Malik: Masih Nggak Terima Kalau Aku yang Terpilih Jadi Ketua Kelas?

1200 Words
Petang itu, aku ada janji sama Nissa buat main bareng. Sekalian sambil ngerjain tugas. Dia tiba di rumah pukul 5 sore, sekalian sambil nunggu maghrib, kita ngobrol-ngobrol dulu dengan bunda. Hanya ngobrol tentang progres sekolah, sekaligus sedikit membahas tentang Malik yang jadi ketua di kelasku—bagian terakhir ini yang membuatku menjadi agak kesal dan ingin segera menyudahi obrolan itu. Setelah ibadah dan pamit bunda, aku langsung meluncur ke ruas-ruas jalanan. Oh iya, kawasanku bisa dibilang termasuk dekat dengan kawasan perkotaan, jadi untuk mencari tempat nongkrong nggak terlalu lama dan nggak sulit juga. Meskipun begitu, banyaknya tongkrongan mulai dari: angkringan sampai ke level cafe pun, langgananku tetap kedainya. Bangunan yang membutuhkan tanah dengan ukuran sekitar 12 hektar dan berada di ujung jalan itu berdiri kokoh Kedai Mbak Devi. Dihimpit oleh toko buku dan minimarket. Sekarang aku ilustrasikan sedikit seperti apa kedai itu secara visual. Kedai Mbak Devi menggunakan desain industrial. Konsep yang memamerkan komponen serta ekspos elemen struktural sebuah bangunan dan menjadikannya sebagai elemen dekoratif. Style desain ini memberikan tampilan yang atraktif dan secara visual sangat menarik menurutku. Kedai berdinding bata, lampu-lampu bohlam menggantung, juga unfinished style. Ya, seperti Jack Runner Roastery, lah. Hampir sampai di kedai Mbak Devi, dari jarak 10 meter terlihat jalanan macet parah. Mobil-mobil mangkrak begitu panjang, pengendara motor susah payah mencari celah, beberapa memutuskan untuk putar balik arah dan mencari jalan lain, meskipun konsekuensinya harus menempuh jarak lebih jauh. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, dugaanku mungkin terjadi kecelakaan atau ada truk yang parkir di trotoar sehingga mempersempit ruas jalan. Aku melewati celah-celah sempit, menembus kepadatan, dengan harap aku bisa parkir segera di Kedai Mbak Devi. Sampai di Kedai, aku menjadi tahu penyebab kemacetan dengan jelas. Pukul 18.30, dengung suara-suara provokatif merongrong ke segala sudut dan diimbangi klakson mobil dan motor yang bersautan. “Malik!” teriak Nissa. *** Sebuah perusahaan sepatu di kotaku memberikan gaji kepada pekerja/buruh di bawah UMK. Pemberian gaji kepada pekerja/buruh di bawah UMK tersebut disebabkan karena kondisi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Beberapa produknya kurang laku di pasaran, sehingga pendapatan perusahaan menurun dan perusahaan harus mengurangi volume produksinya. Alhasil, pihak perusahaan melakukan mediasi dengan serikat pekerja/buruh untuk membicarakan kesepakatan upah. Pada perubahan awal, para pekerja/buruh melakukan demonstrasi untuk memperjuangkan kembali tentang upah mereka. Bahwa dalam regulasi nasional menetapkan bahwa suatu PT harus memberikan upah berdasarkan UMK. Hal ini yang memicu kemarahan para pekerja/buruh untuk memperjuangkan haknya. Bahkan tidak menutup potensi kalau pihak perusahaan akan dituntut karena melanggar ketentuan nasional mengenai penetapan upah pekerja/buruh yang tidak sesuai. Demonstrasi pertama digelar di depan pabrik. Para pekerja memlih cuti dan memadati setiap ruas jalan. Kerusuhan terjadi: pembakaran ban, dan penjarahan toko-toko kecil. Hal ini membuat akses lalu lintas terganggu. Juga membuat para pedagang sepi pengunjung, hingga mengalami kerugian akibat penjarahan yang dilakukan oleh para demonstran. Lantas, dalam hal ini siapa yang salah? Dalam alam pikiran tentang konsep demokrasi, fenomena semacam ini sudah cukup lazim. Maksudku, dalam hal menyuarakan pendapat sekaligus melakukan demonstrasi demi memperjuangkan hak-hak kaum kecil. Namun, upaya untuk melakukan pembakaran ban di jalan, dan melakukan penjarahan toko-toko di sekitar pabrik adalah suatu tindakan di luar esensi konsep kebebasan dalam bernegara. Sepatutnya, jika terjadi fenomena demikian, aparat keamanan negara harus dikerahkan untuk membatasi tindakan-tindakan yang tidak diperlukan dan bersifat merugikan. Obses para demonstran adalah agar suara mereka didengarkan oleh pihak pengusaha. Bukan malah menghancurkan usaha orang lain yang tidak bersalah seperti pemilik toko kelontong dan sebagainya. Ironi sekali bila dalam situasi yang lain, ambulance yang membawa pasien kritis harus mencari akses jalan lain yang lebih jauh karena akses jalan utama ditutup karena adanya demonstrasi yang menghambat aktivitas lalu lintas. Lihat, dalam upaya arogansi untuk menggembar-gemborkan aktivitas demonstrasi dan akibat kelalaian manajemen keamanan, menyebabkan situasi kesehatan dan ekonomi oranglain harus terganggu. Untuk menggencarkan freedom of speech dalam masyarakat demokratis itu menurutku harus balance dengan integritas aparat keamanan pula. Para demonstran tidak sepenuhnya salah dalam hal ini, mungkin disebabkan karena tidak ada pembatasan yang seharusnya pembatasan itu merupakan diskresi para aparat keamanan. Sekalipun tidak menafikkan pula moral yang harus tetap terjaga dari para demonstran untuk tidak merusak sesuatu yang tidak perlu. *** “Kamu ada urusan apa sampai menyelinap keramaian? Gaduh dengan petugas keamanan perusahaan?” “Rendi sedang menemani ibunya yang sakit di rumah. Aku mewakilkan suaranya.” “Memang di kota ini kamu siapa?” Muak dengan alasan Malik yang di luar dugaan dia adalah salah satu serangga yang menyelinap di tengah-tengah kaum-kaum marjinal yang membabi-buta memperjuangkan hak mereka. “Apa salahnya? Aku punya hak berpendapat, aku punya hak untuk bereaksi terhadap injustice, dan aku punya hak untuk memanfaatkan hidup semauku. Kenapa kamu yang terlihat muak? Masih nggak terima kalau aku yang terpilih jadi ketua kelas?” “Malik! Sudah!” Nissa menyergah. Tampak dia telah terbiasa melihat kemungkinan kejadian yang akan terjadi bila aku di dekat Malik. Iya, berdebat. “Kejadian ini tidak ada hubungannya dengan siapa yang menjadi ketua kelas!” Aku berupaya mengimbangi emosinya. “Besok, aku akan bicara dengan wali kelas untuk membicarakan pergantian pengurus kelas. Kamu bisa menggantikannya. Kalau tidak mau, biar yang lain. Intinya, kalau dengan menjadi ketua kelas, aku selalu bertengkar denganmu, lebih baik nggak usah jadi apa-apa.” “Eh…” Aku menyergah. “Malik, Rendi itu siapa?” Ketika secara spontan aku bereaksi terhadap pernyataan Malik yang memutuskan akan mengundurkan diri sebagai ketua kelas, dan Nissa memahami situasi saat itu, dia langsung mengalihkan pembicaraan. Nissa paham bahwa aku tidak akan pernah menerima tawaran itu, pun tahu bahwa aku tidak senang dengan alasan Malik mengundurkan diri sebagai ketua kelas hanya menghindari keributan denganku. “Rendi itu teman pertamaku di sini. Satu jam setelah aku tiba di kota ini, aku bertemu dia di minimarket.” Mungkin hal itu yang memicu Malik seolah-olah dia tidak butuh Nissa sebagai teman makan siang di kantin atau ngopi di waktu malam. “Rendi itu hanya lulusan SMP, tapi dia orang yang baik, sekaligus punya integritas terhadap apa yang dia kerjakan. Untuk itu, sejak awal aku respect sama dia.” “Tapi, kenapa harus dan hanya kamu?” “Kalau saja dia punya teman lain yang care dengannya, mungkin lebih baik sekarang aku tidur di rumah.” “Nissa… Kamu lumayan paham kalau aku ini orang yang seperti apa. Kejadian semacam ini dan kamu mendapati aku ada di situ, sepertinya sudah tidak mengherankan lagi. Tapi, apa yang aku lakukan ini bukan tanpa alasan yang kuat. Rendi bekerja di pabrik itu sudah dua tahun lamanya. Walaupun dia lulusan SMP, perjanjian kerja bersama antara perusahaan dengan serikat pekerja menyatakan bahwa setiap pekerja bidang produksi di pabrik itu dibayar setara UMK setempat. Tapi, perusahaan memotong upah itu. Hal ini yang menimbulkan kegaduhan. Ironisnya pula, kondisi Rendi juga tidak memungkinkan untuk turun ke jalan sekarang. Ibunya kritis dan berada di rumah sakit. Setelah menemui mereka di rumah sakit tadi, aku langsung turun ke jalan sebagai upaya untuk menggantikan perannya. Aku tidak sedang pencitraan dengan mengambil satu-dua jepret foto lalu aku pamerkan dengan kawan-kawan lama di Bandung, tapi ini masalah etis. Aku tidak bisa diam begitu.” Sejenak, suasana lengang. Deru mesin kendaraan sudah mengembang ke setiap sudut kota. “Hei... Sorry.” Mengucapkan demikian, pertimbangannya setengah mati. Iya, aku punya gengsi, tapi kalau kali ini kalau aku tetap begitu, aku tidak lebih buruk dengan demonstran yang turun ke jalan hanya untuk selfie-selfie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD