Mendengar itu, justru membuat Gasta terkekeh pelan. “Lumayan.” Nyatanya, cowok itu sibuk chatting dengan Alex tentang basket. Denta tidak menjawab, kini sibuk memperbaiki sesaat kacamata minus di hidung mancungnya. Ekspresi wajahnya tertata datar sekali. Masih fokus mengetik. “Cemburu?” “Dih, najis!” sahut Denta spontan, menoleh sebentar, kemudian membuang muka lagi. “Ini Alex!” kata Gasta padahal tidak ditanya sama sekali. “Nggak nanya dan nggak kepo. Gue nggak cemburu,” kata Denta menatap sengit cowok itu. “Masa?” tanyanya seolah meledek. Denta mendelik, kemudian menoleh sinis. “Muka lo nggak usah gitu bisa?” “Galak banget, sih?” tanya pemuda itu dengan ekspresi masamnya. “Dari dulu gue udah galak. Mau apa lo? Nyesel suka gue? Sono-sono pergi! Cari cewek lain aja, yang lebih kalem nimbang gue,” celoteh Denta sewot. “Apa sih, Nta?” tanya Gasta belagak memasang ekspresi polos. “Bodo,” sentak Denta, membuat Gasta terperanjat kaget. Pemuda itu kini melirik, merasakan Denta bergerak kecil meraih ponselnya dan mulai merunduk seperti membaca pesan. Merasa tidak diperhatikan, membuat Gasta diam-diam melengos sebal. Pemuda itu jadi agak merapatkan tubuh, berniat melihat gadis itu tengah chat dengan siapa. “Mau apa?” tanya Denta galak. “Astaga.” Gasta refleks menegakkan tubuh, sesaat tadi sempat condong ke arah samping. “Ngapain mepet-mepet? Jauh-jauh sana lo!” usirnya. “Chat sama siapa?” Denta mendelik, kemudian berdecih menatap Gasta tidak suka. Kemudian merunduk, mengetik di layar ponselnya. “Aryan!” balas Denta datar. Gasta refleks mengumpat mendengar jawaban tenang itu. Dia langsung menegak, merebut ponsel Denta sampai gadis itu memekik kaget. “Ih, apa sih lo!” kata Denta, sambil menaboki Gasta, berniat mengambil ponselnya kembali. “Balikin!” pekik Denta, kali ini tangannya langsung menjambak rambut tebal pemuda itu, membuat Gasta sampai memekik kesakitan. “Gue chat sama Dira. Balikin cepet!” katanya melotot galak. Gasta mengangkat alis, belum mau percaya dan langsung membuka ponsel Denta. Melihat aplikasi chatting cewek itu. Dan benar saja, gadis itu hanya membalas chat dari Dira. Selebihnya tidak ada chat yang dibalasnya. Bahkan, grup chat kelas Denta yang kini ramai, sama sekali tidakdipedulikan. “Gimana, puas?” tanya Denta pedas, langsung merebut ponselnya lagi. “Lumayan.” “Cih.” “Belum selesai?” “Belum. Kenapa?” “Gue ngapain kalau lo masih sibuk sama endorse lo?” tanya Gasta. “Salto sana,” balas Denta, lalu fokus lagi pada layar laptopnya. Gasta mendecak, kini bersandar pada sofa. “Nyokap lo ke mana?” “Antarin Vero ke Bogor,” balas gadis itu tanpa berniat menoleh. “Ngapain?” “Kepo banget sih nanya-nanya terus kayak wartawan? Lo siapa?” kata Denta melotot sebal. “Pacar lo,” balas Gasta singkat. Denta mendelik, melirik sinis cowok di sebelahnya. “Picir li,” cibir cewek itu dengan sewot. “Untung sayang,” gumamnya pelan, mencoba untuk tetap sabar. “Lo nggak pulang? Main mulu, kapan belajarnya coba?” “Gue nggak pernah belajar.” “Iya sih. Kerjaan lo di sekolah kan cuma godain cewek.” “Dih, gue pendiem,” balas Gasta jujur. Meskipun Gasta lebih banyak bicara saat bersama Denta sekarang, namun cowok itu tetap dingin saat di sekolah. Jangankan godain cewek, digoda saja dia langsung pasang taring. Lagipula buat apa kalau pacarnya saja sudah cantik idaman. “Ngakak so hard. Lo pendiem? Gue nggak percaya,” kata Denta sensi. “Terserah.” Denta memutar bola mata, kembali fokus dengan laptop yang ada di depannya. “Nggak usah ganggu gue! Gue sibuk sesibuk-sibuknya,” katanya sensi. “Gue pulang aja ya?” celetuk Gasta berharap Denta menahannya. “Kenapa nggak dari tadi aja lo pulang? Gue malah seneng,” balas cewek itu. Gasta memajukan bibir bawahnya tanpa sadar. Ekspetasi memang tidak pernah sesuai realita. Harapannya ditahan pulang, kandas begitu saja. “Nggak jadi deh,” putusnya. “Kalau nggak jadi, nggak usah ngoceh aja lo! Diem! Mingkem! Gue butuh fokus.” “Lagi mode serius?” kata Gasta membuat Denta melirik. “Bacot!” Gasta mencibir pelan. Dia kemudian maju lagi. Merebut laptop di depan Denta, membuat gadis itu tersentak, jadi menoleh. “Nta--” “Apa?” “Gue mau bicara.” “Soal apa?” tanya Denta sabar. Gasta menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Pemuda itu merapatkan bibir sebentar, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menatap. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. “Alasan gue nggak datang malam itu.” Tubuh Denta menegang, raut wajah yang semula bersungut kini berubah menjadi dingin. Tangannya terkepal, memilih membuang muka, membuat Gasta langsung terdiam. “Nta--” “Pulang sana!” usir Denta dingin. “Nta, gue ada alasan--” “Gue nggak mau denger apa-apa. Bisa lo pulang?” kata Denta tegas. “Sekali aja dengerin gue.” “Gue belum siap dengar alasan lo.” *** DENTA turun dari angkot malam itu, saat sudah berhenti di depan gapura perumahannya yang baru. Kemudian memberikan ongkos tarif. Gara-gara sang mama yang membawa mobilnya, gadis itu terpaksa menaiki angkot. Padahal, hari ini jadwalnya latihan cheerleaders untuk turnamen sebentar lagi. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tidak terlalu jelas wajahnya, berlari tergesa dan tanpa sengaja menabrakk bahu Denta cukup keras. Bukannya minta maaf, pemuda itu malah berjalan menuju mobil yang terparkir sembarangan. Tadinya, dia ingin mengamuk saja alias marah-marah dan siap meneriaki cowok kurang ajar itu sebelum terdengar suara gemuruh langkah kaki melewatinya. “Astaga, jadi mereka ngejar cowok tadi?” Denta menghela napas, kemudian berjalan mendekati mobil. “Lah, Mas? Ngapain lo rebahan di sini? Keluar buru! Temen lo ud--” “Lo pingsan?” jerit gadis itu tertahan, melihat cowok itu bukan cuma rebahan, tapi memang terkapar di aspal. Denta langsung berjongkok lalu dengan hati-hati membuka penutup kepala yang menutupi sebagian wajah pemuda itu. “Astaga! Ini Gasta?” pekik Denta. “Gas, lo ngapain? Ayo bangun! Nanti dilihatin orang, malu,” omel cewek itu sambil menggeplak bahu Gasta. Gasta mengumpat dalam hati, saat mendengar penuturan Denta. Kalau dia bisa bangun, sudah dari tadi dia lakukan. Masalahnya, tulangnya serasa remuk semua, seolah dihantam godam tak kasat mata. “S-sakit, Nta!” ringis Gasta susah payah untuk berbicara. “Lo beneran nggak bisa bangun?” Gasta bergumam, kesulitan untuk menjawab pertanyaan Denta. “Lo nyolong ya, makanya dikejar kayak gitu?” tanya Denta selidik. “Mereka sempat mukul lo? Bagian mana yang sakit? Tapi kok mereka beraninya keroyokan sih. Maksud gue tuh nggak gentle gitu loh,” omel Denta geram, kesal sendiri. Sumpah demi apa pun, mendengar pertanyaan Denta membuat Gasta siap mengumpati cewek itu. Keburu tewas ini, kalau kebanyakan nanya. “Kita ke rumah sakit ya!” pekik Denta, tapi terlambat, Gasta sudah pingsan lebih dulu, membuat mata gadis itu spontan terbelalak. *** DENTA mendekat, berhenti di sisi ranjang Gasta. Tangannya terangkat dengan telunjuk menekan-nekan lengan pemuda itu, beralih ke pipinya kanannya yang tidak memar. “Heh, lo pingsan beneran?” panggil Denta memandangi wajah tampan pemuda itu. Denta mendecak. Tetap tidak ada jawaban, membuat gadis itu mencibir. Dia meronggoh ponsel, mengetikkan sesuatu di sana. Sudah jam setengah delapan malam. Suasana dingin dan tenang di ruangan ini, membuatnya ikut mengantuk. Sekitar dua puluh menit, terasa ada pergerakan. Denta mengeryitkan dahi. Namun, Gasta masih tertidur atau pingsan? Entahlah. Matanya masih terpejam, dengan d**a naik turun, sering napasnya yang teratur. Denta menguap namun tidak lama ia mengerutkan kening, ketika melihat mata Gasta seperti berkedip seolah mengintip, membuat Denta menggeram sebal, buru-buru menggeplak jidatnya. “Bangun nggak lo!” semprot Denta langsung galak, membuat Gasta yang pura-pura tidur jadi mengumpat. “Berisik!” tukas Gasta sewot. “Lo ngerjain gue kan? Udah daritadi kan sebenarnya lo bangun?” tanyanya dengan nada sinis. Gasta melengos. “Sengaja, biar lo khawatir,” balasnya pelan. “Cih, aksi modus yang perfect sekali anda ini,” cibir Denta sewot, sambil berkacak pinggang. Gasta tanpa sadar memajukan bibir bawahnya. “Lo hindarin gue lagi seminggu ini,” katanya pelan. Denta jadi melengos keras. “Gue minta maaf.” Denta mendesah. “Lo kenapa bisa dikejar dan sama mereka? Mereka anak sekolah mana? Kalau Cendrawasih jelas bukan karena Karrel yang bantu nolongin lo tadi. Lagian, setau gue kalian udah akur,” celoteh Denta sengaja mengalihkan pembicaraan. “Karrel?” ulang Gasta. “Iya, Karrel. Tapi dia udah balik. Ada urusan katanya,” sahut Denta. “Kenapa Karrel? Kalian pacaran di belakang gue?” tanya Gasta refleks. Denta mendelik. “Dih, ya kali. Karrel kan udah punya pacar. Pacarnya juga cantik.” Gasta tersenyum mendengar itu.Walaudiasebenarnyasudah tau. “Kenapa lo senyum gitu? Nggak jelas.” “Seneng aja,” balasnya singkat. “Seneng kenapa?” “Berarti lo masih cewek gue!” sahut pemuda itu tenang. “Dih, ngarep. Melody mau lo ke manain coba?” tanya Denta sewot. “Kok Melody?” “Kalian emang pacaran, kan?” “Dapat gosip dari mana?” tanya Gasta dengan kening mengerut. Denta jadi langsung mengkerut kecil dan lucu. “Nebak.” Gasta menghela napas. “Gue emang suka dia. Tapi itu dulu,” kata Gasta sambil memandang lekat Denta. “Sekarang, gue sayangnya sama lo.” “Hah?” Denta menegak dengan mata yang membulat lebar. “Kenapa kaget?” katanya kalem. “Hah? Ah oh ....” gumam Denta jadi linglung. Bingung bereaksi apa. Hening selama beberapa saat. Denta dan Gasta sama-sama memilih diam untuk selama beberapa waktu lamanya. Denta bahkan sampai menggaruk tengkuknya yang tak gatal, merasa canggung luar biasa. “Denta,” panggil Gasta dengan suaranya yang serak. Gadis itu tersentak. Hatinya berdesir mendengar suara serak parau pemuda itu menyebutkan namanya, membuat Denta menatapnya tepat. “Gue harap lo punya alasan yang bagus soal malam itu. Alasan kenapa lo nggak bisa datang,” kata gadis itu sambil menghela napasnya panjang. Kalau saja Gasta bukan laki-laki, pasti dia sudah akan menangis sesegukan sekarang. Di luar dugaan, bahkan dia tidak perlu memohon seperti hari-hari sebelumnya agar Denta mau mendengarkannya. Entah malaikat mana yang merasuki gadis itu, sehingga hati Denta yang sekeras batu itu luluh juga. “Gue kecelakaan malam itu.” “Kecelakaan?” pekik Denta tertahan. Helaan napas singkat memulai penjelasan Gasta. Cerita tentang Melody yang tiba-tiba meminta agar Gasta mengantar dirinya ke Bandung, namun Gasta menolak keras. Sampai akhirnya sang mama yang menawari agar beliau yang mengantar Melody sore itu. Gasta melarang, karena tau mamanya sudah jarang mengendarai mobil sendiri. Hingga bagaimana reaksinya saat mengetahui Denta di rumah sakit. “Nggak papa kalau lo nggakpercaya. Lihat lo mau dengerin penjelasan gue aja udah seneng banget.” Gasta mencoba tersenyum meski sangat tipis. Menutupi ceritanya yang super panjang itu. Denta meneguk salivanya susah payah. “Jadi, malam itu kita sama-sama kecelakaan?” “Iya.” Untuk beberapa saat, Denta mulai memejamkan mata. Merasakan dinding keras di hatinya, perlahan mulai runtuh. “Waktu lo koma, gue sempat datang ke Belanda,” tutur Gasta, diangguki oleh Denta. Dia sudah tau dari Vero. Anak itu bercerita semuanya. “Berarti gue cuma salah paham? Astaga, kenapa gue g****k banget,” umpat Denta mengetuk kepalanya. Merutuk kebodohannya sendiri. Mata Gasta langsung berbinar, dia bahagia, tentu saja. Bagaimana mungkin tidak bahagia, jika gadis yang dicintainya sekarang percaya tentang alasannya tidak datang malam itu? “Lo percaya gue?” tanya Gasta masih setengah kaget, membuatDentamenganggukpelan. “Mau peluk!” kata Gasta membuat Denta refleks mendelik. Cowok itu maju, menjulurkan tangan dan meraih tubuh Denta.. Denta belum sempat bereaksi apa-apa, tapi Gasta sudah mencium keningnya lebih dulu. “Jangan pergi lagi!” kata Gasta jadi merengek kecil seperti bayi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD