“Punya kepala pusing, nggak punya kepala serem,” cerocos seseorang dari belakang, membuat Denta menoleh cepat. Sedikit mendelik, melihat ada Aryan di sana.
“Beban hidup lo berat banget deh, Yan, kayaknya,” sahut Denta meledek.
Aryan yang berjalan hendak menaiki motor Oky jadi menoleh. Kemudian nyengir kuda, “Eh, ada Denta. Belom balik, Nta?” tanyanya sok basa-basi.
“Belum. Dira masih di jalan katanya,” balas cewek itu dengan tenang.
Aryan manggut-manggut. “Lo jadi ke Surabaya emang?” tanya Aryan lagi.
“Jadi dong.”
“Cih, dasar bucin. Gabut banget lo sampe nyusulin Gasta ke sana?” oceh pemuda itu tak habis pikir.
“Bilang aja pengen ikut.”
“Mau sih. Tapi ongkos mahal tau, Nta. Sayang, buang-buang duit.”
“Lah, kan naik kereta. Murah tiketnya, nggak mahal kayak pesawat.”
“Heh, menurut lo di Surabaya entar gue nggak butuh makan apa? Lo sih enak, punya cowok tajir, tinggal lo porotin doang,” oceh Aryan membuat Denta terkekeh pelan.
“Yan, buru naik!” omel Oky yang sudah stand by di atas motornya.
“Iya elah. Sabar napa!” cerocos Aryan, lalu menoleh pada Denta. “Duluan ya, Nta! Sorry nggak bisa nemenin sampe teman-teman lo datang. Nih si monyet udah ngamuk,” lanjutnya membuat Oky mengumpat.
“Udah numpang, ngatain gue monyet lagi. Dasar mucikari,” cibir Oky.
“Santai aja, Yan! Lagian masih sore juga. Gue berani sendiri,” balas Denta.
“Hati-hati ya! Gue duluan!” pamitnya.
Bertepatan dengan perginya Aryan, sebuah sedan hitam dengan velg yang dibuat racing, tiba-tiba berhenti di depan Denta. Cewek itu sadar, dan malah dengan polosnya mengawasi setiap pergerakan mereka. Dua orang berseragam SMA dengan badge sekolah ternama Ghaveria keluar dari dalam mobil.
Beberapa detik, Denta hanya diam dengan kening yang mengeryit agak dalam lantaran bingung, mengapa mereka bisa ada di sekolahnya? Sampai ada saat di mana kedua cowok itu melangkah mendekatinya, namun yang ada di pikiran Denta justru niat mereka ingin bertanya padanya. Sayangnya saja, semua argumen di dalam kepalanya ambyar sudah, saat dua orang itu membekapnya, berniat menyeretkan masuk ke dalam mobil. Denta meronta-ronta, saat mereka terus menarik tangannya masuk ke dalam mobil, sampai-sampai tas ransel yang dipakainya terjatuh, membuat Denta melotot.
Hua! Tas mahal gue!
Masih bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini dia memikirkan nasib tas mahalnya yang berwarna pink dengan aksen kristal yang cantik itu, padahal dalam keadaan seperti ini.
“Hmph ... hmph ....”
Kedua remaja yang menculiknya itu nampak kesusahaan ketika kaki Denta justru menjepit bagian pintu, dengan tangan terulur seperti menunjuk-nunjuk sesuatu. Sampai cewek itu dibuat mengumpat, karena mereka tidak peka juga. Dengan gemas, cewek itu pun menggigit tangan si pelaku yang membekapnya. Cowok kurus itu meringis keras, sambil menghempaskan tangannya begitu saja.
“Heh, kalau mau nyulik orang tuh yang pro dong! Masa iya ninggalin jejak? Wah, nggak bakat nih mas-nya,” semprot Denta galak, sambil melangkah ke arah tas mahalnya tergeletak. Membuat dua pemuda itu menutup telinga seketika, karena teriakan Denta. “Ini tas gue mahal tau nggak. Lo pada mampu ganti emangnya kalau sampai ilang? Mahal cuy, di Belgia gue belinya,” sambung Denta dengan wajah sengak.
“Gue mana tau kalau tas lo jatuh tadi,” kilah pemuda kurus.
“Nggak ada bakat penculik, sok-sokan banget jadi penculik, ya gini nih hasilnya,” cibir Denta sinis.
“Awas lo berdua, gue bisa masuk sendiri. Nggak usah pakai acara bekep-bekep mulut sama hidung gue. Sesek napas, Sat,” ujar Denta dengan wajah bersungut, lalu dengan sewotnya masuk ke mobil itu sendiri.
“Lo di tengah woi!” suruh pemuda berbadan berisi.
“Gue nggak mau di tengah,” kata Denta kembali berteriak.
“Nggak ada! Lo tetep di tengah. Yang ada lo lompat lagi nanti pas di jalan. Kan bahaya,” ujar cowok itu lagi.
Denta mendelik, dengan ganasnya dia menabok kepala pemuda berbadan agak berisi itu, keras-keras. Sampai si empunya memekik kesakitan. Namun meskipun seperti itu, mobil hitam itu tetap melaju meninggalkan gerbang depan sekolah SMA Sevit. Sampai di dalam mobil tadi, Denta baru sadar kalau yang berada di dalam mobil ternyata berjumlah empat orang. Mana cowok semua.
Dan sekarang, Denta sudah ikhlas lahir batin, duduk di tengah, diapit dua pemuda seperti ini. Semakin kesal, ketika mereka berdua mulai lincah mengikat tangannya.
“Jangan kenceng-kenceng si*lan! Lo kira nggak sakit?” semprot Denta.
“Berisik!” tukas si pengemudi mobil.
“Bacot lo. Siapa suruh lo nyulik gue? Udah tau gue berisik orangnya,” balas Denta pedas.
“Lo diem atau mau dibekep lagi kayak tadi?” ancam pemuda itu lagi. Denta mendelik, menatap tidak suka si pengemudi itu.
“Jaga jarak lo berdua dari gue. Sempit tau nggak!” pekik Denta sambil melotot, mendorong-dorong mereka.
“Kalau mau nyulik tuh, pakai mobil yang lebih gede dong! Ini apaan coba, mobil sedan. Kecil, mana sempit banget tempatnya. Gerah body nih gue jadinya,” cerocosnya tidak mau diam, sambil mengipasi lehernya.
“Suruh aja sono anak pejabat nyulik elo. Biar diajakin naik Lamborghini sekalian,” cibir si cowok kurus.
“Diculik kok minta. Stres lo,” umpat Denta dengan wajah gondok. “Ehh, AC nya nyalain dong! Sumpah ini panas banget gila,” suruhnya.
“Tan, AC-nya nyalahin dong! Kasihan nih mbaknya kepanasan,” ujar cowok berbadan berisi.
“Heh, sejak kapan anjir gue jadi mbak lo? Sejak kapan juga emak gue lahirin anak modelan kayak lo? Gue emang punya adik cowok. Tapi adik gue mukanya tuh kinclong, nggak b***k macem lo gini,” semprot Denta.
“Wah, sekate-kate lo kalau ngomong. Gini-gini, yang suka gue banyak nyet di Ghaveria. Tanya aja sama Sultan kalau nggak percaya,” cerocos cowok itu, dengan mimik wajah sebal.
“Halah, muka banyak biji kacangnya kok bangga,” sinis Denta, karena tau wajah cowok itu berjerawat.
Pemuda tampan yang sedang mengemudi, hanya bisa geleng-geleng kepala, mendengar keributan dari belakang. Namun tak urung, tetap menyalakan AC sesuai keinginan gadis yang diculiknya. Berbeda sekali dengan cowok di sebelahnya, yang sepertinya tidak terusik, dan memilih fokus dengan ponselnya.
“Oh iya, SMA Ghaveria kenapa jam segini udah balik? Bukannya full day school ya, sampai jam lima?” tanya Denta malah mencari topik perbincangan agar tidak boring.
“Ha'ah. Cuma hari ini baliknya lebih awal, gara-gara gurunya rapat,” balas cowok ber-nametag Wahyu.
“Pantesan.”
“Ngomong-ngomong, kok lo tau SMA Ghaveria baliknya jam segitu?” oceh Adhitama.
“Iyalah, gue tau. Temen gue banyak yang sekolah di sana. Lagian kakek gue nih, salah satu orang yang cukup penting di sana,” kata Denta dengan wajah sombongnya. “Sorry-sorry aja ya! Kakek gue tuh orang kaya cuy. Kalau entar lo pada nyulik gue, terus mau minta tebusan, sekalian aja yang banyak. Jangan nanggung-nanggung mintanya,” oceh Denta lagi, yang dengan polosnya malah diangguki oleh mereka.
“Kakek lo siapa namanya?” tanya Wahyu dengan wajah kepo-nya.
“Djarian Navvere.”
“Astaga, Pak Djarian? Dia sering banget ke sekolah gue, akhir-akhir ini. Pernah jadi pembina upacara juga. Ih berkharisma banget kakek lo,” oceh Adhitama dengan semangat.
“Ya dong.” Denta tersenyum songong. Denta kembali berdehem. “Kenalan dulu dong! Nggak asyik nih, masa iya kalian nyulik gue, tapi kita nggak kenalan. Gue Denta, nama lo berdua siapa?” tanya Denta.
Satu-satunya makhluk pribumi yang nggak ada akhlak. Dalam posisi diculik saja, masih bisa-bisanya modus ngajak kenalan cowok-cowok ganteng begini. Kalau kata Denta mah, sambil menyelam minum air.
“Gue Adhi. Kalau dia Wahyu,” balas pemuda itu. Sementara cowok yang sejak tadi menyetir, cuma bisa memijit pelipisnya yang nyut-nyutan melihat tingkah teman-temannya.
“Widih! Namanya Wahyu. Keren. Jadi keingat malaikat Munkar yang tugasnya sampaikan wahyu dari Allah,” seloroh Denta cengengesan.
“Jibril pe'a. Jauh bener sampai bawa-bawa malaikat Munkar segala,” balas Wahyu dengan sewot.
“Eh, yang temen lo di depan itu nama nya siapa?” tanya Denta pada Wahyu.
“Yang lagi nyetir?”
“Dua-duanya, buset dah.”
“Yang nyetir Sultan namanya. Kalau di sebelah Sultan itu Althaf,” sahut Adhi, Denta mengangguk paham.
“Loh, lo Althaf yang waktu itu kan? Yang di Jogja? Woilah, kita ketemu lagi,” pekik Denta girang sambil mencondongkan tubuhnya agak ke depan, membuat Althaf dan Sultan tersentak kaget.
“H-hai, Nta,” sapa Althaf canggung.
“Ih, kok lo nggak ngomong ke gue, kalau mau nyulik gue? Biar gue ada persiapan gitu,” cerocos Denta.
“Persiapan apa, Nj*r?” sewot Adhi.
“Persiapan makanan, peralatan mandi, skincare, dan lain sebagainya lah,” balas Denta.
“Santai aja. Meskipun lo nggak ada persiapan apa pun, bos kita tetap bakal ngasih makan kok,” kata Wahyu.
“Bener loh ya. Awas aja kalau sampai entar gue mati kelaparan,” kata Denta.
“Sip.”
***
“Al, ini rumahnya siapa?” tanya Denta pada pemuda yang merangkul pundaknya, membantunya berjalan.
“Rumah Sultan.” Denta manggut-manggut paham.
“Al, bawa tuh cewek ke gudang dekat nya dapur! Tali yang kenceng, biar dia nggak kabur,” perintah Sultan dibalas plototan tajam oleh Denta.
“Ogah! Lo emangnya nggak tau kalau gudang tuh berdebu banget. Kulit gue baru sembuh, kalau iritasi lagi gimana?” protes cewek itu menolak mentah-mentah.
Sultan mengendihkan bahunya tak acuh. “Bukan urusan gue.”
“Ah, nggak mau lah pokoknya. Gue nggak mau dibawa ke gudang,” seru Denta, “Lagian gue nggak bakal kabur ke mana-mana kok. Lo bisa pegang janji gue,” cerocosnya.
“Nggak!”
“Bodo amat, gue nggak peduli. Pokoknya gue nggak mau ke gudang. Titik!”
“Lo tuh--”
“Nggak mau pokoknya. Gue tuh nggak mau diletak gudang rumah lo. Budeg?” teriaknya memekik lantang membuat Adhi dan Wahyu yang sibuk bermain PS jadi menoleh. Pun dengan Althaf dan Sultan.
“Wowowo. Santai, Mbak, santai!” ujar Wahyu heboh.
Denta menoleh sewot ke arah Wahyu. “Gimana gue bisa santai sih? Dia mau masukin gue ke gudang. Dia kira gue barang bekas apa?” semprot Denta galak, membuat Sultan makin melongo dibuatnya.
Pandangan Denta beralih lagi pada Sultan. “nggak mau, anj*r. Gue mau di sini aja. Gue nggak mau ke mana-mana lag—uhuk!” Saking nafsunya berteriak-teriak, cewek itu sampai kesalek air ludahnya sendiri.
“Nah kan,” gumam Adhi.
“Heh, Pak. Lo tuh sebenarnya niat nyulik gue, atau mau bunuh gue sih hah? Kalau gue mati kebekep karena nggak bisa napas di gudang, gimana? Lo mau emangnya gantiin nyawa gue?” semprot Denta.
Dia itu target penculikan VIP. Tempatnya harus yang spesial dong!
Nggak mungkin cewek ini jadi ceweknya Gasta! Gasta tuh anteng, pendiem. Ngapa ceweknya anak monyet ragunan yang lepas begini? Sultan ternganga di buatnya.
“Mati ya tinggal mati aja,” seru Sultan dengan enteng, membuat gadis cantik itu semakin kesal dibuatnya.
Denta melengos tidak peduli dan langsung membuang muka seperti cewek PMS yang lagi ngambek. Memilih berjalan ke arah sofa ruang tengah, bergabung bersama Adhi dan Wahyu yang melanjutkan bermain PS. Kemudian mendaratkan tubuhnya di atas sofa dari kulit itu, kemudian merebahkan tubuhnya di atas sana.
“Ah, nikmatnya!” pekik Denta sambil tiduran di sofa. “Oh ya, lo semua ingat ya sama kata-kata gue! Lo pada emang bisa nyulik gue, tapi awas aja kalau sampai macem-macemin gue, gue tuh bisa mecahin telur lo semua, dalam sekali tendangan kalau gue mau!”
“Najis! Nggak nafsu gue sama badan lo. Rata semua gitu, nggak ber-body,” sewot Sultan dari meja makan.
Denta melirik sinis Sultan, lantas menyeringai. “Bagus deh! Seenggaknya gue keluar dari dalam sini, masih dalam keadaan suci tanpa noda dan bakteri.”
“Lo kira gue kuman?” seru Sultan nyaris berteriak. Althaf justru terkekeh melihat keributan mereka. Sementara Adhi dan Wahyu tidak ambil pusing.
“Bukan kuman. Tapi sejenis cacing-cacing di perut yang curi semua nutrisi,” balas Denta pedas, malah mengucapkan iklan obat cacing. Tidak lama kemudian dia mengetuk bahu Adhi, yang lagi main PS.
“Apaan?” tanya Adhi sambil menoleh. Cewek itu dengan cepat menunjuk dengan dagunya ke arah speaker besar di atas TV. “Itu speaker masih fungsi kan? Puter musik dong. Sepi banget. Bosen nih,” suruh Denta.
“Idih, siapa lo, Anj*r, main perintah-perintah gue??” protes Adhi.
“Gue tamu. Tamu adalah raja. Cepetan nyalain musiknya! Oh, kalau emang lo nggak mau nyalain musiknya, bukain ikatan tali gue, biar gue nyalain musik sendiri.”
“Oke-oke, fine! Lo adalah raja.”
Adhi malas untuk berdebat, memilih langsung bangkit saja menyalakan speaker dan menghubungkannya dengan bluetooth telepon, walau agak gondok.
Adhi langsung memutar lagu rock berjudul Racun, menuruti perintah dan permintaan sang tawanan. Wahyu pun langsung menggerak-gerakkan kepalanya dengan sangat aktif.
“Jangan yang lagu rock dong! Gue tuh nggak suka,” protes Denta, “Puter lagu yang dangdut aja. Jaran goyangnya Nella Kharisma bagus kok. Lo ada kan, Dhi, lagunya?” sambungnya.
“Lo suka Nella Kharisma?” tanya Adhi dengan mata berbinar senang.
“Suka bangetlah.”
“Halah, Nella Kharisma. Kalau gue nih lebih suka Dewi Persik,” sahut Wahyu dibalas kekehan oleh Denta.
“Stop kau mencuri hatiku, hatiku! Stop kau mencuri hatiku.” Tiba-tiba saja Denta menyanyikan salah satu lagu Dewi Persik yang cukup populer. Wahyu sudah nyengir, kemudian menaik turunkan bahunya mulai joget.
“Gue puter jarang goyang ya?” tanya Adhi meminta persetujuan. Denta mengangguk cepat-cepat.
Dan lagu Jarang Goyangnya Nella Kharisma pun berputar. Suaranya memenuhi seisi ruangan. Denta, Adhi, dan Wahyu sudah berjoget dengan sangat gila dan aktif mengikuti alunan lagu. Denta bahkan sudah berdiri di antara mereka, memegang mikrofon menggunakan kedua tangannya yang tentunya masih terikat sempurna.
“Yu, ambilin gue makanan dong! Ada makanan nggak di sini? Gue lapar banget. Dari tadi pagi tuh, gue nggak makan nasi. Cuma makan batagornya Kang Teja doang. Sumpah deh, keroncongan abis gue,” cerocos Denta sambil menendang pelan tulang kering Wahyu, membuat cowok yang sedang berjoget gila itu menoleh.
Wahyu mendecak sebal. “Lo emang ya, Nta, hobi bener babuin orang.”
“Ya udah deh, lepas aja ikatan tali gue. Biar gue ambil makanan sendiri di dapur. Katanya lo nggak mau gue repotin elo,” balas Denta sengit. Dia memang sangat lapar sekali sekarang. “Kalau entar gue mati gimana? Emang lo mau, kalau gue gentayangin entar? Siap-siap aja gue cekik lo pada.”
Pemuda itu sontak saja mengumpat sebal, kemudian melengos keras. Dengan sangat terpaksa melangkah ke arah dapur, mengambil makanan untuk Denta.
“Mau ngapain? Lapar lagi lo?” tanya Sultan dengan kening mengerut.
Wahyu menoleh. “Tuh, peliharaan baru lo, lapar banget katanya. Gue disuruh ambilin makanan,” sahutnya dengan tenang. “Tan, ada buah apel nggak? Denta minta menu pencuci mulut juga katanya.”
Sultan mendecak. Cewek itu memang sangat menyusahkannya, “Ambil aja di kulkas. Ada banyak.”
“Oke.” Setelah mengatakannya, pemuda itu langsung ngacir pergi, meninggalkan Sultan dan Althaf yang memandangi kepergian Wahyu.
“Tan, lepasin ajalah! Dia nggak ada hubungannya sama masalah lo dan Gasta,” ujar Althaf sambil melihat ke arah Denta yang kini tengah disuapi oleh Wahyu sambil goyang dumang.
Sultan mendecak. “Ada, Al. Dia cewek nya Gasta. Gue yakin itu anak bakal kepancing, kalau misalnya dia tau, ceweknya lagi disekap sama kita.”
Tapi tidak lama, Sultan mengumpat kasar setelah mengatakan kalimat disekap. Disekap apaan, kalau yang dilihatnya sekarang, Denta justru asik goyang gergaji bareng Adhi dan juga Wahyu. Sultan memang perlu mengapresiasikan dirinya sebagai penculik paling baik hati di dunia. Walau tidak dipungkiri, Sultan merasa aneh dengan cewek yang menjadi pacarnya Gasta itu. Kenapa nggak ada takutnya coba?
Sultan merasa kalau bukan lagi menculik Denta, melainkan mengajak cewek itu tamasya. Lihat saja tingkah dan polahnya. Aktif sekali. Mana ada coba di dunia ini, orang diculik, tapi malah bahagia dan girang gitu?
“Balas dendam ke itu anak, susah banget, Si*lan. Gasta terlalu kuat kalau saingannya sama gue. Beda lagi kalau ceweknya yang kita jadiin umpan. Dia nggak bakal bisa berkutik lagi,” ujar Sultan sungguh-sungguh.
“Pokoknya gue nggak mau ikutan kalau sampai Raja tau soal masalah ini. Lo nggak lupa kan, kalau Gasta sama Raja tuh temenan?” kata Althaf menyebutkan nama bos geng utama di sekolahnya. Raja Ernanda Mahevan namanya. Pemuda pemegang tahta tertinggi di SMA Ghaveria.
Sultan melengos kasar. “Ya, lo tutup mulutlah, b**o!”
“Gue bisa tutup mulut. Tapi emang lo yakin, itu dua upin-ipin nggak bakal ngadu ke anak-anak kelas? Apalagi, lo tau kan, kalau Denta sama Sadewa tuh temenan. Sadewa, Nyet, anaknya Bu Bety. Bisa abis lo kalau sampai itu anak ngadu ke maminya,” tutur Althaf panjang lebar. Sultan mendesah, agak menciut juga ketika Bu Bety--guru tergalak sepanjang abad itu berhasil diucapkan oleh Althaf.
“Emangnya lo mau apa, kalau kabar ini sampai bocor ke media, karir lo sebagai aktor bakal jadi buruk. Ya kali aktor idaman anak muda, nyulik anak orang begini?” celoteh Althaf lagi.
“Gue cuma nyulik Denta. Nggak ada niat nyakitin dia. Lo bisa lihat sendiri kan, dia enjoy aja gue perhatiin dari tadi,” kilah Sultan tidak mau disalahkan terus-terusan.
Pandangan mereka berdua langsung teralihkan pada tiga remaja yang masih heboh berjoget ria dengan sangat heboh. Denta bersenandung riang, menyanyikan lagu yang sangat familiar di telinganya.
Di sampingnya sudah ada Wahyu dan Adhi yang begitu kompak bernyanyi dan berputar-putar dengan tangan saling bergenggaman. Wahyu hanya dengan satu tangan, karena satu tangan lagi, dipakai untuk dia memegang piring. Wahyu mengumpat sebal. Ini bukan seperti aksi penculikan--melainkan mirip nonton konser dangdut. Lebih parahnya, Wahyu diperalat menjadi baby sister dadakan, yang tugasnya menyuapi anak majikannya yang sedang bermain-main sambil makan.
“Apa salah dan dosaku, Sayang? Cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang 'kan kuberikan. Jarang goyang, jaran goyang!” teriak Denta seperti orang kesetanan. Kemudian setelah berhasil menyanyikan lagu itu, Denta akan membuka mulutnya, menerima suapan dari Wahyu.
Kalau seperti ini ceritanya, Denta sangat betah diculik.
Adhi langsung menimpali. “Sayang, janganlah kau waton serem. Hubungan kita semula adem. Tapi sekarang kecut bagaikan asem. Semar mesem, semar mesem,” lanjutnya sambil goyang ngebor.
“Jurus yang sangat ampuh, teruji, terpercaya ... tanpa anjuran dokter, tanpa harus muter-muter. Cukup siji solusinya, pergi ke mbah dukun saja langsung sambat, Mbah, saya putus cinta!” pekik Wahyu saat dirinya mendapat giliran menyanyi.
“Kalau tidak berhasil pakai jurus yang kedua. Semar mesem namanya, jarang goyang jodohnya. Cen rodok ndagel syarate penting dilakoni wae. Ndang dicubo mesti hasil terbukti kasiate gejrot,” teriak Denta sambil loncat-loncat kegirangan. Walau tangannya masih terikat dia sama sekali tidak peduli. Asalkan bernyanyi. Bahkan dia tidak memikirkan nasibnya yang gagal ke Surabaya. Apalagi sekarang sudah jam setengah tujuh. Keretanya saja berangkat jam delapan malam.
“Dam-dudidam, aku padamu, I love you. I can't stop loving you, oh, darling. Jarang goyang menunggumu.”
Lagu riang dengan hentakan keras, membuat ketiga remaja b****k itu jadi rusuh seakan sedang dugem. Bahkan Denta mengajari Wahyu cara berjoget sule yang benar. Dan dengan tampang begonya, pemuda itu mengikuti goyangan Denta. Tidak mau ketinggalan, Adhi pun nimbrung.
Sultan memijit pelipisnya melihat kelakuan mereka. Khususnya Denta. Berbeda dengan Sultan yang kesal, Althaf justru tertawa geli melihat Denta sudah naik ke atas pundak Adhi, sambil menghentak-hentakkan tangannya begitu riang, walau terlihat jadi lucu karena dia menggerakkan tangannya secara bersamaan akibat diikat. Sampai kesenangan mereka semua terhenti, ketika Sultan melangkah ke mereka dan mematikan speaker yang terhubung dengan ponsel milik Adhi tersebut. Musik berhenti, sontak saja Denta mendecak sebal, dan segera turun dari atas gendongan Adhi, dengan pelan-pelan.
“Aduh, apaan sih? Ganggu tau nggak,” tukas Denta kesal, kemudian melangkah ke arah sofa, dan duduk di sana. Wahyu dan Adhi juga kecewa, tidak jauh berbeda seperti Denta. Sultan mendesah, kemudian duduk di sebelah Denta yang membuat cewek cantik itu segera menjauh dari Sultan.
“Kenapa lo nyulik gue? Lo lagi butuh duit, Tan? Cih, rumah gedongan kayak gini, masa iya masih butuh duit?” oceh Denta seolah ingin tau, apa alasan yang masuk akal, tentang aksi penculikan mereka kali ini.
“Lo bener ceweknya Gasta?” tanyanya tanpa basa-basi.
Adhi, Althaf dan Wahyu pun tidak kalah keponya seperti Sultan. Kalau pun benar, Denta ini memang pacar Gasta--cowok yang terkenal bangor tapi dingin itu, Adhi dan Wahyu yakin, bahwa Gasta sangat beruntung, mendapatkan pacar seseru Denta.
Denta menatap Sultan. Merasa takjub karena cowok ini tau dirinya adalah pacar Gasta. “Iya, kenapa?”
“Oke, bagus,” balas Sultan, membuat Denta mendelik tidak mengerti.
“Bagus? Apanya yang bagus?”
“Iyalah bagus. Dengan begitu gue bisa mancing cowok lo, supaya datang ke sini. Karena mau gimana juga, Gasta bakalan tetep datang, buat nolongin ceweknya. Dengan begitu, gue bakal dengan mudah bikin dia babak belur. Right?” celoteh Sultan jujur.
Bukannya takut, Denta justru tertawa mendengar alasan pemuda itu menculiknya sekarang. Sementara Sultan, jadi merasa kesal karena di tertawai oleh cewek hyperaktif ini.
“Kenapa lo ketawa?” tanya Sultan.
Denta masih terkekeh. “Gini ya, Mas, mau lo nyekap gue sampai besok pun, Gasta nggak bakal datang. Lagian, alasan lo kampuangan banget deh, nyulik gue cuma karena pengen Gasta babak belur.”
“Kenapa lo bisa ambil kesimpulan dia nggak datang?” Raut wajah Sultan sudah memerah menahan kesal.
“Ya iyalah, orang dia lagi nggak ada di Jakarta sekarang.”
“Hah, ke mana?”
“Surabaya,” balasnya tenang.
“Dia pindah?” pekik Sultan hampir memekik keras-keras.
“Bukanlah. Dia ada turnamen basket di sana,” sahutnya membuat Sultan mendesah lega.
“Syukur deh. Berarti nggak lama kan dia di sana?”
Denta mengendihkan bahunya tanda tidak tau. “Enggak tau. Kayaknya sih lama.”
“Anj*ng,” umpatnya mendesis.
“Lo ada masalah apa sama cowok gue sampai pengen banget bikin Gasta babak belur?” tanyanya kepo. Baru kali ini dia diculik oleh musuh Gasta. Kalau dulu, bukannya diculik, dia malah ditaksir oleh rivalnya Gasta. Siapa lagi kalau bukan Karrel? Pemuda yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri.
“Bukan urusan lo!” tukasnya sarkas.
Denta mendelik sensi. “Heh, lo tuh nyulik gue. Itu artinya lo udah bikin gue masuk ke masalah kalian. Dasar pe'a.” Gini aja deh, lo hadepin gue aja. Jangan cowok gue. Kasihan dia, masih sibuk persiapan turnamennya. Mana pembukaannya besok lagi. Lo tau nggak, niatnya gue mau susulin dia ke Surabaya malam ini, eh lo pada nyulik gue.”
“Maksud lo gimana? Lo nyuruh gue hadepin lo, maksudnya kita baku hantam gitu?” tanya Sultan bingung. Dia jadi punya firasat kalau Denta itu penampilannya aja yang kayak cewek. Padahal mah aslinya tomboy kayak preman. Jago berantem.
“Ya, nggak lah. Gue nggak bakat ilmu bela diri. Gue cuma bakatnya nendang burung doang. Soalnya Gasta pernah ajarin ke gue dulu. Kalau ada cowok jahatin kita, langsung ditendang aja burungnya. Selesai.” Sultan mengumpat. Merasa gondok dengan Gasta yang masih bisa-bisanya mengajari sang pacar ilmu diri semacam itu. Sangat merugikan kaum adam.
“Terus, pakai cara apaan?”
“Main monopoli aja gimana? Kalau gue menang, lo lepasin gue. Karena gue mesti ngejar kereta malam ini. Kalau gue kalah, gue ikhlas lahir batin deh, disekap sama lo di gudang.”
“Heh, lo kira gue anak kecil yang masih mainan gituan?” semprotnya langsung galak.
“Oke, kalau lo nggak mau, mending lo bebasin gue. Gue janji deh, kalau Gasta udah balik ke Jakarta, gue bakal ke sini lagi.”
“Buat apaan, Njir?” tanya Wahyu.
“Jadi tawanan kalian lagi lah.”
“Nggak. Lo pasti bohong.”
“Lo bisa pegang kata-kata gue. Lagian Gasta masih lama di Surabaya. Emangnya, lo mau nampung gue di rumah lo sampai berhari-hari. Makanan gue banyak tau. Gue juga berisik banget orangnya. Lagian, opa gue ada di rumah gue. Gue belum izin sama dia kalau lagi diculik lo pada. Pasti opa gue nyariin,” oceh Denta. “Emang lo pada mau dilaporin opa gue ke kantor polisi? Lo pada nggak lupa kan, kalau opa gue bukan orang sembarangan?”
“Bener juga sih, Nyet,” ujar Adhi.
Sultan mendelik sinis. “Emang ada jaminan, kalau lo nggak bakal laporin ke opa lo, misal sekarang lo gue bebasin?”
“Kalaupun gue ngadu, opa gue mana percaya. Badan gue aja nggak ada yang memar. Baik-baik aja. Kalaupun gue lapor ke kantor polisi, gue malah dikatain ngadi-ngadi,” cerocosnya.
Sultan sekarang sibuk memainkan ponsel di genggaman tangan kirinya. Memutar-mutar ponsel berlogo apel itu, seolah berpikir keras.
Sampai Sultan menajamkan indera pendengerannya, saat pemuda itu tanpa sengaja mendengar deru mesin mobil, berhenti di depan rumah. Cowok itu menegak begitu saja, ketika suara cempreng sangat familiar terdengar berteriak dari depan rumahnya.
“Diam dul!!” kata Sultan tiba-tiba, menyuruh Adhi dan Wahyu agar diam, karena tadinya, dua cowok itu malah sibuk mengobrol. Komando Sultan, sontak saja membuat semua yang ada di sana diam, dan saling lempar pandang, menoleh bingung.
“Sultan!”
Mata Sultan sontak saja melebar di iringi degup jantung yang terpompa lebih cepat dari sebelumnya, “Kok gue kayak kenal suaranya,” gumamnya jadi meringis kecil.
“Woi, Sultan, lo apain temen gue, Anj*ng!”
Adhi, Sultan, Althaf dan juga Wahyu spontan saling lempar pandang dan meringis kecil. Sebelum akhirnya memilih menoleh ke sumber suara, di mana seorang gadis dengan tinggi jangkung dan tubuh langsing berlari dari pintu utama,menuju ruang keluarga. Cewek itu, tau-tau sudah membawa vas bunga kecil dari keramik yang diambilnya dari ruang tamu. Buat apa lagi memangnya, kalau bukan untuk menimpuk wajah sang pacar karena sudah dengan berani melakukan aksi penculikan semacam ini. Mana teman SMP-nya lagi yang diculik.
“Y-yang? K-kok di sini?” tanya Sultan dengan wajah takut-takut.
“Maksud lo apa, Monyet, pakai acara nyulik temen gue kayak gini? Lo mau mati?”
Tangan Allea kini sudah lincah menjambak rambut Sultan yang sudah memohon ampun agar dilepaskan. Sementara Denta sudah tertawa ngakak melihat adegan ini.
“Lo tau kagak, tindakan lo ini udah masuk kriminal, Anj*r!”
“Kyaaa—ampun, Yang!” rengek Sultan ketika Allea semakin kuat menjambak dan menabokinya.
“Nggak ada ampun. Lo udah hampir celakain temen gue. Gila aja gue lepas gitu aja,” semprot Allea. Kali ini tangannya bergerak mencekik leher cowok itu dari belakang. Bersyukur, Allea itu tinggi, seenggaknya cukup mudah untuk menjangkau Sultan yang sangat jangkung di matanya.
“Sakit, Le!” pekik Sultan berteriak, ketika tangan kecil Allea mencubiti perutnya.
“Gue nggak peduli. Kelakuan lo ini nggak pantes buat dimaafin. Lo kalau ada masalah sama cowoknya, ngapain ceweknya diikutin segala?” semprot Allea masih mengamuk. “Emangnya lo mau, kalau misalnya Gasta nyulik gue, dan jadiin gue sanderaan kayak Denta begini? Lo mau emangnya?”
Denta sampai menggeleng takjub melihat Allea yang keluar taringnya begini.
“I--ini ide, datangnya dari Adhi, Yang. dia yang maksa gue supaya nyulik pacarnya Gasta aja, biar lebih gampang hajar gasta nantinya,” kata Sultan sambil menunjuk-nunjuk Adhi.
“Lah kok gue? Orang lo tadi yang ngajakin gue sama anak-anak nyulik denta,” protes Adhi.
Allea melotot, menendang-nendang b****g Sultan, membuat pemuda tampan itu meringis kesakitan. Tapi dia pasrah saja, kalau pacarnya ini mengamuk seperti ini. Demi Tuhan, dia akan mencekik Satriya setelah ini, karena ulahnya, Allea jadi kemari dan tau kalau dia lagi menculik orang.
“Siapa yang nyuruh lo berempat nyulik temen gue ha?”
“Bukan gue!! Wahyu, Yang! Wahyu. Dia dalangnya. Gue dihasut supaya ikutin sarannya,” kata Sultan menunjuk-nunjuk Wahyu yang nampak kebingungan, sambil memegang piring bekas Denta makan tadi. Ya gimana nggak bingung, kalau dia saja tidak tau apa-apa dan malah dikambing hitamkan begini.
Allea menoleh pada Wahyu, membuat cowok tampan itu tergagap.
“Bener, kalau lo yang ngehasut sultan supaya nyulik Eenta??”
Wahyu menggeleng panik. “Apa sih, kok malah jadi gue? Gue nggak tau apa-apa. Sumpah lah. Gue cuma bagian bawa piring sama nyuapin Denta doang,” kata Wahyu sambil mengangkat piring di tangannya.
“Wahyu sama Adhi nggak tau apa-apa, Le. Gue saksinya. Mereka justru yang jagain gue dari tadi. Adhi ngajakin gue karaokean biar nggak bosan, kalau Wahyu bagian nyuapin gue. Tapi cowok lo, Le, dari tadi ngasarin gue,” kata Denta mengadu membuat Allea semakin melotot. Adhy dan Wahyu lega seketika.
Sultan mendelik. “Althaf yang ngasarin, bukan gue!”
Althaf melongo, ketika sekarang dirinya yang di kambing hitamkan.
Denta mendecak. “Kok lo nyalahin Althaf sih? Althaf mah dari tadi kalem ya! Lo tuh yang kejem.” Pandangan Denta beralih pada Allea. “Masa nih ya, Le, cowok lo nyuruh Althaf nyekap gue di gudang. Gila nggak tuh? Untung gue nggak mau.”
Sudah kalah telak, dan tidak ada yang bisa di kambing hitamkan lagi, Sultan segera berlari menjauh dari amukan Allea. Cowok itu semakin takut saat gadis itu mengambil sapu yang tergeletak tidak jauh dari ruang keluarga.
Denta melengos. Mengabaikan couple yang sedang berperang sambil kejar-kejaran tidak jauh dari tempatnya duduk sekarang. Tidak jarang, cewek itu mendengar bunyi panci, wajan dan perkakas dapur lainnya yang saling berjatuhan.
“Makan tuh panci, Bang!” teriak Satriya masih tak berhenti tertawa.
“Satriya!” panggil Denta membuat si empu nama tersentak dan menoleh. Pemuda itu menepuk jidatnya, lupa jika Denta masih ada di sini. Cowok itu segera berjongkok di bawah Denta.
“Maafin Kakak gue ya!” ujar Satriya diangguki cepat oleh Denta. Lagipula, dia memang sudah tau jika mereka saudara--dari foto keluarga yang di pajang di ruang tamu tadi.
***