Part 5

1251 Words
Dea Aku celingukan mencari seseorang yang katanya akan menemuiku di sini, perpustakaan lantai dua. Sayang banget kami tidak memiliki kontak yang bisa dihubungi. Aku merilik jam tangan dan ternyata hampir jam setengah tiga. Apa dia lupa? " Kalau sampai jam setengah tiga dia nggak datang, aku pulang." Gumamku sambil menelungkupkan kepala di atas meja. Padahal aku udah nggak sabar untuk hari ini. Entah kenapa akhir-akhir ini semangatku sedang bagus-bagusnya. Kesempatan bisa konsultasi, atau minimal ngobrol dengan asdosnya Prof Ari bisa saja tak kudapatkan dua kali. Jadi tolong, kumohon dia tidak bohong dan hanya membuat waktuku terbuang sia-sia. Aku mengambil handphoneku kemudian kubuka aplikasi w******p. Tidak ada pesan dari siapapun kecuali grup. Namun ketika terus kuscroll kebawah, mataku menyipit begitu ada pesan dari nomor baru. 08574218xxxx Maaf banget, saya tiba-tiba ada urusan mendadak. Ada dua buku dan tiga jurnal di meja baca paling ujung utara. Deket jendela. Itu buat kamu. Maksud saya jurnalnya, kalau bukunya harus dikembalikan. Dea??? Nomornya Dea kan ini? Ini Danish Mataku mengerjap beberapa kali membaca pesan itu. Pesan itu dikirim pukul dua belas lebih empat puluh tujuh menit. Jadi harusnya aku tak menunggunya selama ini. Tadi aku sampai perpus tepat jam satu. Atau mungkin kurang beberapa menit. Astaga, kenapa aku bisa seceroboh ini tidak mengecek w******p? Mas Danish pasti mendapatkan nomorku dari Mas Reyhan. Aku yakin sekali. Aku menghembuskan napas panjang sambil memasukkan kembali notebook, beberapa buku, dan setumpuk kertas yang tadi sempat kukeluarkan dari dalam tas jinjing milik perpustakaan. Aku berdiri mencari meja paling pojok utara. Benar saja, disana tiga bendel jurnal dan dua buku di atasnya. Aku mengambil seluruhnya kemudian segera turun menuju loker tempat tasku berada. Setelah memindahkan barang-barangku, aku segera mengembalikan tas perpustakaan kepada petugas. Aku berjalan menuju kursi tunggu dan duduk di sana sebentar. Aku ingin berterimakasih kepada Mas Danish karena sudah memberikan jurnalnya dan meminjamiku buku. Ya, meski aku agak kecewa karena kami nggak jadi ngobrol berdua. Asli, disini aku nggak mau modus atau apapun. Aku cuma merasa kesempatan ini sangat bagus dan harusnya tidak boleh terlewatkan seperti ini. Tapi ya sudah, mau gimana lagi? Me: Iya mas, ini nomor saya, Dea. Ngga papa, semoga bisa ada lain kali. hehe Terimakasih banyak mas, jurnal sama bukunya sudah saya ambil Setelah membalas pesan dan meneguk air minum yang selalu kubawa kemana-mana, aku segera keluar dan bergegas menuju tempat parkir. Namun baru saja aku menuruni tangga menuju halaman, langkahku terhenti karena melihat siapa laki-laki yang saat ini berdiri sekitar dua meter di depanku. " Mas Danish?" Mataku melebar tak percaya. " Kok disini? Katanya ada urusan mendadak?" " E.. e itu. Kamu sudah mau pulang?" aku mengangguk. " Ya sudah. Kalau begitu saya juga pulang." Dia balik badan kemudian pergi. " Eh mas. Bentaaar!" Aku berlari mengejarnya. " Mas Danish ke kampus lagi karena saya?" " E.. enggak." " Jangan bohong." " Makannya lain kali kamu jawab pesan saya." " Heee." Aku meringis. " Pesan Mas Danish ketimbun." Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya nggak gatal sama sekali. " Ya sudah. Saya pu-" " Eeeh. Bentar. Barusan Mas Danish bilang lain kali. Beneran ada lain kali ya mas? Please, yang hari ini gagal total soalnya... " Aku menangkupkan telapak tanganku di depan wajah. " Lihat saja nanti. Tapi saya nggak mau janji." " Oke oke, nggak papa." Secercah harapan timbul. Sepertinya Mas Danish ini orangnya baik. Yaaaa, meskipun wajahnya kaku begitu. Tanpa mengatakan apapun, Mas Danish balik badan pergi meninggalkanku menuju motor hitam yang terparkir tidak jauh dari motorku. Praktis aku berlari mengejarnya (lagi). " Di Jogja tinggal dimana mas? Denger-denger Mas Danish ini orang Jakarta. Iya?" " Hm." ' Mulai lagi kakunya. " Pertanyaan saya belum dijawab mas. Tinggal dimana?" " Kenapa? Mau mampir?" " Ya tanya aja sih. Kalau nggak mau jawab ya nggak papa. " Narsis juga manusia ini. Benar saja, dia hanya mengedikkan bahu kemudian menyalakan motornya. Aku mengikutinya dan kami keluar gerbang perpustakaan beriringan. Aku mengendarai motor dibelakangnya. Bukannya aku menguntit, tapi emang arah rumahku sama dengan jalan yang dia lalui. Ciiiit. Aku mengerem dadakan ketika Mas Danish tiba-tiba menghentikan motornya. Untung jalannya lagi sepi. " Kamu penguntit ya?" " Hah?" " Setidaknya kalau mau jadi penguntit, jaga jarak supaya tidak ketahuan. Bukannya malah terang-terangan begini." " Hah?" " Deaaa..." " Apa? Saya bukan penguntit. Jalan rumah saya memang lewat sini." " Tinggal dimana kamu?" " Kotagede." " Ko.. Kotagede?" " Apa? Mas Danish juga?" Dia tidak menjawab malah kembali menyalakan motornya. Enak aja aku dibilang penguntit. " Ya sudah, saya duluan aja kalau gitu. Pede banget, siapa juga yang mau nguntit situ." Desisku sambil mendahului Mas Danish yang memelankan laju motornya. Ciiiiit braaaak! Mataku membelalak ketika tiba-tiba ada sebuah truk menabrak sepeda motor tepat di depan perempatan yang akan aku lalui. Seketika badanku gemetar hebat melihat si pengendara motor terlempar tepat di depan roda motorku dengan darah yang mulai mengalir di hidungnya. Napasku langsung naik turun sementara badanku terasa kaku tak bisa digerakkan. Tangan kiriku yang masih menarik rem ikut gemetar karena saking kagetnya. Tiba-tiba ada tangan yang menutupi mataku. Dia mengajakku turun dan minggir dari kerumunan orang yang mulai berdatangan. " Arh... hhh... " Napasku semakin sesak tak bisa kukendalikan. Ingatan kecelakaan dua belas tahun lalu muncul seperti kaset rusak di otakku. " Kamu nggak papa?" Aku tak menggubris pertanyaan itu malah menoleh kearah korban yang sudah dikerumuni banyak orang. Aku berjalan ke arah korban dan tau-tau air mataku sudah menetes. Napasku semakin sesak. Namun lagi-lagi ada tangan yang menutupi mataku. Kali ini tangisku pecah dan orang itu memelukku kemudian membawaku minggir (lagi). Isakanku semakin tak terkontrol belum lagi napasku yang mulai tersengal. Yang ada di otakku sekarang hanya ingatan kecelakaan dua belas tahun lalu. " Sudah, sudah. Saya antar kamu pulang. Dimana rumah kamu?" "..." *** Danish Aku meremas tanganku sambil sesekali melihat hiasan foto yang ada di dinding rumah yang saat ini aku masuki. " Silahkan diminum tehnya..." Seorang perempuan paruh baya datang membawakanku teh. " Terimakasih, tante." Aku tersenyum. Beliau duduk tidak jauh dari tempatku. " Terimakasih sudah mengantar Dea pulang." " Ah, sama-sama tante." " Dea pernah kehilangan teman dektanya dulu waktu SD. Teman dekatnya itu tertabrak truk di depan matanya waktu mereka pulang sekolah. Jadi ya begini, emosi Dea langsung tak terkontrol tiap kali dia melihat ada kecelakaan. Apalagi di depan matanya. Masih untung dia tidak pingsan." " Oh begitu, pantas saja tadi dia langsung sesak napas." " Kadang bisa lebih parah dari itu." Aku mengangguk mengerti. " Silahkan diminum." " Iya, tante." Suasana hening sejenak. Yang didepanku ini pasti ibunya Dea. Soalnya wajah mereka agak mirip. " Dea udah tidur Buk." Seorang laki-laki paruh baya yang aku yakini adalah ayahnya Dea keluar dari sebuah kamar. " Udah mendingan yah?" " Napasnya udah teratur." " Baguslah kalau begitu." Ayah Dea ikut duduk di samping istrinya kemudian menatapku sambil tersenyum. " Terimakasih ya, sudah mau mengantar Dea pulang. Masnya ini temennya Dea atau..." " Yang jelas bukan pacar Dea Yah. Soalnya Dea nggak pernah cerita kalau dia punya pacar." Mau nggak mau aku tertawa kecil mendengar itu. " Saya kakak tingkat Dea om, tante." " Oooh gitu. Sebentar, Reyhan bukan namanya? Soalnya Dea sering ceita kalau dia punya kakak tingkat namanya Reyhan dan orangnya sangat baik." Oh, sepertinyai si Dea suka Reyhan? " Bukan om. Saya Danish." " Oh maaf maaf. Om kira kamu yang namanya Reyhan." " Nggak papa om." "..." Setelah ngobrol beberapa saat lamanya dan menghabiskan teh, aku pamit pulang. " Nak Danish... " Aku menoleh ketika Tante Ria memanggilku. Ya, ibunya Dea namanya Ria. " Iya, gimana tante?" " Ini dibawa pulang." Beliau menyodorkan satu kotak berukuran sedang yang entah berisi apa. " Nggak usah tante." " Nggak papa. Pokoknya harus dibawa. Terimakasih banyak sudah nolongin anak tante. Hati-hati di jalan." " Ah iya, sama-sama tante. Terimakasih juga untuk ini." Aku menunjuk kotak tersebut sambil meringis. " Iya, sama-sama." " Hati-hati." " Pasti, tante." Setelah naik motor, aku menoleh menatap motor matic milik Dea yang tadi dibawa pulang saudaranya karena Dea ikut bersamaku. Kalau ingat bagaimana tadi Dea sesak napas ditambah badannya gemetar hebat, entah kenapa aku ingin sekali menenangkannya. Dia terlihat sangat rapuh. Ada apa denganku? Dea bahkan jelas bukan siapa-siapaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD