15 | Mikirin

2060 Words
PAGI ini 12 IPS 3 mendapatkan karma atas kenakalan yang diperbuat kemarin siang. Mereka baru saja membuat Pak Kris mengamuk karena tidak mengerjakan PR secara massal. Hukumannya juga tidak tanggung-tanggung. Mereka diminta untuk mengecat dinding belakang sekolah yang penuh coretan spidol, bolpoin, sampai pilox. Meski sempat ngedumel karena merasa hukumannya sangat aneh dan nyeleneh, namun mereka semua tetap melaksanakan. Bukannya insyaf dan merenungi kesalahan, justru semakin rusuh dan membuat ulah. Ada Aryan yang kini menggodai Denta dengan mencoret tangan cewek itu dengan cat,. Ada Nezar dan Fina yang sudah lovey dovey dengan tangan saling menggenggam sementara tangan satu lagi untuk mengecat. Beralih pada Hauri dan Raghil, yang dijuluki pasangan KDRT. Pemuda itu sudah puas menertawai Hauri yang sebal karena rambutnya terkena cat, membuat Hauri buru-buru menimpuk kepala cowok itu dengan kuas. Ada juga Salma yang mengomeli Oky, Naufan, Rafka dan Galang, karena ke empat pemuda itu malah duduk jongkok sambil makan donat. Tidak ketinggalan, Rana si pintar sudah meraung, menangis sejak tadi. Alka di sebelahnya sampai mengumpat. “Bisa diem nggak, Ra? Sebentar nangis. Emang lo nggak capek apa?” decak Alka kesal. Rana mendelik sebal, tangan kirinya menghapus jejak air mata yang masih menggenang di pipinya, menatap Alka langsung sewot. “Kok lo marah?” pekik Rana dengan suara meninggi, membuat Alka mendelik, melotot kemudian. “Makanya diem!” omelnya sewot. “Eh, gue tuh murid teladan ya. Selama ini nggak pernah bikin masalah. Jadi ya wajar dong gue nangis,” balas Rana langsung galak. “Murid teladan tuh ngerjain PR.” Rana melotot. “Kemarin di grup katanya nggak ada PR, makanya gue mikirnya nggak ada PR beneran. Virus lo semua! Apalagi Aryan.” “Apa sih, kok gue?” omel Aryan langsung sewotan. “Tenang, Ra, nggak usah panik!” oceh Adiba menyahuti sambil menguap. “Bikin kesalahan sekali, nggak bakal bikin lo di cap jelek sama orang,” kata Nafa menyahuti. Membuat Rana jadi merapatkan bibirnya sebentar. “Iya, Ra, senyum dong!” kata Dzaky ikutan menyahuti. “Woy, jangan aneh-aneh elah. Nanti jatuh!” tegur Nezar, ketika melihat Galang naik ke pundak Tian, untuk mengecat bagian atas. “Yan, yang bener dong!” omel Denta. Bukannya membantu, cowok itu malah coret dinding dengan cat. Aryan mendelik, buru-buru membersihkannya. “Gue sekolah biar pintar, malah jadi pembokat gini. Kan set*n,” keluh Oky mengumpat pelan. Meski begitu, dia langsung tertawa ketika melihat Sony ditimpuk sepatu oleh Tsabita. “Rafka, cat yang bener dong!” omel Salma sambil melotot kesal. “Nggak usah risau, nggak usah bimbang. Masalah ngecat mengecat mah gue jagonya. Jangankan ngecat tembok, nge-chat cewek aja, gue yang paling handal,” kata Rafka menepuk d**a, sombong. “Handal ngecatnya, tapi ditolak balasannya,” ejek Aryan, membuat semua orang tertawa. “Geseran dong!” omel Hauri galak pada Raghil yang menempel terus padanya. Denta mendelik, mendengar Hauri yang membentak begitu cempreng. Gadis itu melengos, kenapa kelasnya harus diisi orang-orang dengan mulut toa begitu? *** PELAJARAN sejarah teramat sangat membosankan. Di pojok kelas, Leo sudah tertidur dengan wajah yang sengaja diarahkan ke tembok agar tidak ketahuan. Nugraha mengupil, sesekali menguap karena mengantuk namun tetap memaksa matanya tetap terbuka. Di barisan nomor dua dari belakang, Alex sibuk berceloteh ria dengan Zelo dan Alfan. Sementara Gasta-pemuda itu sibuk menopang dagu, dengan pandangan ke papan tulis, namun sama sekali tidak fokus. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Memikirkan satu nama yang berhari-hari ini jadi pusat perhatiannya. “Anak-anak! Bapak mau tanya, apa alasan insinyur Soekarno menunda proklamasi kemerdekaan?” Semua anak di kelas itu yang tadinya rusuh langsung terdiam. Sampai guruparuh baya itu melemparkan tatapannya pada Gasta. “Gasta, kamu tau apa penyebabnya?” “Karena Denta, Pak!” ceplos pemuda itu langsung menegakkan tubuhnya. Hening seketika, Leo yang tadinya tertidur pulas langsung menegak. Nugraha yang sibuk mengupil mendadak melongo, Alex yang berbicara dengan Alfan dan Zelo kompak mengalihkan perhatian. Siti yang baru berniat mempoleskan lip tint ke bibir, jadi mengeryit. Seisi kelas yang semula bisu dengan mata melebar dan mulut agak menganga, sampai akhirnya tawa mereka semua pecah secara kompak. “Hahaha, tahun 45 denta belum lahir kali, Nyet!” Nugraha berseru sangat lantang. “Jenius sekali bos gengku ini.” Gasta mengerjap, dari yang tadinya cengo seperti kebingungan. Semua murid di kelas tertawa terpingkal karena dirinya. “Perut gue keram kebanyakan ngakak. Begonya Gasta udah sampai ke akar nadi,” Alex ikutan menyelatuk di sambut sorakan murid yang lain. Gasta semakin malu bukan main. Apa lagi ketika tatapan Pak Tar menatap dirinya tajam, seolah tengah bersiap memakannya hidup-hidup sekarang. “Diam, Set*n!” umpat Gasta geram. *** DENTA melangkah memasuki rumah minimalis bercat putih dengan Aryan di sebelahnya. Mereka baru kembali dari mall, untuk membeli kuas dan cat air. Denta mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumah Aryan. Sepi. Gadis itu melengos pelan. Kemudian duduk di depan teras rumah pemuda itu, diikuti oleh Aryan yang tengah menenteng sekantong martabak manis yang baru dibeli. “Nta, mau minum apa?” Denta yang tadinya merunduk jadi langsung mendongak. Mengerjap pelan, menatap Aryan yang malah menyeringai. “Nggak usah repot-repot, Ar. Jus buah naga aja kalau ada,” katanya sambil nyengir kuda. Pemuda itu mencibir, mendengar nada tanpa beban, menyebutkan pesanannya itu. Gatal sekali rasanya ingin nyelupin Denta ke laut, biar dimakan paus. “Gue kira lo bilang nggak usah repot- repot, cuma minta air putih,” sinis pemuda itu sebal. “Lo nawarin. Gimana sih?” oceh Denta sambil mengibaskan rambutnya dengan sok cantik. Raut wajahnya jadi sewot ke arah Aryan. “Iya.” Aryan memandangi gadis itu. Diam- diam terpana melihat wajah cantik Denta. Mata cokelatnya berbinar, mengerjap beberapa kali. Membuat Aryan tanpa sadar mendesah sebal. “Gue mau ke dalam dulu kalau gitu. Sekalian ganti baju. Lo lihat dulu aja tutorial di youtube,” perintah Aryan. “Oke.” “Lo mau martabak manis?” Gadis itu mengerjap. “Katanya itu martabak manisnya buat nyokap lo,” katanya. Pemuda itu langsung menyodorkan sebuah plastik putih. Dari aromanya saja, Denta sudah tau apa isinya. “Makan! Entar gue beli lagi deh, buat nyokap gue. Santuy,” katanya tenang. “Ini martabak bangka?” tanya Denta saat membuka martabak manis rasa coklat keju, kesukaannya. Aryan mengangguk, “Kenapa? Nggak suka? Bukannya semua makanan lo suka ya?” katanya kebingungan. Gadis itu menatap Aryan jadi penuh selidik. “Lo kenapa jadi baik banget? Maksud lo apa kasih gue martabak begini? Lo letak sianida di sini, kan?” Aryan melengos. “Lo kok negatif terus sih sama gue? Ngapain coba gue kasih lo sianida? Mendingan Gasta yang gue kasih sianida. Biar gue bisa pacaran sama lo dengan damai,” kata Aryan sambil tertawa geli, membuat Denta refleks menabok cowok itu. “Psikopat juga lo ya,” cibir Denta. “Lo nggak mau? Ya udah.” Aryan berniat mengambil bungkusan itu, lantaran Denta belum juga mau menyentuhnya. Namun, ketika Aryan bergerak meraih kantong itu, Denta dengan sigap menahannya. “Kalau udah dikasih ke orang, terus diambil lagi tuh nggak baik. Pamali.” Tanpa tau malu, Denta melahap sepotong penuh martabak bangka yang berhasil membuat mood-nya langsung bagus. Jarang-jarang ada orang yang mau memberikan martabak seperti ini. Lumayan. Gratis. Bahkan saking enaknya dia makan, Denta sampai tidak berniat menawari Aryan. Bodo amat dibilang rakus. Sementara Aryan tertawa pelan melihat cara makan Denta yang berantakan. Mulut cewek itu mengembung seperti ikan buntal. *** “GAS!” “Denta yang lagi sama Aryan sekarang, di rumahnya cowok itu,” kata Nugraha. “Ngapain?” tanya pemuda itu langsung sewot. “Main kayaknya. Ya kali ke rumah Aryan mau mancing. Aneh lo,” ocehnya sebal. “Tau darimana?” tanya Gasta lagi. “Gue lewat rumahnya Aryan tadi, sebelum ke sini,” kata Nugraha. “Anjr*t,” umpat Gasta kesal luar biasa. “b**o lo! Ngapain ngumpat doang di sini? Buruan labrak!” kata Alex mengompori, “Masa lo terima aja, dia ke rumah cowok lain?” sambungnya. Gasta mendecak, terpancing. Tapi diahanya diam, bingungharusapa. “Heh, nggakjalan?” tanya Alex gemas sendiri. Gasta mendecak. “Bacot ah!” “Lo gimana, sih? Tumben kayak gini. Biasanya langsung gercep kalau soal Denta,” omelnya sebal. “Biarinlah, Lex, entar kalau diputus Denta gara-gara lebih milih bos geng Sevit biar tau rasa,” sambung Nugraha. Gasta melengos keras, meraih bantal dan menutupi wajah. Membuat semua orang di ruangan itu, jadi lempar pandang dengan bingung. Leo melirik. “Dih, lo ngapain sih, Nyet, malah rebahan? Lo nggak ada niat samperin Denta?” serunya, membuat Gasta semakin merapatkan wajah pada bantal. Menormalkan emosinya yang sudah siap meledak. “Gue takut malah emosi nanti,” sahut Gasta dengan suaranya yang serak. “Lah, masalahnya di mana?” tanya Nugraha kebingungan. Gasta mendecak, melempar bantal ke arah Nugraha sewot. “Gue nggak mau Denta benci gue. Kalau sampai gue nonjok Aryan.” “Lo nggak cemburu?” tanya Leo. Gasta mengumpat kasar. “Cemburulah, Gobl*k,” katanya galak, membuat teman-temannya merapatkan bibir. Gasta melengos. “Denta belum maafin gue. Gue nggak mau bikin masalah baru lagi,” katanya sendu. Alex menghela napas kasar. “Jadi, lo belum jelasin apa-apa Gas ke Denta, soal alasan lo nggak datang malam itu?” tanyanya tak percaya, dibalas gelengan oleh Gasta. “Lo b**o? Gue kira udah,” pekik Leo emosi sendiri. “Denta nggak mau dengerin,” balas Gasta jadi nyolot. “Ya dipaksalah!” balas Leo tak kalah ngotot. “Gue nggak mau, dia makin benci kalau gue paksa,” bantahnya. Nugraha melengos. “Kalau nggak lo jelasin, dia bakalan makin benci sama lo!” katanya emosi sendiri. Gista bangkit, membuat semua orang jadi lempar pandang sekarang. Raut wajah gadis mungil itu begitu serius. “Mana bos idamanku yang selalu maju terus pantang mundur,” omel Gista sambil berkacak pinggang. “Lo laki bukan?” pekiknya kencang. Gasta mendecak. “Lakilah.” “Kalau lo laki, buruan sono ke rumah Aryan!” “Terus gue ngapain?” tanya Gasta. “Ya ambil cewek lo, Bogel!” “Udah tau cewek lo lagi sama cowok lain, masa lo diem aja?” Gasta mendecak. “Share ke gue alamat Aryan!” *** “GIMANA nasi goreng lo?” tanya Aryan saat Denta memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Denta mengangguk dengan seutas senyum terukir di bibirnya, “Enak. Punya lo gimana?” Denta bertanya balik, mengingat nasi goreng yang dipesan mereka lewat aplikasi memang berbeda. Kalau dia memesan nasi goreng ayam, sementara Aryan pesan nasi goreng seafood. Denta tidak terlalu suka seafood, maka dari itu dia lebih memilih nasi goreng ayam. “Mau nyoba?” tanya Aryan membuat Denta berhenti mengunyah. Aryan hampir tertawa melihat sebutir nasi di sudut bibir Denta, membuatnya segera meraihnya membuat Denta terkejut. Di sisi lain, Gasta yang baru turun dari atas motornya, mengumpat kasar melihat kemesraan yang ditunjukkan Aryan dan Denta. Tubuhnya langsung diam, seperti melihat sesuatu yang menakutkan, membuat darahnya seperti berhenti mengalir. Pemuda itu melangkah cepat, segera menemui Denta meminta kejelasan dari apa yang dia lihat. Memandang dingin dua sejoli yang tengah di mabuk asmara itu. “Minggir, Bangs*t!” umpat Gasta, kemudian mendorong Aryan sampai pemuda itu terjungkal ke belakang. Denta membelalakkan matanya, saat tau Gasta di sini. “Lo ngapain di sini?” “Ikut gue!” Gasta menarik paksa tangan Denta membuat gadis cantik itu melotot. Aryan berdiri. “Lo gobl*k ya? Denta kesakitan. Lo nggak bisa nyeret dia seenak udel lo gitu,” omel Aryan menarik paksa tangan kiri Denta. “Nggak usah ikut campur. Dia cewek gue!” tunjuk Gasta pada Aryan, membuat Aryan langsung berhenti. Membiarkan Gasta membawa gadis itu keluar dari halaman rumahnya. “Lepasin, Gas! Lo apaan sih?” amuk Denta di depan Gasta, ketika kedua remaja itu sudah berada di pinggir motor Gasta yang terparkir. “Lo yang apaan? Ngapain lo bisa sama dia?” Gasta mengusahakan untuk dirinya tidak berteriak. Denta mendelik. “Makanya dong, kalau jadi orang jangan main asal ngamuk aja! Gue ngerjain tugas kelompok sama Aryan,” balas Denta langsung sewotan. Gasta mendelik, menelan ludahnya kesulitan. Namun, pemuda itu jadi berdehem, mencoba menguasai diri. Denta mendecih. “Punya mata tuh dipakai! Lihat noh, teras rumah Aryan penuh sama cat air dan kanvas. Jadi orang jangan langsung ngegas! Ditanya dulu sebelum ngamuk!” omel Denta membuat Gasta menciut malu, kemudian memperhatikan Aryan yang masih berada di teras rumahnya. “Ayo balik! Bikin malu aja!” celoteh Denta geram, membuat Gasta semakin mengkerut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD