08 | Persaingan Dua Bosgeng

2845 Words
ARYAN menopang dagu, melamun diam di pinggir lapangan outdoor pagi itu. Sementara anak basket lainnya, tertawa riang, bahkan Hauri memukul-mukul Zhiko saking ngakaknya, tapi Aryan tidak terusik sama sekali. Justru sibuk hanyut dengan dunianya sendiri. Aryan merutuk, merasa tertohok mengingat pertemuan Denta dengan Gasta kemarin sore. Pemuda itu memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia yakin, ada yang sesuatu yang terjadi di antara keduanya. Ya, dapat dilihatcanggungnya mereka kemarin sore. Gasta tidak seramai yang lain saat menyambut Denta. Dia terlihat kaku dan canggung, seperti orang yang bertemumantan mungkin? Ah! Bukannya Naufan pernah bilang, setengah tahun yang lalu, Gasta dan Denta bertengkar hebat? Artinya memang ada yang terjadi di antara mereka, sebelum dia mengenal Denta. “Weits! Ini anak sulung Mama kenapa ini, kok tumben anteng?” tanya Hauri. Semua orang jadi menoleh bingung. “Napa lo? Mabok kaporit?” ejek Zhiko langsung diumpati oleh Aryan. “Mikirin siapa, Nyet? Anak baru?” seru Naufan membuat beberapa yang tak mengerti, jadi mengeryit. Hauri mendelik. “Heh, gue nggak ngerti. Maksudnya apaan?” “Anak lo yang paling bongsor ini, Hau.Naksir anak baru,” kata Raghil tenang. “Denta? Lah, cewek lo bukannya anak Cendrawasih ya?” pekik Hauri kaget. “Udah putus kali,” sahut Aryan jadi mendengkus. “Dua minggu lalu.” “Kalau udah putus, apa yang lo galauin coba? Nomor HP Denta? Di grup kelas kan ada. Atau mau gue bantuin? Di kelas, Denta lumayan dekat sama gue,” tutur Hauri semangat “Dari modelnya Denta, kayaknya nggak cocok deh sama cacing kremi kayak lo, Yan,” ledek Zhiko, cowok berdarah Jepang dengan rambut lurus itu. Aryan merapatkan bibir, menatap sengit. “Muka lo tuh yang najis. Benerin tuh poni, nggak usah nyamber aja tuh bacot,” cibir Aryan. “Cih, bully poni gue lo? Keramat nih! Jimat gue biar tetep keliatan ganteng,” balas Zhiko sewot, membenarkan poni panjang sampai menutupi mata. Aryan melengos, bola matanya jatuh pada Naufan sekarang. “Kemarin sore, gue antar Denta-” “Aryan mainnya gini sekarang! Diem-diem!” “Belom kelar, woi!” pekik Aryan jengah. Wajahnya jadi menyendu sekarang. “Kemarin sore, gue antar Denta ke rumah sakit. Lihat nyokap temen dia dari sekolah lama.” “Terus?” tanya Naufan serius. Aryan mendecak pelan. “Pas masuk ke sana, ada teman-temannya dia yang lain. Lo tau, gue ketemu siapa di sana?” . “Emang siapa?” seru Hauri bertanya. “Gasta, Nyet, sepupunya Alka. Gue juga baru ngeh kalau Gasta tuh temennya Nugraha,anak komplek gue,” oceh Aryan kesal. “Maksudnya gimana sih? Emang apa masalahnya kalau Denta ketemu sama Gasta?” Zhiko angkat suara. “Tunggu! Gasta kapten basketnya anak Dharma Wijaya bukan? Gila! Gue juga fans banget sama dia dulu. Yang naik ke atas panggung kan ya, nyanyiin lagu Bentuk Cinta pas malam puncak RIPU Cup,” oceh Hauri semangat. “Tapi, seingat gue, dia udah punya pac-- lah! Pantas nggak asing! Malam itu gue tanya, dia udah punya cewek belum? Terus dia jawab udah sambil ngelirik bawah panggung. Gue ingat ceweknya itu Denta. Ah! Sweet banget pokoknya deh. Yang dinyanyiin Denta, tapi gue yang baper.” Aryan melengos kesal, harapannya untuk pacaran sama Denta pupus begitu saja. “Kejar aja terus, Yan.Sampai anaknya bosan sama lo,” celetukan Nezar yang sejak tadi diam, membuat Aryan jadi menoleh sepenuhnya. Nezar menunduk, bermain game di ponselnya. “Cewek cantik tuh maunya dikejar. Lagian, lo yakin mereka masih pacaran? Kali aja udah putus.” “Iya juga sih. Kan udah lama, setengah tahun lalu,” oceh Hauri kemudian tersenyum malu. “Ih, tapi Denta hebat ya, pernah pacaran sama cowok seganteng Gasta. Sumpah! Sebagai cewek, gue itu ngiri banget,” sambungnya. Raghil mendecak, menyentil kening cewek itu, membuat si empunya kesal setengah mati. “Mau dekatin aja, gue udah gemetar duluan. Susah banget. Mantan gue yang dulu-dulu, nggak sesusah ini, serius deh,” kata Aryan dengan emosi membara. “Aryan, jangan buat Mama ngumpat ya! Mantan lochili semua. makanya gampang,” cibir Hauri. Di tengah pembicaraan, tak lama Aryan mendelik, memerhatikan gadis yang berjalan sendirian di koridor bersama ponselnya. Gadis itu kini sudah menoleh ke arah lapangan outdoor dengan kening mengerut. “Oh! yang itu, Ar? Katanya yang lo taksir?” teriak Zhiko, membuat Aryan mengumpat kasar. “Denta kok mau sih diantarin Aryan kemarin?” “Kok beda lagi? Perasaan yang di-video call sama Aryan semalam, bukan yang itu deh!” teriak Azam nyaring, membuat Aryan melongo. “Denta, dapat salam dari temen gue namanya Aryan!” teriak Naufan, membuat Aryan di sampingnya jadi mengumpat. “Nta, kok sendirian? Mau Abang temenin nggak ke kelas?” oceh Zafar. Denta melengos, berjalan tak peduli sembari menyusuri koridor. Hanya melirik, tidak banyak bereaksi pada sekawanan buaya itu. Sampai sebuah suara, membuat langkah cewek itu langsung berhenti. Memutar tubuh sepenuhnya ke arah mereka. “Denta, lo mantannya Gasta? Kenalin ke gue dong!” teriak Hauri seolah jiwa kekepoannya meronta-ronta sekarang. Denta diam sesaat. “Jangan mau, Nta! Hauri udah ada pawangnya. Pawangnya juga galak!” kata Raghil jadi emosi sendiri. Tak menyahut, Denta memilih untuk melanjutkan langkah, menuju lantai tiga. Sampai getaran ponsel, membuat cewek itu langsung berhenti. Denta meronggoh ponselnya.. Raut wajahnya seketika berubah tegang saat tau siapa yang menghubunginya dari foto profil. Unknown number: Denta! “Ini Gasta?” gumamnya. *** “ARYAN kemana sih elah?” Denta memajukan bibir, menendang udara denganbosan. Dia sendirian, menunggu Aryan di depan minimarket. Hari ini dia terdampar di SMA Dharma Wijaya untuk mengikuti sparing. Sebenarnya agak malas, namun mengingat dia anggota cheerleaders mau tidak mau harus ikut. “Sorry, lama ya?” Aryan datang sambil meronggoh minuman dari kantong berlogo minimarket, memberikannya pada Denta. Denta nyengir kuda, menerimanya dengan senang. “Makasih. Ngerepotin banget ya gue?” Aryan mengangkat wajah. “Nggaklah, kan gue juga sekalian beli rokok.” “Dih, rokok mulu sih? Emang nggak takut kena razia?” tanya Denta. “Aman.” “Mati muda, tau rasa lo,” cibir cewek itu pelan. Pemuda itu memandanginya. “Emang lo nggak suka cowok merokok?” “Tergantung. Tapi gue mikirnya cowok perokok suka nyari penyakit. Nggak sayang diri sendiri.” Aryan mengerjap, diam sesaat. Kemudian membuang sebungkus rokoknya ke tempat sampah terdekat, membuat Denta terkejut. “Kenapa lo buang?” “Katanya, cowok perokok nyarinya penyakit. Gue pengen sehat,” ceplos cowok itu sambil nyengir. “Tapi sayang tau, duit semua itu. Mana lo belinya dua bungkus.” Denta tentu tau harga rokok yang beli oleh Aryan tadi lumayan mahal, dari logo kemasan saja sudah terlihat. “Lo kan nggak suka cowok rokok, Nta.” “Gue sukanya manusia, bukan cowokrokok.” Aryan mendecak gemas. “Maksud gue, lo kan nggak suka cowok perokok. Jadi gue nggak merokok.” Bibir Denta terbuka kecil, matanya mengerjap pelan, “Ck, aneh.” Denta terdiam, tertegun begitu saja. “Lo nggak usah lakukan itu kali.” “Kenapa?” “Gue biasa aja kok sama cowok perokok. Mantan gue, juga ada yang badboy kayak lo,” sahut Denta. “Mantan lo anak sini?” “Bukan. Tapi anak Cendrawasih,” seru Denta, mengingat Azka Ramadhan. Cowok itu juga badboy, perokok, dan tak jauh berbeda dari Aryan. Hening selama beberapa saat, sampai suara Aryan menerima panggilan telepon terdengar. Membuat Denta terlonjak kecil. “Ngapain tiga kardus! Dua aja, Monyet! Kembung entar kalau banyak minum air!” ”Nah iya! Dua kardus udah cukup itu, buat anak basket sama cheerleaders,” omel Aryan dengan ponsel di telinga. “Si Naufan aja tuh kelewat pintar! Masa nggak bisa ngitung total anak-anak? Terserahlah. Kalau airnya nggak habis, gue cekokin ke mulut lo pada.” Denta mendecak. Sedari tadi gatal ingin melumuri mulut Aryan dengan sambal, karena tak berhenti ngumpat di telepon dengan kencang. “Siapa, sih?” tanyaDenta. “Anak-anak nih nggak jelas banget beli minum banyak buat apaan? Kembung entar.” Aryan mematikanpanggilan. Sampai Denta terkejut, ketika ponsel Aryan kembali berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, cowok jangkung itu langsung menggeser tombol hijau dengan kesal. Mengangkat telepon itu dengan wajah bersungut. “Apa lagi sih!” “Aryan! Aku kangen!” Aryan nyaris mengumpat, melirik Denta yang kini menatapnya dengan alis bertaut.Sampai akhirnya cewek itu membuang muka, seolah paham. Pemuda itu langsung mematikan sepihak sambungan telepon. “Denta!” Gadis cantik berkaus hita dengan bawahan rok mini putih itu menoleh. “Kenapa?” “Tipe cowok lo, kayak gimana?” Denta menarik sudut bibirnya ke sisi kiri, berpikir. “Simple aja sih, yang nggak playboy alias tukang selingkuh,” sahut cewek itu, membuat Aryan jadi tersentak, mengerjap bingung.“Teleponan sama cewek lo udahan? Cepat amat?” Aryan meneguk ludah, diam beberapa saat. “Lo dengar?” “Udahlah, tenang aja. Cowok model kayak lo gini, udah katam gue,” celoteh Denta sambil tertawa geli. Aryan mendengkus. “Kalau gue tobat, lo mau nggak sama gue?” tanya Aryan, membuat Denta mendelik. Belum sempat menjawab, beberapa anak basket dan cheerleaders tiba-tiba merapat. Keadaan yang semula tenang jadi rusuh saat itu juga. Ada Nezar dan Zhiko yang datang dengan membawa sekardus air mineral. Tsabita beriringan dengan Naufan membahas sesuatu. Ada Raghil yang dijambak oleh Hauri, entah apa sebabnya. “Minum, Nta?” tawar Nezar sambil memberikan air mineral kemasan gelas pada gadis itu. “Thanks, Zar!” Gadis itu menerimanya. Nezar mengangguk pelan kembali mengobrol dengan Zhiko dan Naufan. Aryan kini sudah bergabung masuk obrolan terkait pertandingan nanti. Sesaat Denta mendelik, saat memperhatikan Raghil tengah memijit bahu Hauri. Raut wajah Raghil terlihat sangat kesal entah apa sebabnya. “Raghil lagi dihukum Hauri, soalnya itu cowok tebar pesona tadi, sama anak cheers Dharma,” kata Nafa. “Hauri ngambek. Dia mau maafin Raghil kalau mau mijitin,” sambung gadis mungil itu. Denta ber-oh, sambil mengangguk paham. Ketika gadis itu hendak bermain ponsel, seseorang memanggilnya. Denta tersentak, saat sosok Gasta berseragam basket menghampirinya. Gadis itu mematung sesaat. “Ngapain lo ke sini?” tanya Denta datar. “Nih, bakpao!” kata Gasta singkat. Denta mengerjap, suasana hening sejenak. Bukan hanya Denta yang terkejut, namun semua anggota ekskul basket dan cheerleaders Sevit. “Kenapa dikasih ke gue?” Meski tak urung, Denta tetap menerimanya sambil mengulum bibir. “Masih suka bakpao kan?” “Hm, lumayan,” ujar Denta singkat. Beberapa cewek dari sekolahnya memekik rusuh. Berbeda dengan Aryan dan Naufan yang hanya bisa melongo saat Gasta tiba-tiba menghampiri bangku SMA Sevit. “Nama lo siapa?” tanya Gasta pada gadis bermata bulat itu. Azam, pacar Nafa yang sedang berdiri di dekat Nafa, langsung memberikan tatapan tajam. “N-Nafa.Nama gue Nafa,” sahut Nafa gugup, nyaris saja berterikak kegirangan. “Boleh gue duduk sini?” tanya Gasta sambil menunjuk tempat di sebelah kiri Denta, yang diduduki oleh Nafa. “Eh, jangan! Ngapain sih lo ngusir temen gue?” protes Denta, berusaha menahan Nafa. Nafa mengerjap, buru-buru berdiri membiarkan tempat duduknya dipakai oleh Gasta. Semua melirik Gasta yang duduk manis sambil memeluk bola basket. Sementara Denta, cewek itu bahkan tidak bisa mengatur napasnya dengan baik. Mendadak wajahnya memanas sendiri. Dia tidak tau harus bereaksi apa. Selain menjadi pusat perhatian, Denta masih terkejut. “Dimakan,” kata Gasta. Denta berdehem sebagai jawaban tanpa menoleh, sambil melirik Aryan duduk di sebelah kanannya. Cowok itu terlihat kesal, tapi memilih tetap bungkam. “Denta mah diam-diam punya cowok ganteng ya!” seru temannyatak kalah heboh. “Aryan patah hati euy!” ledek Raghil, membuat Aryan refleks menendang b****g cowok itu. “Aw Denta, direbutin bos geng!” Nafa tersipu sendiri. Denta mulai melahap bakpao. Rasanya mendadak jadi tidak enak, padahal isian coklat di dalamnya masih sama, kesukaan Denta. “Lo ngapain duduk di sini?” tanya Denta mencoba mencairkan suasana. “Gue?” tanya Gasta bingung. Denta menaikkan sebelah alis. “Emang siapa lagi?“ Gasta mendelik. “Emang kenapa?” “Nggak kenapa, cuma nggak harusnya aja lo duduk di sini.” “Nggak ada yang salah.” “Terserah,” sahut Denta malas. “Sejak kapan bisa cheers?” tanya Gasta mengalihkan pembicaraan. “Udah lama,” balas Denta tenang. “Kan ada voli. Kenapa nggak voli aja?” “Emang kenapa kalau cheers? Nggak ada yang salah juga kan?” tanya Denta sinis lalu melengos dan beralih ke Aryan. “Lo mau bakpao nggak?” “Boleh-boleh, tapi suapin ya!” seru Aryan sambil nyengir kuda. Meski begitu Denta tetap langsung menyodorkan bakpao yang sempat digigitnya ke mulut Aryan yang telah terbuka, berhasil membuat banyak pasang mata menatap mereka dengan mulut menganga. Sama halnya dengan Gasta yang menggertak gigi dengan kesal. Gasta memicingkan mata sejenak kemudian melengos, berusaha tetap tenang. “Gue nggak ditawarin?” Denta menoleh kembali. “Lo mau juga? Tuh ambil, masih banyak,” sahut Denta singkat menunjuk kantong di dekatnya. Aryan sampai khilaf menyemburkan bakpao, lantaran mati-matian menahan tawa. “Suapin punya lo aja,” kata Gasta berusaha menahan kekesalannya. Denta langsung menyodorkan bakpao di tangannya pada pemuda itu. “Enak,” balas Gasta sambil tersenyum tipis.“Nanti lo mau pulang nggak sama gu--” “Gas!” Teriakan Nugraha berhasil membuat semua anak Sevit menoleh. Pemuda itu melangkah mendekati Gasta. “Ngapain nongkrong di sini? Ayo, Gas.Udah dipanggil Pak Ryan tuh, mau briefing dulu.” Ingin rasanya Gasta mengumpat, tetapi melihat sorot mata gadis itu pada akhirnya ia memutuskan untuk mengangguk saja. Sampai tatapan Nugraha beralih pada Denta. “Eh, Nta! Loh? Jadi anak cheerleaders sekarang?” “Iya nih. Keren nggak gue? Beralih profesi. Dari atlet voli jadi anak cheers sekarang.” “Awas jumpalitan entar,” ledek Nugraha membuat Denta mendengkus. Gasta berdiri, sebelum pergi cowok itu menyempatkan menatap Denta lalu berbicara, “Nanti share alamat rumah yang baru!” “Mau ngapain?” “Main.” “Nggak perlu. Gue sama Aryan mau ada kerja kelompok,” balas Denta. Gasta mendesah, lalu mengangguk pelan. “Untuk pertandingan nanti, gue nggak disemangatin?” “Hm, semangat,” katanya malas. Gasta tersenyum, lalu kemudian menyentil gemas kening Denta. Secepat mungkin ia melangkah pergi, diikuti oleh Nugraha yang kini sibuk melambaikan tangan ke arah Denta. Sementara gadis itu, baru bisa meraup oksigen dengan lega. Menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Ya, hingga setengah jam kemudian. Gasta membungkuk. Begitu juga dengan Aryan di sebelah yang memegang botol minum. Keduanya diam dengan pandangan sama-sama ke arah lapangan. Menyaksikan anak cheerleaders Dharma Wijaya tampil lebih dulu. Bukan tanpa sebab dua pemuda ini duduk bersama. Tadi, Pak Ryan dan Pak Satya selaku pembina basket, meminta keduanya untuk merapat. Seharusnya Naufan, tapi cowok itu sibuk mengurusi konsumsi. Jadinya, Aryan yang menggantikan untuk membahas liga persahabatan nanti. Meskipun, dua pemuda yang terus melempar tatapan dingin sejak tadi kini dengan ogah melakukannya. Suara riuh para cowok kelas dua belas terdengar ketika pasukan cheers SMA Sevit berlarian ke tengah lapangan. Mereka sudah gila, tak tau malu menyoraki para gadis dengan rok mini tersebut, menari dan mulai bersorak dengan cantik. Anak basket dari SMA Dharma Wijaya juga tidak kalah hebohnya, seperti Sevit. “Denta cemungut!” teriak Sam memegangi dadanya, disambut teriakan Zhiko. Denta mulai naik ke atas piramida yang disusun. Dia berdiri tegak di puncak lalu tersenyum dan mengedipkan sebelah mata cantik. Langsung disambut sorakan tidak karuan para cowok. Refleks saja Aryan dan Gasta menatap sinis. Mereka jadi kicep, saat ditatap dua bos geng sekolah itu. Gasta mendecak, mengangkat alis melihat gadis berponi rata itu mulai naik ke atas teman-temannya yang membungkuk. Pemuda itu mendelik, memandangi pakaian Denta yang begitu minim dan ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Ck, kenapa mesti cheers sih? Denta terlihat berhasil naik, berpose tegap mengangkat kedua lengan, kemudian melompat ke bawah dengan mulus. Aryan berdehemtetapi tidak membuat Gasta terusik. Cowok itu masih sibuk memandangi Denta yang kini salto di depan para teman-temannya. Gasta semakin tak suka, saat rok mini cewek itu tersingkap. Gasta hampir terloncat kecil, saat deheman di sebelahnya, memecah keheningan keduanya sejak tadi. “Lo Gasta kan, adik sepupunya Alka?” Aryan bersuara, memandangi cowok berwajah datar di sebelahnya. Mukanya datar begini, kenapa bisa naksir orang ya? Alis Gasta bertaut. “Iya.” “Gue Aryan, anak Sevit.” “Penting?” Aryan mengumpat pelan. “Lo suka ya, sama Denta?” Gasta terdiam. Wajah tenangnya jadi terlihat dingin sekarang. “Iya, kenapa?” Garis wajah Aryan berubah. Cowok itu mendecih, membuat Gasta membaca bahwa Aryan tak terima dan ingin menantang. “Nanya doang. Lo siapanya Denta?” “Cowoknya,” balas Gasta singkat. Aryan tersentak, mendelik kaget saat itu juga. Jantungnya seakan mencelos. Pemuda itu melengos keras. “Cowok? Pacaran maksudnya?” “Iya.” Lah, gue kira jomblo. Aryan mendelik samar. “Hm, kalau pacaran, kenapa Denta nggak pernah cerita ke gue?” tanyanya. Gasta menolehkan kepala, menaikkan sebelah alis. “Emang lo siapa?” tanya Gasta tetap tenang. Meski rasanya sudah ingin menonjok cowok yang duduk di sebelahnya ini. Aryan ternganga. “Temen sekelasnya doang, sih.” “Ya udah,” sinis Gasta. Pemuda itu yakin, Aryan ini naksir berat sama Denta, seperti Karrel dulu. Hanya saja, Gasta jadi lebih waspada, mengingat Denta dan Aryan teman sekelas. Kemungkinan besar, mereka berinteraksi itu setiap hari. Bukankah cinta muncul karena terbiasa? Sungguh, Gasta khawatir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD