Denta mendesah. Cewek berwajah oval itu tidak semangat untuk berangkat sekolah pagi ini. Mau ditanya sama Gasta sampai mulut cowok itu berbusa pun, Denta hanya berdehem saja, menanggapi semua itu biasa saja. Gasta tentu saja peka, karena biasanya Denta hobi sekali menjerit. Apalagi saat berangkatnya bareng dia. Karena Gasta makhluk peka, dia menyimpulkan bahwa perubahan mood Denta disebabkan oleh perbincangan mereka semalam, yang mengatakan bahwa dirinya akan berangkat ke Surabaya nanti sore, untuk mengikuti turnamen basket tingkat Nasional selama empat hari ke depan. Cendrawasih dan Dharma Wijaya memang dua sekolah terpilih untuk mewakili DKI Jakarta dalam turnamen bergengsi itu.
Denta mengerucutkan bibirnya sebal. Dengan mulut yang merancau serta merengek tidak jelas. Kepalanya masih tercantel lemah di pundak lebar milik Gasta, dengan kedua tangan melingkar di perut cowok itu.
“Nta, udah sampai!” tegur Gasta pada gadis yang masih nemplok di punggungnya dengan erat. “Nggak turun?” tanyanya lagi. Gadis itu mengerang kecil, merasa terusik oleh suara Gasta.
“Gas, gue pengen bolos. Temenin gue bolos ya!” ujar Denta memelas.
Gasta menoleh ke belakang. Sesuatu yang sangat langka melihat gadis ini mengajaknya bolos. Senakal-nakalnya Denta, Gasta jarang melihat Denta bolos sekolah.
“Kan nanti gue mau berangkat ke Surabaya, Nta,” katanya memberitahu.
Denta mendesah. “Berangkatnya jam berapa sih emang?”
“Jam sepuluh, maybe!” balasnya.
“Jam sepuluh berangkat dari sekolah maksudnya?”
“Iya.”
Cewek itu mendengus, lalu mengangguk. “Ya udah, gue bolos sendiri aja,” sahutnya, sambil turun dari atas motor milik Gasta. Berdiri di sebelah pemuda itu.
“Kenapa?”
“Hah?”
“Lo kesal gue mau ke Surabaya?”
“Enggak.”
“Berantem sama temen lo?” tanya Gasta, sambil memegang lengan Denta, agar tidak kabur.
“Bukan.”
“Terus?”
“Gue lagi badmood aja, habis diomelin sama Mama tadi,” cerocosnya. “Masa iya cuma karena nggak sengaja numpahin sayur lodeh satu panci, gue dimaki abis-abisan. Udah kayak emak tirinya Cinderella aja, serius deh.”
“Diomelin doang kan? Nggak sampe ditimpuk panci?” sahut Gasta.
“Nyokap gue emang kalau marah ya marah doang. Cuma lima menit juga kelar. Tapi diungkit-ungkit terus, Gas, sampai sangkalala bertiup. Males tau nggak,” katanya, membuat Gasta terkekeh pelan. “Awasin dikit, Gas, gue mau numpang ngaca bentar,” ucap Denta sambil membalikkan spion motor Gasta.
“Lo ngerasa aneh nggak sih sama muka gue??” Wajah Denta berubah serius sekali sekarang.
“Aneh gimana?” tanyanya tidak paham.
“Gue pikir, mungkin gue ini dulu anak malaikat yang nggak sengaja jatuh ke bumi, terus dipungut sama manusia. Lihat deh, Gas, muka gue tuh cantik, badai, mempesona, paripurna, luar biasa. Mana ada gitu, manusia normal secantik gue ini?” cerocos Denta sambil mengibaskan salah satu kepangan rambutnya dengan sangat lebay. “Keren nggak sih? Nggak kebayang deh gue, kalau gue beneran malaikat kayak Lee Seul Bi.”
Dia jadi ingat drama korea berjudul High School Love On yang pernah di tontonnya hari itu. Seorang malaikat kematian yang nggak sengaja jadi manusia karena hukuman.
“Itu sih halu namanya.” Gasta pikir, Denta lagi dalam mode serius sekarang. Ternyata malah mengada-ngada. Gini nih, g****k yang sangat alami. Diambil dari mata air pegunungan terdekat. Denta malah nyengir kuda melihat wajah kesal Gasta. Sampai mata cewek itu dibuat menyipit, kala cahaya matahari pagi ini benar-benar menyilaukan matanya.
“Mataharinya terik banget ya. Masih pagi banget padahal,” kata Denta, lalu menjulurkan kedua tangannya keatas sambil merapatkan kelopak matanya sebelah kiri, membiarkan yang kanan tetap terbuka.
“Udah mau pergantian musim kayaknya,” balas Gasta sambil melihat Denta yang kini tengah membentuk segitiga dengan jarinya, mengarahkan nya ke arah matahari.
“Lihat deh, Gas, gue lagi ngurung mataharinya pakai tangan gue,” seru Denta bangga.
“Kayak anak kecil,” cibir Gasta pelan.
Denta terkekeh. “Dulu, waktu masih kecil, gue sering banget ngelakuin kayak gini. Bareng sama Sandy dan Arga juga. Biasanya malem-malem di balkon rumah gue, waktu lagi ada bulan,” katanya menjelaskan.
“Arga siapa?” tanya Gasta dengan kening mengerut.
“Sahabat kecil gue, tetangga gue juga di rumah lama. Tapi dia di Belanda. Nggak tau deh bakal ke sini kapan. Padahal, waktu gue sadar dari koma, dia bilang bakalan nyusul ke Indonesia.”
“Lo nggak pernah cerita soal Arga ke gue,” sahut Gasta.
Mendengar kata sahabat kecil, cowok itu jadi parno kalau Denta dan Arga kejebak friendzone dulunya, karena seringnya dia nonton drakor bareng Denta, membuat apa-apa selalu Gasta kaitkan dengan drama. Padahal, saingannya di sini jelas-jelas Aryan. Ah, bukan saingan--lebih tepatnya hama di hubungan dirinya dan Denta. Dia itu sebenarnya tidak tau, harus bagaimana menghadapi Aryan. Mau nonjok biar nggak ganggu Denta lagi, tapi nggak tega. Mau dibiarkan, tapi malah berulah. Kan bingung.
“Gue lost contact lama sama dia. Gue juga bingung, waktu sadar dari koma, dia udah ada di depan mata gue,” ujar Denta dengan sangat tenang. “Eh, udah mau jam tujuh, lo nggak ada niat berangkat sekolah?”
“Iya.”
“Hati-hati! Eh, salim dulu,” ucap Denta sambil meraih tangan Gasta yang tadinya bertumpu pada dashboard. Pemuda itu langsung melongo, melihat Denta mencium punggung tangannya.
“Heh, ngapain?” tegur Gasta, ketika sadar sikap Denta sudah seperti bocah yang mencium tangan emaknya.
Denta nyengir kuda. “Alex sama Dira juga sering kayak gini kok. Gue ikutin mereka aja. Lagian, gue sama lo kan, masih tua lo.”
Gasta mendelik. “Ya, tapi nggak cocok, Yang,” balasnya membuat wajah Denta mengeruh masam.
Sementara itu, dari arah jalan raya, muncul dua pemuda tampan yang tengah berboncengan menaiki motor RX King, sejenis motor cowok yang kalau dinyalakan mesinnya, akan timbul suara berisik sekali. Yang satunya pemuda tampan dengan garis wajah lembut yang imut, Edo. Sedangkan pemuda yang duduk di jok motor belakangnya, berwajah tampan dengan rahang yang cukup tegas, malah sibuk menggerutu sejak tadi.
“Awalnya gue iseng nyobain jomblo. Nggak tau aja, keterusan sampai sekarang,” kata Satriya menjawab pertanyaan Edo tadi.
“Lo beneran naksir Denta, Nyet?” seru Edo agak berteriak.
“Ya bener lah. Baru kali ini gue naksir cewek beneran serius, selain sama Naura,” balas Satriya, sambil menyebutkan mantan SMP-nya.
“Dia udah punya cowok, Sat. Emang lo mau dikatain penikung? Cih, masa iya ketua ekskul fotografi idaman, jadi orang ketiga, Sat? Nggak lucu banget,” cerocos Edo sambil terkekeh.
“Biarin aja dulu. Jodoh gue lagi dijagain sama pacarnya. Gue sih terima beres aja, Do,” sahut Satriya tenang.
Edo mengumpat. “Coba kaki lo dilurusin, Sat!!” suruh Edo memerintah.
“Hah, buat apaan?” tanya Satriya bingung.
“Itu kasihan otak lo di dengkul, jadi kebanyakan halu kan?” kata Edo dengan pedas, sukses membuat Satriya gondok setengah mati.
“Edo!” panggil Satriya, sambil menepuk-nepuk bahu temannya.
“Apaan, Nyet?”
“Lo kagak ada niat ganti motor apa? Sumpah Do, motor lo berisik banget. Gue aja yang cuma dibonceng malu banget.”
“Heh, emangnya lo nggak tau, kalau cowok naik motor RX King katanya masa depan dia itu terang, Sat.”
“Terang gimana, Njir?” pekik Satriya langsung sewot.
“Ya terang!” sahut Edo dengan ekspresi wajah kelewat santai.
“Bangs*t! Tapi gue suka sih sama kegoblokan lo. Masih asli, dipetik dari kebun teh pilihan,” katanya.
Edo mengumpat. “Si*lan lo.” Sampai akhirnya mata sipit pemuda itu jatuh pada dua remaja yang tengah ngobrol di depan gerbang sekolahnya.
Edo tau mereka siapa. Tentu saja Gasta dan Denta. Waktu ada sparing di SMA Dharma Wijaya, dirinya dan Gasta pernah bertemu, dan sempat mengobrol sebentar. Itu pun hanya membahas tentang pertandingan. Karena setau Edo, Gasta itu tipikal cowok yang susah diajak ngobrol.
“Sat, Denta tuh!”
Satriya, pemuda berjambul coklat itu langsung gerak cepat mengikuti arah yang ditunjukkan Edo lewat dagunya. Dan benar saja, seketika wajah Satriya langsung sumringah, melihat Denta sudah ada di depan gerbang. Namun tidak lama, ekspresi wajah Satriya berganti masam, karena tau Denta tengah bersama pacarnya. Sumpah demi apa pun, Satriya kepo, pengen tau wujud asli pacarnya Denta itu seperti apa. Karena dia hanya tau pacar Denta dari foto yang di-upload Denta, di akun i********: cewek itu.
“Denta!” teriak Satriya, ketika motor yang dikendarai Edo hampir sampai di depan gerbang. Merasa namanya dipanggil seseorang Denta buru-buru menoleh. Senyum nya jadi mengembang melihat Satriya baru datang bersama dengan Edo.
“Eh, Satriya!” sahut Denta dengan tangan melambai-lambai riang.
“Do, gue turun sini. Lo ke parkiran sendiri aja!” suruh Satriya, membuat Edo langsung memberhentikan motornya di dekat gerbang, dan langsung melongo ketika Satriya melompat dari atas jok motornya.
“Denta!” panggil Satriya lagi. Kali ini berlari kecil menghampiri Denta ala-ala india.
“Satriya!”
“Denta!”
“Satriya!”
“Denta!”
Edo mengumpat gondok melihat kelakuan ajaib mereka berdua. Malah lebih melongo, ketika mereka berdua justru lompat-lompatan seperti dua anak TK, yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Mana lompat- lompatnya di depan pacar Denta lagi. Benar-benar tidak punya adab.
“Gini nih kalau gobloknya masuk ke jantung, jadilah kepompa ke seluruh tubuh,” kata Edo sebal, langsung tancap gas masuk ke dalam halaman sekolah, mengabaikan Satriya yang masih sibuk dengan Denta. Tidak berbeda jauh dengan Edo, Gasta yang masih ada di sebelah Denta cuma bisa menghela napasnya sabar, sembari terus istighfar melihat mereka berdua. Sepertinya Gasta baru tau satu hal, jika ketololan anak Sevit itu memang menular satu sama lain. Buktinya, cowok di depannya ini memiliki tingkah tidak jauh berbeda dengan Aryan dan Denta.
Sengaja Gasta berdehem keras agar kedua manusia yang masih jingkrak-jingkrak itu, mau menghentikan kegiatan memalukan mereka. Sumpah demi apa pun, Gasta yang melihat saja malu.
“Cowok lo, Nta?” tanya Satriya.
“Iya. Kenalan dulu dong!” suruh Denta membuat Satriya meringis. “Sat, dia Gasta--pacar gue. Anak Dharma Wijaya,” lanjutnya memperkenalkan.
Pandangan Denta beralih pada Gasta. “Gas, dia Satriya. Temen satu sekolah gue. Anak OSIS sama ekskul fotografi juga.”
“Sekelas lo?” tanya Gasta.
“Bukan. Dia anak IPS 1,” balasnya, membuat Gasta ber oh ria.
Satriya menodongkan tangannya ke arah Gasta. “Satriya.”
Gasta mengangguk dan membalas uluran tangan Satriya. “Gasta.”
“Nanti jadi bolos?”
“Enggak deh. Gue baru ingat kalau ada ulangan sejarah.”
“Oke.”
“Maaf ya, nanti nggak bisa antar sampai bandara. Gue pulangnya sore soalnya,” ucap Denta.
“Iya.” Gasta mengulum senyum, sambil memakai helm fullface-nya.
“Masuk sana!” kata Gasta.
“Denta!” teriakan terdengar sangat keras, berhasil membuat ketiga remaja itu menoleh cepat.
Terlihat, sosok jangkung Aryan yang baru berpisah dengan Oky, langsung berlari menghampiri Denta. Wajah pemuda itu yang tadi sumringah, mendadak keruh, ketika menyadari ada dua saingan di sini.
“Lo ngapain di sini?” tanya Aryan pada Satriya langsung sengak.
“Lah, apaan dah?” sahut Satriya tidak mengerti sama sekali.
“Nggak usah sok akrab lo. Mentang- mentang habis antarin Denta balik, jadi sok dekat begini.”
Denta mendengkus. “Yan, apaan sih?”
“Lo juga, Gas, ngapain masih di sini? Bukannya berangkat sekolah. Malah ngetem di sekolah gue,” cerocos Aryan membuat Gasta mendelik sebal.
“Ngapain lo ngatur?” tanya Gasta dengan alis terangkat sebelah.
“Berangkat sono! Yuk, Nta, ke kelas bareng gue,” kata Aryan sambil menarik tangan Denta. Pandangannya beralih pada Satriya. “Sono, njir, lo masuk duluan! Ngapain masih di sini, Monyet?? Denta ke dalemnya bareng gue.”
Satriya melengos. “Penikung jaman now. Gerakannya pro banget, Anj*r. Terang-terangan.” umpatnya kesal. Gasta yang mendengar itu, langsung terkekeh kecil.
“Gue ke dalem duluan ya, Nta,” pamit Satriya langsung berlari masuk ke dalam gerbang sekolahnya.
“Hadeh, sumpah ya! Tata krama itu cowok di mana sih? Masa iya di sini ada gue sama Gasta, yang dipamitin cuma Denta doang?” kata Aryan.
“Cih, nggak sadar diri,” sindir Gasta membuat Aryan melotot. Namun belum sempat Aryan membalas, Gasta langsung menatap Denta lagi. “Gue berangkat!”
“Iya. Dahh, hati-hati! Nanti kalau udah sampai Surabaya kabarin! Semangat tandingnya besok,” ujar Denta lagi, sambil melambai- lambaikan tangannya, ketika Gasta mulai menyalakan mesin motornya.
Aryan menyenggol lengan Denta seolah bertanya. “Cowok lo mau ke Surabaya ngapain?”
“Tanding basket lah.”
“Ah iya, gue lupa kalau tim sekolah Dharma yang jadi perwakilan DKI Jakarta,” sahutnya sambil nyengir.
“Duluan!” pamit Gasta diangguki cepat oleh Aryan dan Denta. Setelah motor Gasta melaju, kedua remaja itu bergegas melangkah memasuki halaman megah SMA Sevit, menuju ke dalam gedung sekolah.
“Lah, si bapak ngapain duduk di atas meja gitu? Nggak sopan, Pak,” tegur Aryan ketika keduanya melewati pos satpam, di mana terdapat seorang satpam berbadan gendut tengah duduk di meja sambil meminum kopi dengan santai. Bukannya malu karena ditegur, satpam tersebut malah menampilkan ekspresi wajah galak pada Aryan. Salah satu siswa yang kerap sekali di hukumnya karena terlambat.
“Suka-suka saya dong. Emangnya kamu siapa??”
“Saya Aryan, Pak.”
“Saya nggak nanya nama kamu. Mohon maaf.”
Denta tertawa ngakak. Sementara Aryan mengumpat. “Udah ah, bete gue jadinya.”
“Halah gitu aja ngambek. Udah kayak cewek aja,” cibir satpam tersebut. Tapi sama sekali tidak dipedulikan oleh Aryan dan Denta.
“Nta, jadi satpam romantis tau. Kalau ngomong sesama satpam, dari HT ke HT,” katanya sambil nyengir.
“Ya udah, jadi satpam aja sana.”
“Dih, ogah. Gue tuh pengen jadi abdi Negara, Nta. Pakai seragam loreng. Pasti gue bakalan jadi keren,” katanya dengan sangat bangga.
“Wah, lo pengen jadi TNI juga? Jodoh banget dong,” balasnya.
Aryan tersentak dan menoleh. “Jodoh sama lo maksudnya? Lo pengen jadi abdi negara juga?”
Denta mendesis sebal. “Ish, bukanlah. Jodoh sama Ivon maksudnya. Dia juga pengen jadi TNI loh.”
“Temen lo yang tomboy itu bukan sih? Mukanya datar?” ujar Aryan sambil mengingat-ingat.
“He'em. Eh Yan, lo mau nggak kalau gue kenalin sama Ivon?”
“Dih, ogah. Gue kan naksirnya sama lo, Nta, nggak mau ah ganti-ganti. Lagian gue nggak kenal sama temen lo itu.”
“Ih, dia baik tau, Yan. Ketimbang lo jomlo begini?”
“Gue jomlo bahaga kali, bukan jomlo ngenes. Gue nih, lagi nungguin pujaan hati gue, balik arah ke gue.”
“Gue?”
“Iyalah. Eh, tapi semisal kalau lo sama Gasta masih berlanjut, nggak apa sih. Gue bakalan mau buka hati, sama cewek yang ngejar-ngejar gue. Karena gue yakin, kalau itu cewek sayang beneran sama gue, berarti dia bakal ngejar-ngejar gue sepenuh hati.”
“Nggak ada sejarahnya monyet, sel telur ngejar s****a,” bantah Denta.
“Nggak ada sejarahnya juga, sel telur ngejauh pas dikejar s****a,” kata Aryan seolah menyindir Denta.
“Nggak ada sejarahnya s****a ditikung s****a lainnya,” sahut Denta tidak mau kalah, membuat Aryan tertawa.
“Nta, tebak deh! Kota apa yang pintar gombal? Hayo!” tanya Aryan tiba-tiba.
Denta mengerutkan keningnya samar, lalu menoleh. “Emangnya apa?”
“Cikarang.”
“Hah, kok Cikarang?” sahut Denta bingung sambil menghentikan langkah.
“Iya Cikarang. Cikarang atau lima puluh tahun lagi ku masih akan tetap mencintaimu.” Pemuda itu malah menyenandungkan lagu yang di populerkan Raffi Ahmad dan Yuni Shara tersebut. Hal itu berhasil membuat Denta tertawa lumayan keras.
“Jayus lo. Gue sentil amandel lo, tau rasa deh, Yan,” kekehnya.
Aryan yang melihat tawa Denta begitu kencang itu, diam-diam gugup dan merona sendiri. Denta memang berkali-kali lipat lebih cantik, kalau lagi tertawa. Aryan jadi gemes. Apalagi kepangan rambut Denta yang lucu sekali. Biasanya kalau orang lain yang pakai kepangan dua begini, pasti kelihatan culun banget.
Sementara Denta? Kayak boneka barbie di mata Aryan. Keakraban keduanya, tentu saja tidak lepas dari perhatian para junior dari kelas sepuluh, yang pagi ini koridornya dilewat mereka berdua. Sengaja, karena memang, mereka mau lewat lift, yang letaknya ada di ujung koridor lantai satu. Membuat mereka, mau tidak mau melewati kelas demi kelas angkatan kelas sepuluh.
“Emang Kak Aryan sama Kak Denta jadian ya? Lengket banget gitu,” oceh seorang siswi yang duduk di kursi depan kelas bersama teman kelasnya yang lain.
“Tapi cocok ya??”
“Padahal kan, gue ada rencana mau nyepik kak Aryan.”
“Sabar, Nez!”
“Woi, udah cek video di i********: Kak Denta belum?” pekik seorang siswi yang keluar dari kelas dan melesat menghampiri temannya yang lagi merumpi di depan kelas.
“Jangan keras-keras, tuh orangnya dekat banget. Takutnya entar denger,” cerocos siswi berponi miring sambil menunjuk dengan dagunya ke arah Denta dan Aryan yang terlihat mengobrol sambil berjalan.
“Video apaan?” tanya yang lain kepo.
“Yang sama cowoknya,” balasnya.
“Gue udah,” sahut cewek berambut bob ikutan nimbrung.
“Eh, itu cowoknya bukan anak sini kan ya? Setau gue, dia anak Dharma Wijaya. Cakep banget.”
“Woi, Nyet, yang video maskeran itu bukan sih? Couple goals abis sumpah. Ih, iri banget gue lihatnya.”
“Yang suap-suapan ice cream paling gila,” cerocos cewek bergaya tomboy yang kini kakinya sudah naik satu ke kursi. Namun kumpulan itu mendadak diam dan tersenyum sopan ketika Aryan dan Denta melewati mereka. Belum sampai beberapa langkah, tiba-tiba seorang siswi menyelatuk pelan. “Cantik ya kak Denta. Lucu banget kepangannya.”
“Tapi cantiknya karena make up ya?” celetuk seorang siswi bermata bulat, membuat Denta menghentikan langkah tiba-tiba dan berbalik.
“Lo bilang gue cantik karena make up?” tanya Denta pada siswi itu, membuat gadis berambut panjang itu melebarkan mata. Tidak menyangka bahwa ucapannya didengar oleh Denta. Apalagi sekarang, Aryan si bos geng utama sekolah, ikut-ikutan mendekat, membuat nyali cewek itu menciut. Sementara teman-temannya yang lain, mendadak bungkam, tidak mau ikut campur.
“Ng-nggak kok, Kak,” sahutnya takut- takut. Alicia saja kalah sama Denta, apalagi dia yang kecil begini.
“Cih, menurut lo aja, make up fungsi nya buat apaan? Ngerias gigi lo?” kata Denta dengan wajah sengak, kemudian melangkah pergi diikuti oleh Aryan yang tertawa.
***