Kehed Sia!

1245 Words
“Eh, Malik beneran jadi mau ngundurin diri jadi ketua kelas?” “Nggak tahu dan nggak peduli sama tuh orang.” Reaksi yang mengejutkan dari Nissa, bukan? Mereka adalah sepupu, tapi keduanya saling menafikkan. Em… Tidak juga, sih. Mungkin Nissa yang terlalu menjaga jarak, sementara aku lihat, Malik biasa-biasa saja. “Kalau nggak jadi mundur, ide apa yang akan dia buat untuk event perayaan ulang tahun sekolah kita, ya?” “Mana aku tahu. Males banget bahas tuh orang. Ya, kalau dia orangnya peka kalau sedang kita omongin kayak gini, kalau nggak?” Aku dan Nissa sudah sampai di lorong bagian tata usaha sekolah. Menaiki tangga dengan meninggalkan jejak wajah Nissa yang terlihat gusar. Lagi-lagi, ketika lebih dekat dengan pintu kelas, aku merasa canggung. Terlepas dari aku dan Nissa yang berpisah ke kelas masing-masing, intuisi dari sisa kejadian yang di Kedai Mbak Devi yang sebelumnya masih membekas dan benar-benar terpatri di kepala. Aku mengingat kejadian itu semalaman. Kalau dipikir-pikir, aku dan/atau kebanyakan orang secara spontan mudah mengesampingkan experience kebaikan seseorang ketika mendapati bahwa track record orang tersebut penuh dengan riwayat brutal: tawuran, demo, punya geng motor, dan lain-lain. Seperti itu kesanku terhadap Malik awalnya. Selama aku hidup, sejarah berseteru dengan remaja berandal, ya cuma dengan Malik saja. Sampai sejauh ini—duduk di bangku SMA. Itulah kenapa, entah kulitku yang terlalu sensitif merasakan hawa berandal yang ada pada diri Malik, atau persepsiku saja yang terlalu sempit hingga aku begitu mencampakkan eksistensinya sejauh ini. Aku mengatakan demikian, bukan berarti aku mengekspos diriku agar terlihat lebih genuine karena tidak mempunyai circle interaksi dengan troublemaker. Atau terlalu perfeksionis karena dengan mudah mengklasifikasikan orang yang begini dan begitu. At least, aku punya filter semacam: do think the unthinkable. Dan ciri khas seperti ini ya, menurutku bagus. Karena menurutku, setiap orang harus punya standar bergaul. Sebab kalau tidak, potensi terjerembab dalam pergaulan yang salah tidak bisa dihindari. “Grace!” Ya Tuhan, dia memanggilku. Baru saja sosoknya berkeliaran di kepalaku 40 detik yang lalu. Dengan langkah penuh ragu, dan menyeimbangkan keraguan itu dengan raut wajah yang nampak kesal (sesuai ciri khasku ke Malik), aku memasuki ruang kelas dilanjut dengan meletakkan ransel. Sorot mata Malik terlihat mengharapkan sesuatu padaku. Dan tidak hanya itu, tatapan siswa-siswi lain pun secara implisit menginginkan aku menimpali panggilan Malik itu. “Apa panggil-panggil?!” *** “Kenapa dah badmood gitu?” “Pagi-pagi buta, si Malik itu udah ngeselin banget. Masak…” Mas Arif membawakan dua mangkok berisi siomay seharga 5 ribuan yang biasa menjadi sasaran kami ketika istirahat sekolah. Dan sepertinya aku sedang keliru memesan makanan ketika kondisiku sedang meledak-ledak. Tapi, memakan siomay di sekolah itu termasuk ritualku dan Nissa. Tidak bisa digonta-ganti, entah itu ada outlet ayam geprek atau chicken wings yang lagi populer itu. I’ll be there. “Makasih, Mas Arif. Seperti biasa sampean ganteng, deh.” Ish, Nissa! Kebiasaan! Setelah menyeringai, Nissa menyuruhku melanjutkan cerita. “Dalam waktu dekat sekolah kita memperingati ulang tahun ke 27 tahun, kan. Nah, masak tadi si Malik…” Deg! “Kalau lagi ngomongin aku itu ajak-ajak atuh.” Ah, s**t! Setidaknya bisa nggak, biar aku selesaikan dulu ceritaku ke Nissa tanpa ada pengganggu? “Posisi wakil ketua kelas itu adalah membantu meringankan tugas ketua kelas. Acara kami nantinya membutuhkan sponsor dari media luar. Dan tugasku adalah mengafiliasi ide ini dengan wali kelas. Kalau dibilang tugas mana yang sulit, jelas-jelas tugasku. Karena ini persoalan menawarkan konsep. Iya kalau wali kelas setuju, kalau nggak?” “Mana ada?! Kamu nyuruh aku mencari sponsor itu tugas yang paling rumit loh. Belum lagi apa yang bisa kita tawarkan ke mereka agar mereka mau mensponsori kegiatan kelas kita yang sebetulnya hanya untuk event kecil-kecilan seperti ini. Udah, ganti aja konsepnya.” “Main gonta-ganti aja. Anak-anak kelas yang lain sudah pada setuju tahu. Dan mereka antusias dengan konsep ini. Belum lagi beberapa anak kelas yang nantinya turut berperan sebagai pemainnya.” Untuk memperingati hari ulang tahun sekolah kami, setiap tahunnya diadakan acara yang tidak bisa dibilang kecil. Setiap kelas diwajibkan membuat satu proker untuk memeriahkan acara tersebut. Dan banyak konsep proker yang meriah bertaburan setiap tahunnya. Mulai dari lomba cerdas cermat, pertunjukan pantomim, pertunjukan teater, wayang kulit, musikalisasi puisi, lomba memasak, sampai yang nyeleneh seperti event coshplay dan masih banyak lagi. Bagi setiap kelas yang mampu menyuguhkan konsep acara terbaik akan mendapatkan hadiah dari pihak sekolah. Hitung-hitung, hadiah yang diberikan nanti bisa menjadi pemasukan kelas dan biasanya dipakai buat camp atau sekadar makan bersama. Kemeriahan ini memang identik dengan popularitas sekolah kami yang terbilang bagus. Ya, jangan salah, kalau anak luar kota seperti “Malik” sampai memilih sekolah ini. Banyak urban yang datang ke sekolah ini dan tidak hanya Malik. Enggar dan Fyora, misalnya. Mereka keduanya asli dari Yogya. Merantau ke kota ini dengan harap mendapatkan akses intelektual yang baru. Katanya, mereka tidak perlu menimbang-nimbang untuk mengetahui daya pekat intelektual yang bagus pada sekolah SMA di kota ini. Begitu tiba di Surabaya, mereka langsung menginjakkan kaki di sekolah ini pada hari libur dan langsung mendetail spesifikasi bangunan. Enggar mencoba lapangan basket, sementara Fyora melihat pernak-pernik di studio musik yang hampir tidak meninggalkan instrumen alat musik modern, semuanya tersedia. “Berperan sebagai pemain?” Aku memastikan ucapan Malik. Dia menghela napas. “Sepertinya memang aku dan hanya aku yang pantas jadi ketua kelas.” Dilanjutkan dengan nada sedikit cengengesan. “Beberapa anak di kelas mahir dalam memainkan alat-alat musik modern. Ada Fyora si gitaris, Ada Dicky si drummer, Ica penyayang biola, Ada juga Edward seorang pianis. Ada pelantun lagu kereta malam, Mega Delimaa…” Jelasnya di kalimat terakhir sambil menirukan gaya suara MC lagu dangdut Jawa Timur-an. Entah sebanyak apa varian budaya Jawa Timur khususnya daerah Surabaya-an yang telah dia pelajari. Sampai mengucapkan nada Bahasa Jawa pun sudah tidak lagi patah-patah. Medhok-nya pun dia sudah bisa. Dan dalam dua bulan, dia seperti bukan lagi anak dari Kota Bandung. “Sayang kalau misalnya kita nggak memanfaatkan potensi mereka,” lanjutnya. “Walaupun kelas kita punya personil sendiri, tetap saja juga butuh ya… minimal panggung buat mereka tampil. Dan biaya buat nyewa panggung itu tidak murah. Apa anak-anak kelas tidak keberatan kalau harus menyisakan uang sakunya buat patungan?” “Kan, ada Si Sultan, Edward.” Aku jadi ingat setahun yang lalu. Sebagai anggota pers, setiap ada kejadian penting selalu dipublikasikan oleh kami: anak PI (Pers Independent). Entah itu dari kalangan siswa atau langsung dari sekolah. Kalau dari siswa, cenderung mempublikasikan prestasi, bukan masalah-masalah privat. Ada kriteria khusus mengenai boleh atau tidaknya suatu hal untuk diberitakan. Kalau dari sekolah, mungkin informasi-informasi umum buat siswa-siswi yang lain: agenda-agenda yang akan diselenggarakan oleh sekolah, berita lomba, prestasi sekolah di kancah nasional, dan lain-lain. Dan mengapa organisasi pers sekolah kami dinamakan Pers Independent? Karena gagasan awalnya adalah supaya organisasi kami bukan organisasi yang mampu untuk didikte oleh kiri-kanan, tidak mudah disuap untuk memberitakan sesuatu yang menurut standar organisasi merupakan suatu kejadian yang tidak layak dipublikasikan di sekolah. Misalnya: menyuruh kami memberitakan aib orang lain, membuat pers sebagai tempat pansos karena wali murid salah seorang siswa telah mampu berangkat umroh atau haji. Sehingga, misi personal dari organisasi kami adalah untuk menjadikan setiap anggota pers sebagai pribadi yang berintegritas, tidak gampang terpengaruh oleh hal-hal yang di luar prinsip, dan mampu mengelola hal-hal yang sifatnya privat dan hal-hal yang bersifat publik. “Tahun lalu sepertinya ada yang bikin konsep ginian. Coba nanti tanya ke kakak kelas di mana dan gimana cari media sponsor,” sahut Nissa yang dari tadi turut menyimak. “Nah tuh, tugas anak pers kan, nggak jauh-jauh dari soal ginian.” Malik nyerocos enteng. “Kehed sia!” celetukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD