30 | Tentang Satriya

1446 Words
RINDANGNYA daun dari sebuah pohon mangga yang berdiri di halaman belakang sekolah, Denta meneliti hasil jepretannya satu per satu pada layar ponsel. Tidak ada gambar lain yang di ambil kecuali foto selfie. Mumpung jamkos, jadi dia manfaatkan untuk foto-foto, nambah koleksi. Mungkin terlihat membosankan bagi sebagian orang, tapi Denta menyukainya. Merasa mukanya tidak menarik lagi untuk dijepret, Denta memasukan ponselnya ke dalam saku kemeja, lalu berniat kembali ke kelas. Namun, belum sempat melangkah, keningnya agak mengeryit mendengar suara keributan. “Anj*ng!” umpat pemuda ber-name tag Satriya Arega. Di lengan kemeja kirinya, terdapat badge kelas 12 IPS 1. Jantung Galang nyaris melompat, ketika u*****n kasar terdengar, sama sekali tidak berani membalas tatapan elang mereka Satriya. Baru kali ini dia melihat Satriya semarah ini. Bukannya cemen, Galang tau akan sangat percuma jika dia melawan. Yang ada malah dia setor nyawa karena kalah jumlah. Rasanya Galang sudah ingin merengek saja, mengapa harus ketemu Satriya CS saat sendirian? “Lang!” teriak Denta histeris, berlari mendekat ketika melihat Galang hendak dikeroyok oleh empat cowok itu. Tatapannya mengarah pada cowok tampan berseragam biasa. Maksudnya rapi, tidak mencerminkan berandalan. Dia yang berdiri di barisan terdepan. “Woy udah! Pada ngapain lo?” Tanpa pikir panjang, Denta langsung mendorong d**a Satriya, memisahkan mereka. Melihat kedatangan Denta, Galang jadi meleleh. Cowok itu tanpa lama-lama, langsung berdiri dengan sudut bibir yang sudah berdarah. Satriya mengumpat menatap gadis itu dengan tidak suka. “Siapa lo? Nggak usah ikut campur!” “Adanya gue yang nanya, lo yang siapa? Ngapain sok jagoan, pakai acara nonjok temen gue?” kata Denta sambil berkacak pinggang. Satriya mendecak. “Harusnya lo tanya temen lo, ada masalah hidup apa dia sampai cari gara-gara sama gue?” balasnya dengan sinis. Denta menoleh pada Galang yang bersembunyi di belakangnya, seolah meminta jawaban. “Apaan, Njir? Gue kagak cari masalah apa-apa, Nta, sumpah. Mereka tuh tiba-tiba datang terus nyerang gue. Padahal mah gue kalem dari tadi,” kata Galang sambil menunjuk-nunjuk Satriya di balik punggung Denta. Satriya ternganga. “Heh, nggak usah fitnah lo! Gue masih sempat nanya ke lo baik-baik ya tadi. Lo aja yang nyolot duluan.” “Baik apaan? Dia langsung nonjok gue. Terus nendang tulang kering gue juga, Nta,” kata Galang pada Denta seolah mengadu. Lelah akan perdebatan, Denta mendorong badan cowok itu. Bukan tanpa alasan, Denta yang berusaha netral juga ikut disalahkan bahkan cowok itu berhasil menjelekkannya. Sekarang, Denta mengambil alih tas ransel hitam yang tadinya cowok ini pakai untuk menyampit wajah Galang. Saat cowok itu berniat untuk maju sambil menggeram kesal, Denta lebih dulu menendang perutnya, lalu beralih menyundul masa depan cowok itu dengan kakinya sampai dia terjungkal ke belakang. “Rasain!” “Woy, apa sih lo! Jangan duduki perut gue, Njir!” pekik Satriya. “Makanya nggak usahsok preman deh lo! Hadapin gue aja kalah.” “Lo cewek, Nj*ng. Gue masih waras buat pukul lo,” teriaknya frustasi sendiri. Niatnya bikin Galang babak belur, malah dia sendiri yang merasakannya. “Cepetan chat Aryan! Biar mampus tuh, kalau udah bos geng yang maju,” pekik Denta sambil mengibaskan rambutnya, mulai kegerahan. “Weis, Mbak, kalem-kalem!” kata satu teman Satriya bergerak maju untuk menarik tangan Denta. Mendengar nama Aryan disebut oleh cewek itu, tentu saja mereka sudah merinding. Tidak mau kalau sampai Satriya terkena masalah dengan si bos geng. Denta mengangkat sebelah alis. “Gue nggak niat keroyokan, Njir. Gue sendiri tadi nemuin Galang. Niat gue mau nanyain ke Galang, benar nggak dia yang ngempesin ban mobil gue? Tapi dia malah nyolot, bahas soal rambutnya yang botak gara-gara razia OSIS kemarin. Kebetulan banget temen gue lewat, mereka nanya ini ada apa. Udah itu aja. Nggak ada niat buat keroyok,” tutur Satriya panjang lebar. “Dia maki-maki gue duluan. Karena kesal ya udah gue tonjok. Gue kira dia bisa ngelawan. Nggak taunya, gede bacot doang. Heran, Aryan kenapa sih bisa-bisanya masukin bocah nggak bisa gelut ke gengnya.” “Lang!” pekiknya, merubah posisinya jadi berdiri. Galang cuma bisa menunduk saja, seperti anak kecil yang kepergok emaknya pulang habis Maghrib. “Ngapain sih lo kayak gitu? Jelas dong dia ngamuk.” “Dia anak OSIS, Nta,” cicit Galang pelan. “Dia yang botakin rambut gue kayak gini kemarin. Makanya gue nggak terima. Ya udah, gue kempesin aja ban mobilnya.” “Aryan tau kalau lo kempesin ban mobil cowok ini?” tanya Denta. “Nggak.” “Astaga.” Denta mendesah frustasi. Kemudian melirik Satriya yang sudah dibangunkan oleh teman-temannya sambil memegangi selakangannya. “Sorry!” kata Denta pelan, membuat Satriya meliriknya malas. “Sakit banget ya? Perlu Galang bawa ke rumah sakit nggak?” “Kalau mau laporin gue ke BK, nggak apa kok,” kata Denta. Satriya melengos keras. “Udahlah, udah kejadian juga,” katanya dengan cepat, toh Satriya terlalu malu kalau harus lapor ke BK. Sampai kemudian melirik Galang tak suka, “Jadi bener kan, lo yang kempesin mobil gue kemarin?” “Iya.” Galang mengaku akhirnya. “Siap-siap aja lo ke ruang BK. Lo tau sendiri kan kalau jailin kendaraan murid lain itu udah masuk pelanggaran tata tertib?” katanya. “Iya.” Galang pasrah saja. Denta merapatkan bibirnya sejenak. Merasa sungkan sudah menghakimi Satriya. Padahal jelas-jelas Galang yang bersalah. “Kami berdua balik duluan kalau gitu. Sekali lagi sorry!” Denta meringis kecil. Menatap Satriya dan teman-temannya malu sendiri. Mukanya harus diletak di mana sekarang? *** GEROMBOLAN para remaja, yang diisi empat pemuda dan satu orang gadis ini, melangkah tenang menuju koridor lantai satu. Bukan geng, melainkan pengurus OSIS. Lihat saja dari almamater yang dikenakan mereka. Dante--si ketua OSIS, kemudian ada Ratna--sekretaris. Sementara tiga lainnya, bukan anggota inti OSIS, melainkan bagian seksi. Satriya, seksi olahraga melambaikan sebelah tangannya, ketika beberapa kumpulan cewek menyapanya. Cengiran tengil, Satriya tunjukkan ke arah sekumpulan cewek tersebut yang langsung disambut pekikan histeris. Satriya menyugar rambutnya ke belakang, kemudian melayangkan ciuman jarak jauh. “Buat gue! Buat gue!” seru mereka saling berebut meraih ciuman jarak jauh dari Satriya. “Dasar cewek-cewek alay. Baru kayak gitu aja, udah gelonjotan.” Ratna, gadis cantik berpipi bulat dengan tinggi tubuh menjulang, mencibir tidak senang. Selain Aryan, masih ada banyak stok cogan di SMA Sevit yang digilai, meski tidak sebanyak fans Aryan. Ada Dante, ketua OSIS idaman yang kalem dan murah senyum. Naufan, kapten basket. AtauSatriya, si anak OSIS sekaligus fotografi. Denting lift yang akan membawa mereka menuju lantai tiga terdengar. Dengan tenang, Dante melangkah masuk diikuti yang lain. Baru saja Dante selesai memencet tombol naik, sebuah teriakan sumbang menghentikannya. “Tunggu!” teriak seorang gadis, sambil berlarian dari jarak agak dekat. “Lah, udah gue pencet,” gumam Dante. Satriya tidak peduli, itu, memilih memasang headset di kedua sisi telinga. Namun, sebelum lift itu menutup sempurna, satu tangan berhasil menahannya. Gadis itu menggendong tas ransel berwarna serupa dengan bandana pink-nya. Untuk sesaat, Satriya kehilangan kata-kata. Astaga, dia Denta, kan? Gadis itu terlihat semakin menawan pagi begini. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan natural. Alisnya rapi walau tidak terlalu tebal dan tidak diberi pensil alis. Bibirnya pink, terlihat berminyak. Bisa Satriya tebak, dia sengaja memakaikan lip gloss. Denta pun tak kalah terkejut karena saat mata keduanya bersitatap, hanya satu orang yang muncul di benak cewek itu. Dia yang pernah ia tendang masa depannya itu, kan? “Nta, mau masuk nggak?” tanya Dante membuyarkan lamunan Denta dan juga Satriya. Cewek itu tidak mengatakan apa-apa, melainkan langsung masuk dan berdiri di sisi Satriya. Agak terlalu dekat, karena di sisi kiri Denta, sudah ada Ratna yang tengah mengobrol dengan seseorang di telepon. Satriya menghela napasnya panjang. Mencoba untuk kelihatan biasa-biasa saja, walau nyatanya dia gugup luar biasa. Namun cewek di sampingnya bernama Denta ini, malah terdengar bernapas dengan sangat borosnya, mengundang ekor mata Satriya untuk menyaksikannya menata poni ratanya yang lucu. Sampai mata keduanya akhirnya ketemu. Cewek itu tersenyum. “Satriya ya?” tanya Denta. Satriya berdehem saja. Dante yang juga mendengar pertanyaan Denta, tampak melirik. Kemudian menahan tawa saat melihat Satriya yang mengepalkan tangan, menahan diri dari kegugupan. “Iya. Lo tau nama gue dari mana? Kita nggak pernah akrab sebelumnya.” Denta manggut-manggut. “Temen di kelas gue yang bilang. Oh ya, sorry buat kejadian yang waktu itu.” Satriya mengangguk. “Iya. Gue juga udah lupa lagian.” “Oke.” Sampai denting lift berbunyi dan berhenti di lantai tiga. Denta melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Satriya dan yang lain. Kemudian di susul oleh Satriya. Sampai ada saat di mana Denta berhenti tepat di depan ruang kelas 12 IPS 3. Satriya berhenti lalu memandangi cewek yang sudah meronta ketika lehernya dijepit oleh ketiak Aryan yang sudah tertawa ngakak. Melihat kejadian itu, Satriya langsung mengalihkan pandangan menuju kelas 12 IPS 1. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD