Part 3

1180 Words
Dea                 “JADI SELAMA INI KTM SAYA ADA DI KAMU?”                 Aku berjengit kaget ketika laki-laki itu menaikkan nada suaranya. “ Kamu tahu sepenting apa KTM untuk mahasiswa yang sedang mengurus persyaratan wisuda?”                 Aku hanya diam dan menggeleng pelan. Bagaimana aku tahu tentang itu, kalau aku sendiri belum pernah mengalaminya. Jangankan mengurus persyaratan wisuda, skripsi saja aku baru mau mulai. “ Ikut saya sekarang.” “ Hah? Kemana?”                 Laki-laki itu melirik jam tangannya sejenak. “ Ke TU pasca sarjana. Masih ada setengah jam lagi sebelum ditutup.” “ Nggak mau. Saya mau pulang. Lagipula apa gunanaya saya ikut...” Aku membuang muka. s***p juga ini orang. “ Adek manis, tolong banget ya.”                 Aku mendelik. Sialan, ‘adek manis’ nya penuh dengan nada mengejek. “ Saya pergi dulu masnya.” Aku balik badan hendak pergi. Namun tasku segera ditahan bahkan aku nyaris terjungkal ke belakang.                 Nyaliku langsung menciut ketika mata dinginnya menatapku tajam. “ Saya sebenarnya malas membahas ini. Tapi asal kamu tahu, gara-gara KTM saya hilang selama dua minggu, saya tidak bisa memenuhi deadline pengumpulan berkas karena saya nggak bawa ktm. Mau ngurus yang baru juga susah karena harus ke kantor polisi. Dan lebih parahnya, apa yang terjadi?” Mata itu semakin menatapku tajam. “ Apa?" Cicitku mulai takut. “ Saya terancam tidak bisa ikut wisuda bulan depan.” “ Kok bisa?” “ Makanya kamu ikut saya sekarang. Nanti kamu tahu apa maksudnya.”                 Aku menelan ludah. “ Tapi ...” Laki-laki itu menoleh dan mata dinginnya kembali menatapku. “ E..nggak. Enggak jadi.”                 Aku berjalan mengekor dibelakang. Sesampai di TU pasca sarjana, aku hanya berdiri melihat laki-laki itu entah sedang ngobrol apa sama petugas. “ KTM saya kebawa adik saya pak. Dia lupa naruh. Iya, tolong lah pak. Hari ini deadlinennya kan” Samar-samar aku menguping pembicaraan mereka. “ Dek sini.” Aku mendelik sambil menunjuk diriku. “ Aku?” Laki-laki itu menunjuk. “ Ini adek saya pak. Bukan maksud saya ceroboh. Tapi ternyata selama ini kebawa dia. Iya kan dek?”                 Aku diam mengerjapkan mata bingung. “ Ini adik kamu?” “ Iya pak. Dia adik saya. Adik sepupu.” “ Besok saya urus. Ini udah jam empat, saya mau pulang.” “ Pakkkk, tolonglah. Saya tahu saya salah, tapi-” Laki-laki itu tampak memohon. “ Danish, kalau ini bukan kamu sudah saya tolak mentah-mentah. Lain kali nggak usah nunggu deadline. Saya janji besok saya urus dan saya pastikan kamu ikut wisuda periode ini. Dan kamu dek, lain kali barang milik kakak kamu jangan kamu umpetin. Ini masalah serius. Kalau kamu marah sama kakak kamu, ngumpetin KTM bukan hal yang lucu. Mengerti?”                 Aku melongo. “ Saya tutup dulu jendelanya. Lihat, gedung udah sepi. Sana kamu pulang.” “ Terimakasih banyak pak.”                 Begitu petugas TU menutup jendela dan mengunci pintu, laki-laki tadi pergi meninggalkanku begitu saja. Hebat. Dalam kurun waktu satu jam aku sudah berperan sebagai pacar juga adiknya. “ Hey kamu!” “ Hah?” “ Lain kali, ketika kamu membawa barang milik orang lain, segera dikembalikan. Bukannya malah disimpen.” “ Ya maaf. Saya nggak tahu kalau masnya lagi ngurus wisuda. Tadinya mau saya kembaliin, tapi lupa terus soalnya kuliah saya sedang padat-padatnya. Saya juga nggak tahu masnya ini jurusan apa, semester berapa. Sekali lagi maaf.” Aku menunduk dan tulus meminta maaf. “ Kan ada identitas saya di KTM. Ckckc.” Laki-laki itu menggeleng tak habis pikir. “ Oh iya.” Aku memukul pelan kepalaku. Kalau lagi banyak pikiran, aku memang bisa berubah jadi kaya gini. “Ya sudah, terimakasih untuk hari ini.” Ucapnya datar kemudian meninggalkanku sendiri. Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya berlari mengekor dibelakangnya. *** Danish                   Aku memperlambat langkahku ketika kulihat gadis tadi mengekor dibelakangku. Entah kenapa aku tersenyum hanya karena mengingat ekspresi terkejutnya tadi. Benar-benar tipe yang ekpresif. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah dia. Tapi yang membuatku sedikit jengkel, kenapa dia tak segera mengembalikannya padaku? Toh identitasku tertera jelas di KTM yang dia bawa. Buk                 Gadis itu menabrak punggungku ketika tiba-tiba aku berhenti. “ Eh maaf-maaf mas.”                 Aku tak menanggapinya. Aku balik badan dan melihat penampilannya dari atas sampai bawah. Ditatap seperti itu, dia tampak risih. “ Ngeliatin apa?!” tanyanya galak. Dia juga menyilangkan tangannya di depan d**a.   “ Pulang naik apa?” “ Hah?” “ Bawa kendaraan sendiri?” “ Eh? E-engga. Saya naik bis. Tapi ini mau pesen ojol aja.” Dia menggaruk pelipisnya dan lagi-ladi dia meringis menunjukkan giginya yg rapi. “ Mau saya antar?” “ Hah?” “ Jangan salah paham. Saya cuma mau berterimakasih untuk tadi di depan konter.” “ Oh itu. Nggak usah. Vouchernya makasih. Hehe.”                 Aku mengangguk. Wajar dia menolak. Lagipula mana mau seorang perempuan diajak pulang laki-laki yang baru dikenalnya? Eh sebentar, emang kami sudah saling mengenal? Aku tahu namanya saja tidak. “ Ya udah, saya duluan. Sekali lagi terimakasih.” Perempuan itu mengangguk.                 Setelah meninggalkan gedung pasca, aku segera pergi ke parkiran untuk mengambil motorku. “ Dan! Loh, kok masih disini?” “ Eh Rey, iya nih, habis ngurus persyaratan wisuda.” “ Aku juga baru selesai kemarin. Padahal  aku sidang jauh lebih dulu daripada kamu.” “ Itu mah kamu aja yang memang malas-malasan. Kalau aku gara-gara KTM hilang. Baru ketemu tadi. Kalau hari ini nggak ketemu, niatnya aku baru mau bikin surat polisi besok, dan kemungkinan wisuda aku diundur.” “ Lah terus ketemu dimana?” “ Kebawa orang.” “ Kok bisa? Siapa?” “ Nggak penting.” “ Ooh gitu.” “ Mau pulang juga?” “ Iya, kamu juga?” “ Yap.” “ Eh tapi aku mau nyamperin gebetanku dulu. Haha.” “ Mana?” “ Itu loh. Yang berdiri sambil main hape di deket pohon nomor dua dari timur.” Mataku langsung memicing menatap wajah perempuan berbaju pink yang saat ini sedang menoleh kanan kiri. Loh, bukannya dia perempuan tadi? Anak S1 yang ngumpetin KTM ku? “ Kamu kenal dia?” “ Kenal dong. Dulu pernah satu kepanitiaan, waktu jurusan ngadain acara. Namanaya Dea. Anak jusuran kita, masih S1 semester enam.” “ Semester enam? Kukira dia maba.” “ Sembarangan. Wajah dia aja yang menipu masih imut-imut gitu. Dia seumuran adek aku. Tapi dia satu tingkat diatas adik aku. Kalau aku nggak salah denger, dia pernah ikut kelas percepatan waktu SMA.” “ Hmmm, bagus juga selera kamu.” Gumanku sambil memakai helm. “ Eeeh bentar. Kamu bilang apa barusan? Aku nggak salah denger kan?” “ Apa? Aku nggak bilang apa-apa.” “ Serius Dan? Seumur-umur aku kenal kamu, baru kali ini kamu komen cewek yang aku taksir. Biasanya kamu paling anti ngomongin cewek. Cewek sebening Elsa aja kamu tolak mentah-mentah. Wah, kemajuan pesat ini.” “ Berisik. Minggir, aku mau keluar.” “ Bentaaar dong Dan. Kamu tau Dea? Atau malah kenal?” “ Nggak. Aku nggak kenal.” “ Cantik kan Dan?” “ Bisa minggir nggak?” “ Iya-iya. Elah!”                 Aku meninggalkan Reyhan yang masih sibuk dengan motornya di parkiran. Ketika aku melewati perempuan tadi, kusempatkan menoleh dan tatapan kami bertemu. Sepersekian detik. ***                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD