Dea
“ Dea! Aku cariin kamu kemana-mana taunya ada disini.” Mataku mengerjap begitu tiga orang setengah berlari menghampiriku.
“ Kita udah cari kamu dari tadi. Hape kamu mana, kok wa dari kita-kita nggak ada yang kamu bales?”
“ Hah? Hape? Oh iya. Lupa. Ketinggalan di rumah. Tadi aku buru-buru.” Aku nyengir kemudian mereka bertiga memutar bola malas.
“ Namanya juga buru-buru.” Lanjutku.
“ Pantesan, aku telfon juga nggak angkat. Makanya kita jadi makin heboh cari kamu.”
“ Emang kenapa kok kalian kompakan cari aku?” mereka bertiga ini adalah Juni, Fia sama Rinda.
“ Heee...” Juni mengeluarkan cengiran andalannya. Aku sudah tau, apa yang mereka mau dariku.
“ Nggak.” Aku mengeleng cepat.
“ Dea! Plis lah. Tadi malem kita bertiga baru pulang jam satu. Sampai kosan langsung tidur. Nggak sempet ngerjain tuh tugas.”
“ Itu tugas dari minggu lalu.”
“ De, please lah. Kita tau kok, kita emang nggak tau diri. Tapi tolong banget. Kita bertiga nggak siap kalau dikasih tugas dua kali lipat dari Bu Eri. Seriusan De, bantu kitaaa...”
“ Kita?” Tanyaku membeo.
“ Kami. Maksudnya kami. Ya De, ya? Please!”
“ Dua porsi kebab turki, satu loyang pizza, sama satu burger jumbo. Pizzanya yang ukuran sedang aja nggak papa. Tapi kalau mau dibeliin yang jumbo, aku juga ngak nolak.”
Juni, Fia dan Rinda langsung diam dan saling menatap satu sama lain.
“ De, serius?” Juni metapaku tak percaya.
“ Kan kalian bertiga. Iuran.”
“ Bukan masalah uangnya, dodol. Itu mah kecil.” Tukas Fia si anak pengusaha sawit dari sumatra.
“ Ya terus?”
“ Kamu minta sebanyak itu mau kamu makan sendiri?”
“ Yap!” Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari laptop di depanku.
“ Seriusan?”
“ Aku belum makan apapun dari tadi. Eh baru ini ding. Itu doang.” Aku menunjuk satu bungkus coklat ‘beng-beng’ yang masih tergeletak tidak jauh dari tas ranselku.
Lagi-lagi mereka hanya saling pandang satu sama lain.
“ Sanggup nggak?”
“ Tapi permintaan kamu tadi nggak manusiawi buat kamu makan sendiri. Badan aja kamu boleh mungil, makan udah macam kuli yang nggak makan tiga hari.”
“ Kalau kalian nggak mau ya nggak papa sih, ntar aku bisa beli roti di kantin, terus habis itu masuk kuliahnya Bu Mada. Ikut sit in.”
“ Eee iya iya. Jelas mau dong kita. Iya nggak Jun, Fi?” Rinda duduk di sampingku kemudian mengambil tas ranselku.
“ Kertasnya dimana De?” Rinda meringis.
“ Beliin dulu lah.”
“ Please, kita nyalin dulu biar bisa tenang. Habis itu janji kita beliin pesanan kamu tadi. Gratis.”
Aku tersenyum menang. Bukannya aku pelit dan perhitungan. Tapi tiga manusia absurd ini memang sekali-kali perlu diginiin. Udah kebiasaan soalnya. Lagian mereka bertiga, tiga-tiganya anak orang kaya. Kalau cuma beliin aku kebab, pizza, sama burger mah kecil banget buat mereka. Uang udah kaya nggak ada artinya buat mereka. Beda jauh sama aku. Kuliah aja ngandelin beasiswa. Hm~
Ya kalau boleh jujur, orang tuaku bukannya nggak mampu-mampu banget sih ya. Mereka masih bisa dikategorikan orang mampu. Cuma nggak sekaya temen-temenku ini. Ayahku seorang guru PNS sementara ibuku cuma ibu rumah tangga. Bukan cuma ding, ibuku juga sambil buka usaha kue semacam donat, brownis dan sejenisnya. Intinya mereka masih sangat mampu membiayaiku kuliah. Hanya saja, aku sendiri yang ingin meringankan beban mereka. Uang saku dari mereka yang sebenarnya lebih dari cukup, mending aku tabung buat nanti kalau S2. Itupun kalau jadi. Ya kan?
“ Kertasnya mana De? Suruh pake folio bergaris kan?”
“ Cari aja di sela-sela buku.”
“ Buku yang mana woy? Ini ada tiga buku, terus banyak kertas gini.”
“ Ya bukunya Satish Shirali lah. Masa iya bukunya Kenneth H. Rosen.”
“ Oh iya ya, dodol banget aku.”
Aku melanjutkan aktifitasku mengetik tugas mata kuliah Fungsi Variabel Kompleks yang deadlinenya masih dua hari lagi.
“ Nah ini, ketemu.” Seru Rinda sambil mengibaskan kertas tugasku di depan wajah Juni juga Fia.
“ Eh bentar, ini KTMnya siapa De?”
Aku menoleh dan keningku berkerut samar begitu melihat ada KTM yang terselip di dalam buku Satish Shirali yang sudah satu minggu ini aku bawa kemana-mana.
“ Danish Emran Maheswara. S2 Matematika.”
“ Eh sini aku lihat.” Aku menrebut KTM itu dari tangan Dea dan melihatnya dari dekat.
“ Ini sih punya masnya kemarin.” Gumamku sambil membolak-balik tuh KTM.
“ Mas siapa De?”
“ Eh enggak. Bukan siapa-siapa. Aku simpen aja, ntar aku balikin.”
“...”
***.
Dua minggu kemudian...
Terik matahari siang ini cukup bikin kulit sakit. Tadi aja suhunya nyentuh tiga puluh derajat, kalau sekarang udah turun jadi dua pulu tujuh. Rata-rata suhu di Kota Yogyakarta memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan suhu Kota Semarang atau Surabaya. Hanya saja di waktu-waktu tertentu, suhu di Yogyakarta bisa menjadi begitu panas.
Saat ini aku sedang duduk bersandar di dalam halte sambil menunggu bis Trans Jogja datang. Untung banget ini, halte lagi kosong. Tumben. Bisanya menjelang sore begini suka penuh, bahkan ada yang sampai berdiri di luar halte.
Setengah jam berlalu.
Aku mulai gelisah karena bis yang aku tunggu tak kunjung datang. Aku mulai berdiri tengok kanan kiri dan melongok keluar melihat jalan raya yang entah kenapa agak sepi. Ini kenapa tumben banget jalanan sepi padahal masih jam segini.
“ Mbak... mbak berbaju pink! Yang di halte.” Aku menoleh.
“ Saya bu?” Ibu itu mengangguk. Beliau ini adalah penjual angkringan yang lokasinya tak jauh dari halte.
“ Ada apa ya bu?” Tanyaku kemudian. Ibu itu meletakkan gelas kotor ke ember sebelum akhirnya menghampiriku.
“ Mbak, bisnya nggak akan lewat. Mbak pesen gojek atau grab aja.”
“ Loh kok bisa? Tadi pagi aja saya berangkat naik bis loh bu.”
“ Tadi ada dua gedung kebakaran mbak, jadi jalanan macet parah. Angkutan umum berhenti beroprasi.”
“ Beneran bu? Ibu tau dari mana?”
“ Kata anak saya tadi pulang sekolah. Biasanya dia juga naik bis. Tapi tadi dia minta dijemput. Itupun juga dia masih kesusahan pulang karena bener-bener macet. Sampai sekarang.”
“ Gedung apa sih bu yang kebakar?”
“ Saya nggak tau namanya mbak, pokoknya gedung besar yang deket perempatan itu.”
“ Wah... makasih banyak ya bu. Kalau begitu saya pesen ojol aja.”
“ Sama-sama mbak.”
Aku turun dari halte dan mulai pesan ojol. Belum juga aku berhasil memesan, muncul pemberitahuan kuota internetku habis. Mau pakai Wifi kampus, nggak sampai.
“ Apes lagi.” Gerutuku sambil menghela napas panjang. Aku berjalan agak jauh menuju konter terdekat.
“ Mas, voucher indos*t satu. Yang satu giga aja.” Ucapku begitu sampai di konter.
“ Yang satu giga habis mbak. Adanya yang sepuluh giga. Mau?”
“Habis mas? Yang sepuluh giga berapaan?”
“ Murah kok mbak, ini lagi promo. Enam puluh ribu aja. Bisanya nggak dapat segitu.”
“ Bentar mas.”
Aku mengambil dompet untuk melihat sisa uangku. Duh, mana uang cash cuma tersisa lima puluh lima ribu. Atm jelas jauh dari sini.
“ Nggak jadi aja mas. Uangnya nggak cukup. Saya belum ambil uang di atm.” Ucapku sambil meringis. Mas-mas konter itu menganguk mengerti.
“ Vouchernya jadi mas. Saya yang bayar.” Suara berat itu membuatku menoleh. Aku mendongak dan keningku langsung berkerut begitu melihat wajah laki-laki yang berdiri menjulang di depanku.
“ Nih ambil.”
“ Hah?” Aku melongo. Laki-laki itu tidak menggubrisku malah mengeluarkan I-phone miliknya.
“ Mas, pulsa seratus ribu ke nomer ini. Nomor yang belakangnya tujuh tujuh satu.”
“ Oke siap.”
Setelah mengeluarkan uang dua ratus ribu dan menerima kembalian, laki-laki itu pergi begitu saja. Sebentar, wajahnya kenapa agak familiar sih?
“ Eh Mas! Mas... ini---“ Kalimatku berhenti ketika melihat tiba-tiba ada perempuan cantik menghampiri laki-laki itu.
“ Danish! Berhenti di situ. Kamu kenapa sih, ngehindar terus dari aku. Aku sayang banget sama kamu. Aku-“
Mataku melebar ketika laki-laki itu tiba-tiba balik badan dan berjalan menghampiriku sembari tersenyum lebar.
“ Sayang, kenapa masih berdiri disitu sih? Ayo aku antar pulang.” Badanku langsung menegang ketika bahuku dirangkul. Ketika aku hendak melawan, tangannya menekan lenganku agak keras kemudian kepalanya menunduk dan berbisik singkat.
“ Saya mohon, bantu saya.” Bisiknya pelan nyaris tak terdengar.
Bantu apa?
Aku mendongak dan laki-laki itu memejamkan mata sejenak. Aku harus bantu apa sih?
“ Danish, siapa dia?”
Danish? Kok namanya juga familiar?
Perempuan itu kini berdiri tepat di depanku dan menatapku dari atas sampai bawah. Maksudnya apa nih?
“ Kamu nggak lihat El, kira-kira dia siapa? Apa masih kurang jelas?”
Mataku mengerjap sejenak dan kini aku paham apa yang dia maksud dengan ‘bantu saya’.
“ Dia siapa mas?” Tanyaku sambil mengapit lengan laki-laki itu. laki-laki itu tampak sedikit terkejut awalnya, namun kemudian dia sadar kalau saat ini aku hanya sedang membantunya.
“ Kamu tanya sendiri aja, sayang.”
“ Saya Elsa, pacar Danish.”
“ El, kita nggak pernah pacaran. Cintamu cuma sepihak. Berhenti mengejarku. Dan...” Laki-aki itu menjeda kalimatnya sejenak. “ Kamu bisa lihat sendiri, sudah ada dia di sampingku.”
“ Bohong. Kamu lagi bercanda kan? Mana mungkin seleramu cuma--- kaya gini. Cantik sih, tapi kumal. Bukan tipe kamu banget.”
Aku melongo mendengar ucapan perempuan itu. Aku dibilang kumal coba? Okelah, penampilanku memang lagi nggak bagus. Rambutku juga udah nggak serapi tadi pagi. Tapi jangan jujur banget gitu napa?
“ Eh mbak... masalah buat mbaknya kalau saya kumal? Yang jelas dia lebih memilih saya dari pada mbaknya. Banyakin ngaca deh mbak, kenapa laki-laki yang begitu mbak cintai ini lebih memilih saya yang kumal daripada mbaknya yang super rapi?” Meski ini pura-pura, kesel juga kalau aku direndahin terang-terangan begini.
“ Udah sayang, nggak usah emosi. Kita-“
Belum sempat laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya, perempuan itu sudah pergi dengan langkah dihentak menahan amarah. Setelah perempuan itu menghilang bersama mobilnya, aku langsung menurunkan tangan laki-laki itu yang tadinya masih bertengger di bahuku.
“ Dasar perempuan sinting!” Makiku kesal sambil merapikan rambut.
“ Terimakasih.” Ucap laki-laki itu pelan.
“ Sama-sama. Makasih juga vouchernya. Hehe.” Balasku sambil menunjukkan voucher tadi. Laki-laki itu mengangguk kemudian melepas kacamatanya. Dia memijit hidungnya sejenak dan memakai lagi kacamatanya.
“ Eh bentar mas. Coba lepas lagi kacamatanya.” Laki-laki itu melepas kacamatanya tanpa kuminta dua kali. Aku buru-buru mengambil sesuatu dalam tas.
“ Ini KTM punya masnya kan ya? Masnya namanya Danish kan tadi?”
“ KTM?
“ Iya. Saya nemu ini di sela-sela buku saya.” Laki-laki itu merebut KTM di tanganku.
“JADI SELAMA INI KTM SAYA ADA DI KAMU?”
.
.
.
***