Part 4

2067 Words
Dea                   “ Deaaak...” Lia berlari sambil melambaikan tangan begitu melihatku berjalan santai menaiki tangga.  “ Selamat pagi, cantik...” “ Hm.” “ Bussset, galak bener bukkk..” aku hanya mengedikkan bahu tak peduli dan terus berjalan menaiki tangga. “ Eh De, Prof Ari jadi ke luar negri nggak sih?” “ Beliau nggak wa aku tuh.” “ Nggak lucu. Emang kamu siapa, sampai beliau harus wa?” “ Udah tau masih nanya. Mana aku tahu lah.” Lia nyengir. “ Semoga aja jadi.” Dia tampak begitu bersemangat. “ Yuk, aku nggak sabar pengen sampai kelas.” Lia mengapit lenganku kemudian setengah menarikku agar berjalan lebih cepat. Ini anak kenapa sih, tumben banget begini? “ Duduk depan ya De.” “ Emang aku biasa duduk di depan. Emangnya kamu? Mojok sambil main hape.” “  Bodo. Yang penting hari ini aku harus duduk di depan.” “ Bentar deh, kamu sakit deh kayaknya?” Aku berhenti kemudian kusentuh dahi Lia yang tertutup poni. “ Paan sih! Aku seratus persen sehat.” Lia menepis tanganku dramatis. “ Tumben banget asli.”                 Aku dan Lia mempercepat langkah ketika kami melihat sudah banyak mahasiswa yang masuk kelas. Tapi sebenarnya aku tenang aja sih, biasanya ada si Fia atau Rinda udah nyiapin satu bangku di depan untukku. Begitu sampai di depan kelas, aku berhenti terpaku di depan pintu ketika melihat ruang kelas sudah hampir terisi penuh. Jangankan bangku depan, bangku belakang aja hanya tersisa empat kursi. “ Dea! Maafin kita-kita. Kita nggak bisa nyelamatin kursi depan.” Rinda yang duduk di kursi belakang melambaikan tangan padaku. Aku juga melihat Fia dan Juni duduk di barisan belakang tepat di samping Rinda. Aku mengangguk dan berjalan menuju kursi yang tersisa.                 Sumpah ya, ini tumben banget kuliah Prof Ari sepadat ini? Biasanya tiga baris aja udah syukur. “ Masih untung ada kursi sisa.” Jawabku sambil duduk di bangku nomor dua dari pokok. Oh iya, Lia mana? “ Deaaa!” Dengan ekpresi sedih plus konyolnya, Lia masih berdiri di depan pintu. “ Woy Li, terima nasib sini, kamu duduk di kursi pojok kaya biasanya. Ini kan kursi keramat. Hahaha!” Juni tertawa puas. “ Sialan, kalah pagi aku.”                 Disini aku masih gagal paham kenapa tiba-tiba yang ikut kuliah jadi sebanyak ini. Aku yakin seratus persen, separuh lebih dari mereka yang ada di kelas ini hanya ikut sit in. Aku tahu betul kok, yang ambil mata kuliah Analisis Fungsional nggak sebanyak ini. Dan sebentar, sejak kapan sih, jurusan matematika jadi penuh dengan kaum hawa? “ Jun, minta air minum dong, aku haus.” Juni mengangguk kemudian menyerahkan botol air minumnya kepadaku.                 Aku baru akan menelan air di dalam mulut ketika tiba-tiba ada laki-laki masuk kemudian berjalan ke arah meja dosen. “Loh kok- Uhuk uhuk!” Aku tersedak air minum begitu tak sengaja mataku dan mata laki-laki itu bertemu. “ DEA JOROK! MUNCRAT WOY!” Lia langsung berdiri dan mengibaskan bajunya. “ Deaaa! Basah kan bajuku!” Lia menjerit histeris. “ Ssssst! Yang di belakang bisa diem nggak ya?”                 Eca yang duduk di depan tiba-tiba berdiri dan menyuruh kami untuk diam. “ Deaaa ihhh, basah kannn...” Suara Lia memelan namun masih sarat akan kejengkelan. “ Sorry-sorry. Aku nggak sengaja.” Aku meneguk air minum sekali lagi agar tenggorokanku membaik. “ Kamu hati-hati dikit kek De.” Rinda menepuk pelan bahuku. “ Sorry-sorry.” “ Ehm.” Laki-laki itu berdehem. Seketika seisi kelas yang tadi masih sedikit riuh langsung diam. “ Selamat pagi semuanya.” Sapanya dengan nada dan ekpresi lebih ramah dari yang aku jumpai waktu itu. Ya, dia adalah laki laki yang waktu itu. Siapa namanya? Danish bukan ya? “ Sebelumnya perkenalkan, nama saya Danish Emran. Saya diberi amanah oleh Prof Ari untuk menggantikan beliau mengisi kelas hari ini saja dikarenakan Prof Ari sedang keluar negri selama satu minggu.” Ucapnya dengan nada super tenang. Bener, namanya emang Danish. “ Nggak cuma hari ini juga boleh kok kak.” Celetuk salah seorang mahasiswi yang aku sendiri nggak bisa lihat wajahnya karena dia membelakangiku. Sepertinya dia bukan anak matematika. Tapi nggak tahu juga sih. “ Sebelum saya mulai kelas hari ini, ada pertanyaan?” Tanyanya tanpa mengubris celetukan itu. “ Asli mana kak? Katanya Kak Danish mau wisuda magister bulan depan ya?” Lagi-lagi pertanyaan receh yang di lontarkan. Aku hanya memutar bola mata malas. Tau bakal begini, mending aku nggak ikut kuliah hari ini.                 Aku melirik kearah Lia dan langsung melongo begitu mendapati Lia sedang menatap siapa tadi--Oh iya- Kak Danish dengan mata tak berkedip. Rinda dan Fia juga tak ada bedanya. Kalau Juni, dia lebih peduli dengan smartphone di tangannya.                 Wah, baru sadar aku kalau ternyata kelas bisa jadi sepenuh ini gara-gara mereka tahu kalau pengganti Prof Ari itu Kak Danish. Kok bisa aku aja yang nggak tahu? “ Kalau tidak ada pertanyaan, saya mulai kelas hari ini.”                 Seketika para mahasiswi kecentilan langsung kicep. Hahaha, sukurin. Emang enak, dikacangin? “ Prof Ari menugaskan kalian untuk mengerjakan buku yang biasa beliau pakai halaman seratus tujuh puluh tujuh romawi tiga. Hari ini juga dikumpulkan sebagai absen tanda kalian sudah datang kuliah hari ini. Dan---“ Dia menjeda kalimatnya sejenak. “ Yang tidak mengambil mata kuliah ini, saya persilahkan untuk keluar.”                 Hening. Benar-benar hening. Mereka saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya satu-persatu mulai keluar. Ya ampunnn, ternyata yang keluar hampir separuhnya. Ckckck! “ Dari tadi kek!” gerutuku sambil berdiri kemudian berjalan menuju kursi depan.                 Aku segera mengambil buku dan membuka halaman seratus tujuh puluh tujuh. Aku tersenyum lebar ketika ternyata pada halaman itu bagian romawi tiga sudah pernah ku kerjakan jauh-jauh hari. Memang belum seluruhnya karena masih ada beberapa nomor yang belum aku kerjakan. “ Kalau sudah selesai, boleh keluar---“ Kalimatku belum sempat kuselesaikan ketika mata kami bertemu dan entah kenapa rasanya sangat kikuk. “ Kalau sudah selesai, boleh keluar. Jangan lupa tanda tangan kehadiran.” “ Siap.” Aku mengangguk mengerti. Tanpa menunggu lama, kusalin jawaban yang pernah kutulis di buku di selembar kertas yang nantinya akan kukumpulkan. Lima menit Sepuluh menit Lima belas menit ... Setengah jam                 Aku merapikan mejaku dan segera berdiri untuk keluar kelas. “ Apa? Kenapa?” tanyaku begitu satu kelas kompak melihat kearahku. “ Dea, seriusan udah selesai?” Rinda mendelik kearahku tak percaya. Lia dan Juni menatapku seolah minta bantuan sambil menggigiti bulpoin. Salah siapa tadi nggak ikut pindah depan. “ Sorry gengs... Hehe.” Aku meringis sebelum berjalan maju ke depan untuk mengumpulkan. “ Ditaruh mana ma—eh kak?” “ Sini.”                 Aku meletakkan kertas itu di meja kemudian langsung bergegas pergi. “ Absen dulu...” “ Oh iya.” Aku balik badan dan mengambil jurnal merah yang ada di meja kemudian tanda tangan di sana. “ Terimakasih banyak Kak Danish.” Ucapku seramah mungkin sambil mengembalikan bulpoinnya. “ Hm.” Balasnya singkat padat dan super judes. “ ...?” Asli ya, ini manusia apa patung sih? Datar amat. *** . .                 Aku mengucek mata begitu kurasakan mataku kelilipan. Aku lupa membawa kacamata yang biasanya aku pakai kalau lagi naik motor. Hari sudah sore, jadi hewan kecil yang hanya muncul ketika sore hari mulai mengganggu mataku.                 Aku memarkirkan motorku di depan salah satu kedai s**u langganan Ibu. Beliau tadi pesan untuk beli s**u disini setelah aku pulang kuliah. Aku menghela napas panjang begitu melihat parkiran hampir penuh, itu tandanya aku harus antri. Memang sih, kedai ini fasilitasnya cukup menarik. Selain varian rasa susunya banyak dan enak, kedai ini juga menyediakan wifi gratis. Tempat duduk yang disediakan cukup banyak, mana bersih dari asap rokok pula. Jadi sembilan puluh sembilan persen pengunjung kedai ini adalah anak sekolah dan anak kuliahan. Mereka bahkan kadang rela duduk berjam-jam untuk sekedar mengerjakan tugas di kedai ini.                 Aku menulis pesanan disecarik kertas kemudian menyerahkan kertas itu ke salah satu pegawai kedai. Setelah itu, aku duduk di kursi panjang yang memang biasanya digunakan untuk pengunjung yang tidak minum s**u di tempat. “ Eh Dea, kok kamu disini?” Seseorang menepuk pelan pundakku. “ Eh iya? Eh Mas Reyhan?” Senyumku langsung terbit begitu melihat Mas Reyhan berdiri menjulang di depanku. Mas Reyhan ini seniorku. Dia mengambil S1 juga S2 di kampus yang sama denganku. Kalau nggak salah, dia sudah menyelesaikan tesisnya dan ikut wisuda bulan depan. “ Sendirian?” “ Iya mas. Cuma beliin s**u buat ibu di rumah.” “ Oh iya lupa, kamu asli Jogja kok ya.” “ Iya.” “ Masih antri lama kamu?” Tanyanya sambil menatap nomor antrian di tanganku. “ Lumayan mas.” “ Daripada sendirian, tuh di sebelah sana ada temenku juga. Dia lagi bantu adik spupunya ngerjain tugas kuliah.” “ Tapi...” “ Udah, ikut aja. Daripada sendirian disini.”                 Aku mengangguk kemudian mengekor dibelakang Mas Reyhan. Sejauh yang aku kenal, Mas Rayhan ini orangnya baik banget. Dia pinter juga ramah sama semua orang. Wajahnya juga bisa dibilang lumayan. Duh, idaman banget lah pokoknya. “ Sorry lama Dan, ni titipan kamu.” Mas Reyhan duduk di sebelah laki-laki bertopi yang sedang sibuk dengan laptop di depannya. “ Oh iya. Thanks Rey---“ dia mendongak. Hah? Mas Danish? Dia temennya Mas Reyhan? “ H-hai Mas Danish.” Aku menyapanya sekilas. Bakal aneh kalau aku tetep diam padahal mata kami sempat bertemu. “ Hm, ya.” Balasnya singkat kemudian kembali fokus menatap layar laptopnya. Ck, bisa nggak sih nggak usah sejudes itu? “ Kenal Danis, De?” Tanya Mas Reyhan kemudian. “ Tadi gantiin Prof Ari dikelasku, Mas.” “ Ohhh.” Mas Reyhan mengangguk paham. “ Eh De, udah mulai skripsi kah?” “ Udah mulai mikir judul sih mas, tapi masih bingung mau yang mana. Antara ruang metrik atau integral. Aku juga semester tujuh masih ada teori sekitar tiga sks. Jadi nggak buru-buru banget pengen lulus.” “ Angkatan kamu banyak yang ambil analisis nggak sih?” “ Dikit mas. Enam orang aja.” “ Coba kalau dulu aku ambil analisis, pasti dikit-dikit aku bisa bantu kamu cari judul. Sayang banget, aku ambil terapan.” “ Nggak papa mas, aku juga udah ada kenalan kakak tingkat yang ambil analisis. Dikit-dikit aku udah mulai diskusi sama dia. Namanya Mbak Fatma.” “ Bagus deh kalau gitu.”                 Hening sejenak. “ Oh iya, kamu kan anak anilisis Dan. Bisalah, bantu Dea cari judul.”                 Gerakan tangan Mas Danish di keyboard laptop berhenti. Dia menoleh kearahku sejenak dengan tatapan super datarya. Benar-benar sejenak. Habis itu dia kembali menatap layar laptopnya. “ Pilih mana, Analisis Fungsional atau Variablel kompleks?” Tanyanya kemudian . “ Eh? Saya?” Tanyaku sambil menunjuk diri. “ Memangnya siapa lagi?” “ Daaan, jangan galak-galak.” Mas Reyhan menepuk bahu Mas Danish pelan. “ Lebih suka Analisis Fungsional sih, tapi Variabel kompleks lebih menantang.” “ Pilih satu.”  “ Hm, kayaknya Analisis Funsional.” “ Ya udah, ambil yang ruang metrik. Skripsi itu prosesnya panjang, lakukan apa yang lebih kamu sukai. Merasa tertantang saja tidak cukup. Kalau berhenti dijalan, waktumu hanya akan terbuang sia-sia.” Balasnya tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop “ Sebenarnya saya emang udah condong ke ruang metrik sih, tapi kemaren dapat jurnal tentang kalkulus integral. Jadi bimbang lagi.”                 Tidak ada sahutan. Ck, semenarik apa sih, layar laptopnya? “ Antrian nomor sebelas?” “ Oh itu pesenan saya udah jadi.” Aku berjalan menuju kasir kemudian mengambil pesanan. Aku sudah membayarnya di awal jadi begitu s**u pesananku ada di tangan, aku kembali ke meja Mas Reyhan untuk mengambil tas. “ Buru-buru banget ya De?” Tanya Mas Reyhan ketika aku mengalungkan tas ke leher. “ s**u mah kalau diminum dingin nggak enak mas.” “ Kan bisa diangetin.” “ Rasanya beda. Lagipula kasihan ibu udah nunggu. Hehe.” “ Yahhh, sayang banget.” “ Kenapa emang mas?” “ Enggak loh, maksudnya kamunya yang sayang. Mumpung ada pakar analisis kan bisa kamu tanya-tanya. Iya nggak Dan?”                 Lagi-lagi nggak ada sahutan. “ Dan, penyakit jutek kamu jangan kumat lagi napa?” “ Udah mas, kayaknya emang Mas Danishnya lagi nggak bisa di ganggu. Kalau gitu saya pulang-“ “ Kamis jam satu ada kuliah nggak?” Kalimatku berhenti ketika mendapat pertanyaan itu dari Mas Danish. “ Hah? Kamis? Eeee, oh enggak. Kamis cuma kuliah pagi sampai jam sembilan.” “ Saya tunggu di perpustakaan lantai dua sebelah barat.”                 Mataku melebar begitu mendengar kalimat itu. Eh ini serius? Dia menawarkan diri? “ Se-serius?” Tanyaku tak percaya. “ Udah De, iyain aja. Sebelum dia berubah pikiran.” “ Eh iya iya. Kamis jam satu ya? Saya pasti kesitu kok. Makasih ya mas.” Aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahku. Eh serius ini, aku bisa konsultasi langsung sama asistennya Prof Ari? Mauuuu banget lah!                 Krik-krik. Tak ada sahutan lagi. Aku meringis malu. “ Udah udah, dia emang kaya gitu.” Ucap Mas Reyhan seperti tahu isi pikiranku. “ Kalau gitu saya pamit dulu ya mas. Mas Rey, eee Mas Danish juga.” “ Hati-hati De!” “ Makasih Mas.”                 Selama berjalan keluar menuju parkiran, bibirku terus tersenyum. Kesempatan bagus kaya gini belum tentu muncul dua kali ya kan? Yaaa, meskipun Mas Danish keliatan judes kaya gitu, yang penting setidaknya dia aslinya orang baik. Kalau nggak baik, mana mungkin mau menawarkan diri kaya barusan? Iya nggak?                 Jadi inget waktu dia tiba-tiba merangkulku dan bertindak seolah-olah aku ini pacarnya. Serius, waktu itu ekpresinya nggak keliatan judes. Tapi entahlah, waktu itu aku juga nggak begitu merhatiin wajahnya. Lagipula waktu itu dia pakai kaca mata, jadi aku nggak begitu ‘ngeh’ sama ekpresinya. “ Makasih pak.” Ucapku sambil menyerahkan uang dua ribuan kepada tukang parkir. “ Sama-sama mbak.”                 Sebelum menyalakan motor, aku melihat layar hapeku sejenak. Ada pesan dari Mas Reyhan. Mas Reyhan Semangat skripsinya De...                  Membaca pesan itu, bibirku mengembang lebih lebar. Boleh aku berharap lebih? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD