03 | Bertemu Kembali Denganmu

1963 Words
MATAHARI bersinar terang di weekend kali ini, padahal jam sudah menunjukkan angka setengah tiga sore. Memang, di jam segini daerah kota metropolitan terasa seakan jam dua belas siang. Terlihat di salah satu kafe hits daerah Jakarta Selatan, Gotta Go Kafe namanya, empat remaja yang berisikan dua pemuda tampan dan dua gadis cantik itu duduk, melingkar di salah satu meja. “Alex sama Dira masih otw katanya. Gasta udah di parkiran, baru mau masuk,” tutur gadis mungil berwajah babyface memberitahu. “Janjiannya jam berapa, datangnya jam berapa. Gini nih, jam orang Indonesia,” cebik Ivon sebal. Gadis dengan rambut churly short, menoleh pada gadis macho di sampingnya. Begitu pula dengan dua pemuda yang sejak tadi asik bermain game, turut mengalihkan pandangan. “Hah, emang kenapa sama jam orang Indonesia?” tanya pemuda bergigi kelinci. “Jamnya jam karet, molor,” tandas Ivon memperjelas, sewot. “Yaelah Pon-Pon, gue kira apaan.” “Sorry, baru datang. Dapat telpon tadi dari nyokap,” ujar Gasta mendaratkan tubuh di sebelah Leo yang tengah mencomot kentang goreng dan sosis. Pemuda berahang tegas dengan switer abu yang melekat pada tubuh atletisnya itu mulai menjauhkan ponsel di telinga. Dia sempat mengecek jam hitam pada pergelangan tangan kiri lalu mendengkus, dia tidak bisa lama-lama, karena jam setengah empat nanti harus menjemput mamanya di butik. “Gue kira nggak datang, Gas.Gara-gara masih mikirin yang di Belanda,” ejek Nugraha langsung ditabok oleh Leo dengan bringas. “Apaan sih lo?” pekiknya jadi sewot. “Gue capek-capek Parjo kasih siraman rohani buat Gasta supaya nggak terpuruk sama kejadian yang itu, eh lo malah ngingatin terus. Kan pe'a namanya,” umpat Leo dongkol. “Bukan pe'a lagi, tapi g****k, Le.” Dan kini Gista ikutan menjambak rambut Nugraha tak kalah ganas. “Emang ya, muka-muka Nugraha tuh tabok-able banget,” cibir Ivon, sesaat melihat Nugraha berteriak kesakitan karena jambakan Gista, sampai membuat beberapa pengunjung melihat ke arah mereka. Gasta terkekeh. Memang setelah siraman rohani yang diberikan Leo dan Alex kemarin, akhirnya Gasta tak terpuruk lagi. Lebih tepatnya, masih berusaha untuk tidak terpuruk akan sosok Denta masih terus membayanginya. “Dira sama Alex mana?” tanya Gasta mulai bertanya. “Masih otw sih katanya. Tapi dari tadi nggak nyampe-nyampe,” balas Gista sambil melepas jambakannya pada rambut Nugraha. “Baru kelar kali pemotretannya,” seru Leo, menyesap segelas es jeruknya. Memang, sekitar tiga bulan yang lalu, Dira mendapat tawaran dari tantenya untuk menjadi model, di agensi yang dikelola adik dari mamanya itu. Jika ingat, Dira memiliki porsi tubuh yang langsing dan tinggi semampai. Tidak heran, mengapa tantenya menyuruh Dira bergabung di agensi. “Yeu uler, dia yang heboh ngajak kita kumpul bareng, tapi dia juga yang ngaret,” balas Ivon pedas, tak suka menunggu. “Sabar Mbak, sabar!” kata Nugraha sambil tersenyum manis. Suasana Gotta Go Kafe cukup ramai dan memang selalu ramai, apalagi saat weekend. Suara mesin kopi menjadi pendengaran ketika kaki menapak dan aroma kopi menguar ke seisi ruangan. Gasta mendesah, mengamati sekeliling. Di depannya sekarang, teman-temannya mulai mengoceh dengan terbahak. Kaki Nugraha dan Leo naik ke kursi, persis seperti di warung kopi. “Eh, tau nggak? Anak IPS 1, yang sekelasnya Arkan, katanya ada yang di drop out kan ya?” Nugraha heboh sendiri menggosip. “Lah, siapa?” Ivon menyahut tak tau menahu malahan. “Eh, gue juga tau, Nu,” pekik si mungil tak kalah heboh, “Astoge, masa lo nggak tau sih Von? Itu loh yang namanya Cia, anak cheerleaders,” seru Gista memberi tahu. Nugraha mendecak. “Yang pas kelas sepuluh pernah adu jambak sama Denta di lapangan, Pon. Masa lo nggak tau sih?” tanyanya mengomel. “Emang kenapa?” tanya Gasta angkat suara, sambil mencomot sosis bakar milik Leo. “Biasa, Gas, kenakalan remaja. Eh, itu videonya Cia sama anak Cendrawasih udah kesebar di grup loh,” seru Nugraha memberi tahu. “Itu video bikinnya di gudang dekat sekolah kan ya?” Gista menyahuti tak kalah semangat. “Iya. Emang nggak ada adab ya mereka,” omel Nugraha menggebu-gebu. “Mana sih videonya? Lihat kek, pelit amat lo,” desak Leo jadi kepo. “Download sendiri aja sono. Udah gue hapus soalnya,” sahut Nugraha tak ambil pusing. Leo mendecak sebal.“Gue udah lama nggak nonton. Terakhir kali pas gue download, yang muncul malah video siksa kubur, si*l,” sungut pemuda berkulit putih itu. Tawa Gasta dan yang lain menyembur ke permukaan seketika. Merasa yang diucapkan berhasil menggelitik perut mereka. Belum sempat melanjutkan obrolan, lonceng tanda kehadiran pelanggan membuat mereka mengalihkan pandangan. Tidak hanya itu bahkan dari meja yang lain juga. Entah penasaran atau tidak, itu sudah menjadi gerak refleks semua manusia. Apalagi, saat yang masuk seorang gadis cantik berkulit putih, dengan tinggi tubuh semampai. Rambutnya yang berwarna coklat sebahu dibiarkan tergerai indah begitu saja. Tidak ada yang dapat melihat jelas bagaimana wajahnya, karena gadis itu sengaja menutupnya dengan masker dan juga kacamata hitam. Sampai di salah satu meja yang cukup jauh, gadis itu duduk. Lalu melepas kacamata dan masker. Semua orang jadi terpana seketika itu juga. “Astaga, jangan tergoda!” ucap Alex, tak sadar kalau Dira melotot ke arahnya sekarang. “Wah, cantik sekale. Auranya kuat banget,” gumam Nugraha terpana. “Cara jalannya aja udah kayak artis hollywood yang turun dari limosin terus mijak red carpet, Nu,” seru Leo ikut menyahuti dengan terpesona. “Gue yakin sih, kalau itu cewek artis kalau nggak ya model,” kata Nugraha, sok tau. “Kulitnya bening banget si*lan, kayak porselen berjalan.” Leo masih berseru belum mau diam juga. “Dari belakang aja cantik, apalagi dari depan, Nyet,” pekik Nugraha heboh. Gasta menatap heran. Padahal gadis yang dimaksud duduk membelakangi mereka, lantas bagaimana bisa langsung menyimpulkan kecantikannya? “Gue doang yang setia,” gumamnya sedikit sombong. “Cuih!” Gasta terlompat saat ketiga cowok itu kompak mendecih padanya. Bahkan, Alex menjulurkan lidahnya enek. Tak ketinggalan, Leo langsung menabok bahu cowok itu. “Setia, tapi ditinggalin ke Belanda.Buat apa, Gas?” ejek Alex sambil tertawa. Untung saja mood Gasta tak buruk seperti biasanya. Bisa habis Alex kena bogem cowok itu. “Sana, pergi lo!” umpat Gasta. “Udah mau setengah tahun, Gas, gue cariin lo cewek lain mau nggak?” tawar Leo mulai menunjukkan daftar cewek di ponsel. “Oh iya, ada kan cewek baru di kelas Dira, namanya Lavina. Dia demen kayaknya sama lo. Pacarin aja sono, nimbang jomlo,” tukas Alex langsung ikutan. “Gue nggak jomlo!” tukas Gasta. “Nggak jomlo, tapi nggak ada yang digandeng,” ledek Nugraha langsung dijitak oleh Gasta. “Yang penting, belum putus,” sinis Gasta dengan wajahnya yang kesal. “Eh, gue ingat. Lavina pernah lho minta nomornya Gasta. Tapi, nggak gue kasih. Apa gue kasih aja ya? Biar Gasta punya pacar,” seru Gista dengan wajah polos. Dira mendecak. “Lo pada apaan sih, malah ngajarin Gasta nggak setia.” “Mereka belum putus kali. Kalau pas Gasta udah punya cewek terus Denta balik, mau tanggung jawab lo?” Ivon ikut-ikutan membela Dira. “Daripada temen gue galau mulu,” balas Leo tak mau kalah. “Emang, lo nggak kasian?” “Mau ya, Gas? Ada loh ini, anak Sevit cantik. Namanya Tsabita. Katanya sih ketua cheers di sana.” Nugraha jadi ikutan promosi juga. “Bening banget anaknya, beuh. Sama Denta nggak kalah jauh kalau ini,” sambungnya. “Lo kok kenal Tsabita, Nyet?” Alex berseru, mengingat Tsabita adalah temannya satu SMP-nya dulu. “Temen nongkrong aja, sih. Gara-gara dulu, Aryan lumayan sering ngajak Tsabita nongkrong, pas bareng gue sama anak-anak komplek,” Nugraha berseru, menyebutkan teman satu komplek perumahannya. “Tapi tenang, Gas, Aryan sama Tsabita udah putus,” kata Nugraha lagi. “Aryan siapa? Kayak nggak asing aja gue sama namanya,” tanya Leo, kepo. “Aryan anak SMA Sevit, seangkatan juga sama kita,” balasnya. “Oh ya, anak basket juga.” “Widih!” balas mereka kompak. Leo masih mengerutkan kening, namun tak lama bola matanya membesar seolah dapat pencerahan. “Pantes kayak ingat! Dia juga sering ikutan main basket bareng gue pas di taman,” seru Leo memberi tahu. “Dia temennya Alka.Sepupu lo, Gas.” Alis Gasta terangkat saat Leo mulai menyebutkan kata Alka. Sampai kemudian mencoba ikut berpikir, lalu mengangguk pelan. “Iya, pernah ketemu pas Alka mau minjem mobil ke rumah,” sahutnya tenang, kemudian bangkit, membuat teman-temannya jadi melongo. “Mau ke mana lo? Baru juga nyampe, masa mau pulang?” gerutu Alex kesal. “Ke toilet bentar,” balas cowok itu singkat. “Gas, ini Tsabita gimana?” pekik Nugraha, saat Gasta mulai berjalan agak menjauh. “Pacarin aja sendiri!” balas Gasta tak acuh. *** GASTA berdecak kesal. Ketiga manusia b****k itu selalu saja membuat kupingnya panas. Suka sekali promosi berbagai macam perempuan dengan varian model. Mulai dari queen SMA Cendrawasih, selebgram, youtubers, semuanya ada. Bahkan beberapa hari lalu Leo juga sempat promosi anak SMK Bima, mulai dari Nadia, Rara, Ria entah besok siapa lagi, Gasta tidak tau. Daripada Gasta mendengar ocehan tidak penting dari mulut neraka mereka, lebih baik pergi ke toilet, untuk mencuci muka. Tidak lama, belum sampai lima langkah keluar dari toilet, langkahnya terhenti. Seorang gadis berdiri di koridor dekat toilet, sambil bertelepon dengan posisi membelakangi. Ini cewek yang diomongin Nugraha kan? Bukan karena Gasta peduli, atau ikut terpesona seperti teman-temannya tadi. Hanya saja, dia tersentak, saat samar-samar mendengar suara familiar di telinganya. “Iya, Ma. Denta cuma lagi ke Gotta Go Kafe aja kok. Bosenlah, Ma, masa di rumah terus,” ujar gadis berbaju navydengan bawahan jeans putih itu. Gasta membeku, diiringi dengan degup jantung yang berpacu. Waktu seakan berhenti di detik itu juga. “Iya, habis ini pulang kok. Udah ya, aku tutup teleponnya,” kata si gadis sambil menutup panggilannya, setelah itu kembali berjalan hendak kembali ke meja. “Denta!” panggil Gasta spontan, meski dia ragu dan takut jika mereka bukan orang yang sama. Gadis itu berhenti tapi tak langsung menoleh. Membuat Gasta menghampiri. Sampai tangannya tergerak menyentuh pundak gadis itu, barulahdia menoleh.Ya, mata itu. Wajah mereka benar-benar sama, hanya rambutnya saja yang di potong lebih pendek dari sebelumnya. “De—Denta?” “Hai!” sapa Denta canggung, “Sorry, gue permisi!” Denta berlalu pergi begitu saja. Dan bodohnya Gasta, hanya berdiam diri, kebingungan. Sampai detik kelima, pemuda itu mengerjap, Denta sudah berjalan agak jauh darinya. Gasta berniat mengejar lagi. “Gasta!” panggil Nugraha, membuat langkah pemuda itu menoleh ke sumber suara. “Ayo ke rumah sakit!” ajak cowok itu dengan raut wajah panik. “Hah?” “Nyokapnya Gista baru aja masuk rumah sakit, gara-gara habis kecelakaan. Barusan Gista di telpon sama papanya disuruh ke sana,” ujar Nugraha langsung heboh. Tidak sadar saja jika cowok di depannya masih terlihat linglung. “Anaknya udah nangis woi. Ayo elah, lama lo!” Nugraha dengan wajah bersungut, menarik tangan Gasta agar cowok itu mengikutinya. Sementara Gasta pasrah begitu saja, hanya bisa menolehke arah Denta yang melangkah pergi. Sesaat ia tidak menemukan gadis itu lagi.“Nu, tadi gue lihat Denta ada di kafe ini,” seru Gasta dengan lengan yang ditarik Nugraha. Nugraha mendelik. ”Yaelah, Gas, saking kangennya sampai segitunya ya lo? Berkhayal di siang bolong begini.” “Sumpah, gue nggak bohong.” Nugraha melengos. Mau percaya, takut temannya ini sudah gila, sampai semua cewek dibilang Denta. Mau tidak percaya ya bagaimana, Gasta juga bilang mereka sempat jabatan tangan. “Gini aja. Kita buktiin besok di sekolah. Kalau emang Denta udah balik, pasti dia ada di sekolah. Lagian libur semester kan terakhir hari ini. Berdoa aja, semoga yang lo lihat tadi benaran Denta,” ujarnya, kembali menarik tangan Gasta sesaat cowok itu baru akan membalas ucapannya lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD