09 | Karma

1673 Words
“OH,gitu. Jadi, kucing tetangga lo nerkam Cece? Padahal, mereka dulu temen dekat?” tanya Leo, menyebut nama kucing berbulu cokelat milik Nugraha yang mati kemarin siang. Sejak pertandingan regu putra sudah selesai, mereka langsung ke kantin untuk membeli makan. Jadilah Nugraha ada kesempatan untuk curhat pada teman-temannya. Ya, dia masih patah hati sekarang. “Gue masih syok, asli! Pas pulang, dia udah nggak ada. Dikubur di halaman belakang,” curhat Nugraha melengos. “Gue kangen padahal. Mulai dari ngedennya Cece pas lahirin anak-anaknya. Belom lagi pas dia nyusuin anaknya,” katanya sendu, sambil mengusap air matanya yang hanya berbentuk udara. “Sekarang, anak-anaknya jadi yatim piatu,” ocehnya lagi. “Bapaknya ke mana?” tanya Gasta. “Cece kawinnya sama banyak pria, Gas. Nggak tau deh bapaknya siapa. Main kabur gitu aja,” balas Nugraha menggebu-gebu. “Cih, murahan. Emang lo nggak pernah ajarin dia?Biar jual mahal dikit kalau ada kucing jantan?” oceh Leo. “Enak aja, lo katain kucing gue murahan. Mahal itu! Sejuta gue belinya! Sedih gue sekarang kehilangan dia.” “Ya elah, Nyet. Lo tinggal beli kucing yang modelnya kayak Cece. Yang bulunya sama. Gampang, kan?” kata Leo geram, gatal ingin mencincang Nugraha. Nugraha mendecak. “Gue tuh merasa terkhianati, Le. Harusnya pas dulu mereka nggak gue bolehin temenan. Kalau ujung-ujungnya temennya itu psikopat,” pekik Nugraha dramatis. “Pantes jomlo, lo aja bergaul sama kucing,” sinis Gasta sambil menghisap rokok lalu mengepulkannya ke udara. “Oh ya, lusa kita nyerang,” sambung Gasta memandang ketiga temannya. “Eh? Apaan?” sahut Leo bingung. “Balas anak Bima, Le. Mereka kan habis keroyok Fajar--anak kelas sebelas dari sekolah kita,” cerocos Nugraha menyahuti. “Gila! Yang sampai masuk rumah sakit, terus patah tulang, patah gigi itu kan? Emang bangs*t anak Bima!” kata Alex. “Dulu Cendrawasih yang terbangs*t menurut gue, sekarang anak Bima, apalagi Fahri, ketuanya mereka. Sok cakep, sama jempol kaki gue aja kalah ganteng padahal.” “Kita tawuran lagi?” tanya Leo. Gasta mengangguk. “Lo siapin anggota kita yang junior.” Leo mendelik. “Kenapa nggak sama yang senior aja, Gas?” “Junior aja cukup menurut gue.” “Yang lainnya bakalan ngamuk kalau nggak diajakin.” Gasta mendecak. “Kita udah mau lulus. Nggak mungkin kita juga yang turun ke lapangan terus buat tawuran sama anak sekolah lain. Sekali-kali percayain junior,” selorohnya. “Eh iya, kalau lo lengser, udah ada kandidat yang mau lo calonin buat jadi bos geng sekolah?” tanya Nugraha. “Belum.” “Si Darren aja. Gue denger-denger, dia cassanova-nya angkatan kelas 11, bad boy juga--anggota geng kita, atau nggak si Nakula. Tapi seingat gue, dia nggak masuk geng kita. Cuma kalau soal kemampuan, beuh! Jangan tanya lagi. Bang Rangga aja, pernah ditonjok sama dia dulu,” kata Nugraha. Gasta manggut-manggut. “Entarlah gue pikir-pikir lagi.” Alex mendengkus. “Kita tawurannya jangan dekat-dekat sama Dharma ya! Di lapangan mana kek gitu. Gue nggak mau ya kalau sampai ketauan Dira lagi. Kemarin lusa aja, waktu gebukin dua anak Bima, gue langsung dihajar habis-habisan sama cewek gue.” Dia ingat timpukan maut sepatu milik Dira yang melayang mulus di mukanya. Pacarnya itu benar-benar tidak tertolong kalau marah. “Dira lama-lama mirip sama Denta ya. Tenaganya kayak macan. Kalau Ipon beda cerita. Dia emang udah preman dari orok.” Alex mendelik. “Dira sama Denta mah nggak ada tomboynya, Monyet. Feminim gitu kok. Cuma kelakuan mereka itu loh! Astaga! Udah kayak macan lepas,” selorohnya, dibalas delikan tajam oleh Gasta. Nugraha tidak menyahut. Raut wajah pemuda itu berubah. Cowok itu jadi membelalak. Heboh menaboki Gasta yang sibuk berkutat pada ponselnya dan dengan bibir yang mengepulkan asap rokok yang dihisap. “Apaan sih?” umpat Gasta mendelik ke arah Nugraha. Nugraha dengan antusias menunjuk, membuat Gasta jadi langsung memandang area depan kantin. Matanya melebar, tubuhnya langsung membeku. Di sana ada Denta, berhadapan Aryan. “Waduh, hanasssss!” Alex yang ikut memandangi, tau-tau sudah memekik heboh, disambut oleh yang lain. Bahkan Leo yang tadinya diam, lengannya langsung digoyang-goyang Alex. Pemuda itu jadi langsung mengerti, melihat sosok gadis cantik berbincang seru dengan salah satu anak basket Sevit. Denta tertawa, membuat matanya jadi menyipit dan gigi putihnya terlihat jelas. “Masa sih mereka temen sekelas doang? Gue rasa ada something deh kayaknya. Denta kan galak banget kalau sama cowok, tapi jadi jinak gitu,” oceh Nugraha memancing. “Bacot!” sentak Gasta, lalu menoleh ke luar kantin, di sana Denta dan Aryan sudah nampak berpisah, padahal Gasta baru berniat untuk menghampiri pemuda itu. “Nah, kesempatan tuh. Denta udah sendirian. Cepetan samperin!” pekik Nugraha mulai heboh, membuat Gasta segera berdiri menghampiri Denta. “Nah, ini baru jagoan gue,” kata Nugraha bangga. “Ngapain di sini?” tanya Gasta, sambil menggaruk pangkal hidung. Denta masih terpaku di tempat. Lalu melirik Gasta yang kini sudah berdiri di sampingnya. “Gue nunggu Aryan.” “Aryan?” Spontan mata Gasta melebar, terlihat kesal. Denta mengangguk mengiakan. “Dia ke mana?” “Masih ada urusan sama Naufan.” “Kalian dekat?” Denta menoleh. “Bukan urusan lo juga, kan?” Gasta melengos kasar, jadi berkacak pinggang dengan kesal. “Kita masih pacaran!” Kening Denta berkerut. “Oh ya?” seru cewek itu tetap tenang. “Iya,” balas Gasta kesal. “Jadi, lo nggak bisa dekat sama dia!” “Ketimbang lo ribet, mending kita putus aja. Simple kan?” sahutnya. Gasta membulatkan mata. “Kok gitu?” “Gitu gimana?” tanya Denta datar. “Gue nggak mau! Nggak ada putus. Lo masih cewek gue!” katanya tak mau dibantah. Denta melengos, mencoba untuk tidak peduli dengan cowok ini, “Terserah. Lo kan dari dulu gini, suka maksain kehendak lo. Gue minta putus, juga percuma kan? Karena di sini, lo yang ambil alih semuanya.” Pemuda itu mendengkus kasar, tetap berusaha agar sabar. Padahal dia tau, bahwa siap meledak. “Gue bisa jelasin kok.” “Jelasin apa?” “Alasan kenapa gue nggak datang malam itu,” katanya jadi tenang. Denta melirik sekilas. “Nggak perlu. Gue udah nggak peduli sama sekali.” Gasta mengusap wajahnya frustasi sendiri. “Kenapa nggak pernah balas chat atau telpon dari gue? Chat gue sampai di elo, kan?” tanya Gasta. “Gue sibuk.” “Gue tau itu alasan buat ngehindarin gue doang. Iya, kan?” “Lo pikir waktu nggak bisa ngerubah manusia? Bukan cuma otak, Gas. Hati juga bisa,” sahut Denta datar, “Harusnya lo tau, hati manusia juga ada capeknya. Bahkan ada saat dimana gue nggak akan nyari-nyari lo lagi sekalipun gue masih sayang.” Mood Gasta semakin buruk sekarang. Memilih diam dan berkacak pinggang mengalihkan pandangannya. Karena dia tau, emosinya sudah memuncak sekarang. Denta secara tidak langsung mengisyaratkan, bahwa perasannya sudah tak lagi sama seperti itu. Dan ini, membuat dadanya menyesak. “Tapi gue nggak.” Akhirnya pemuda itu membuka suaranya lagi. Alis Denta jadi bertaut tak mengerti. “Gue masih sayang sama lo sampai detik ini.” Denta berhasil terkejut. Matanya jadi membulat. Namun, secepat mungkin, gadis itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi tenang kembali. “Tata!” Keduanya tersentak, kemudian jadi menolehkan kepala. Gasta langsung mengangkat alis tinggi melihat Aryan datang mendekat, sambil menyandang tas ranselnya di bahu kiri. Gasta memicingkan mata tidak suka, menatap pemuda yang kini sudah ada di dekat mereka. “Udah selesai?” tanya Denta langsung sesaat Aryan sudah mendekat. Aryan mengangguk. Denta sudah ingin melangkah pulang, namun sesaat ada yang menahannya. Gasta, lagi-lagi lelaki itu. “Pulang sama gue aja!” ucap Gasta. Denta melengos, merapatkan bibir. “Makasih. Udah dibilang, gue baliknya sama Aryan.” “Ayo, Nta. Balik!” ajak Aryan, sambil menarik tangan Denta, tapi langsung digeplak oleh Gasta. Gasta menunjuk Denta, yang mendelik padanya. “Dia punya gue.” Denta membelalak dengan bibir yang terbuka kaget. Bahkan beberapa murid yang tergabung ekskul basket dan cheerleaders yang lalu lalang, langsung mencicit heboh, karena memang dari tadi sudah menguping. Aryan mengangkat alis. “Masa sih? Kata Denta bukannya udah putus?” Denta mendelik. Kapan dia bilang ke Aryan kalau dirinya dan Gasta sudah putus? Meski begitu bibir Denta tetap mengatup. Meraih tangan Gasta yang menunjuknya, lalu menurunkannya dengan kesal. “Ck! Apa sih lo?” Gasta melengos kasar. “Lo bilang ke dia, kalau kita udah putus?” “Lah, bukannya emang udah? Emang apa buktinya kalau lo sama dia masih pacaran?” tanya Aryan mencari kebenaran. Wajahnya tetap santai serasa di pantai. Padahal dia sadar betul, wajah pemuda di depannya sudah keruh. Gasta menoleh, memasang ekspresi tenang kembali. Melangkah mendekat ke arah Denta, mencium pipi kirinya gemas. Saking gemasnya, Gasta jadi khilaf menggigit pipi gembul Denta seolah hendak memakannya. Membuat gadis itu terpekik, menabok kencang bahu pemuda itu. “Nih, tandanya,” balasnya. “Sinting ya lo!” bentak gadis itu tercekat. Melirik kanan dan kiri, pipinya semakin memerah saat beberapa murid perempuan jadi menatapnya iri. “Dia minta bukti,” balas Gasta tenang. “Nggak usah gini juga kali! Bikin malu tau nggak!” Dengan kesal, cewek itu menjambak rambut Gasta, sukses membuat pemuda itu memekik pelan. Denta menoleh pada Aryan. Mood-nya jadi rusak sekarang. “Ayo, Yan.Kita pulang aja. Ngurusin orang gila, entar ketularan gila juga.” Gasta mendelik. Sebenarnya sudah tak tahan ingin mencongkel bola mata Aryan agar lepas dari tempatnya. Hanya saja, dia tidak ingin gadis di depannya semakin marah karena dirinya yang emosian. “Oke. Cabut duluan ya, Gas!” pamit Aryan sambil tersenyum. Tidak peduli sikap tidak suka Gasta padanya. Tapi Gasta bisa mengartikan, senyumnya Aryan itu tengil, memancing emosi. Gasta tidak menjawab, tanpa melepaskan pandangan dari Aryan dan Denta berjalan beriringan. Kedua orang itu tampak akrab sesekali tertawa pelan bahkan tidak jarang, gadis itu menabok mesra. Sangat berbeda ketika bersamanya, tanpa senyum, terkesan cuek dan judes. Pemuda itu melengos kasar. Garis wajahnya berubah menyendu, setelah tadi sempat congkak saat bersitatap dengan Aryan. Dia seperti sadar akan sesuatu. Jadi, ini yang di rasakan Denta dulu, ketika dia lebih memilih Melody daripada gadis itu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD