28 | Help Me

2981 Words
SEPERTINYA Tuhan memang tidak ikhlas melihat Denta bahagia barang sebentar saja. Baru semalam baikan dengan Gasta danpagi ini dia harus kebagian hukuman mencari kayu bakar, untuk acara api unggun nanti malam oleh Pak Kris. Apalagi motif hukumannya kalau bukan karena terciduk nyamperin tenda anak sekolah lain. Semalam, Denta dan Gasta balik ke tenda 12 IPS 3 dengan tenang-tenang saja. Bahkan mereka senyum-senyum bahagia setelah keduanya resmi di nyatakan berbaikan. Tapi, tanpa diduga, ketika hendak memasuki tenda, Denta dibuat terkejut ketika melihat Pak Kris sudah berada di sana, dengan wajah sangarnya. Notifikasi pesan terdengar dari ponsel yang berada di saku celana trenning seragam olahraganya. Denta meronggoh, menyalakan benda persegi panjang itu. Jari lentiknya bergerak lincah di layar. Dia mendengkus sebal, melihat notif chat yang masuk. Gasta Yang. Denta APA? AKU NGAMBEK Gasta Maaf, Bi. Gara-gara gue, lo dihukum. Denta NGGAK LIHAT, BUREM. Gadis ber-hoodiepink, dengan rambut sepunggung yang tadinya sengaja digerai, sekarang dicepol asal. Denta berpose mengkerucutkan bibir, menghentakkan kaki. Denta memandang wilayah yang cukup asing buatnya ini dengan miris. Pak Kris memang bangsul sekali--b*****t betul. Tega sekali memberikan hukuman semacam ini padanya yang cantik, cetar membahana, paripurna, luar biasa begini. “Ah kalau udah sampai tempat kemah, gue mau rebahan aja. Bodo amat sama kegiatan,” gerutunya sembari menendang kerikil kecil lalu mengambil ranting pohon yang berjatuhan. “Kelihatan kayak orang rajin gue kalau begini. Padahal pas di rumah, kalau disuruh Mama bantu beresin rumah, ngebantah mulu.” Sudah cukup lama Denta menapaki jalan berbatu itu. Menyusuri pinggiran hutan--namun tak kunjung mendapatkan banyak ranting. Sampai langkahnya terhenti, dengan raut wajah gelisah. Dia tidak tau, ini ke arah mana. Bisa dia simpulkan, gadis itu tersesat. “Heh! Ini gue di mana?” pekiknya cempreng, kelimpungan panik harus bertindak apa. Tidak memperdulikan dahan ranting yang sudah dibantingnya sekarang. “Loh, seriusan? Ini gue lagi hilang?” Itu sejenis pernyataan paling bodoh keluar dari mulut seorang primadona sekolah. Jelas-jelas dia tidak hilang, melainkan nyasar. Gadis itu kembali melangkah, kali saja menemukan jalan terang. “Sumpah, nggak lucu banget ini. Nggak pernah ada sejarahnya Denta nyasar woy!” Denta menarik napas, mencoba untuk mengendalikan diri. Mencoba berpikir dia akan baik-baik saja. Sambil terus menyemangati dirinya sendiri. Tangan kirinya bergerak membenarkan poni ratanya yang menusuk mata. “Tenang, Denta! Lo ingat kan pas pramuka SMP, pernah diajari cara yang di akuin waktu kita lagi tersesat,” racaunya pada diri sendiri. Yang detik selanjutnya semakin memekik lantang dan melengking, saat dirinya mendengar suara burung gagak yang berasal dari dalam hutan. “Nggak, gue nggak bisa tenang. Ayang!” Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk mengirimkan pesan di grup kelasnya. Meski Denta perlu agak berjinjit dulu untuk mencari sinyal. Denta HEH! GUE NYASAR! TEGA BANGET SIH, NYET, NGGAK ADA YANG NYARIIN GUE. WOY TOLONGIN GUE DOMBA- DOMBAKU. Cukup lama sampai pesan itu terbalas. Denta memilih duduk jongkok di tempat itu. Wajahnya sudah memerah, karena kena sengatan sinar ultraviolet. Aryan Di sebelah mana, Nta? Denta Nggak tau. Alka Coba lo ingat-ingat lama perjalanan lo dari tempat kemah sampe ke situ, berapa menit. Denta Sejam seingat gue :( Ih, tolongin! Gue serius nyasar beneran. Nggak ada siapa-siapa di sini. Aryan. Bentar, gue izin Pak Didik Naufan Azab hobi gebukin orang sih. WKWKWK Aryan NAUFAN BACOT. Naufan Oke, gue mingkem kalau sudah bos geng yang berkata. Denta sudah ingin mengamuk pada teman-temannya yang ikutan mengirim pesan, menyuruhnya untuk tenang. Tapi dibuat memekik kaget, terkejut luar biasa, saat ada panggilan masuk dari Gasta. Cewek itu buru-buru mengangkatnya, dengan ponsel yang di angkat tinggi-tinggi, memastikan sinyalnya tidak hilang. “Halo Gas, halo!” seru Denta pertama kali, agak kelabakan sendiri, karena masih panik bukan main. “Hei, di mana?” “Nggak tau ini lagi di mana,” katanya jadi jingkrak-jingkrak gemas sendiri. “Beneran nyasar?” ujar pemuda itu langsung to the point. “Iya. Tau dariman— ah, itu nggak penting. Cariin gue, Gas!” “Iya, ini lagi di jalan nyariin. Nggak usah nangis dulu ya!” kata pemuda itu dengan lembut. “Iya. Cepetan ya!” sahut Denta sambil menggigit daging bibir bagian bawahnya gugup. “Di samping lo ada apa?” “Pohon,” balasnya polos sambil celingukan menoleh ke kanan kiri. “Bodo amat, Nta,” balas Gasta dengan nada naik oktaf. “Lah, emang beneran ada pohon kok.” “Seingat lo, dari tempat kemah tadi, lo ke arah mana?” “Selat--eh, apa utara ya? Atau malah ke timur lagi? Gue nggak tau arah selatan, utara, timur. Nggak bawa kompas. Ini paketan gue tinggal yang unlimited w******p-nya doang, nggak bisa buat buka maps,” ujar gadis cantik itu dengan raut wajah menyesal. Kenapa dia pakai acara lupa isi kuota paket internet segala? Runyam urusannya. “Nggak mungkin kan lo kasih gue hotspot dari sana ke sini?” “Astaga. Coba ingat-ingat lagi!” Denta berpikir sebentar. “Pokoknya ngelewatin area kemah sekolah lo. Itu doang sih seingat gue,” balasnya. “Oke, jangan ke mana-mana! Tunggu sampai gue datang.” Pesan pemuda itu diangguki cepat oleh Denta. Denta mendesah ketika sambungan diputus sepihak oleh Gasta. Denta semakin tidak nyaman, ketika suara-suara aneh dari dalam hutan di sebelahnya terdengar. Membuat dia yang tadinya duduk kembali berdiri dengan raut wajah kebingungan. Persis seperti anak ayam yang kehilangan induknya. “Eh, itu asap?” Matanya langsung berbinar ketika melihat kepulan asap mengudara tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, “Itu beneran asap? Yey, gue selamat. Makasih Tuhan, makasih,” katanya senang. Seingatnya dari pelajaran pramuka yang pernah diajarkan Kang Budi, pembina pramuka di SMP-nya dulu, kalau seseorang lagi tersesat, maka yang wajib mereka lakukan adalah mencari sumber mata air atau makanan. Masalahnya ini dekat hutan, tidak menjamin juga adanya sumber mata air. Kalau pun ada, yaitu air laut. Asin, Denta tidak suka. Yang kedua--mereka harus mencari asap. Alasannya? Kalau tidak salah, Kang Budi pernah bilang dulu, kalau ada asap, itu artinya ada kehidupan. Denta yakin, tidak jauh dari sini, pasti ada pemukiman warga. Maka dari itu, dengan wajah super bahagia, dia segera memutuskan untuk melangkah ke sumber asap itu. Sangat berharap, jika ada warga yang mau membantu sekaligus mengantarnya kembali ke tempat kemah dengan selamat. Saat kaki panjangnya menelusuri jalan, dia sampai ke sebuah perkampungan nelayan sederhana. Di setiap bagian depan rumah, pasti ada deretan ikan-ikan yang di jemur dengan susunan rapi. Denta baru tau, kalau ikan asin yang sering dimakannya, mungkin bisa saja berasal dari kampung ini. Matanya memutar, melihat-lihat ke arah kanan kiri, mencari seseorang untuk di mintai pertolongan. Sampai netra coklat madu itu jadi berbinar, tak kala menemukan sesosok pemuda berkulit sawo matang, tengah duduk di teras depan rumah. Membuat Denta memutuskan mendekat. “Permisi!” kata Denta ragu. Cowok berperawakan kurus yang tengah duduk sambil memangku gitarnya itu langsung mendongak. Denta speechless, saat melihat wajahnya. Cowok ini ganteng, mirip Karrel, nggak ada tampang orang-orang pelosok sama sekali. Manik-manik mata hitam legamnya, membuat Denta kesusahan untuk mengalihkan pandangan. “Ya? Kenapa?” tanyanya super tenang. Sementara Denta berjenggit kaget. “Lo orang sini kan?” tanyanya, diangguki oleh cowok itu. “Iya. Ada apa ya?” Denta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal--canggung, “Bisa bantuin gue nggak? Gue nyasar. Please!” “Nyasar?” pekiknya, sambil melihat penampilan Denta. Kaus olahraga biru yang di balut hoodie pink pastel, dengan bawahan trenning, dan sneakers putih. Khas anak sekolah. “Iya, nyasar. Dari tadi, gue udah berusaha muter-muter, tapi bukannya ketemu, gue malah jauh dari tempat kemah,” curhatnya sambil duduk di depan cowok yang Denta tebak, seumuran dengannya. “Oh, jadi kamu salah satu dari anak kota yang lagi kemah di dekat pantai itu?” tebak cowok itu diangguki cepat oleh Denta. “Iya, bener banget. Dan sialnya gue nyasar pas dihukum sama Pak Kris buat nyari kayu bakar,” pekiknya. “Lo mau kan nolongin gue? Antarin gue ke tempat kemah. Gue berani sumpah, gue bukan orang jahat. Mana ada orang jahat cantik begini?Please-please! Tolongin gue!” pinta Denta dengan wajah memelas. “Kalau semisal lo nggak percaya, lo bisa deh cari akun i********: gue, Denta Nayyira. Nah, gue itu selebgram. Kalau misalnya gue jahat terus lo laporin gue, reputasi dan nama baik gue bisa anjlok. Karir gue sebagai ratu endorse bakal ilang. Terus--eh, ngapain gue jelasin sampai detail ya?” Denta menggaruk rambut nya yang tiba-tiba gatal. “Dia ngerti i********: aja gue nggak yakin,” gumamnya pelan. Gadis itu menggeleng, menepis pernyataan tidak berfaedah itu dan kembali memandang pemuda tampan di hadapannya. “Gimana, mau kan?” Pemuda itu terlihat menggangguk kalem. “Boleh. Tapi aku nggak ada motor, mau naik sepeda aja?” Mata Denta jadi berbinar. Sepeda? Lumayan, setidaknya dia tidak perlu jalan kaki. “Beneran? Ih, gue malah seneng.” “Ngomong-ngomong, nama lo siapa? Gue Denta.” Gadis itu dengan semangat empat lima menyodorkan telapak tangan kanannya, berniat mengajak berjabat tangan. Cowok itu tersenyum tipis, kemudian menodongkan tangannya, meski agak kikuk sendiri. “Althaf.” “Althaf? Wah, daebak,” puji Denta dengan ekspresi menganga. “Gue kira nama lo itu Joko, Toni, atau paling mentok ya Dimas. Di perkampungan kayak gini, nama lo termasuk golongan keren dong?” pekiknya, membuat Althaf terkekeh geli. Sampai dia merasakan perutnya berbunyi, membuat Denta refleks memeganginya. Sialan, karena dihukum dia sampai lupa sarapan. “Bentar ya, aku naruh gitar dulu,” izinnya kemudian bangkit dari duduknya. Namun Denta refleks menahan tangannya. “Kenapa?” “Sorry kalau kelihatannya gue nggak tau diri. Kalau gue numpang ikutan makan, boleh nggak? Gue lapar.” Althaf mengangguk. “Boleh. Masuk aja. Ada bude di dalem.” “Bude?” pekik Denta sambil berdiri, memandang Althaf dengan bingung. “Oh, ini rumah bude lo? Gue kira ini rumah lo,” sahutnya. “Aku numpang tidur sini,” balasnya, dibalas anggukan kecil oleh Denta. Tanpa berpikir panjang, Denta berjalan mengekori Althaf dari belakang, masuk ke rumah sederhana, dengan dinding yang terbuat dari kayu jati asli. “Loh, sopo iki Le, sengkamubawa? Ayupisan[1],” ujar seorang wanita paru baya sambil merubah posisinya jadi berdiri, setelah tadinya berjongkok mencuci piring. Denta langsung mengambil alih tangan bude Althaf, kemudian menciumnya. “Anak kota, Bude,” balas Althaf. Sementara Denta sudah mengkerut malu bukan main. “Oh, iki salah siji bocah kota seng lagi kemah nek pesisir pantai to ya?[2]” * “Iya, Bude,” sahut Althaf. Sementara Denta? Dia sudah garuk-garuk kepala tidak mengerti bahasa jawa kental seperti ini. “Terus, lapo kok neng kene? Mengko nek di goleki bapak ibu guru pye to cah ayu?[3]” kata Minah dengan ekspresi tak tertebak. Denta semakin meringis, saat yang dia pahami hanya kalimat ayu, yang artinya cantik. Sekarang, kepala cewek itu sudah membesar akibat di puji cantik. “Justru itu bude, dia nyasar. Makanya ke sini, minta bantuan Althaf buat antarin dia ke tempat kemah. Tapi ....” Althaf melirik Denta, membuat kening Minah semakin mengerut. “Dia lapar. Mau numpang makan dulu katanya.” Denta mengumpat pelan, merasa gondok dengan kosakata yang dipakai Althaf. Seharusnya kan, Althaf bilang, kalau dia berniat mengajak Denta makan dulu, sebelum mereka kembali ke tempat kemah. Setidaknya, Denta tidak harus menanggung malu. “Oh mau makan? Ayo-ayo, tentu saja Bude bolehin. Tapi Bude nggak masak enak hari ini. Cuma masak ikan tongkol sama sambel. Nggak apa?” tanya bude Minah. “Beneran nggak apa, Bude. Wah, aku jadi ngerasa nggak enak,” katanya pura-pura sungkan. Padahal dalam hatinya sudah girang bukan main, mengingat ikan tongkol adalah salah satu ikan favoritnya. Dia berniat untuk membungkusnya sekalian, terus dibawa balik ke tenda untuk jatah makan sore dan malam. Sudah lama dia tidak makan ikan tongkol. Terakhir kali waktu SMP. Althaf melirik, kemudian terkekeh pelan, melihat cewek di sebelahnya sok malu-malu meong begini. Sampai kemudian, mata Althaf beralih pada celana cewek itu, yang terdapat tulisan SMA Sevit. Itu ... sekolah swasta di Jakarta Selatan juga kan? *** ALTHAF tidak berbohong. Pemuda itu benar-benar memegang janjinya untuk mengantarkan Denta menuju tempat kemah yang letaknya agak jauh dari pemukiman warga. Dan di sinilah Denta sekarang, duduk di boncengan sepeda tua milik Bude Minah dengan Althaf yang mengayuh pedal sepeda. Ngomong-ngomong gadis itu duduk dengan posisi ngangkang, bukan menyamping. Dia tidak mau ambil resiko jatuh karena jalanan di daerah sini berbatu. “Althaf, lo itu asli Jogja ya?” tanya Denta dengan posisi kepala agak condong ke kanan, berusaha agar bisa melihat wajah Althaf. Althaf melihat cewek itu lewat ekor matanya, sampai kemudian mengangguk. “Iya, kenapa emang?” “Nggak apa sih. Tapi kok aneh ya, Bahasa Indonesia lo lancar. Nggak medok kayak Bude Minah.” Althaf terkekeh mendengarnya. Dengan kaki yang masih terus mengayuh pedal sepedah, cowok itu kembali menjawab. “Udah sering ngomong pakai bahasa Indonesia soalnya.” “Ngomong-ngomong, lo masih sekolah nggak? Kelas berapa?” Althaf manggut-manggut sebagai jawaban. “Masih. Kelas dua belas.” “Wah, kita satu angkatan dong? Gue juga kelas dua belas loh.” Gadis cantik itu mengulum senyum lebar di bibir mungilnya. “Kebetulan banget,” balas Althaf kalem, membuat Denta nyengir kuda. Gadis itu sudah menyimpulkan bahwa Althaf tipekal cowok pemalu pada kaum hawa. Sejak tadi, hanya Denta saja yang mengoceh dan bertanya. Selebihnya Althaf hanya menjawab, itu pun kalem. Dia tidak cuek, tapi pemalu. Kalau cuek itu, sejenis Gasta atau Sandy. “Oh ya, kalau kita ketemu lagi, gue janji deh bakal traktir lo, karena lo udah bantuin gue hari ini,” ujarnya. “Nggak perlu kok.” “Eh, nggak apa. Tapi nanti aja, kalau gue main ke Jogja lagi. Soalnya besok malam gue udah balik lagi ke Jakarta.” Pemuda itu mengangguk, kembali memperhatikan jalanan berbatu yang dilewatinya. Sementara Denta masih berceloteh banyak, mengomentari pemandangan alam yang dilewati mereka. Sejauh ini, hanya ada pepohonan hijau, dan rumah-rumah kayu milik warga. Setau Denta di Jakarta, rumah seperti ini jarang ada. Kalau nggak salah, rumah Joglo namanya--alias rumah adat orang Jawa. Denta memekik kaget, refleks hendak terjungkal ke depan ketika cowok itu mengerem sepeda tuanya mendadak. Beruntung kepalanya masih membentur punggung tegap Althaf. Meski begitu, tidak berbohong jika dirinya terkejut sekaligus kesakitan pada bagian kepalanya. “Ada apa?” tanya Denta sambil melongokkan kepalanya ke samping, berusaha melihat ke arah depan. Dan seperkian detik, matanya dibuat terbelalak hebat ketika melihat Gasta berdiri di depan sepeda Althaf dengan wajah khawatirnya. Mulut Denta menganga, tapi itu tidak berlangsung lama, sebelum raut wajahnya terganti, jadi berbinar senang. “Gasta!” pekik Denta langsung turun dari sepeda milik Althaf. “Nta, nggak apa kan?” tanyanya sambil memegang kedua pundak Denta. Gadis itu mengangguk. “Iya nggak apa. Kok bisa tau gue di sini?” “Gue muter-muter dari tadi,” ujar Gasta sambil mengusap wajahnya frustasi. Demi Tuhan, dia sudah takut kalau Denta benar-benar nyasar dan tidak ditemukan lagi. “Sorry, udah bikin lo khawatir. Tadi gue beneran nyasar. Tapi ditolongin sama Althaf,” ujar Denta sambil menunjuk ke arah Althaf yang masih diam di atas sedel sepedanya. Sedikit mengeryit melihat cowok itu jadi membeku seperti batu sekarang. “Dia tinggal di perkampungan dekat sini. Gue numpang makan juga tadi. Makanya nggak langsung balik.” Gasta mengangguk. Kemudian melirik Althaf dengan sorot mata tidak suka. Pemuda itu memperhatikan penampilan Althaf dari atas sampai bawah. Setau Gasta, bukannya dia anak SMA Ghaveria, kenapa di sini? Iya, Gasta ingat, dia salah satu teman Sultan. Musuh bebuyutannya setelah Karrel dulu. Ghaveria memang memiliki bos geng utama, yaitu Raja Ernanda Mahevan. Tapi bukan cowok itu yang menjadi musuh Gasta, justru Sultan. Pemuda yang terkenal good boy di sekolahnya. Gasta jadi berpikiran negatif, bahwa Althaf bisa di Jogja hanya untuk memata-matainya. Raja justrusahabatbaiknya. “Thanks, udah nolongin cewek gue.” Althaf mengerutkan kening, agak terkejut juga. Karena baru tau jika bos geng SMA Dharma Wijaya sudah memiliki pacar. Setaunya, Gasta itu cuek dan dingin. Althaf berdehem, mencoba untuk tidak peduli. Toh, dia tidak terlalu memiliki urusan dengan Gasta. “Boleh gue bawa cewek gue kan?” “Iya,” balas Althaf tenang. Denta merapatkan bibir, memandang Althaf lalu mengulum senyum lebar. “Al, makasih ya udah ditolongin! Gue balik duluan sama Gasta.” Gadis itu melambaikan tangannya pada Althaf, dibalas anggukan kecil pemuda itu. “Aku duluan, Nta!” pamit Althaf langsung memutar sepeda tuanya ke arah belakang. Denta sedikit tertatih menghampiri pacarnya, mengingat kakinya yang pegal akibat terlalu jauh berjalan tadi. Gasta yang melihat itu, mengambil inisiatif untuk selangkah lebih dekat. “Kakinya sakit?” “Pegel, bukan sakit.” “Mau digendong?” Denta menggeleng cepat, “Nggak. Nggak usah! Gue berat. Lagian tempat kemahnya masih jauh. Entar lo capek,” katanya sok menolak. Padahal dalam hati, ingin sekali dipaksa. “Nggak apa,” sahutnya kalem. “Beneran nggak apa?” tanyanya dengan mata berbinar. Senyum Gasta perlahan terukir samar. Meraih lengan Denta, dan menariknya lembut. Gadis itu mau tidak mau langsung menurut. “Mau di gendong gimana?” tawar pemuda itu, membuat Denta mendelik dengan pipi yang bersemu memerah karena malu. “Piggy back aja. Kayak pengantin baru aja, gendongnya bride style,” protes cewek itu, membuat Gasta terkekeh. Denta semakin meringis, ketika dia merasakan pergelangan kakinya sudah nyeri. Dengan cepat, dia melompat, sengaja dengan tiba-tiba sampai cowok jangkung itu oleng kecil karena belum siap. Tangan Gasta bergerak ke belakang, meraih lekukan belakang lutut Denta memperbaiki gendongannya. Cowok itu tersenyum begitu saja. Senyum menahan malu. Denta yang melihat dari samping Gasta tengah tersenyum malu, membuat gadis berbulu mata lentik itu menahan tawa geli. “Pegangan!” Tangan Denta memegangi kedua bahu Gasta. Sebisa mungkin, menahan dirinya agar dadanya tidak sampai menempel pada punggung cowok itu. Pipinya memerah juga tanpa bisa di tahan. Gasta kelihatan gentle sekali, kalau seperti ini. Denta jadi teringat, drama korea High School Love On, di mana Lee Seul Bi digendong piggy back sama Wo Hyun, ketika pingsan setelah mengeluarkan ilmu malaikatnya untuk membantu cowok itu, bertengkar melawan pencopet. “Maaf ya telat dateng!” “Hehe, nggak papa. Makasih ya udah di jemput!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD