07 | After Meet You

1432 Words
ROMBONGAN enam remaja yang diisi oleh empat pemuda tampan dan dua gadis cantik itu, melangkah di koridor rumah sakit Adjimoko. Keadaan jadi rusuh seketika saat ada yang bernyanyi riang, serta pamer dengan buah tangan yang dibawa, bahkan ada juga yang cuma merunduk dengan ponselnya. Beberapa pengunjung rumah sakit, sampai ngurut d**a melihatnya. “Sore, Tan--” Belum selesai Dira menyapa, tapi Leo terdorong Nugraha, menubruk badan Dira, membuat cewek itu nyusruk ke bawah, diikuti Leo. Tak sadar mereka jatuh, Nugraha dan Alex ikut menubruk sementara Dira paling nelangsa karena berada di posisi paling bawah, “Aduh sastroooo!” “Lo mau bikin nyokap gue jadi kena strokya?” omel Gista sambil berkacak pinggang. Gasta yang sedari tadi berada di sofa kini melengos kasar melihatnya. “Eh, denger-denger mau ada sparing basket ya?” pekik Dira membuka suara. Nugraha mengangguk. “Kata Pak Ryan tiga hari lagi.” “Eh, sama sekolah mana?” “Sevit.” “Serius? Di mana?” tanya si mungil Gista, ikut nimbrung. “Di sekolah kita, tetapi sorean. Kepsek nggak bolehin pas KBM. Takut ganggu pelajaran,” kata Alex. “Fix, gue bakal nonton,” seru Gista. “Ih, gue mau dong lihat keringatnya Naufan,” kata Dira sudah kecentilan dengan riang, membuat Alex jadi mendelik. “Naufan siapa?” tanya Ivon dengan kening mengerut. “Ish, masa lo nggak tau. Itu loh Von, kapten basket an—aw! Eh, ampun!” teriak Dira saat Alex sudah memelintir telinganya. “Lo tuh udah cewek gue, nggak usah centil,” ketus Alex, membuat semua yang ada di ruangan terbahak. “Ah!Gue nggak sabar buat lihat. Aryan nanti kalau lelah biar di pundak Gista,” kata cewek itu sambil menepuk-nepuk bahunya. “Cih, malah pegel kali. Karena pundak lo kejauhan,” celetuk Leo, membuat Gista mengumpat dan melotot sebal karena sadar Leo mengatai ukuran tubuhnya. Gasta melengos keras, mengabaikan keributan dan tetap fokus menatap layar ponselnya, ada satu kontak nama yang sejak tadi terus dihubunginya. Sesaat ia mengumpat, saat panggilan tidak terhubung, bahkan ratusan chat yang dia kirimkan tetap tak direspon. Hanya centang satu. Sebenarnya lo ada di mana, Nta? “Gas, lo ngapain elah? Mana ada ceritanya, orang koma bisa balas chat,” omel Alex menggebu-gebu. “Le! Temen lo kenapa, dah? Masa dari tadi telponin nomor Denta yang lama,” katanya berhasil membuat cowok berkulit cerah itu mengangkat alis. Leo mendesah. “Udahlah, Gas.Gue jadi takut kalau lo beneran gila gara-gara Denta,” oceh Leo membuat Gasta mengumpat. “Ikhlasin aja, Gas. Kalau emang Denta jodoh lo, dia bakal sembuh kok, terus balik lagi ke sini,” oceh Nugraha. Gasta mendesah. “Hm, mau nggak mau gue emang harus ikhlas kan?” “Nah, kalau lo udah ikhlas, nih gue punya seribu satu temen cantik yang bisa lo jadiin pacar,” ujar Leo sambil menepuk dadanya sombong. Gasta mendelik refleks mengumpat ke arah temannya itu. “Gue nggak ada niat mau move on.” Perkumpulan heboh itu sempat memelan saat pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok mungil Lavina, yang tersenyum canggung. “Halo!” katanya, sambil memeluk keranjang buah. “Ya!” balas mereka semuanya kompak. Sementara itu, Gasta hanya melengos, kembali fokus merunduk pada ponsel. “Hai, Gasta!” sapa Lavina ramah, saat selesai meletakkan keranjang buah dan menyapa mama Gista sebentar. “Lapina, Abang Nugraha nggak disapa nih?” tanya Nugraha langsung dijambak oleh Dira dengan bringas. “Namanya Lavina,” sinis Dira. Lavina meringis kecil, saat sadar Gasta hanya menaikkan alis lalu merunduk lagi tanpa peduli. Apalagi saat Ivon menatapnya tajam. Kalau Dira? Dia biasa saja. Selama Denta masih belum ada di sini, Lavina beranjak ke arah Gasta, duduk di sebelah cowok itu. “Beneran yang ini kamarnya?” Suara bass terdengar dari luar pintu.“Pastiin dululah, takutnya malah salah. Entar malu.” “Itu Arkan ya?” tanya Dira spontan. “Eh, Arkan mau ke sini, Gis?” tanya Leo pada Gista. “Nggak kok. Lagian Arkan juga tau kamar rawat nyokap gue,” sahut Gista bingung. “Pasti langsung masuk, kalau emang dia mau ke sini.” “Kayaknya iya deh. Tadi kata yang susternya, ada di kamar ini kok,” seru seorang cewek membuat semua yang ada di ruangan jadi tertegun. “Tuh-tuh baca sendiri, Anggrek nomor sebelas. Berarti emang bener kalau kamarnya di sini.“ Suara perempuan itu .... Ya, suara itu tidak asing bagi mereka semua. Sangat tidak asing. Sekalipun setengah tahun tidak mendengarnya lagi tapi mereka masih hafal betul, tidak mungkin salah mengenali. Diam-diam, mereka saling melempar tatap seolah memberi kode satu sama lain. Gasta yang tadi bersandar pada sofa ruangan jadi menegak. Nugraha dan juga Ivon yang entah sejak kapan terlibat aksi jambak, jadi berhenti lalu menoleh ke arah pintu.Alex yang sedang mengupas kulit pisang untuk dia makan pun, ikut membeku. “L-lo semua sepemikiran sama gue nggak sih?” tanya Dira ketar-ketir. Semuanya mengangguk meski tidak yakin. Gista mengerjap. “G-gue buka dulu pintunya, buat mastiin.” Pintu terbuka. Di waktu yang bersamaan, semua pasang mata dibuat melebar. Sosok gadis cantik berambut sebahu berdiri di depan pintu bersama pemuda tampan bergaris asia yang kental. Gasta bangkit dari sofa, bola matanya membulat sempurna. Tidak bersuara sama sekali. Sama kagetnya. “Denta?” tanya Leo spontan. Merasa diperhatikan, Denta mengulum bibir. Melihat Gista yang berdiri tepat di depannya, gadis itu terlihat seperti akan pingsan. Denta berdehem, mencoba untuk menguasai diri. Sebenarnya terkejut melihat semua orang ada di sini, termasuk Gasta. “Sorry, kalau baru sempat ke sini. Gue denger nyokap lo sakit,” kata Denta mencoba untuk tidak menggerakkan kepalanya pada Gasta dan gadis imut di sebelahnya. “L-lo udah balik, Nta?” tanya Gista. “Denta!” pekik Dira riang, berlari menghampiri gadis itu dan langsung memeluknya. Denta hampir terjengkang ke belakang, apalagi saat Gista ikutan dan Ivon yang biasanya cuek, kini berlari untuk memeluk. Aryan yang berdiri di belakang Denta, ikutan mendelik, sampai meraih keranjang buah di tangan Denta yang hampir jatuh. “Lo ke mana aja sih?” “Ini seriusan?” “Ya ampun, sobat gue akhirnya kambek!” “Come back, Dodol!” “Gue seneng banget dong!” “Denta, cerita dong gimana ceritanya udah di Jakarta?” “Lo apa kabar?” “Sumpah, gue nggak nyangka lo bisa bangun dari koma!” Aryan jadi mendelik, mendengar kata koma yang dibilang teman-teman Denta barusan. “Eh, ini Aryan kan?” “Loh Nu, lo di sini juga?” tanya Aryan ketika sadar ada sosok Nugraha. “Lah, Yan? Lo kok bisa sama Denta?” Aryan melirik Denta. “Dia temen sekelas gue. Baru pindah semingguan yang lalu. Temen satu sekolah lo dulu kan?” tanya Aryan membuat semua orang lempar pandang. “Hah, Denta pindah ke Sevit?” “Denta! cerita sama Mama!” “Lo kenapa pindah sih?” “Lo jahat tau nggak!” “Apaan sih! Kok begini?” “Denta, lo hindarin Gasta?” Denta masih di ambang pintu. Gasta diam, tak tau harus melakukan apa. Gadis yang tidak dilihatnya selama tujuh bulan penuh, kini masuk dengan senyum cerianya. Gadis itu terlihat lebih kurus, tapi keriangan di wajahnya tetap sama. Mama Gista kini memeluknya, mengutarakan betapa beliau rindu dengan mulut ceriwisnya yang suka bicara. Belum lima menit gadis itu di sini, suasana ruangan meng hangat. Yang semula begitu kaku karena datangnya Lavina kini sebaliknya. Mata Gasta masih tertuju. Tidak seperti mereka yang dengan ramah saling sapa. Entah, ia pun bingung harus bilang apa, padahal ada banyak sekali pertanyaan dan kalimat rindu yang ingin dia sampaikan. Sementara di sisinya, Lavina diam dengan wajah pucat pasi. Gadis itu jadi menciut malu, saat sadar bahwaDenta benar-benar sangat cantik. Mata Denta entah disengaja atau tidak belum juga menatap ke arah Gasta. Padahal posisi keduanya berdekatan. Beberapa menit kemudian, barulah bola mata gadis itu mengarah. Itu pun saat dia hendak mendekati Papa Gista yang mengendong bayi laki-laki berusia setahun. Denta tersenyum tipis, mengangkat tangan sekali. “Eh,hai Gas!” Belum sempat Gasta membalas, gadis itu berlalu menghampiri baby Jimmy. “Denta,” panggil Gasta pelan. Denta yang kini menciumi pipi gembul Jimmy, jadi mendongak karena pemuda itu berdiri. Lavina di sebelah Gasta jadi merapatkan bibir dengan wajah memias. Aryan yang tengah diajak berbicara oleh Leo dan Nugraha, ikutan jadi menoleh ke arah Gasta dengan kening mengerut. “Ya, kenapa, Gas?” Gasta merapatkan bibir, mencoba untuk tenang. “Itu--” Belum sempat Gasta menyelesaikan kalimatnya, getaran ponsel di tangan Denta membuat cewek itu tersentak, buru-buru meronggoh ponselnya, dan berdiri menerima panggilan telepon. Usai, Gasta mengembus napas berat. Gadis itu mendapat panggilan telepon dari seseorang dan berbalik arah padanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD