35 | Casting Iklan

3263 Words
TSABITA merebahkan tubuhnya di king size milik Denta, menatap satu persatu sudut ruangan yang di-cover dengan perpaduan dua warna, yaitu pink pastel dan pink tua. Cewek itu jadi tersenyum, menyadari selera warna Denta yang sangat perempuan. Jauh sekali dengan tingkahnya yang dominan ke cowok, walaupun untuk penampilannya sangat feminim. Dia berniat untuk tidur dengan memejamkan matanya, namun tidak berhasil juga. Dia kembali terbayang tentang kejadian tadi, yang sukses membuatnya ketakutan. Kejadian yang mengaitkannya lagi dengan Fahri. Pemuda yang pernah manjadi alasannya meninggalkan Aryan. Tsabita tidak pernah menyangka jika Fahri bisa senekat itu sampai menculik dan nyaris memperkosanya. Tsabita--cewek berprawakan mungil itu mendesah pelan, menatap langit- langit kamar Denta dengan kening mengerut samar. Dia sedang berpikir keras, bagaimana seorang Tsabita harus merasa cemburu, hanya karena melihat kemesraan Gasta dan Denta? Sejatinya memang benar, bahwa perasaan perempuan itu lembut dan mudah untuk tersentuh. Dia tidak bisa menampik bahwa merasa baper dengan kebaikan Gasta hari ini pada nya. Sampai jari-jemarinya tergerak menyentuh sebuah foto di atas nakas. Foto sepasang remaja yang tengah berdiri di lapangan basket. Di foto itu, terdapat Denta dan Gasta. Denta yang masih mengenakan seragam putih abu-abu dengan rambut yang tergerai panjang dan berpose digit dua jari, berbeda dengan Gasta yang memakai seragam basket sambil memegang bola. Harus Tsabita akui, mereka perfect couple. Tidak ada alasan untuk orang lain masuk di dalam hubungan mereka. “Denta! Beruntung banget sih lo bisa dapatin hati Gasta?” gumamnya sambil menyentuh wajah Gasta yang ada di dalam foto itu. “Makasih udah nolongin gue Gas. Gue janji bakal balas kebaikan lo.” Sampai Tsabita dibuat tersentak, saat suara ketukan berasal dari pintu kamar, membuatnya spontan menoleh. Tersenyum kecil, saat sosok Dentalah yang muncul dari sana. Membawa segelas s**u putih hangat, menghampirinya. “Nih, Ta, s**u buat lo. Diminum loh. Dihabisin juga! Buatan gue sendiri nih,” ujarnya dengan sangat bangga. “Makasih.” Tsabita terkekeh sambil meraih gelas kaca itu. “Oh ya, Aryan mana? Habis nyuruh lo bikin s**u kok nggak balik ke sini?” Denta menunjuk dengan dagunya ke arah luar. “Main PS dia. Bareng Gasta sama Vero juga,” balasnya tenang. “Mereka udah akur, Nta?” tanyanya. “Nggak tau. Tapi tadi sih, gue lihat Aryan masih sewotin Gasta. Masa iya stick PS Gasta malah ditempelin permen karet dari mulutnya. Sumpah deh ya, akhlak itu anak di mana sih?” gerutunya sambil terkekeh tak habis pikir. “Aryan tuh nggak terima, kalah main sama Gasta tadi. Makanya gitu.” “Terus-terus Gastanya ngamuk?” “Ya, ngamuklah. Dia tendang aja tuh pantatnya Aryan saking kesalnya. Tapi bukannya ngerasa bersalah, Aryan malah sengaja banget gangguin Gasta yang lagi main PS,” celotehnya. Tsabita tertawa mendengarnya. “Ta, besok lo nggak usah masuk. Istirahat aja dulu!” katanya. Tsabita mengangguk. “Oh ya, jangan bilang Hauri sama lainnya ya kalau gue habis diculik Fahri. Gue malu.” “Siap. Entar gue bakal bilang ini juga sama Aryan. Biasanya kan itu anak yang paling ember,” celotehnya. “Makasih ya udah izinin gue nginep di rumah lo. Gue cuma takut, kalau Mami khawatir lihat keadaan gue yang kayak gini,” ujarnya. Denta cengengesan. “Namanya juga temen, Ta. Ah, kalau sama lo gini, gue suka kangen sama sahabat-sahabat gue di sekolah lama. Kayak Dira, Gista sama Ivon. Serius deh,” katanya. “Mereka bertiga sedekat itu ya, Nta, sama lo? Sampai lo sayang banget sama mereka?” tanyanya. “Iyalah,” balas Denta cepat. “Kalian pernah berantem?” Denta tertawa mendengarnya. “Kalau itu sering. Apalagi pas dulu masih satu sekolah. Nggak ada hari tanpa adu mulut sama Dira atau Gista. Kalau Ivon sih, dia yang paling anteng dari kami semua. Dia yang selalu jadi penengah tiap kami berantem. Lagipula, dia yang paling macho. Jadinya tiap dia ngamuk, gue sama yang lain pasti takut banget.” “Oh ya? Lucu dong?” Tsabita jadi tertarik mendengar kisah persahabatan mereka. “Pokoknya ya, Ta, gue sama ketiga sahabat gue hobinya bikin rusuh sekolah. Apalagi baku hantam sama geng siswi medusa yang lain. Kalau soal yang ini, Gista yang paling kalem. Nggak berani ikutan. Bokapnya galak, makanya dia nggak berani bikin masalah di sekolah. Terlebih lagi dia tuh agak penakut juga.” “Kalian pernah berantem soal cowok gitu?” “Berantem karena cowok?” pekiknya tertahan. “Nggak lah. Ngapain juga berantem soal cowok.” “Berarti di hidup lo belum pernah ya, Nta, ditikung temen sendiri kayak di n****+-n****+?” Denta menggeleng. “Belum. Ketiga sahabat gue semuanya baik. Gue percaya mereka nggak bakal kayak gitu.” Jujur saja, Denta memang tidak mudah mempercayai orang. Maka dari itu, dia belum mau mengklaim Hauri, Fina, Nafa ataupun Tsabita menjadi sahabatnya. Mungkin karena Denta tidak mau posisi Dira, Gista dan Ivon tergantikan siapa pun. “Lagipula, kami udah ada pasangan masing-masing. Dira pacaran sama Alex, terus Gista jadian sama Arkan. Palingan tinggal Ivon doang yang jomlo. Gue ada rencana sih, buat jodohin Aryan ke dia. Pasti lucu deh. Cewek tomboy pacaran sama cowok pecicilan kayak Aryan.” Tsabita mengangguk cepat. “Boleh tuh. Gemes banget gue bayanginnya.” “Aryan mau nggak ya?” “Nah itu, gue sendiri nggak tau.” Keduanya sama-sama tertawa. Tidak lama, karena setelahnya Tsabita bergerak memeluk Denta, membuat gadis cantik itu terkejut. “Gue pengen meluk lo.” Air mata Tsabita lolos tampa Denta sadari. “Tumben sih lo mellow gini?” Denta jadi tertawa di sela pelukan mereka. “Nta, lo beneran sayang banget ya sama Gasta?” lirih Tsabita. “Iya, gue sayang banget sama dia. Dia yang jadi alasan gue buat sembuh.” “Bagus deh. Dia cowok yang baik. Gue rasa, lo nggak salah pilih pacar,” ujar Tsabita pelan, masih mencantelkan dagunya ke pundak Denta. “Tapi Nta...kalau suatu saat hati lo udah berubah, kasih tau gue ya!” Denta tersentak. Tidak mengerti apa yang digumamkan Tsabita barusan. Lebih tepatnya dia cukup terkejut mendengar penuturan cewek itu. Namun Denta segera menepis, ketika pikiran negatif melayang di kepalanya. Karena sepertinya tidak mungkin hal itu terjadi. Bukankah Tsabita masih mencintai Aryan? “Hati gue nggak bakal berubah, selagi bukan Gasta sendiri yang bikin hati gue berubah. Gue janji sama itu.” *** HARI ini adalah pelaksanaan casting iklan yang tempo hari lalu pernah dibahas oleh Denta dan juga Satriya. Casting iklan ini sendiri, dilaksanakan secara terbuka, dalam artian, baik peserta atau keluarga dari peserta bisa ikut melihat peserta lain ber-acting di depan juri. Sejak dua puluh menit lalu, casting iklan sudah di mulai. Denta--gadis berambut coklat sepunggung, terlihat sudah cantik dengan short dress berwarna hitam, serta high heels sepuluh senti yang menjadi ornamen kakinya. Dia baru kembali dari gedung tempat casting dilakukan nantinya, setelah menyerahkan formulir daftar ulang yang di berikan Satriya padanya beberapa hari lalu dan mengambil nomor urutan. Sisa waktu dimanfaatkan olehnya untuk berlatih. Ditemani Chimmy, kucing kesayangannya yang Gasta belikan untuknya, sebulanan yang lalu. Jujur saja, Denta sebenarnya tidak berniat mengikuti casting iklan ini. Semuanya dia lakukan atas usul sang mama dan juga tantenya yang kebetulan bekerja di perusahaan ini. Katanya sih--Denta berbakat. Sayang kalau cuma jadi selebgram saja. Padahal, cita-cita Denta bukan untuk menjadi seorang artis atau bintang iklan. Beda lagi urusannya dengan selebgram atau tiktokers. Dia lakukan semua itu karena memang suka dan sifat narsisnya yang nggak ketulungan. Kalau cita-citanya sendiri, pengen jadi dosen kampus, ataupun guru SMA. Meskipun mustahil rasanya. Inilah alasannya, mengapa dia tidak pernah bilang kepada teman-temannya, jika ada yang bertanya, apa cita-cita Denta nantinya? Dia selalu menghindari topik ini, karena takut ditertawakan orang-orang. Apalagi Dira yang mulutnya pedes banget itu. Denta yakin, si Dira akan mengatai dirinya tidak mau ngaca. “Gila-gila. Parah sih. Bedaknya tebel banget, buset deh. Udah kayak emak-emak mau kondangan aja gue perhatiin.” Seketika jiwa julid Denta meronta-ronta. Matanya tidak mau lepas dari gadis-gadis menor itu. “Ih, sumpah deh. Mereka habis bedak berapa kilo coba?” “Apalagi alisnya! Udah kayak celurit gitu. Mana item banget kayak angus. Ish, ngeri slur, ngeri!” sambungnya jadi histeris sendiri. Sepertinya, Denta masih belum bosan untuk julid. “Dasar lambe turah. Itu mulut jangan digunain buat nambah dosa dong, ah? Udah pernah sekarat, sampai hampir mati kan? Emang lo mau kalau entar tiba-tiba mati beneran, terus masuk neraka j*****m? Hayo loh, hayo!” ucap Denta cekikikan sendiri, sambil memukul-mukul bibirnya yang memang hobi sekali julidin orang. “Chim, Papa kamu kok belum datang ya? Apa dia lupa, kalau hari ini jadwal casting-nya Mama?” tanya Denta sok memelas, pada Chimmy--kucing berbulu putih dengan mata biru yang cantik, yang berada di gendongannya. “Meong ....[1]” Chimmy malah sibuk menjilat-jilati tangan mulus Denta. “Mama udah sabar Chim. Tapi papa kamu nggak datang-datang. Padahal tadibilangnya mau nyusul,” katanya setengah menggerutu. “Meong ... meong[2]!!” “Macet apaan, Njir? Ini masih siang. Bukan weekend juga. Masa iya macet? Kamu tau nggak, Mama tuh deg-degan banget. Kalau ada papamu kan, Mama agak tenang dikit,” gerutunya sebal. “Meong ....[3]” “Chimmy belum rasain aja kalau udah jatuh cinta rasanya gimana. Nanti deh, Mama suruh papa beli kucing jantan buat kamu. Biar ada temennya,” celoteh Denta sambil menciumi Chimmy dengan gemas sekali. “Meong ... meong ....[4]” “Ew, cantil banget sih kamu?” “Meong ....[5]” “Kurang ajar lo, Chim. Kapan woi gue ngajarin lo centil? Bokap lo kali, bukan gue,” balas Denta langsung tarik gas. “Mama tuh lemah lembut, Chim. Nggak kayak Papa lo yang suka banget caper ke mama,” lanjutnya. Sementara Chimmy sudah melotot ke arah Denta, membuat cewek itu meringis ngeri sendiri. “Meong ... meong ... meong![6]” “Wowowo, santai slur santai.” Denta ngeri, takut dicakar seperti beberapa hari lalu, karena Chimmy ngamuk sewaktu akan dimandikan. Tapi anehnya, waktu Gasta datang ke rumahnya, dia malah nurut. Dasar kucing kecentilan! Tau saja, mana cowok ganteng dan mana yang bukan. “Meong ....[7]” “Eh mana?” Denta menoleh langsung celingukan mencari keberadaan Dira. “Denta!” Dan benar ternyata, Dira dan Alex muncul dari jarak yang tidak terlalu jauh darinya. Tadi, Dira memang sudah berjanji, bahwa dia akan menemani Denta casting iklan untuk hari ini. Tapi sayangnya, cewek itu ada jadwal pemotretan, membuatnya jadi agak telat datangnya. “Akhirnya datang juga,” ujar Denta sambil memeluk Dira. Chimmy sudah berisik, karena terjepit di tengah. “Lo dapat nomor berapa, Nta? Kok di sini sih, bukannya di dalam?” tanya Dira merasa aneh. “Nomor 24 gue. Masih sebelas peserta habis itu gue,” balasnya. “Heh, udah gila lo ya? Daritadi gue perhatiin sama Dira, lo malah asyik ngobrol sama kucing,” cerocos Alex. Cewek itu mendelik sebal. “Enak aja ngatain gue gila. Chimmy nih emang bisa ngomong. Tapi dia maunya kalau ngobrol sama mama dan papanya doang,” celotehnya sungguh-sungguh. “Mama, papanya? Siapa?” tanya Dira langsung penasaran. “Gue sama Gastalah.” “Sumpah ya, Nta, lama-lama temen gue jadi nggak waras karena pacaran lo. Serius!” cerocos Alex. Alex melanjutkan. “Masa’ iya nih semalam, waktu anak-anak kumpul di rumah Nugraha--itu anak kan nonton drama korea, Njir, eh si Gasta ikutan nonton!” katanya dengan menggebu-gebu. “Heh? Masa sih?” pekik Denta nyaris tidak percaya. Dira malah sibuk menahan tawa melihat ekspresi Denta, “Ngibul kan lo?” “Kagak, Nyet, kagak! Malah dia pamer segala ke gue sama yang lainnya, tiap ada kalimat saranghaeo yang diucapin tokohnya. Denta sering bilang kayak gini ke gue. Dia bilang gitu, Anj*r, b**o banget kan?” ujarnya sambil menatap sinis Denta. “Lo main pelet ya, Nta? Dia juga bilang loh, kalau lo suka banget nonton drama korea sama dia,” sambungnya. “Hih, apaan? Cuma sekali, dua kali doang kok. Nggak sering,” elaknya. Padahal nyaris setiap kali Gasta apel ke rumahnya, pasti nontonnya drama korea di laptopnya. “Oh ya, Nta, gue ada jimat loh buat elo biar nanti nggak gugup selama casting. Biar lolos juga. Ini gelang, jimat warisan kakek gue,” ujar Dira sambil memberikan sebuah gelang benang kepada cewek itu. “Dulu ... kakek gue waktu perang lawan Belanda, pakai gelang ini. Makanya Indonesia merdeka.” “Cih, percaya amat lo sama begituan.” “Eh, tapi beneran loh, Nta. Tiap gue mau tanding basket, Dira selalu kasih pinjem gelang ini ke gue. Buktinya apa, gue nggak gugup, terus menang juga tiap turnamen,” kata Alex ikut menimpali, diangguki cepat oleh Dira. Denta mengumpat pelan. “Terima kasih ya, wahai manusia-manusia generasi jimat, tapi gue nggak butuh barang kuno kayak gini cuma buat lancarin casting gue. Latihan keras gue, sama doa restu Mama, Papa gue tuh, udah cukup kali, buat bekal casting gue ini.” “Dih, tumben pinter?” cibir Dira. “Oh ya, Lex, lo ada lihat Gasta nggak?” Alex menggeleng. “Nggak tau. Tadi sih bilangnya masih ada urusan. Nggak tau deh ke sini apa nggak. Tapi dia udah keluar sekolah dulu sih.” Mendengar itu, Denta jadi mendesah, merasa lesu. “Apa dia nggak datang ya? Padahal kan, dia janji bakalan ke sini, lihat gue casting,” gerutunya. “Udah sih, nggak apa. Entar kalau semisal Gasta nggak ke sini, gue bakal rekam casting lo deh. Biar cowok lo bisa nontonin elo,” celoteh Dira. “Tapi lebih enak kalau semisal dia di sini, Dir. Ada yang nyemangatin gue.” “Bucin b*****t,” ledek Alex membuat Denta refleks menampol lengannya. “Peserta selanjutnya nomor 23.” Tinggal satu nomor ini dan Denta akan mendapat giliran maju ke depan juri. Cewek itu melongokkan kepala, melihat ke arah dalam ruangan yang sangat luas ini. Seketika, Denta jadi pucat pasi. Keringat dingin mulai bercucuran di wajahnya. “Dir-Dir, minjem jimat lo yang tadi, Dir! Buruan!” katanya langsung panik, sambil menabok-naboki bahu Dira saking gemeternya. “Astaga, kenapa tangan gue tiba-tiba goyang begini!” umpatnya. Kobaran semangat yang Denta bawa dari rumah, langsung padam, ketika dia sadar, tidak hanya sepuluh atau dua puluh yang menonton, bahkan beratus-ratus pasang mata sudah memenuhi kursi di belakang juri. “Tadi katanya nggak mau. Asalkan udah latihan keras, dan dapat restu orang tua, udah jadi bekal buat casting nanti,” sindirnya pedas. Meski dongkol, dia tetap memberikan jimat berupa gelang itu, pada sahabatnya. Suara riuh tepuk tangan terdengar ketika salah satu cewek yang di julidin Denta tadi, karena parasnya yang menor, turun dari atas panggung. Denta akui, wajahnya cewek itu memang biasa saja, tapi acting-nya, benar-benar keren. Denta kan jadi minder. Tidak pede seperti biasanya. “Lex, antarin gue balik dong! Perut gue tiba-tiba demam nih, badan gue mules!” rengeknya. “Kebalik, Gobs!” umpat Alex dengan wajah sebal. “Kayaknya IQ lo makin hari makin memprihatinkan deh, Nta.” “Peserta selanjutnya, nomor 24.” “Itu nomor gue, Njir, yang dipanggil! Please, bawa gue kabur dari tempat ini. Gue nggak mau. Gue mau pulang aja,” katanya histeris sendiri. “Heh, Nta, mana semangat lo yang selalu menggelora setiap harinya. Kenapa jadi kerupuk mlempeng begini?” cerocos Dira. “Coba lo pikirin ya, lo udah jauh-jauh datang ke sini, cuma buat ikutan casting. Masa iya giliran nomor lo dipanggil, lo nyerah duluan sih? Mana nih, Denta Kalla Nayyira si queen bee yang nggak pernah takut apapun?” Alex mengangguk setuju. “Mereka cuma orang, Nta. Sama-sama makan keramik--eh nasi maksudnya. Jadi lo nggak boleh takut! Anggep aja mereka itu batu,” katanya menimpali. “Tenangin diri lo! Ingat satu hal, kalau semisal lo lolos casting, terus jadi bintang iklan, followers lo kan makin nambah. Tawaran endorse makin banyak lagi. Kalau duit lo banyak, lo bisa beli Ferarri sport kayak punya Karrel. Tanpa harus pakai campur tangan kakek lo,” kata Dira lagi seolah menyemangati. “Widih, Ferarri? Cocok lah anjir, kalau Denta naik mobil begituan. Apalagi kalau Ferarrinya pink. Makin mantep tuh.” Alex yang dasarnya memang mengetahui warna favorit Denta ikutan berseru. Mata Denta sontak saja jadi berbinar membayangkan dirinya akan semakin cantik, kalau menaiki mobil Ferarri Sport pink dengan velg racing, pasti keren sekali. Apalagi pakai duit sendiri. Pasti orang-orang akan memberi gelar padanya : Cewek muda cantik yang sangat sukses, berhasil membeli Ferarri sport seharga milyaran. “Sekali lagi nomor peserta 24, diharap maju ke depan.” “Tuh, nomor lo dipanggil lagi. Cepat maju!” suruh Dira seolah mengusir cepat-cepat. Degupan jantung Denta mulai agak mereda. Cewek itu dengan segera, memberikan kucing manis kesayangannya pada Dira. “Jagain anak gue! Pastiin Chimmy mesti nonton emaknya casting. Oke?” “Iya elah, buru!” kata Alex gemas, sambil mendorong Denta. Membawa seluruh keberaniannya, dia melangkah dihadapan juri. Dan sudah dia tebak, bahwa dia semakin gugup bukan main, ketika matanya menyapu keramaian di depannya. Entah setan darimana, dia justru mengelus-ngelus gelas jimat milik kakek Dira yang katanya sakti itu. Tapi nyatanya apa? Dia bahkan semakin gugup. Tanpa membawa mikrofon, dia berdiri di depan juri seperti orang b**o, yang malah menggaruk tengkuknya tiba-tiba gatal sekali. Meski dia akui, semua pasang mata menatapnya seolah iri sekarang. Apalagi cewek-cewek yang mukanya menor tadi. Cewek itu menghela napasnya panjang. Melirik ke arah Dira dan Alex yang nampak mengepalkan tangannya ke atas, seolah memberi isyarat, bahwa Denta harus semangat. Sebisa mungkin cewek itu mengulang perkenalannya yang tadi. Dan syukur, perkenalannya yang kedua berjalan sangat lancar. Tapi selanjutnya, dia kembali bingung hendak ber-acting seperti apa. Di tengah kegugupannya, matanya menatap sosok Gasta yang sedang tersenyum kearahnya, membuats emua orang menoleh. Tidak ada yang mengabaikan pesona Gasta. Bahkan ada yang terang-terangan memotret pemuda itu. Denta diam. Perasaannya jadi menghangat ketika pemuda itu mengangkat tangannya seolah menyapanya sambil melempar senyum lebar lalu berikutnya, Gasta mengangkat HP, merekamDenta. “Fighting, Bi!!” ucap Gasta pelan. Karena tidak lucu juga, kalau dia teriak-teriak di ruangan ini. Tiga detik berikutnya Denta tersenyum. Ratusan penonton yang melihat interaksi mereka sontak saja meleleh dibuatnya. Tentu mereka semua tidak bodo h. Mereka sudah tau bahwa pemuda tampan itu adalah kekasih dari peserta nomor 24. Denta berdehem, memulai acting-nya yang sejak di rumah tadi, sudah dia persiapkan. Baik teks, ataupun gerak tubuhnya. “Wah, rambut kamu susah diatur? Gampang lepek dan cepet kusut juga? Itu tandanya rambut kamu tidak sehat!” ujar Denta sambil geleng-geleng tidak habis pikir. Dia belagak menghayati peranannya. “Mau rambut hitam berkilau seperti aku? Serius mau tau rahasia aku punya rambut indah seperti itu?” tanya Denta sambil mengibaskan rambutnya. Kemudian mengambil botol parfum dari dalam tasnya belagak botol itu ada sampo. “Aku pakai Dove Daily Shampoo. Untuk rambut normal, Dove Daily Shine Shampoo membersihkan rambut dan kulit kepala secara menyeluruh. Micro Moisture Serum membuat lapisan pelindung di setiap helai rambut. Sehingga membantu melawan penyebab kerusakan rambut setiap hari, yang membuat rambut menjadi kusam,” cerocosnya sambil tersenyum kecil memandang Gasta yang tidak berhenti memotret dirinya. Denta bahkan yakin, kalau Gasta mengambil fotonya secara candid, pasti mulutnya akan mangap. Awas saja kalau sampai wajah Denta jelek di sana. “Coba pakai! Aku jamin kamu nggak bakal nyesel pakai produk ini,” kata Denta lagi, dan setelahnya cewek itu membungkuk memberi salam. Ratusan penonton di ambah juri bertepuk tangan dengan heboh. Denta berhasil membuat satu ruangan tidak berkedip melihat acting-nya. Datang nya Gasta, berhasil membuat Denta kembali percaya diri. Tanpa berlama-lama, setelah dikomentari oleh juri, dan semuanya memberi respon positif, Denta segera berlari ke arah Gasta. “Makasih udah datang hehe,” katanya. Gasta terkekeh kecil. “Iya.” Sementara itu, di dekat pintu ruangan casting, pemuda dengan gaya rambut spike, memperhatikan keduanya. Sebenarnya, cowok itu sudah dari tadi berada di situ, dan memperhatikan mereka berdua. “Jadi, musuh gue udah punya pacar?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD