SEMUA murid dari SMA Sevit, lebih tepatnya kelas 12 IPS 3, baik para pemain dan anggota pengurus drama yang sudah selesai, berkumpul di depan tenda kelas. Kelas yang dijuluki markasnya Pangeran itu, sudah rusuh seperti biasanya. Mereka terlihat saling lempar pujian karena drama kelas mereka berjalan lancar.
“Sumpah, Nta, gue nggak sengaja nyium lo tadi. Gue kaget, Nj*r, gara-gara ada petir,” teriak Naufan membela diri. Denta semakin mengumpat, sambil melayangkan tatapan sinis untuknya.
“Gara-gara kelakuan lo, cowok gue ngamuk tau nggak?” omel Denta, kali ini tangannya bergerak meraih tongkat yang tadinya dipakai Galang saat pementasan.
“Lo pikir cowok lo doang? Cewek gue juga ngambek. Sakit elah!” ujar Naufan sambil merengek ketika Denta tidak berhenti menggebukinya.
“Al--lo bapak gue kan? Tolong gue!” seru Naufan sambil berlari ke arah Alvaro yang baru datang membawa map cokelat. Cowok jangkung itu langsung memprotes ketika Naufan sembunyi di balik tubuhnya. “Lindungin gue, Al, please!”
“Hah? Apaan sih? Minggir deh, gue mesti ngurusin yang lain,” tolak pemuda kesal. Dia makin melotot ketika melihat Denta melesat datang, sambil mengacungkan tongkat di tangannya tinggi-tinggi.
Denta menggeram marah, bersiap akan meledak. “Sini nggak lo hah?” amuk Denta sambil menjulurkan tangannya, menjambak rambut Naufan, walau agak kesusahan mengingat terhalang tubuh bongsor Alvaro. “Minggir lo, Al!”
“Awasin tangan lo, Fan! Urusin sendirilah, gue kagak ikut-ikutan. Mau pergi nih gue,” kata Alvaro, sewot. “Salah lo sendirilah, udah gue bilangin jangan dicium, eh lo malah nantangin pakai acara nyium Denta segala,” sambungnya.
“Gue kagak sengaja elah. Kok semua pada nyalahin gue sih?” protesnya, masih panik berusaha bersembunyi di balik tubuh Alvaro. Denta melotot, menarik kaus yang dipakai Naufan, membuatnya langsung memekik lantang. Sementara Alvaro cuma meringis, menatap Denta seolah tidak mau ikut campur.
Setelah lelah mengejar bahkan memaki Naufan, langkah Denta terhenti sesaat di samping Aryan. Bahkan dirinya terpaksa bersama cowok itu saat diminta untuk nonton drama korea melalui layar ponselnya. “Yan, mau nanya deh,” kata Denta.
“Hm, apa?” tanya Aryan sambil menoleh, menatap cewek itu.
“Kalau pacar ngambek, kita harus ngapain sih?” tanyanya cemas. Denta menggigit bibir, menunggu jawaban. Sejak tadi, sebenarnya dia tidak fokus. Bahkan melamun, karena mengingat hubungannya dan Gasta belum baik-baik saja.
“Gasta maksud lo?”
Denta mengangguk pelan.
Aryan tampak memegangi dagunya sambil mengarahkan pandangan ke atas. Pemuda itu memikirkan cara apa yang dia lakukan dulu, saat pacar-pacarnya ngambek. “Dulu, waktu masih SMP, gue sempat punya pacar. Pas kami mau anniv ke enam bulan, dia marah besar ke gue, gara-gara ngira gue selingkuh sama anak sekolah lain. Karena waktu itu gue cinta mati sama dia, ya udah deh, gue pakai cara alay sahabat-sahabat gue, buat bikin luluh mantan gue itu,” sambungnya.
“Lo dimaafin nggak?”
“Jelas,” katanya sombong.
Denta mendecih “Kasih tau gue dong, caranya gimana.”
“Sini gue bisikin!” perintah Aryan, membuat Denta mau tidak mau mendekat. Gadis itu mengangguk paham. “Kalau dia masih ngambek sama gue, gimana dong, Yan?”
“Pakai cara kedua, dan lebih ekstrem tentunya. Lo cium aja tuh anak. Pasti langsung girang,” kata Aryan tanpa beban. “Cowok itu kayak kucing garong, Nta, dikasih ikan asin, juga langsung salto-salto,” sambungnya.
“Idih, masa harus cium sih? Gue kan cewek. Ya kali nyium cowok duluan?” Denta merutuk kecil, padahal dulu ketika Gasta mau membelikannya pembalut saja, dia langsung mencium pipi pemuda itu tanpa permisi. Sekarang, sok jual mahal.
“Eh! Ada Gasta?”
Suara nyaring Galang membuat Denta terkejut setengah mati dan segera menoleh. Gasta berdiri tidak jauh dari tenda mereka. Galang yang sibuk mengunyah roti yang didapat Raghil dari hasil malak punya Aryan tadi, memang sengaja mengencangkan suaranya, agar Denta dan Aryan menjaga jarak. Denta terkesiap. Segera menegakkan tubuh dan mengambil jarak dengan Aryan. Bahkan tangannya refleks mendorong wajah Aryan sampai cowok itu terjengkang ke belakang.
“Ada Alka nggak?” tanya Gasta sambil memandang ke arah Galang dan anak cowok lain yang sibuk makan.
“Alka ketemuan sama ceweknya tadi, Gas. Nggak tau deh di sebelah mana,” balas Rafka memberi jawaban. Yang Gasta lakukan hanya diam setelah itu. Tangannya terkepal erat. Sebenci itu melihat Denta dan Aryan harus berbagi headset yang sama. Apalagi, posisi duduk keduanya membuat Gasta menggeram marah dibuatnya.
“Thanks!” katanya singkat. Sampai kemudian pemuda itu merapatkan bibirnya sejenak. Memilih membuang muka, segera berbalik dan pergi meninggalkan tenda 12 IPS 3.
Dentar berlari berlari mengejar Gasta. Denta yakin pemuda itu pasti akan semakin mengamuk karena kejadian ini. Dengan Naufan saja sudah seperti itu, apalagi Aryan. Dari sini, Denta bisa melihat Gasta melangkah terburu menuju kemah SMA Dharma Wijaya. Beruntung, Denta sudah sempat mengganti gaun panjangnya dengan piyama tidur.
“Gasta!” panggil Denta menahan, membuat Gasta langsung berbalik badan, menatap Denta tak suka.
Gasta mendecak, segera menepis tangan Denta. “Ngapain lo nyusulin gue ke sini? Bukannya lo masih asik sama Aryan lo?”
Mulut Denta mengatup begitu saja, seperti orang yang kepergok selingkuh beneran. Padahal tidak. Dia dan Aryan hanya menonton drama korea bersama. Denta jadi mendesah frustasi. “Gas, gue sama Aryan cuma--”
“Gue nggak mau peduli, Nta. Terserah sama lo,” potong Gasta cepat. Malas mendengarkan penjelasan ini-itu dari mulut Denta. Walau setelahnya dia langsung menyindir. “Tadi sama Naufan, sekarang Aryan. Mau lo apa sih? Lebih seru main sama Aryan ya, ketimbang sama gue?”
Denta jadi mengulum bibir. Gadis itu mati-matian menahan senyum, melihat wajah bersungut Gasta.
Gadis itu mendesah. “Gue sama Aryan nggak sampai tempel-tempelan kok. Gue masih jaga jarak sama dia,” katanya.
“Lo jangan baper dong! Gue sama dia nggak ada apa-apa,” sambungnya dengan suara agak meninggi.
Gasta melirik sinis lalu membuang muka belagak tak peduli. Pemuda itu segera melangkah pergi meninggalkan Denta yang kini hanya bisa menganga dibuatnya.
“Wong edan. Gue tau, lo pengennya dikejar, cuih,” ujar Denta sambil menggerutu pelan, tidak mau sampai pemuda itu mendengar. Belum sempat Denta mengambil langkah untuk menyusul lagi, gadis berkulit putih itu dikejutkan dengan kehadiran Hauri, Raghil, Aryan dan juga Naufan, yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya. Entah sejak kapan mereka di sini, Denta tidak menyadari.
“Nta, cowok lo beneran marah? Serius gara-gara gue?” tanya Aryan, lalu kemudian menghela napasnya sebentar. “Anj*r, sumpah deh, gue bener-bener enak sama Gasta.” sambungnya tanpa beban dengan wajah sok merasa bersalah.
Hauri langsung menabok kepala Aryan.
“Gimana sih lo?” omel Naufan sambil menyikut perut Aryan. Denta cuma melengos keras, tak ambil pusing.
***
HAMPIR tengah malam, Gasta masih terlihat sibuk bermain game, alias mabar bersama Nugraha untuk sekedar menghilangkan jenuh yang melandanya. Sementara semua teman-teman sekelasnya, sudah pada terlelap di alam bawah sadar mereka. Mau bagaimana juga, besok pagi kegiatan mereka masih sangat padat dan pihak guru meminta mereka istirahat lebih cepat.
Cowok itu terlihat menggerutu pelan, mengingat Aryan dan Denta. Gasta bahkan yakin, jika keduanya masih terjaga sampai saat ini. Duduk berdua di tenda, sampai cekakak-cekikik bersama.
Membayangkan hal itu saja, membuat Gasta mengumpat.
Suara tersebut mengagetkan Gasta dan juga Nugraha, membuat cowok bertubuh jangkung itu bangkit dan melangkah mendekati sebuah benda asing yang masuk ke dalam tendanya. Sementara Nugraha cuma melirik, sambil sesekali menguap.
“Apaan nih?” ujar Gasta heran, sambil berjongkok memungut sebuah bunga mawar plastik yang tergeletak di tenda.
Matanya semakin menelisik bunga mawar plastik berwarna merah ini, sambil merapatkan bibirsebentar. Keningnya jadi mengerut, ketika netranya melihat bagian bawah tangkai mawar, ada sebuah gulungan kertas yang diikat bersama dengan batu.
Terdapat tulisan mianhae dengan emotikon titik dua dan bintang, yang terdapat di gulungan kertas tersebut dan sengaja ditulis oleh seseorang menggunakan spidol merah.
“Nu, mianhae apaan?” tanya pemuda itu sambil menoleh pada Nugraha.
Nugraha yang masih menyibukkan diri dengan ponselnya jadi mendongak. “Dulu, Gas, gue pernah lihat, si Dira pas lagi berantem sama Alex di chat, pernah ngirim tulisan itu,” celotehnya.
Gasta mendecak sebal. “Artinya Nu. Gue cuma butuh artinya.”
“Setau gue sih, artinya maaf.”
“Maaf?” Pemuda itu jadi memekik tertahan seolah masih belum paham sama sekali, “Bahasa apaan nih? Kok gue baru tau.”
“Korea kayaknya. Cewek-cewek sejenis Dira kan, emang demam sama k-pop. Nggak aneh kalau bicara suka pakai bahasa itu,” oceh Nugraha memberitahu.
“Nggak cuma mianhae, gomawo, gamsahabnida, sama apalagi ya? Oh ya saranghaeyo juga,” sambungnya.
“Saranghaeyo?” gumam Gasta. Sampai dia tersentak kemudian, karena ingat, bahwa Denta suka sekali mengucapkan kalimat itu.
Pemuda yang hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek warna hitam itu langsung berdiri, setelah menggumamkan kalimat tersebut. Ia beranjak keluar tenda untuk memastikan sesuatu. Dan benar saja, setelah dia berhasil keluar tenda, netra hitam legam itu berhasil dibuat membelalak sempurna.
Dari posisinya yang berada di depan pintu tenda, dia dapat melihat gadis cantik mengenakan piyama tidur bermotif Doraemon berdiri di depan tendanya sambil menampilkan cengiran lebarnya. Denta terlalu malu kalau harus nangis bombay, supaya cowok itu memaafkannya. Denta juga membawa sebuah gitar. Benda itu dia dapatkan dari hasil mencuri punya Rafka yang tengah tertidur pulas sekarang.
“Ngapain sih?” Itulah pertanyaan pertama kali yang Gasta lontarkan.
“Mau minta maaf sama lo lah. Emang nya apa lagi?” sahut Denta tenang. Gadis itu menatap lurus Gasta. Dia menarik senyum tipis. “Soal bunga plastik yang gue lempar ke tenda lo tadi, itu gue dapat dari hasil mungut properti drama.”
“Sorry! Habisnya gue nggak sempat beli bunga yang asli. Semuanya terlalu mendadak,” sambungnya.
Gasta mendecak. “Ini udah malem, balik sana ke tenda lo!”
“Sebelum lo maafin gue, gue nggak bakal mau balik. Gue tetep bakal di sini. Ayo dong, maafin gue!”
“Gue nggak mau. Balik buruan!” usir Gasta membuat Denta mencebikkan bibirnya sebal.
“Please, maafin gue! Sumpah, Gas, gue udah nurunin gengsi mati-matian, cuma bikin lo mau maafin gue. Kenapa susah banget sih, tinggal bilang iya doang,” celotehnya sewot.
Gasta melengos. “Hak gue, maafin lo apa nggak,” tukasnya.
Usaha merayu Denta kali ini tidak berhasil. Maka gadis itu putuskan untuk bernyanyi saja. Karena kata Aryan, pasangan biasanya luluh, kalau sudah dinyanyikan lagu. Jari-jemari lentiknya mulai memetik senar gitar, walau dengan kunci yang asal-asalan. Maksudnya mau nyanyi apa, yang dipetik kunci apa. Sungguh, Denta memang tidak terlalu paham soal musik, kecuali nyanyi.
“Gue bakal nyanyi buat lo, tapi janji ya habis ini mau maafin? Gue susah payah nih, mau belajar gitar walau cuma sejam sama teman-teman gue cuma karena pengen dimaafin sama elo,” katanya panjang lebar. Gasta cuma menatapnya tanpa minat.
Cowok itu hanya melirik, dengan gaya nya yang sengak, seolah dinding es di dalam hatinya, belum mau di cairkan. Ingin tau, seserius apa Denta minta maaf padanya. Lagipula, Gasta yakin besok-besok diulangi lagi. Sekarang baru nonton film bersama, besok-besok apalagi? Mulung bersama?
Sumpah demi apapun, rasanya mulut Gasta hendak anjlok sampai ke mata kaki, mendengar suara Denta yang mendadak jadi cempreng begini, tidak seperti saat di panggung. Entah disengaja atau tidak--yang jelas, bukannya tersentuh, Gasta mendadak ingin membungkam mulut cewek itu rapat-rapat.
“Oh, sorry! Yeah!”
Telinganya semakin berdengung sakit, ketika Denta menyanyi dengan nada meluap-luap begitu, membuat Gasta refleks mengelus dadanya supaya tetap sabar. Denta terlihat sok menghayati, padahal ambyar sudah suaranya. Gasta cuma berharap, tidak ada yang terbangun karena mendengar ini. Bisa habis Denta kena hukum, karena selain keluar di jam tidur begini, juga mengganggu ketentraman umum.
“Balik ke tenda lo sekarang!” perintahnya tegas.
Denta menggeleng. “Nggak mau, sebelum lo maafin gue,” pekiknya.
“Balik atau gue tinggal masuk?” ancamnya sok galak.
Gadis itu mendelik. “Tinggal aja, gue nggak takut kok kalau mesti berdiri di sini, sampai besok pagi.”
“Gue bakalan di sini terus, sampai lo mau maafin gue. Gue serius loh ini, nggak lagi mode caper doang,” ujar cewek cantik itu lagi.
“Ini mau hujan, Nta,” desisnya.
“Bodo amat. Gue nggak peduli kalau harus hujan-hujanan. Maafin dulu dong makanya. Baru gue mau balik ke tenda gue sendiri.”
“Terserah. Gue mau tidur.”
Pemuda itu nampak tak acuh, dan kembali masuk ke dalam tendanya. Tanpa berpikir panjang, langsung menutup pintu tenda yang terbuat dari bahan khusus itu.
Satu jam berlalu. Gasta mati penasaran dibuatnya. Ada keinginan untuk mengintip dari tadi, tapi dia terlalu gengsi. Apalagi sekarang hujan deras mengguyur. Beruntung tendanya terbuat dari bahan khusus yang anti bocor. Teman-temannya tidak ada yang terganggu sama sekali. Namun, entah setan mana yang merasuki, cowok itu memilih menyibak selimutnya dan bangkit. Berjalan ke arah pintu, mencari lubang kecil pada tenda.
“Lah, masih di situ?” pekik Gasta tertahan, melihat Denta yang sudah meringkuk kedinginan di sana. Raut wajahnya jelas terkejut bukan main. Pemuda itu berdehem, mencoba untuk tetap tenang dan menguasai ekspresi. Kembali melangkah ke arah tempatnya membaringkan tubuh di tempat tadi, dan menarik selimut hangatnya.
“Biarin aja lah. Salah dia sendiri juga,” gumamnya pelan, mulai memejamkan mata.
***
GASTA mendecak. “Lo tuh kenapa sih bertingkah gila kayak gini?” omelnya dengan deru napas memburu cepat. Tangannya bergerak lincah mengeringkan rambut Denta yang masih duduk di dekat pintu tendanya. Gasta terlihat seperti emak-emak mengurusi anaknya. Cocok sekali.
“Kulit lo mati rasa hm? Ini dingin banget, Nta,” katanya masih terus mengomeli cewek itu. Dengan bibir yang agak bergetar kedinginan, Denta mendongak ketika suara bass yang teramat dikenalinya, mengalun begitu saja.
“Mau gimana lagi?” gumamnya pelan, karena suaranya tertelan oleh berisiknya hujan.
Gasta mendecak. Tangan kekar sebelah kanannya bergerak menyapu air yang membasahi wajah putih pucat tersebut. Sementara tangan kirinya masih mengusap-usapkan kepala Denta dengan handuk putihnya.
“Ngapain sih mesti kayak gini? Kalau sakit gimana?” ujar pemuda itu dengan nada agak rendah.
“Maafin gue ya!” seru Denta. Gasta melengos. Masih bisa-bisanya membicarakan soal itu, padahal kondisi cewek itu lagi parah sekarang. Dia menggigil kedinginan.
“Ayo, gue anter balik ke tenda lo.”
“Nggak mau elah, kok maksa?”
Penolakan itu membuat Gasta jadi kesal bukan main. Dengan matanya yang melotot, dia kembali memerintah Denta. “Bangun nggak?”
“Nggak.”
“Serius nggak mau bangun?”
“Iya.”
“Terserah lo, kalau lo beneran pengen banget gue tinggal tidur,” kata Gasta dengan wajah sok sangar.
“Maafin gue dulu, baru gue mau bangun,” katanya kukuh. Dengan b****g yang masih menempel pada alas tenda dekat pintu. Dia yakin, bahwa alasnya basah sekarang. Gasta mendesah kemudian bangkit dan mengulurkan tangan, membuat Denta cuma bisa melongo dibuatnya.
“Iya, gue maafin. Bangun dulu tapi.”
Denta langsung bangkit dari duduknya dengan wajah yang berbinar, dan bibir yang melengkung ke atas--tersenyum lebar. “Beneran?”
“Hm.” Gasta hanya menjawab dengan gumaman, lalu mengambil payung dan melangkah lebih dulu, meninggalkan Denta yang ternganga melihatnya.
Tidak lama gadis itu segera menyusul dan terbatuk seolah tengah membuat kode. Gasta menoleh. Matanya langsung terbuka, melihat Denta yang masih hujan-hujan. Pemuda itu pikir cewek itu ada di belakangnya tadi, dalam artian sudah ikutan berada di bawah payung yang sama dengannya.
“Sorry ya, Pak, boleh nebeng ikut payungnya nggak?” katanya dengan cepat. “Kepala gue puyeng, kena air hujan terus dari tadi.”
Dengan gemas Gasta langsung menarik tangan Denta. “Ngapain pakai izin sih?”
“Lo nggak ngajakin,” sahutnya.
“Inisiatif sendiri.”
***