LIBUR setelah penerimaan rapor semester dua telah usai. Aryan, cowok berkulit putih dengan rambut pendek hitam dengan model quiff masih berdiri menghadap gedung sekolah. Aryan Balqi Mahaprana—pemuda tinggi berwajah tampan, melangkah ringan memasuki SMA Sevit. Sekolah dengan gedung tiga lantai dan dominan warna hijau itu sudah ramai di hari pertama masuk.
“Pagi, Kak Aryan!” sapa dua siswi yang Aryan duga adalah juniornya di ekskul basket. Keduanya nampak tersenyum ceria.
“Pagi!” balas Aryan sambil mengukir senyum semanis mungkin.
“Kak, kemarin aku mimpi loh, kalau kita pacaran,” ujar salah satu siswi itu semangat.
Aryan terkekeh. “Makanya sebelum tidur baca doa dulu ya, Dek.”
“Eh, suami gue lewat!”
“Subhanallah, keren banget sih?”
“Dia senyum ke gue, astoge!”
“Aryan, chat gue yang semalam kok nggak dibalas sih?”
“Tuhan lagi bahagia kali ya waktu nyiptain Aryan?”
“Jambulnya diwarna coy! Meleleh gue lihatnya.”
“Hatiku lemah. Ambyar nih lihat Aryan.”
Aryan, atau nggak dipanggil Arbi--diambil dari kata depan Aryan Balqi. Wajah bagai malaikat berhati titisan iblis. Si atlet basket kebanggaan sekolah.
Tingkahnya menajiskan. Meski begitu dia tetap digila. Dia ada geng motor bernama Lucker. Di Lucker juga ada Hauri,satu-satunya cewek di geng mereka. Terkenal galak dan judes.
Ia mulai mengacak rambut lalu merapikannya. Berdehem sebentar agar terlihat keren, lalu melangkah tenang mendekati mading.
“Misi.” Cowok itu mulai agak menyeruak. Beberapa siswi yang sadar menyempatkan untuk melirik, terpana begitu saja. Tak jarang ada yang memekik saking kagumnya.
“Aryan my bro! Makin ganteng aja nih habis liburan,” teriak si mungil Miya, berisik.
“Yaelah, si pentol,” cibir Aryan sebal mulai menyusuri koridor lantai tiga, diikuti oleh Miya dan juga Rafka--sahabat baiknya. Hingga lift terbuka, ketiganya bergegas masuk. Mereka sedikit mundur, saat Tsabita datang bersama rombongan anak cheers yang terdiri dari tiga orang. Bak gayung bersambut, kedatangan mereka diramaikan pekikan tertahan para siswa yang memadati lift.
“Hai, Ar!” kata gadis itu senang, diangguki pelan oleh Aryan. Sementara Rafka malah sibuk menyikut tubuh Aryan dari samping seolah memberi kode.
“Disapa mantan,” ledek pemuda itu, membuat Aryan mendengkus.
“Berteman dengan mantan itu lebih baik,” balas Aryan.
“Balikan aja sono!” seru Rafka.
“Lo aja sono yang pacarin dia. Gue udah males,” sahut pemuda itu ketus.
Tepat ketika lift berhenti dan terbuka di lantai tiga, dengan sewot Aryan menyerobot keluar diikuti yang lain. Tsabita dan teman-temannya saja sampai mengumpat saat kena sikut bos geng sekolah itu. Belum sampai lima langkah, cowok itu tersentak saat seseorang menyapanya.
“Good morning Aryanku!” sapa Oky riang, dari balik punggung ketiganya.
“Apa?” sahut Aryan jutek, membuat Miya dan Rafka kompak menahan tawa.
“Cih, jutek amat. PMS lo?”
“Lo mau manggung di mana, pakai kacamata item segede itu?” Rafka geleng-geleng mengomentari Oky yang memang mengenakan kacamata hitam.
“Temen lo tuh, Mi.Nggak pernah jelas hidupnya,” sindir Aryan.
“Ganteng nggak gue? Biar Miyaku terpesona, makanya pakai ini,” canda Oky, merangkul pundak Miya.
“Apa sih, Ky.Bacot banget, sana pergi!” umpat Miya. Cewek itu merenggut, berniat untuk pergi. Tapi langkahnya kembali terhenti, saat Naufan—si kapten basket meja datang bersama Raghil.
“Yan, gue nggak nyangka lo bakalan menang,” oceh Naufan menggebu-gebu.
“Padahal di detik awal lo tuh kalah sama Pati, anak Ghaveria. Gue yang nonton turnamen lo aja deg-degan,” sambungnya, mengingat turnamen pencak silat yang Aryan lakukan.
“Gue juga nonton. Dapat tempat VIP malah,” sahut Raghil semangat.
“Cih, gue tau kenapa lo pada ngasih selamat gue. Biar gue kasih traktir kan sebagai pajak juara?” tebak Aryan.
“Hahaha, Aryan mah peka ya, Ghil.”
Aryan tersenyum jumawa, setelahnya wajah pemuda itu berubah langsung galak lagi. “Nggak usah ngarep!” sinis pemuda itu, membuat kedua temannya melengos sebal.
“Domba-domba yang lain mana? Kok tumben nggak bareng sama lo pada?” tanya Aryan dengan kening berkerut cukup dalam.
“Nezar di lapangan, Galang belum datang. Kita bertiga disuruh ke kelas duluan,” Raghil membalas.
“Kenapa sih di sekolah kita nggak ada rolling kelas? Apalagi lihat lo pada terus, enek gue,” Miya memekik tertahan.
“Lo aja sono yang pindah kelas. Kalau gue mah betah. Apalagi ada Aryan.”
“Lo homo, Ghil?” celetuk Oky sewot.
“Najis. Gue masih doyan cewek,” kata Aryan langsung ngegas.
“Maksud gue kagak gitu,” Raghil langsung melotot sewot.
“Ah, masa iya tiga tahun gue harus masuk kelas yang isinya berandal Lokajaya semua, sih?” keluh Miya membuat Oky terkekeh.
“Si*l!” umpat Aryan pelan, bukan menyahuti tapi karena matanya dan mata Tsabita bersitatap. Cewek itu bahkan tersenyum ke arahnya.
Apaan sih, sok manis banget najis. Lo itu udah selingkuhin gue. Pas udah putus, tebar pesona lagi.
“Nezar chat gue nih. Dia udah jalan ke sini katanya,” Oky memberi tahu.
“Ah, seneng banget gue, setidaknya masih ada Nezar yang ganteng dan gemoy sekale,” kata Miya centil.
“Dih.” Oky mendelik.
“Setidaknya di antara kalian masih ada yang waras yaitu Nezar. Kalem, cool,idaman banget deh pokoknya. Nggak kayak Oky apalagi Aryan, bos geng tapi tampang preman tanah abang,” sinis Miya.
Aryan menabok lengan cewek mungil itu dengan kesal. “Gue lebih ganteng ketimbang Nezar,” katanya sombong.
“Ganteng kalau masih diselingkuhin buat apa bos?” ledek Naufan.
Fyi, mereka semua alumni kelas 11 IPS 3 yang diketuai oleh Aina waktu itu. Kelas yang dulu dijuluki markasnya badboy jalanan. Apalagi, rata-rata petingginya berandal sekolah berasal dari kelas itu. Dan sekarang, Miya yakin kalau kelas 12 IPS 3 akan menjadi markasnya berandal.
Mulai dari Aryan Balqi Mahaprana, bos geng yang nakalnya nggak ketulungan. Naufan, si kapten basket yang punya wajah imut gemesin tapi suka nyebat juga. Raghil, playboy cap bulu babi, tapi tampang jual mahal padahal aslinya murah. Oky dan Galang,sepasang sumpit bambu yang tak terpisahkan dari sejak kelas sepuluh.
Kemudian Rafka si kapten futsal yang hobinya ikut tawuran bareng Aryan. Juga ada Alka si manusia tong karena punya badan tinggi gede, tapi muka ganteng karena keturunan China. Sampai Nezar siswa yang dijuluki cowok ter-cool seangkatan, ada di geng mereka. Dia yang nggak neko-neko sendiri kayak temannya yang lain.
Biasanya, mereka berdelapan yang jadi pimpinannya kalau tawuran sama sekolah depan. Dulu para guru saja sampai bingung, bagaimana cara Aina yang kalem itu mengatur domba-domba nakal ini saat menjabat sebagai ketua kelas. Untung saja, Aina itu strong. Mungkin kalau Miya jadi Aina, sudah strok akut kali.
Aryan melengos, beranjak lebih dulu memimpin langkah di koridor.
***