KAKI jenjang berwarna putih yang dibalut Sneakers pink itu, berjalan menapaki setiap anak tangga sekolah. Denta, gadis cantik yang kini hanya mengenakan kaus putih ketat dan trenning hitam, tersenyum tipis menatap setiap pergerakan gadis yang tengah menggerutu di koridor kelas sepuluh. Dia Tsabita. Gadis itu terlihat sangat menggemaskan walau dilihat dari belakang. Tidak heran mengapa cewek itu bisa masuk deretan most wanted girl di sekolah.
Denta mendesah. Mengipasi lehernya yang berkeringat lumayan banyak. Tidak heran mengapa bisa seperti itu. Dia baru saja selesai latihan cheerleaders untuk kompetisi cheers bulan depan. Rambut yang tadinya tergerai indah saja, kini sudah diikat ekor kuda tinggi-tinggi, agar tidak semakin kegerahan. Mendengar ketukan langkah yang kian mendekat, sontak saja Tsabita membalikkan badan. Sedetik kemudian melambai semangat dengan pipi bulat yang masih mengembung penuh akibat mengunyah cimol, dia nampak tersenyum lebar.
“Nunggu jemputan?” tanya Denta sambil meronggoh ponsel dari saku training-nya.
Tsabita mengangguk. “Iya nih. Mang Didin ngaret banget. Padahal udah gue bilang, kalau baliknya jam lima.”
Denta tertawa pelan mendengarnya. “Lupa kali, maklumin aja Ta, udah tua,” sahut Denta membuat Tsabita terkekeh pelan.
“Lo sendiri nunggu jemputan? Lo nggak bawa mobil emangnya? Biasanya kan bawa mobil,” tanya Tsabita.
“Gue udah dijemput kok. Gasta udah ada di depan katanya. Lagian akhir- akhir ini gue emang jarang lagi bawa mobil,” celotehnya sambil tersenyum membaca I dari Gasta, yang bilang kalau dia sudah ada di parkiran Sevit.
“Kenapa?” Tsabita mengerutkan keningnya.
“Gasta yang nggak bolehin. Selagi dia masih bisa buat antar jemput, gue nggak boleh bawa mobil sendiri. Dia masih takut, kalau gue kecelakaan lagi kayak dulu,” tuturnya diangguki oleh Tsabita dengan tenang.
“Lo tau sendiri kan, kalau gue suka ugal-ugalan pas naik mobil. Pernah, gue nabrak gerobak tukang jualan sempol di dekat perempatan. Nah itu tuh, yang bikin Gasta paling males, lihat gue bawa mobil,” cerocosnya panjang lebar.
Dulu, Denta pernah bercerita padanya juga kepada Fina dan Hauri, bahwa sebelum pindah ke SMA Sevit, cewek itu pernah kecelakaan dan berakhir koma selama hampir setengah tahun lamanya. Gadis itu juga bilang, kalau saat dirinya terbangun dari koma, dia sudah ada di Belanda. Untuk itu, saat dia sudah tersadar, gadis itu ingin melupakan segala sesuatu di Jakarta dan memulai hidup baru dengan pindah sekolah.
Tujuan awalnya hanya untuk menghindari Gasta. Tidak ingin kembali pada cowok yang telah menyakitinya. Namun, semua hal yang sudah terancang sedemikian rupa itu, goyah begitu saja, karena nyatanya, Tuhan tidak mengizinkan keduanya benar-benar berpisah.
Tapi, mungkin begitulah cara semesta bekerja untuk keduanya. Mereka saling melepaskan, bukan berarti kehilangan selamanya. Denta dan Gasta terpisah, serta menjalankan hidup masing-masing. Gasta yang tetap melanjutkan sekolahnya, sedangkan Denta berjuang di antara hidup dan mati. Sampai mereka dipertemukan kembali.
Tsabita tersenyum tipis. Merasa iri dengan kisah cinta keduanya. Perpisahan mereka bukan untuk mencari rumah yang lain--sebaliknya menyiapkan tempat terbaik, untuk menyambut kepulangan satu sama lain. Di dunia ini, Tsabita tidak pernah bisa percaya dengan laki-laki baik. Tapi melihat Gasta Nismara Alvredo--kekasih dari temannya, Tsabita yakin, bahwa tidak semua cowok jahat. Gasta begitu mencintai Denta, dengan cara sederhana. Tidak pandai mengumbar kata, karena setahu Tsabita, Gasta itu dingin.
“Jiwa jomlo gue meronta-ronta seketika,” cibirnya pelan, membuat Denta terbahak.
“Denta!!” panggil seseorang dari balik punggung Tsabita yang posisinya menghadap Denta. Denta--gadis itu mengerutkan keningnya melihat Edo datang dengan langkah tergesa-gesa, seperti sedang di kejar Valak.
“Hah, apaan?”
Edo--cowok bermata sipit itu menghela napasnya kasar. Tanpa sengaja melirik ke arah Tsabita. Dia jadi langsung mengulum senyum samar dan ramah. Mau bagaimana juga, anak basket dan cheerleaders itu satu PT. Harus akur dan baik sesamanya.
“Gue datang di timing yang salah ya? Kalian lagi ngobrol?” tanyanya.
Tsabita menoleh. “Eh? Ada Edo. Nggak kok, santai aja. Kami lagi ngobrol biasa. Lo ada perlu sama Denta?”
“Iya. Gue ada perlu sama Denta.” Lalu pandangan Edo beralih pada Denta yang masih menatapnya dengan dahi mengerut samar. “Bagi duit!”
“Kan, kurang ajar!” semprot Denta membuat Edo terkekeh. Memberi isyarat bahwa dia hanya bercanda.
“Tuh, lo dicariin sama Bu Arella. Disuruh cepetan ke lapangan indoor!” katanya sambil mencomot cimol milik Tsabita.
“Lah, ada apaan?”
“Nggak tau. Katanya mau bicarain soal kostum buat turnamen cheers bulan depan,” ujarnya.
“Kok bukan Tsabita? Dia kan kapten cheerleaders-nya,” protes Denta.
Tsabita mendecak. “Heh, gue kan udah dipusingin sama koreo dan lagunya, Nta. Ya udah sih, sana! Gue juga mau balik habis ini,” celotehnya.
Denta merenggut. “Ih, Gasta gimana dong? Dia udah ada di depan. Pasti kesal kalau gue nggak keluar juga dari tadi. Lama loh tadi, dia nunggu.”
Tsabita terkekeh, sementara Edo hanya mendelik saja. “Tenang aja. Entar biar gue yang ngomong kalau lo masih ada urusan sama Bu Arella.”
“Oh, oke deh. Tolong bilangin ya! Gue sama Edo duluan kalau gitu!” ujar Denta langsung menarik tangan Edo, membuat cowok itu mengumpat karena hampir terjungkal saking semangatnya tarikan Denta dan meninggalkan Tsabita yang kini tertawa geli melihat kedua remaja itu tabok-tabokan di koridor lantai satu, sampai tubuh keduanya hilang dari pandangan.
Gadis itu kembali melangkah keluar dari gedung sekolah. Tsabita--cewek berpipi tirus itu, nampak memajukan bibir bulatnya, merasa kesal sekolah sudah sepi. Dia melengos sendiri, saat melewati parkiran. Matanya melebar menatap sosok familiar di dekat sana. Dia Gasta--kekasih dari sahabat barunya--Denta. Cowok tampan yang begitu populer di kalangan anak muda seusianya. Bos geng utama SMA Dharma Wijaya, yang begitu digilai banyak kaum hawa.
“Gasta! Nunggu Denta ya?”
Pemuda berwajah tampan khas asia tersebut menoleh. “Iya.”
“Denta nya masih di dalam. Masih ada urusan sama Bu Arella, mau bahas soal kostum katanya. Jadinya, lo disuruh nunggu dulu sebentar,” katanya sambil menunjuk-nunjuk ke arah dalam gedung, entah untuk apa.
“Oh,” Gasta mengangguk kecil, membuat Tsabita ingin sekali mengumpat rasanya.
Demi Tuhan, dia tidak percaya jika Denta--temannya yang bar-bar begitu, bisa cinta mati sama cowok dingin kayak es batu kantin begini. Sumpah ya, kalau tidak ingat kalau Gasta pacar temannya, sudah Tsabita cakar dari tadi. Serius deh!
“Duluan ya!” pamitnya dibalas gumaman oleh Gasta tanpa menoleh.
Tsabita merapatkan bibir, kemudian melangkah melewati Gasta yang sepertinya tidak peduli sama sekali dengan keberadaannya. Benar kata Hauri, Gasta itu cuek, kecuali sama Denta. Bahkan ada cewek bening sekalipun, Gasta tidak akan melirik. Boro-boro cewek cantik, ada tornado lewat di depannya saja, pasti cowok itu masih anteng.
Sambil melangkah menjauh, Tsabita melirik Gasta yang masih berkutat dengan ponselnya. Matanya agak berbinar, sebelum akhirnya dia mendesah pelan, diam-diam terpana melihat wajah tampan Gasta. Sampai akhirnya dia tersentak, merutuk sambil menepuk jidatnya keras-keras karena masih bisa-bisanya terpana dengan pacar temannya sendiri.
“Andai di dunia ini ada cowok yang muka sama kesetiaannya copy paste sama Gasta. Sumpah deh, gue pasti bakal nge-gas duluan,” cerocosnya sambil terkekeh geli. Merasa bodoh dengan kalimatnya sendiri. “Kalau bisa, gue yang harus di depan nge-gasnya. Biar nggak ketinggalan sama yang lain,”
“Denta b**o banget ya, kenapa coba harus sampai pindah sekolah setelah dia koma? Sayang banget harus pisah sekolah. Emang enak apa LDR sekolah?” kata Tsabita lagi sambil menyalakan layar ponsel yang ada di genggamannya.
Saking asyiknya bermain ponsel dan bergelut pada pikirannya sendiri, Tsabita sampai tidak menghiraukan dan menaruh curiga pada Rubicon hitam yang berhenti di depannya.
“Kalian mau--hmp! Tolong!” Tsabita meronta-rontak ketika dia diseret paksa masuk mobil.
“Tolongin gue! Tolong!!”
Empat remaja yang memakai jaket hitam dengan celana abu muda, menggiring Tsabita begitu kasar. Tas cewek itu sampai tergeletak ke bawah. Tsabita terus meronta, menendang mereka namun tenaga yang dia miliki tak cukup mampu untuk menghadapi. Tsabita mulai menangis, tidak tau apa yang harus dia lakukan. Tsabita begitu ketakutan, sambil berdoa dalam hati semoga diberi kesalamatan.
“Tolong!”
Gasta yang tengah duduk di jok motor ninja putihnya jadi tersentak dan langsung menoleh cepat. Matanya membelalak, mendapati teman Denta diseret paksa masuk ke mobil. Setelah berhasil membawa tubuh cewek itu masuk, mobil Rubicon yang teramat sangat dikenalinya itu, jadi langsung melaju cepat, meninggalkan gerbang SMA Sevit.
“Anj*ng!”
Pemuda tampan itu mengumpat, saat tau siapa gerombolan mereka. Gasta ingat bahwa Rubicon itu milik Fahri. Yang tak lain bukan adalah anak SMK Bima--musuh bebuyutannya. Dia mulai berpikir ke arah tidak lazim melihat kepergian mereka. Kecurigaan Gasta semakin diperkuat oleh tas cewek itu yang terjatuh di depan gerbang. Tidak ingin membuang waktunya dengan percuma, Gasta segera meronggoh ponselnya dari dalam saku, mengirimkan pesan pada Denta.
Gasta
Nta, tunggu gue bentar ya!
Jangan pulang sendirian!
Ingat, tungguin gue! Jangan ke mana-mana sampai gue datang!
***