“GUEmohon jangan apa-apain gue!” pinta Tsabita sudah sesegukan di bawah Fahri. Hanya tersisa bra dan celana trenning hitam yang menjadi satu-satunya menutup tubuh, karena kaus yang dipakainya tadi, berhasil dikoyak oleh mereka berempat.
Fahri yang tengah menanggalkan satu persatu kancing kemeja putihnya, lantas menyeringai sinis. “Nikmati aja kali, Ta! Bukannya waktu kita masih pacaran, udah hampir sampai ke tahap ini, hm?” Tatapan Fahri sudah penuh gairah, menampilkan gaya s*****l andalannya, seolah bersiap menjadikan Tsabita mangsa.
Ketiga pemuda yang masih lengkap dengan seragam sekolah mereka, masih terlihat berdiri menyender pada tembok gedung tua. Tempat di mana mereka membawa gadis yang tidak lain bukan adalah mantan Fahri. Mereka semua kompak tertawa melihat nasib gadis yang sudah menangis sejak di dalam mobil tadi. Mereka bertiga masih menunggu giliran. Jika Fahri sudah selesai dengan apa yang dia mau, maka mereka akan mendapatkan jatah untuk mencicipi tubuh molek Tsabita.
“Ri, please! Lepasin gue! Bukan kayak gini seharusnya. Kenapa lo bisa jadi sejahat ini sih?” isaknya pelan.
Fahri terkekeh sinis. “Kenapa? Eh Ta, kalau bukan karena lo yang main asal minta putus sama gue, lo pikir gue sudi nyulik lo kayak gini?”
“Kita putusnya baik-baik Fahri.”
“Nggak ada yang baik-baik, Ta!”
Tsabita semakin terisak. “Apanya yang nggak baik-baik? Lo yang jadi alasan kita putus. Lo selingkuh. Jadi apalagi yang jadi permasalahannya? Please Fahri! Lepasin gue! Gue mau pulang, Ri!”
“Persetan!” Pemuda itu menyentak marah. “Lo pikir kenapa gue sampai selingkuh sama Rinda? Karena elo masih suka sama Aryan. Lo pikir karena apalagi, Ta? Karena Aryan, makanya gue begini.”
Tsabita tidak pernah menyangka, jika Tuhan menciptakan makhluk dengan karakter lebih b******k dari apa pun. Bukannya mengakui kesalahannya, dia juga playing victim dan melimpahkan kesalahan padanya.
“Fahri, gue minta maaf! Lepasin gue Ri! Gue takut, mau pulang.” Apalagi yang bisa Tsabita lakukan selain menangis?
“Nggak usah nangis gitu dong. Udah deh, lama-lama juga enak kok.” Fahri tersenyum, dengan seringaian tipis.
***
GASTA menghentikan motornya di sebuah gedung kosong, yang lebih mirip seperti rumah tua gedongan yang tidak berpenghuni. Matanya menyipit untuk memperhatikan lebih jelas keadaan sekitar, mengingat hari sudah menjelang malam. Sampai tatapan pemuda itu terkunci, melihat sesosok gadis yang tengah menangis, dengan bagian atas yang sudah polos. Sementara bagian bawahnya masih tertutup rapat oleh training. Di depan gadis itu, terlihat Fahri yang tengah menyeringai iblis, bersiap memangsa Tsabita lebih dalam lagi.
“Gue bilang jangan, ri! Lo udah gila tau nggak?” teriaknya sambil terus terisak pilu. Berusaha menutupi bagian dadanya yang sudah terbuka.
“Tolong! Gue m-mohon jangan kayak gini, Ri!” katanya lagi.
“Bangs*t!” umpat Gasta dan segera berlari ke arah mereka.
Dalam sekali tendangan, Gasta sudah berhasil membuat tubuh Fahri terpental ke belakang. Sedangkan tiga teman Fahri tadi, membelalakkan matanya terkejut, mendapati kehadiran Gasta di sini.
“Anj*ng!” umpat Fahri.
“Gasta!” lirih Tsabita sambil memeluk tubuhnya yang polos.
“Mau ngapain lo pada?” tanya Gasta dengan datar dan dingin. Meskipun dalam keadaan marah, pemuda itu memang tidak bisa merubah sikapnya.
Sementara Fahri semakin mengumpat, berbeda dengan ketiga temannya yang sudah meneguk saliva mereka susah payah. Tidak khayal mereka bertiga ketakutan begitu mengingat tawuran sebelum kemah waktu itu, Gasta hampir membuat semua anak Bima babak belur dengan tangannya. Gasta didapuk sebagai raja jalanan ketika balapan liar, mengikut sertakan ketiga sahabatnya untuk diakui eksistensi mereka sebagai geng pembuat onar. Belum lagi, Karrel bos geng anak Cendrawasih beserta anak buahnya, sudah bergabung dengan geng mereka.
“Oh, jadi lo di sini mau jadi sok pahlawan, Gas?” Nada cowok bertindik seperti menantang.
“Ada hubungan apa lo sama ini cewek? Pacar lo? Bukannya pacar lo itu Denta, anak Sevit?” sahut Fahri.
“Lepasin dia!” titah Gasta, sama sekali tidak memperdulikan ucapan Fahri.
“Lo sendirian, b**o! Nggak usah belagu, Gobl*k!” kata yang lain. Sambil maju secara bersamaan mendekatinya.
“Yakin?” tanya Gasta sambil menampilkan seringaian tipis yang mematikan. Dengan tenangnya justru mengunyah permen yang baru dia ambil dari saku kemeja sekolahnya.
“Maju lo semua!” perintah Gasta.
“Anj*ng, dia nantangin kita.” Fahri membuang ludah ke sisi samping.
Tanpa berlama-lama, mereka berempat langsung menyerang. Dibalas Gasta dengan melemparkan tas ransel hitam miliknya sebagi permulaan. Sudah cukup lama, sejak Denta melarang dirinya tawuran lagi, Gasta sudah jarang berkelahi lagi. Terakhir ebelum kemah, itu pun karena geng Fahri yang memulai keributan di arena balap. Anggap saja dia tengah berolahraga sekarang.
Tendangan bergilir di dapat tepat di perut mereka. Begitu mereka tumbang, kembali bangkit lagi, dan dilanjutkan dengan banyaknya serangan. Sementara Tsabita sudah meringkuk, sambil memeluk tubuh atasnya yang sudah polos, berbeda dengan bagian bawahnya yang masih tertutup oleh training hitam.
“Mundur sekarang atau lo pada mati?” tanya Gasta tajam.
“Harga diri gue terlalu berharga,” umpat Fahri.
“Oke,” Gasta melanjutkan membogem mentah-mentah wajahnya.
Cewek itu memejamkan matanya rapat ketika melihat adegan perkelahian di depannya. Satu lawan empat orang. Tapi nyatanya, harus dia akui bahwa Gasta memang bos geng yang tidak terkalahkan. Buktinya, cowok itu tidak gentar sama sekali ketika harus melawan empat orang. Tapi, Tsabita merasa aneh, mengapa dengan Aryan, cowok ini sama sekali tidak berniat membogemnya? Padahal sudah jelas-jelas Aryan menunjukkan terang-terangan bahwa dia menyukai Denta.
Maksud Tsabita--kenapa Gasta tidak menggunakan kemampuan bela dirinya saja, untuk membuat Aryan jera, dan menjauhi Denta. Anehnya, mereka malah foto bertiga dengan Denta di tengah dan diapit dua cogan yaitu Gasta dan Aryan. Foto di i********: Denta tersebut, seolah menandakan pertemanan antara Gasta dan juga Aryan. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan, seperti baku hantam antara dua bos geng sekolah.
Sementara itu, Gasta tidak memberi celah dan ampun bagi para pemuda kurang ajar ini untuk pergi sebelum wajahnya babak belur. Gasta tidak terluka sama sekali, mungkin hanya lecet di bagian tangan karena digunakan untuk memukuli mereka. Cowok itu sudah bermandikan keringat malam ini.
“A-ampun, Gas!” ujar mereka dengan tersendat.
“Cih, Anj*ng!” pekik pemuda itu sarkas. “Cabut lo semua!” lanjutnya berteriak lantang. Tanpa berpikir dua kali, mereka kalang kabut berlari, keluar dari tempat ini dengan cepat.
“Lo nggak apa, kan?” tanya Gasta, sambil melangkah mendekat ke arah cewek yang kini meringkuk ketakutan di bawahnya sambil menyender pada tembok. Cowok itu pun memilih berjongkok di hadapan Tsabita.
“I-iya.”
Tsabita tersentak ketika merasakan tubuh bagian atasnya tertutupi oleh kemeja putih khas anak Dharma Wijaya, membuat Tsabita mendongak, menatap Gasta dengan sorot mata sendu.
“Pakai seragam gue!” titahnya dingin.
Kini, Gasta hanya mengenakan kaus ketat berwarna putih dengan celana kotak-kotak merah yang membalut bagian bawahnya. Pemuda tampan itu segera mengalihkan perhatian, memberi kesempatan untuk Tsabita mengganti bajunya. Tidak mungkin jika Tsabita menggunakan kausnya yang tadi, karena kaus itu sendiri, sudah dirobek oleh mereka.
Gasta kembali menoleh, Tsabita selesai mengenakan kemeja sekolahnya yang nampak begitu besar. Mata gadis itu masih sembab, serta bibirnya yang masih bergetar ketakutan. Namun, Gasta hanya diam. Sampai pemuda itu dibuat tersentak dan membelalakkan mata ketika Tsabita memeluk dirinya tiba-tiba.
“M-makasih!” isaknya.
Air mata Tsabita meluncur deras, membasahi wajah putihnya. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Gasta yang membuatnya sangat nyaman, meskipun cowok itu tidak membalasnya.
Sampai pelukan itu mengendur, saat Gasta mendorong tubuh ringkih Tsabita, agar berhenti memeluknya, membuat cewek itu tersentak dan memandang Gasta bertanya.
“Lo bukan Denta!” tegasnya. “Gue nggak main asal peluk cewek, selain cewek gue.”
Gasta tau, Tsabita melakukan semua ini hanya karena dia ketakutan. Tapi sekalipun begitu, dia tidak ingin memaklumi. Denta menjaga perasaannya, begitu pun sebaliknya. Gasta ingin menjaga perasaan Denta. Dia tidak mau kembali bodoh seperti dulu. Membuat Denta menangis karena ulahnya.
“Gue antar lo balik,” katanya.
“G-gue nggak mau pulang. Gue nggak mau Mami lihat gue dalam keadaan sekacau ini.” Tsabita mendongak, memandang Gasta. “Antarin gue ke rumah Denta aja ya! Gue pengen nginep rumah dia,” lanjutnya. Ketika nama Denta disebut, ekspresi wajah Gasta perlahan berubah.
“Anj*r, gue lupa.” Gasta meronggoh ponselnya dari dalam saku cepat. Dia belum mengabari Denta lagi. Padahal dia cukup lama meninggalkan cewek itu di sekolahnya.
“Jangan sampai kejadian dulu keulang lagi,” gumamnya, sambil mencari nomor cewek itu.
Denta
Iya. Jangan lama-lama tapi :(
Gasta segera menghubungi nomor Denta, berharap cewek itu segera mengangkat panggilannya. Namun sampai berkali-kali menelpon, masih tidak tersambung. Gasta meringis, mulai khawatir. Berbeda dengan Tsabita yang mengerutkan keningnya pertanda tidak mengerti dengan ekspresi wajah pemuda itu.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ikut gue!” perintah Gasta tanpa basa- basi terlebih dahulu.
***
ENTAH berapa jam, Denta menunggu Gasta di dekat pos satpam sekolahnya. Udah kayak orang hilang. Ditambah baterai ponselnya habis, membuat dia tidak bisa untuk menghubungi Gasta. Mana dia lupa, nomor ponsel cowok itu. Tak hanya nomor Gasta, nomor sendirinya saja, dia tidak ingat.
“Gasta ke mana sih? Gue jadi dejavu ke ingat yang dulu-dulu. Dia nggak datang malah nemenin Melody di rumah sakit!” Denta menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. Semua orang yang melihat, pasti tau bahwa dirinya bersedih sekarang. “Dia tuh lagi nyusuin anakmonyet, apa gembala kambing sih? Lama banget.”
Cewek itu mulai melangkah ke tepi jalan raya. Suasana daerah ini memang cukup sepi, karena bukan jalan raya besar, seperti SMA Cendrawasih yang selalu ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang meskipun sudah malam.
Denta mulai berjalan. Memantapkan hatinya untuk melangkah sampai ke perempatan dekatnya SMA Dharma Wijaya untuk mencari angkot. Dia sudah was-was karena takut kalau ada begal datang.
Denta mendecak frustasi. Mengingat satu fakta bahwa perjalanan naik mobil dari sekolahnya sampai ke halte dekat SMA Dharma Wijaya butuh waktu sampai sepuluh menit. Kalau jalan kaki, pasti jadi setengah jam, kecuali berlari. Sayangnya, Denta tidak punya tenaga lagi untuk berlari. Perutnya kelaparan sekarang. Bibir Denta mulai bergetar, kesal karena cowok itu tidak menepati janjinya. Entah sedang berada di alam mana, Denta tidak mengerti.
“Gue udah nunggu sejam loh. Dikira nggak capek apa? Mau disuruh nunggu sampai jam berapa lagi coba? Gue ngantuk, lapar juga,” kesalnya menahan tangis, sambil memegangi perutnya yang kelaparan. “Lo nggak lagi ada niatan kecewain gue kayak dulu kan, Gas?”
Tanpa sadar, saat dirinya berjalan di trotoar, masih di area dekat sekolahnya--SMA Sevit, kaki Denta yang dibalut sneakers pink itu tersandung batu, membuat tubuhnya terhuyung ke depan. Cewek itu mengaduh keras, ketika merasakan perih di telapak tangan juga lututnya.
“Hua! Sakit!” Tangis Denta pecah dengan lebay. “Kenapa sih dunia kejam banget sama gue?” teriaknya sambil merengek dramatis, “Kalau nggak mau jemput tuh ya ngomong dong! Jangan nyuruh gue nunggu! Satu jam tuh lama.”
Cewek cantik itu menangis bahkan tergugu sambil sesekali mengelap ingusnya. Ingin marah dan menimpuk kepala seseorang. Tapi tidak ada siapa pun yang lewat, membuat dia semakin mengencangkan tangisnya.
“Heh, lo ngapain selonjoran di sini? Bangun cepat!” ujar seseorang yang sudah duduk jongkok di depannya.
Denta mengangkat wajahnya. Menemukan Satriya yang menatap dirinya keheranan. Bukannya berdiri, dia malah semakin menangis. Kali ini tangisnya lebih kencang daripada yang sebelumnya. Satriya mendelik, jadi langsung panik, ketika tau bahwa cewek itu tengah menangis.
“Hei?” Satriya memegang kedua bahu Denta. “Lo ngapain malah nungging di sini? Lo nangis?”
“Gue pengen pulang,” sahutnya dengan suara yang serak.
“Hah? Pengen pulang? Terus, motor atau mobil lo di mana?”
Denta menggeram. “Kalau gue bawa mobil, ngapain gue masih di sini sih, Sat?”
“Ya biasa aja kali, Neng,” sahutnya.
“Nggak bisa!” semprotnya.
“Apa sih, Nyet? Sabar dulu elah. Jangan ngomel-ngomel mulu,” celotehnya.
“Ya elo malah bikin gue emosi,” balas Denta tidak mau kalah.
Bibir Denta bergetar lagi. Cewek itu mengusap-usap air matanya yang menumpuk di pelupuk mata. Berusaha untuk menguasai diri. Gadis itu mendesah pelan, mendongakkan kepalanya lagi, menatap Satriya. Satriya yang memperhatikan mata sembab Denta yang kini menatapnya langsung merentangkan kedua tangan nya. Dia yakin, sebentar lagi pasti Denta akan memeluknya, minta di tenangkan, seperti yang pernah ada di n****+-n****+. Mau bagaimana juga, Satriya datang di saat yang tepat.
Namun realita memang tidak seindah ekspetasi. Malah justru mengecewakan. Bukannya dipeluk, Satriya justru malah dijitak oleh Denta, di bagian ubun-ubunnya.
“Mau ngapain lo?” tanya Denta ketus.
“Gue kira lo mau minta peluk gara-gara lo ketakutan.”
“Cih, nggak usah ngarep lo!” Denta malah balik nangis lagi, sambil gebuk- gebukin badan Satriya. Cowok itu cuma bisa pasrah saja.
“Udah lo hubungin? Kali aja dia di jalan,” ujar Satriya mencoba untuk menenangkan.
“Ih! Gue kan tadi bilang kalau dia nggak ada kabar. Berarti gue udah nyoba hubungin lah.”
“Anj*r, walaupun lagi nangis, galak mah, galak aja ya, Nta? Gue kan cuma nanya,” sindirnya.
“Pertanyaan lo nggak berfaedah.”
Satriya mengumpat. “Bangke. Ya udah, sekarang lo mau ke mana? Biar gue aja yang antar.”
Denta mengelap ingusnya. “Pulang. Eh nggak usah deh! Gue takut kalau dia udah beneran di jalan, mau ke sini.”
“Nta!!” Satriya mendecak.
“Lo masih-masihnya ya mikirin dia. Peduliin diri lo dulu! Lutut lo udah berdarah kayak gitu,” semprotnya.
Denta mendecak sebal. “Kalau dia datang ke sini, terus nunggu--”
“Ya udah, biarin aja dia nunggu sampai besok, biar dia rasain apa yang lo rasain sekarang,” omelnya menggebu-gebu. “Cepetan bangun, gue anter lo balik.”
Denta menghembuskan napasnya berat lalu mengangguk pasrah. Dia berjalan mengekori Satriya menuju motornya. Menoleh sesaat pada jalanan di sekitarnya, kali saja Gasta sudah datang. Kemudian menghadap punggung tegap Satriya lagi.
“Sat! Nanti kita mampir ke warung pecel lele pinggir jalan dulu ya! Gue mau bungkus buat makan di rumah.”
“Iya.”
***
SESAMPAINYA di halaman megah SMA Sevit, Gasta turun terburu-buru dan mencari keberadaan Denta. Tsabita yang sendirian, masih duduk di atas jok motor milik Gasta, memperhatikan cowok itu yang masih kebingungan. Gadis itu diam, mengumpulkan nyawa.
“Pak, ada lihat pacar saya nggak?” Gasta kini menghampiri seorang satpam yang tengah berkeliling di dekat parkiran sekolah.
“Maaf, Mas. Saya nggak tau. Soalnya saya sendiri baru datang. Gantian shift sama temen saya. Jaga malem,” ucap seorang satpam dengan tubuh kurus. Ini bukan satpam yang waktu itu mau disogok Gasta.
“Tapi kayaknya pacar masnya udah pulang deh. Soalnya, udah nggak ada siapa-siapa di dalem. Anak yang lagi ekskul sore, udah pada pulang dari jam lima tadi,” sambungnya.
Seketika itu tatapan Gasta kosong. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Memang yang dikatakan satpam ini tidak berbohong. Meski begitu, dia tidak mau asal menyerah. Dengan gerakan cepat, pemuda itu pergi. Berlari masuk ke gedung sekolah yang gelap dan sepi. Gasta tidak peduli jika makhluk astrallah yang dia temui nantinya, bukan Denta. Malah kalau bisa, Gasta akan menendang mereka satu-satu karena bisa-bisanya menghantui cowok yang lagi kalap karena pacarnya hilang begini.
“Denta!” teriaknya di koridor lantai tiga. Setaunya, kelas Denta ada di koridor lantai tiga. Maka dari itu, Gasta berniat mencari ruang kelasnya. Diketuknya keras-keras ruang kelas 12 IPS 3 yang terkunci. Gasta masih bisa-bisanya berpikir, bahwa Denta ada di dalam dan sengaja mengunci pintunya karena ngambek dengan dirinya. Namun nyatanya, saat Gasta melihat dalam kelas melalui jendela, tidak ada kehidupan di sana. Hanya ada kursi dan meja yang berjejer rapi.
“Denta!”
Gasta kembali berlari mencari cewek itu. Kali ini langkahnya membawa cowok itu menuju lapangan indoor SMA Sevit. Dan lagi-lagi, hasilnya nihil. Tidak ada siapa pun di sana. Saking paniknya, Gasta sampai tidak peduli jika Tsabita menunggunya di parkiran sekolah.
Malam-malam begini, dan jantung Gasta sudah dibuat maratonan. Dia tau ini salahnya, meninggalkan Denta selama ini. Yang lebih buruk adalah, Denta pulang sendirian naik angkot. Sumpah demi apa pun, Gasta akan mengutuk dirinya sendiri, kalau sampai benar seperti itu. Lebih buruk lagi, kalau Denta marah pada dirinya dan mengingatkan pada kebodohannya yang dulu. Gasta tidak mau itu terjadi.
Kepanikan Gasta semakin menjadi, ketika membuka ponselnya, dan berkali-kali menelpon cewek itu. Sampai Gasta memilih untuk kembali berlari menuju parkiran, di mana dia meninggalkan motornya juga Tsabita. Mungkin, dia memang perlu datang ke rumah Denta, memastikan cewek itu sudah pulang dengan selamat.
***
“UDAH dong, Nta, nangisnya!” Aryan membungkuk, membersihkan bekas-bekas tisu di sofa ruang tengah. Lalu membuangnya satu persatu di tempat sampah dekat TV. Kemudian berkacak pinggang, memperhatikan Denta yang nungging di sofa, sambil menangis keras.
Sudah dua puluh menit cewek cantik itu menangis. Niat hati Aryan datang berkunjung ke rumah Denta, untuk mengerjakan tugas Prakarya, malah dia langsung dibuat emosi karena melihat Denta datang diantar oleh Satriya. Awalnya dia berniat mengajak Satriya baku hantam, tapi dia urungkan ketika Denta menarik tangannya dan menangis sesegukan di ruang tengah. Tentu saja setelah mengucapkan terima kasih pada Satriya karena sudah mau mengantarkannya pulang ke rumah.
“Lo tuh nggak ngerti apa yang gue rasain sekarang, Ar!” rengek Denta, merubah posisinya menjadi duduk, sambil mengelap ingusnya dengan punggung tangan. “Lo nggak bakal ngerti!”
Lalu kembali ke posisi awal, yaitu nungging. Menenggelamkan kepala nya di bantal sofa, supaya mamanya yang ada di ruang tamu tidak mendengar tangisannya. Mamanya memang lagi punya tamu sekarang. Guru SMA Cendrawasih--perempuan. Namanya Bu Astuti. Saking serunya mengobrol, sehingga tidak menggubris keributan di ruang tengah.
Aryan mendecak, kemudian duduk di sebelah cewek itu. “Makanya jelasin!”
Gimana nggak gemes, kalau dia lihat Denta tiba-tiba pulang sama Satriya, terus nangis. Kalau ditanya, malah semakin menjadi-jadi tangisnya. Bukannya malah memberi alasan. Tapi waktu Aryan diam, dia malah ditimpuk sama Denta pakai tas, dikatai teman nggak peka. Benar-benar serba salah.
“Soal Gasta? Dia apain lo lagi, Nyet? Selingkuh?” tanyanya dengan mata memicing. “Kan udah gue bilangin, cowok ganteng tuh, hobinya emang cuma nyakitin doang.”
“Udah, nggak usah nangis lagi! Besok gue bakal datangin ke sekolahnya. Terus labrak tuh anak. Enak aja mau mainin elo. Dikata udah yang paling keren apa? Cuih!” lanjutnya.
“Bodo amat sama Dharma Wijaya dan Sevit yang bakalan musuhan habis itu. Ini soal harga diri coy! Hidup Sevit!” Ikrar Aryan dengan semangat empat lima, sambil mengepalkan tangannya ke udara, seolah seperti mahasiswa yang sedang berorasi di acara demo.
Denta yang masih sesegukan bisa-bis nya menampol kepala Aryan, agar cowok itu berhenti mengoceh. Cewek itu berusaha menghentikan tangisnya, agar dia bisa kembali berbicara dengan tenang. “Nggak ada yang selingkuh. Gasta nggak selingkuh. Gue cuma kesal aja gara-gara nunggu dia sejam, tapi dia nggak datang-datang juga,” katanya dengan air mata yang kembali menetes di pipi.
“Kok dia tega banget sih, Ar, sama gue?” gumamnya pelan, merasa tertohok sekali.
Aryan mendelik. “Dia lupa kali jemput lo. Anjir. Jadi--dari tadi tuh elo masih nungguin dia?” tanyanya.
“Iya.”
“Makanya sih, Nyet, kalau gue tawarin balik bareng tuh mau. Nggak usah sok jual mahal! Pakai acara bilang mau dijemput cowok lo. Ending-nya apa? Dia nggak datang kan?” cerocosnya sewot. Sakit hati kan lo?”
“Gue mana tau kalau dia nggak bakal datang?” pekiknya ngegas.
Aryan mengumpat kesal. “Terus, lo kenapa bisa balik bareng Satriya? Lo chat dia supaya jemput eo? Sejak kapan kalian tukaran nomor? Kok gue nggak tau?” celotehnya bersungut dengan sebal. “Kenapa nggak lo telpon gue aja sih Nta? Lo anggep gue apa sih sampai nyuruh orang lain jemput lo?”
Denta melirik Aryan, sinis. “Gue ketemu Satriya di pinggir jalan tadi. Dia lewat, ya udah ngajakin gue balik bareng sekalian. Gimana gue mau hubungin lo, kalau telepon gue aja mati,” cerocosnya menjelaskan.
“Oh, mati,” Aryan manggut-manggut langsung paham.
“Jahat nggak sih, kalau nanti gue ngamuk ke Gasta?” tanya Denta dengan nada sedih.
“Nggaklah. Malau justru bagus biar dia nggak kebiasaan bikin lo nunggu terus nangis kayak gini. Kalau bisa, entar gue bantu.”
“Bantu apa?”
“Bantu ngomporin,” balas Aryan sambil nyengir kuda.
“Bangs*t!” Denta tertawa. Menghapus air matanya yang membekas di pipi. Walau masih kesal, perasaannya lebih membaik daripada yang tadi.
“Denta! Mama nggak pernah ajarin kamu jadi f*ckgirl loh ya!” ujar sang mama sambil berkacak pinggang di depannya juga Aryan. “Siapa yang ajarin? Papa kamu?” Lanjutnya.
“Hah, apaan sih, Ma?” tanya Denta dengan kening mengerut. Matanya masih sembab sehabis menangis.
“Mama kira kamu udah putus sama Gasta, terus jadian sama Aryan. Nggak taunya kamu masih pacaran sama dia,” cerocos sang mama yang masih membuat Denta bingung. “Mama jadi bingung, kamu tuh maunya sama yang mana. Habisnya ganteng semua.”
“Nyokap lo kenapa sih?” gumam Aryan sambil menyikut lengannya.
“Ada Gasta tuh di depan. Makanya Mama ke sini, takut kamu ketauan kalau lagi bawa cowok ke rumah.”
“Hah? Ketauan apaan sih, Ma? Aku sama Aryan temenan doang. Gasta udah tau itu,” balas Denta.
“Malem, Tan!”
Sesuai dugaan, cowok bernama Gasta Nismara Alvredo, kini sudah berdiri di belakang sang mama, membuat Denta spontan langsung berdiri. Anggia--mamanya langsung sibuk cipika-cipiki sama Gasta. Bukan cuma sama Gasta, kalau Aryan, Azka, Karrel datang ke rumah, pasti caper. Bawaannya pengen diembat semua jadi menantu. Setelah menyapa Gasta sebentar, dia kembali pergi. Meninggalkan Denta dan dua teman laki-lakinya di ruang tengah.
“Heh, Yardi! Ngapain lo ke sini? Enak banget lo habis bikin Denta gue nangis, seenak jidat main datang ke sini?” pekik Aryan dengan wajah songong. Setelah itu Aryan tiba-tiba saja meronta-ronta tidak jelas. “Nta, jangan tahan gue, Nta! Jangan tahan! Ini cowok mesti dikasih pelajaran,” ujarnya sambil bertingkah seolah-olah hendak melepaskan diri dari cengkraman.
Denta mengumpat kasar. “Nggak ada yang nahan lo, Anj*r.”
Aryan jadi malu sendiri.
“Berduaan doang nih?” papar Gasta seolah tengah menyindir mereka.
“Diem deh lo onta! Nyinyir aja itu mulut!” cibir Denta. Cewek itu terlampau geram melihat sikap Gasta yang sok cool, sok hebat, sok dingin, sok kece, sok keren, sok-sokan! Tadinya cewek itu berniat untuk ngambek pada Gasta. Tapi dia urung kan, saat melihat sosok Tsabita baru datang dari balik punggung Gasta. Wajah cewek itu sembab, kelihatan sekali rambutnya berantakan.
Dan...
Dia memakai seragam sekolah Gasta.
Denta membelalakkan mata.
Tsabita meneguk ludah. “Sorry! Karena gue, Gasta jadi telat jemput elo,” katanya dengan pelan. Aryan di sebelah Denta cuma bisa melihat teman sekelasnya itu dalam diam.
“Kalian habis darimana?” tanyanya dengan kening mengerut. Seingat Denta, pacarnya itu tidak terlalu akrab dengan teman-temannya. Sekalipun itu dengan Fina dan Hauri.
“Gasta nolongin gue tadi. Gue ... mau diculik sama Fahri dan mau diperkosa sama dia,” sahutnya sambil menggumam, membuat Denta terkejut setengah mati. Dengan cepat, cewek cantik itu melangkah mendekat ke arah Tsabita. Melihat penampilan cewek itu dari atas sampai bawah.
“Lo belum diapa-apain sama Fahri kan?” tanya Denta khawatir, sambil memegang kedua bahu Tsabita.
Tsabita mengulum bibir, mengangguk dengan pelan. “Gue nggak papa. Gasta datang di saat yang tepat. Gue nggak tau lagi nasib gue kayak apa, kalau dia nggak datang tadi.”
Denta memandang Gasta, menampilkan ekspresi bangga juga terharu di waktu yang bersamaan. Tentu saja dia mengucap terima kasih pada pacarnya itu, karena mau membantu Tsabita yang diculik Fahri. Sementara Aryan yang melihat Gasta tersenyum, justru gondok, karena lagi-lagi Gasta terlihat seperti super hero.
“Nta, gue boleh nginep di sini kan?”
“Eh, boleh kok boleh.” Pandangan Denta beralih pada Aryan. “Yan, lo tolong antarin Tsabita ke kamar gue dong! Suruh dia mandi dan ganti baju gue,” perintahnya dengan cepat. Mau tidak mau Aryan mengangguk. Walau tidak ikhlas, karena nantinya waktu untuk Denta dan Gasta berduaan jadi lebih banyak.
“Ayo, Ta, sama gue!” ujar Aryan.
Tsabita menoleh, memandangi Gasta yang ada di sebelahnya. “Makasih ya, buat yang tadi,”
Gasta mengangguk. “Kalau cari cowok yang bagusan dikit!”
Tsabita tertawa kecil mendengar lelucon tidak lucu itu. “Fahri dulu... nggak kayak gitu,” balasnya. Gasta hanya mengangguk pelan, tidak ada niat untuk menimpali lagi. Dia lebih memilih mendekat ke arah Denta, mengacak-ngacak gemas rambut cewek cantik itu.
“Habis nangis ya?” ledek Gasta sambil tersenyum geli. Jadi tertawa ketika melihat Denta jadi sok imut dengan mengkerucutkan bibirnya. “Nangisin gue pasti,” lanjutnya masih dengan kekehan kecil.
Tsabita yang melihat kejadian itu hanya bisa iri dibuatnya. Gasta jadi berbeda ketika bersama Denta. Lebih hangat walau sikap cueknya lebih dominan. Setidaknya, Tsabita bisa melihat, bahwa Gasta memiliki cara sederhana untuk mengungkapkan perasaannya pada pacarnya. Dari sini Tsabita seharusnya sadar, bahwa pertolongan Gasta tadi, tidak harus membuatnya baper. Karena selamanya hanya Denta yang cowok itu mau. Hanya Denta yang disuka Gasta. Sementara dia? Hanya tokoh figuran yang numpang lewat dan kebetulan bernasib baik, ditolong si pemeran utama.
Tapi anehnya, d**a Tsabita jadi sesak sekarang, melihat Gasta yang kini mencium pipi Denta meski sekilas, tapi berhasil membuat Denta kesal dan malu di saat yang bersamaan. Gasta terlihat begitu gemas, dengan wajah bersungut sang pacar.
“Gue harap lo nggak baper sama yang dilakuin Gasta sama lo barusan! Gue minta, lo cukup sadar diri sama posisi lo yang sekarang, Ta!” bisik Aryan pelan, sambil melihat ke arah Denta dan Gasta yang kini tertawa bersama.
Tsabita mendecak, melirik Aryan dengan jengkel. “Apaan sih, Yan?”
“Ingat ya, Ta, jadi pelakor tuh kagak baik! Mending kayak gue, jadi pelakor tapi terang-terangan. Nggak pakai muka dua-duaan,” lanjutnya.
Pandangan Tsabita langsung beralih pada Denta dan Gasta. “Nta, gue pergi ke kamar lo duluan ya!” Lalu beralih menatap Gasta. “Sekali lagi, makasih! Gue utang banyak sama lo.”
“Santai aja. Lagipula ....” Gasta menjeda ucapannya, dan memilih menatap pacarnya tepat, membuat Denta merasakan sebuah tatapan panas menembus netranya. “Lo harusnya berterima kasih sama Denta.”
“Kok gue?” tanya Denta penasaran. Gasta tersenyum kecil. Menoel-noel pipi gembul Denta, membuat Tsabita mengerutkan keningnya, pertanda menunggu kelanjutan ucapan Gasta.
“Iya, Bawel. Kalau bukan karena lo, gue mana mau nolongin temen lo,” lanjutnya berhasil membuat Denta terkekeh. Berbeda Aryan yang sepertinya malah pengen muntah mendengar ucapan Gasta yang lebih mirip gombalan. Belajar darimana coba dia? Kenapa jadi lebih pro gombalnya ketimbang Aryan? Wah, tidak bisa dibiarkan.
Tsabita terdiam sesaat. Bungkam seribu kata mendengar ucapan Gasta.
Sakit. Ada rasa sesak yang menghujam di dadanya, begitu kuat.
***