UKS SMA Sevit nyaris terlihat seperti bangsal rumah sakit kelas VIP. Ruangan untuk masing-masing pasien terbilang cukup luas, muat untuk menampung sepuluh orang duduk di dalamnya. Gerombolan empat pemuda tampan berbau deodoran, gel rambut dan keringat, yang tengah memaki kaus olahraga dengan logo SMA Sevit. Sekedar informasi saja, mereka datang ke sini bukan karena sakit, melainkan mau numpang wifi gratis.
“Eh, Do! Ajarin gue basket dong! Lo kan anak basket,” celoteh Satriya tiba-tiba, membuat pemuda bernama lengkap Edo Saputra menoleh. Disusul dua pemuda lainnya, yang tampak mengeryitkan dahi.
“Main basket? Kesambet apaan lo? Dulu pas gue ajak lo masuk ekskul basket, katanya nggak mau,” balasnya.
Satriya berdecak. “Gue nggak minat ikutan ekskul basket. Gue cuma mau lo ajarin gue basket.”
“Ada apaan sih, lo tiba-tiba minta ajarin gue main basket?” tanya Edo dengan penasaran. Membuat kedua pemuda lainnya menganggukkan kepala, ikutan kepo juga.
“Aneh banget tau nggak,” timpal Ical.
Pemuda bernama lengkap Satriya Arega Milano itu nampak mendesah pelan. “Gue pengen bisa main basket kayak lo.” gumamnya pelan. “Zhiko bilang itu cewek anak cheerleaders, pasti selera cowoknya nggak jauh-jauh sama anak basket.”.
“Hah?” Edo melongo begitu saja. Ical dan Tatang langsung menoleh saling pandang, dengan kening mengeryit dalam, dan wajah bingung.
“Cewek siapa? Yang mana njir?” seru Tatang langsung heboh seketika.
“Lah lo bukannya lagi nyepik anak sekolah sebelah? Siapa tuh namanya, Davian ya seingat gue?” kata Ical.
“Davina g****k,” Edo langsung protes dengan wajah emosi sendiri. Ical itu ganteng. Citranya kalem kalau di luar kelas karena dia anak rohis. Tapi kalau di depan teman-temannya, dia langsung jadi b****k.
Satriya mendelik. “Kagak woy! Fitnah doang itu mah! Davina galak gitu njir. Lagian dia udah pacaran sama kak Iqbal.”
“Lo naksir anak kelas mana? Satu angkatan nggak sama kita? Apa adik kelas?” tanya Ical penasaran.
“Anak 12 IPS 3, tetangga kelas kita. Lo pasti tau siapa itu cewek. Dia hits juga di sekolah,” kata Satriya.
“Gue juga naksiranak IPS 3. Namanya Hauri. Gue udah ngincer dia dari kelas sebelas,” balas Ical.
“Hauri?”
Satriya mengangkat sebelah alis. Memandang Ical yang tengah duduk lesehan di lantai UKS, sambil membuka tutup botol minuman dingin yang sempat dibelinya di kantin, sebelum kemari.
Sementara Edo sudah tersentak kaget. “Itu inceran lo? Galak banget itu, Njir.”
Tatang mengangguk. “Gue pernah dijambak itu cewek pas kelas sepuluh, gara-gara nggak sengaja bikin dia jatuh waktu MOS,” cerocosnya.
“Nggak apa, yang penting gue cinta,” balasnya dengan terpesona. Sampai kemudian matanya beralih pada Satriya. “Cewek yang mau lo sepik, bukan Hauri kan?”
“Bukan. Nama cewek yang mau gue gas itu Denta,” jawab Satriya santai.
“Denta? Anak baru?” tanya Edo sudah was-was. Sementara Tatang malah plonga-plongo, tidak mengerti siapa gadis yang dibicarakan mereka.
“Temannya Oky,” balasnya.
“Lo nggak waras apa, mau saingan sama Aryan?” cerocos Edo.
“Lo kira gue takut? Emangnya lo lupa apa, kalau tiap pulang sekolah, gue latihan boxing sama abang gue,” ujar pemuda itu dengan tenang. “Gue siap kok, kalau mesti harus pertumpahan darah sama itu bos geng sekolah. Oh ya, lo punya ID Line dia nggak?” tanya Satriya.
“Denta?” Edo menggeleng. “Kagak punya gue. Tanya ke Zhiko aja. Dia pasti punya.”
“Zhiko kagak berani ngasih. Takut ketauan Aryan, kalau sampai dia ngasih ID line Denta ke gue,” balasnya.
“Cari sendiri ajalah! Ngegas tuh sekalian Sat!!” kata Ical.
“Ehh, lo chat Fina aja. Setau gue, dia sama Denta tuh sebangku. Pasti lebih gampang lo nyepiknya. Tapi jangan lo gas Finanya! Udah jadi ceweknya Nezar sekarang,” ujar Edo.
Mata Satriya berbinar. “Lo ada ID line Fina nggak? Gue minta.”
“Kagak. Dulu pernah punya, tapi sama Nezar langsung dihapus. Takut gue sepik katanya,” kata Edo.
“Bangke. Ngapain tadi lo nawarin?”
“Heh, kalem bosku! Gue ada nih ID line Fina. Gue share ke kontak lo sekarang,” kata Ical sambil mencari kontak Fina dan mengirimkannya pada Satriya. Dengan cepat, Satriya membuka pesan yang dikirimkan Ical padanya. Matanya langsung berbinar cerah seketika.
Satriya
Pinaaaa
Cowok bermata bulat itu menunggu. Sampai akhirnya terkejut ketika ponselnya berdenting, tanda notifikasi.
Fina
Siapa ya?
Satriya
Hai. Ini Satriya ^_^
Satriya
Satriya :). Anak fotografi. IPS 1.
Fina
IHH, KOK NGGAK BILANG DARI TADI SIH? LELAH AKU TUH DARI TADI NANYA TEROOSSS!!
KALAU TAU SATRIYA YANG IPS KAN, UDAH GUE BALAS DARI TADI.
HE HE HE. POTOIN GUE DONG PAKAI KAMERA LO!! KATA TSABITA JEPRETAN LO BAGUS :)))
Satriya
Oke, bantu gue dulu tapi :(
Lo temennya Denta? Yang anak baru?Kenalin dong!
Fina
GUE KIRA LO MAU NYEPIK GUE. :’’’’’(
Satriya
Lah? Lo kan udah sama Nezar, Nyet. Gue mana berani nyepik.
Fina
IHH IYA LUPA KALAU AKU SUDAH PUNYA PAWANG :(
MAAP YA, AKU SUKA LUPA SEGALA HAL, KALAU CHAT SAMA COGAN, WKWKWK
Mau minta nomor WA-nya nggak?
Satriya
Sekalian akun i********: ya!
“Heh, gue udah dapat nomornya. Langsung gue chat aja?” tanya Satriya.
“Jangan, Sat! Jangan langsung nge-gas begitu. Pelan-pelan aja!” kata Edo.
“Pelan-pelan gimana?”
“Tenang, entar gue bantuin.”
***
JAM istirahat kali ini Denta gunakan untuk mengghibah di kantin. Tidak hanya dengan temannya yang cewek, tapi yang cowok pun tidak ketinggalan. Jangan menganggap bahwa kaum cewek aja yang doyan ghibah. Cowok pun kalau sudah nongkrong, semua isu pasti dibahas sampai akar-akarnya.
Saat sedang seru mengobrol ditemani berbagai jenis makanan, sontak saja seseorang menghampiri mereka.
“Hei!” Seorang gadis berkulit coklat, tersenyum lebar. Gadis itu mengantri tepat di belakang Denta.
Denta menaikkan sebelah alisnya, menatap tidak yakin cewek itu. “Lo nyapa gue?”
“Iya. Lo Denta kan? Kenalin, gue Mei,” balasnya sambil menodongkan tangannya berniat mengajak berjabat.
“Ada urusan apa lo nyapa-nyapa gue?” sahut Denta ketus
“Nggak apa. Cuma pengen kenal lebih dekat aja sama lo,” kata Mei, lalu cengengesan. “Lo populer banget ya di sekolah ini. Padahal murid baru. Teman-teman di kelas gue, sering banget bicarain lo.”
Denta menatap Mei. Dia tau siapa gadis ini, siapa lagi kalau bukan mantan Raghil yang gagal move on. Hauri pernah baku hantam sama cewek ini dan dibantu olehnya. Kala itu, Denta tidak menyerang Mei, melainkan teman Mei, Dilla, yang berniat menjambak Hauri dari belakang.
“Teman-teman sekelas lo? Anak IPS 1 maksudnya?” tanya Denta, walau nyatanya dia tidak merasa tertarik sama sekali bahkan uluran tangan itu saj atidak ia balas.
Mei mengangguk pelan. “Iya dong IPS 1. Bahkan pangeran di kelas gue juga rumor-rumornya naksir sama lo.”
Denta mengangkat sebelah alis. “Pangeran kelas? Siapa?”
“Satriya.”
“Oh Satriya,” balas Denta sambil mengangguk dua kali, dan mengingat-ingat cowok bernama Satriya. Dia tidak lupa tentang cowok itu. Pemuda yang pernah baku hantam dengannya, sekaligus yang kemarin lusa bertemu dengannya di lift lantai satu.
“Oh ya, sorry buat pertemuan awal kita yang nggak ngenakin. Waktu pas gue berantem sama Hauri, terus lo datang buat misahin.” kata Mei. Membuat Denta terkekeh hambar pada kata terakhir. “Gue sama Hauri tuh sahabatan sebenarnya, dari kelas sepuluh. Tapi persahabatan kami rusak, gara-gara dia nusuk gue dari belakang. Ibarat kata, Hauri tuh serigala berbulu domba. Waktu gue masih pacaran sama Raghil, dia dekatin Raghil terus. Chat, BBM, sampai sering banget nelpon Raghil tanpa tau malu. Akhirnya gitu, namanya juga cowok, kalau dikasih perhatian berlebih, pasti bakal luluh.”
“Maksud lo, Hauri pelakor?” tanyanya dengan alis menyatu.
Mei meringis. “Bahasa kasarnya sih gitu. Sorry aja kalau gue harus ngomongin ini sama lo.”
“Gue cuma nggak mau, lo sampai ditikung kayak gue dulu. Denger-denger cowok lo anak Dharma Wijaya. Bos geng utamanya kan? Terus dia ganteng lagi. Siapa coba yang nggak mau sama dia?” Mei tersenyum tipis.
“Termasuk lo?” tanya Denta sinis.
Mei menggeleng panik. “Eh, nggak kok. Gue nggak mungkinlah suka cowok orang, apalagi nggak kenal. Gue cuma lagi nyuruh lo hati-hati aja sama Hauri. Dia itu sebenarnya anj*ng berkedok temen. Karena gue tau, kalau Hauri pasti kenal sama Gasta. Gue nggak mau cowok lo diambil sama Hauri. Kalau sampai kenyataan ya, kebangetan sih. Masa iya Raghil diambil, terus Gasta juga? Gue kalau jadi lo, pasti sakit hati banget.”
“Lo stalking gue ya? Atau lo stalking cowok gue?” tanya Denta seolah menuding sekarang. “Kayaknya lo tau banget soal cowok gue. Dari mana lo tau kalau cowok gue bos geng Dharma? Dari mana lo tau cowok gue ganteng?”
“Gue nggak stalking kok. Gue tau ini semua dari anak-anak kelas,” alibinya.
“Gue perhatiin dari tadi lo ngusik gue terus nggak sih? Atau cuma perasaan gue aja?” ujar Denta dengan sorot mata tajam menatap Mei. Kemudian menoleh Mang Ejak--penjual batagor di kantinnya. “Mang, satu porsi ya! Makan di sini,” katanya ketika sudah mendapat giliran memesan.
Mei melongo. “Gue nggak niat ngusik kok. Cuma ngasih tau lo aja supaya hati-hati.”
“Lo pikir gue nggak tau, kalau Raghil lebih dulu pacaran sama Hauri waktu SMP. Terus pas kelas sepuluh mereka putus karena lo yang pelakor.” Denta menyeringai sinis. “Lo bikin Raghil salah paham dengan kirim foto Hauri yang lagi jalan sama sepupunya. Terus waktu udah putus, lo manfaatin kesempatan buat jadian sama Raghil. Gue kasihan sama lo sebenarnya, dijadiin pelampiasan. b**o,” tukasnya.
Wajah Mei berubah kaget seketika. Sementara Denta masih santai berdiri di depannya. Ingin tau sampai kapan mulut cewek ini, akan berani bicara.
“Nyali lo berapa, berani provokator soal temen gue di depan gue sendiri!” kata Denta tajam. “Mending lo ajarin mulut lo itu, supaya lebih pinter lagi kalau mau ngehasut orang!”
Mei kicep seketika. Matanya melebar, mendeskripsikan betapa terkejutnya mendapati respon Denta. Banyak anak di kantin yang sudah menoleh padanya. Bahkan Aryan, Hauri dan yang lainnya pun ikutan menoleh. Mereka nampak terkejut, melihat Denta dan Mei yang berinteraksi begini. Setau mereka, keduanya tidak saling kenal.
Dulu, Mei sudah pernah melihat Denta menjambak Alicia habis-habisan. Mei jadi takut, kalau setelah ini dirinya lah yang akan menjadi target berikutnya. “Gue cuma--”
“Cuma apa? Nggak usah hancurin pertemanan gue deh! Benerin tuh muka sama attitude lo sebelum gue sobek tuh mulut,” cerocos-nya galak. “Oh ya satu lagi, buat cowok gue, lo nggak usah takut kalau dia bakal main mata di belakang gue. Apalagi sama sahabat gue sendiri.”
“Godain deh, godain!! Kalau emang lo naksir. Misal dia beneran kepincut sama lo, ambil! Karena gue nggak bakal ngemis cinta sama cowok yang selingkuhin gue,” lanjutnya simple.
“Nta, ada apaan?” Hauri tiba-tiba datang disusul oleh Tsabita dan Fina. Mei yang melihat kedatangan mereka, langsung gelagapan sendiri.
Denta mendecih. “Mantan sahabat lo ini, komporin gue dari tadi. Katanya, gue bakal nyesel kalau temenan sama lo. Soalnya lo itu musuh dalam selimut. Tapi tenang aja Hau, gue nggak setolol itu,” katanya.
Hauri melotot. “Lo!” pekiknya nyalang. Mei yang berniat untuk kabur langsung ditarik kerahnya oleh Hauri--entah akan dibawa ke mana. Denta tidak peduli dan memilih melengos, mengambil batagornya.
“Jangan kasih kecap!” rengek Denta, sambil menghentakkan kakinya kesal sendiri.
“Aduh, si eneng nggak bilang sih. Malah sibuk ribut sama mbaknya tadi. Saya kan nggak tau.”
“Ih, kenapa nggak nanya dulu?”
“Eneng nggak ngasih tau dulu.”
“Yang itu buat saya aja mang!” kata Satriya, membuat Denta menoleh.
“Eh? Beneran, Sat! Oke deh. Mang yang ini buat dia aja ya! Punya saya diganti, jangan pakai kecap!” katanya sambil cengengesan. Mang Ejak langsung mengangguk patuh dan segera menyiapkan batagor goreng, berserta bumbu kacangnya ke piring.
“Biar gue aja yang bayarin,” kata Satriya menahan, ketika melihat Denta hendak mengeluarkan uang dari dalam sakunya.
Denta nyengir kuda, paling suka kalau udah sama yang namanya makanan gratisan. “Beneran? Wah baik juga ya lo sama gue?” katanya cengengesan.
“Dari dulu baik,” cibir Satriya.
“Oke deh. Lo yang bayar. Btw makasih ya! Jangan ragu-ragu atau sungkan kalau mau traktir gue lagi,” ujarnya masih dengan kekehan kecil. Begitu pula dengan Satriya yang terkekeh melihatnya. Entah gimana bisa, cewek semenyebalkan Denta bisa terlihat sangat menarik di matanya. Gadis cantik itu berniat pergi menuju bangkunya lagi, tapi ditahan Satriya.
“Lo mau balik ke meja teman-teman lo ya??” tanya Satriya.
“Iya. Kenapa?”
“Gue ada perlu sama lo. Bisa kita duduk di meja lain nggak? Gue nggak enak kalau ngobrol di depan temen- temen lo. Apalagi ada Aryan,” celoteh Satriya, membuat kening Denta mengerut dalam. Meski begitu, tidak lama dia mengangguk.
Keduanya melangkah beriringan menuju bangku yang kosong. Lalu duduk dengan posisi saling berhadapan. Beberapa orang yang melihat, tentu saja merasa aneh, mengingat keduanya yang tidak saling kenal selama ini, lalu tiba-tiba duduk berdua seperti itu.
“Lo emangnya nggak bisa ya, kalau disuruh pura-pura nggak suka sama orang?” tanya Satriya tiba-tiba.
“Hah? Apanya?” Denta yang baru berniat menyendok batagornya jadi langsung mendongak.
“Gue perhatiin dari awal, Mei nyoba ngajak ngobrol lo tadi, muka lo asem banget. Padahal setau gue, kalian itu nggak saling kenal kan? Justru Mei punya masalahnya sama Hauri,” ujar Satriya sambil memasukkan sesuap batagor ke dalam mulutnya.
“Gue juga bingung, kenapa gue bisa nggak suka sama Mei. Kayak udah punya firasat kalau dia bukan cewek baik,” celotehnya dengan mulut yang penuh dengan batagor. “Buktinya bener kan, dia mau hasut gue, supaya musuhin Hauri. Cih, di kira gue bakal kemakan apa sama hasutannya?”
Satriya terkekeh pelan. Kemudian mengangguk sambil menyeruput es jeruk.
“Oh iya, tadi...lo mau ngomong apa sama gue? Sampai ajak gue duduk bareng di sini?” tanya cewek itu, setelah menyelesaikan kunyahan batagor di dalam mulutnya.
“Hampir aja gue lupa.” Pemuda tampan berambut kecoklatan itu, langsung memberikan sebuah stop map berwarna coklat kepada cewek itu. “Nih, buat lo.” Kening Denta mengerut samar. Sempat melirik sebentar stop map yang disodorkan Satriya kepadanya. Sampai tidak lama, gadis itu langsung mengambilnya.
“Ini apa ya?”
“Buka aja!” perintahnya santai.
Alis Denta terangkat sebelah. Seketika, mata cewek itu dibuat membulat ketika membaca bagian teratas kertas putih yang dipegangnya sekarang. Nama sebuah perusahaan periklanan terkenal, menjadi yang pertama kali dibacanya. “Satriya! Ini formulir daftar ulang casting Iklan buat besok lusa? Iya nggak sih?” gumamnya, seolah masih tak percaya.
“Emang.”
“Lo tau darimana kalau gue mau ikutan casting iklan di perusahaan ini? Lo stalking gue ya?” pekiknya, dengan mata memicing, seolah tengah menyelidik cowok itu.
Satriya melengos. “Gue sempat buka website, pendaftaran online buat casting iklan ini. Ada nama lo di sana. Berarti gue nggak salah dong, kalau ngasih formulir daftar ulang ini sama lo?” ujarnya sambil mengulum senyum di bibirnya.
“Lo panitia casting-nya? Ih, demi apa?” cerocosnya.
“Bukan. Perusahaan itu punya kakek gue. Makanya gue tau. Lagian, gue sering main ke sana,” balasnya.
“Oh gitu. Baru aja entar sore gue mau ke sana buat ambil formulir ini. Eh, udah lo bawain duluan. Thanks ya! Jadinya gue bisa latihan cheerleaders entar sore,” ujarnya sambil tersenyum tipis. Matanya berbinar membalik bagian formulir daftar ulang berikutnya.
Sementara itu di sudut bangku lain, Aryan yang melihat kedekatan kedua remaja itu, hanya mengernyitkan dahi. Walau setelahnya, wajah Aryan berubah masam. Bahkan sengaja memakan pisang gorengnya dengan kunyahan kasar.
“Kebelet pup lo Ar? Gitu amat mukanya? Biasa aja kali,” ledek Naufan, sambil menyikut lengan Alka seolah ingin cowok itu melihatnya juga.
“Udah sih, Ar, mending lo belajar dari tukang parkir, biar nggak sakit hati terus sama Denta,” oceh Alka.
“Apaan?” sahut Aryan.
“Mundur, Nyet, mundur!” balasnya.
Kali ini, Aryan hanya bisa mendecak, melengos sebal.
***