Penjaga di Gereja St. Engels baru saja membersihkan genangan air setebal kira-kira empat senti dari trotoar ketika pemuda itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan d**a dan napas yang menggebu. Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata “Kantor” dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika embusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.
Aku dibelakangnya, mengamati.
Mengingat kemarin: “Kamu bisa melihat tempat dudukmu di denah yang ditempel di papan.”
“Kenapa tempat duduk pun sampai diatur-atur juga?”
“Maaf, kenapa?”
“Sekolah ini membosankan, sampai mengendap ke manusia-manusianya.”
“Maksudnya apa?”
“Tersinggung?”
“Tentu. Kamu sedang berbicara denganku.”
“Kalau aku memaksa duduk di sini, gimana?”
“Ini bukan mauku. Kalau aku pindah, aku dapat masalah. Bisa saja yang terlihat menginginkan pindah bukan kamu, tapi aku.”
“Penakut.”
“Bisa ulangi kata-katamu?” pintaku.
Jalanan penuh sesak pengendara yang usai dari gereja. Suara klakson bertanding bersautan. Aku dan bunda mampir ke minimarket, membeli bahan-bahan untuk nanti diolah oleh Bi Asih.
Aku mengambil beberapa sayur, bumbu dapur, dan kebutuhan yang lain sesuai instruksi. Memasukkan semuanya di keranjang yang dipegang bunda. “Bunda, ingat ketika Nissa bilang soal sepupunya yang pindah ke sini?”
“Ingat. Kenapa?”
“Aku sepertinya bertemu dengannya di sekolah?”
“Sepertinya?”
“Grace juga tidak terlalu yakin kalau itu sepupu Nissa.”
“Nggak tanya ke Nissa?”
“Setelah Grace sepatah kata mendengar ucapan laki-laki itu, aku nggak mau peduli.”
“Ucapan yang bagaimana?”
***
Aku ingin membagi cerita pribadiku padamu, sebelum cerita tentang Malik berlanjut semakin jauh. Ini kaitannya dengan hal yang sudah aku singgung di bab sebelumnya. Tentang aku yang belum mempunyai pandangan ke depan, tapi dipertanyakan alasannya kenapa aku memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Padahal bunda sendiri lulusan ilmu biologi. Tidak masalah bukan? Atau kau masih ingat, bahwa bunda mendikteku dengan konsep yang rasional, dengan tidak mengharuskan aku menduplikasi identitasnya. Walaupun aku sendiri ingin untuk menjadi perempuan yang multifungsional sepertinya.
Sejak SMP, aku memang telah jatuh cinta pada pelajaran-pelajaran ilmu sosial. Karena menurutku, materi-materinya yang paling “ngena” ke personalitas. Bisa dengan mudah diaplikasikan langsung ke dalam kehidupan. Aku tidak tahu dan tidak ambil pusing dengan prospek jurusan ilmu sosial ke depan. Tapi, satu hal yang aku ambil poinnya, bahwa aspek-aspek sosial itu dinamis dan berubah setiap waktu. Siapa yang nggak mau punya peran dalam hal itu? Mempelajari ilmu sosial, bisa sekaligus mempelajari diri sendiri dan mempelajari perkembangan informasi global. Tentu dengan tidak menyepelekan materi pengetahuan alam. Eksistensinya juga tidak kalah pentingnya.
Mengenai lingkungan anak IPS yang identik dengan siswa-siswi yang berantakan, menurutku relatif. Pasti setiap jurusan ada warna seperti itu. Karena ini menyangkut moral setiap orang. Bukan seharusnya ditanamkan pada label jurusan. Di sekolahku, anak IPA juga tidak sedikit yang sering terlambat waktu upacara dan setiap kalau istirahat, cara berpakaiannya sering ditegur oleh guru karena dianggap tidak rapi. Jadi, balik lagi ke kondisi mental setiap orang sebenarnya. Kalau kita konsisten ya, tidak mudah terpengaruh oleh circle. Kalau kita tidak prinsipil ya, dengan mudah disugesti oleh “hanya” kecaman-kecaman publik. Dan aku tidak pernah risau, karena memilih jurusan ini adalah keputusanku dan aku tidak menyesal.
Tapi, setelah kupikir ulang, ada rasa penyesalan kala itu, sementara.
Yang menyangkut dirinya. Aku serius.
***
Esoknya, aku dan Nissa bertemu di ruangan yang biasa dipakai oleh anggota pers pelajar berkumpul—kami salah satu anggotanya. Membicarakan soal pemuda yang seenaknya mau mengambil tempat dudukku dengan alasan tidak ingin diatur-atur. Aku masih membicarakan itu padanya dengan nada kesal. Sekaligus aku ingin memastikan apakah nama “Malik” yang ada di seragam pemuda itu adalah manusia yang pernah dibicarakan olehnya akan pindah ke sini tempo hari lalu.
“Iya, memang orangnya sedikit sengak gitu.” Nissa bilang.
“Cukup sekali aja aku adu mulut sama dia.”
“Adu mulut?”
Lantas aku menceritakan kejadian beberapa hari sebelumnya.
“Namanya orang nggak tahu dan dengan kebetulan dia orangnya sengak gitu, ya pasti mudah ribut.” Nissa tertawa.
“Tapi sikap dia bukan sikap murid pindahan pada umumnya gitu loh, Nis.”
“Yang harus bagaimana?”
“Ya, paling tidak dia nggak memancing keributan dengan orang baru.”
Nissa tersendat dan menjeda jawabannya.
“Orang baru?” Pertanyaan tiba-tiba. “Kalau dia ribut denganmu untuk pengenalan yang lebih jauh, gimana?”
“Maksudnya?”
“Kalau aku jadi Malik, menunjukkan sikap santun ke orang lain, mungkin karena aku tidak mau berurusan terlalu lama dengan orang itu. Terus, bisa saja dengan ribut, itu akan memicu ingatanmu tentang dia.”
“Mana ada manusia yang berbeda seperti itu,” jawabku kesal.
“Entahlah, aku juga nggak tahu banyak soal dia. Mending ke kantin, yuk.”
***
Di kelas, Malik masih menunjukkan sikap wajarnya terhadap para guru. Dan khawatirnya aku, apabila terjadi keributan yang dibuatnya karena sifatnya yang sengak itu. Serta bodohnya aku kenapa harus khawatir. Tapi memang benar, pernah sekali dia mengatakan sesuatu yang beda di tampilan perdananya sebagai murid baru. Yaitu ketika akan dibentuk pengurus kelas yang digagas oleh wali kelasku pada waktu itu.
Konsep pemilihan pengurus kelas dilakukan dengan menginisiasi para murid yang ingin mencalonkan dirinya. Sebelumnya aku ingin memberitahu kalau ada beberapa anak di kelas 11 yang juga pernah satu kelas denganku saat kelas 10, tentunya mereka masih ingat kalau aku pernah menjabat sebagai ketua kelas.
Alhasil, bukannya mereka mengajukan dirinya sendiri, tapi mendorongku untuk mencalonkan diri lagi sebagai ketua kelas. Kamu tahu? Bahwa bagaimana repotnya berhadapan dengan manusia-manusia yang tidak prinsipil seperti mereka?
Jadinya, karena aku tidak mau terlihat takut, aku menyetujui usul itu. Aku mencalonkan diri sebagai pengurus kelas. Entah aku akan mendapatkan posisi apa. Karena perolehan suara paling banyak, dia akan menjabat sebagai ketua kelas, perolehan suara di bawahnya akan menjadi wakilnya, dan seterusnya, sampai pada sekretaris 2.
Apa untungnya menjadi ketua kelas?
Aku akan dengan mudah membuat koneksi dengan wali kelas dan beberapa jajaran guru untuk mengorganisir kondisi kelas dan segala macamnya. Seperti membentuk konsep kepanitiaan kegiatan class meeting yang biasa diadakan sebulan sekali. Juga menyalurkan aspirasi untuk mengatur tata tertib kelas bila ada keributan dan hal-hal yang merepotkan lainnya. Jadi, menjadi ketua kelas tidak hanya soal menjadi perwakilan kelas yang harus capek-capek wara-wiri untuk memenuhi panggilan guru saja. Tapi, jasanya besar. Kalau dalam hierarki pengurus kelas, posisi ketua kelas itu dibawah wali kelas. Keren, kan?
Aku bukannya ingin eksis, tapi aku ingin mempunyai otoritas sehingga mampu mengatur stabilitas kelas agar suasana kelas menjadi kondusif untuk dipakai buat belajar. Ya, semacam upaya preventif saja.
Tadinya, aku bisa mendapatkan posisi itu dengan mudah. Karena kebanyakan murid di kelas juga tidak banyak yang mau. Tapi, setelah Malik mengajukan diri, suasananya jadi beda.
“Malik Adnan Pratama.” Pak Bagus meneriakkan namanya. Pak Bagus, beliau adalah wali kelasku. Sangat humble dan tidak galak-galak banget, kecuali kalau murid-muridnya sedang susah banget buat diajak kompromi dan malah ramai sendiri, baru nakutin banget marahnya.
Ketika voting dimulai, murid yang lain gaduh. Aku tidak kenal mereka semuanya. Hanya beberapa, lumayanlah buat mengisi suara. Dan setelah selesai rekapitulasi yang dibacakan oleh Pak Bagus, hasilnya adalah: “Malik dua belas suara, Grace delapan suara, Enggar enam suara, Fyora enam suara, Ica lima suara, dan Dicky tiga suara. Total siswa empat puluh.”
Sial.
Kalau kalian tahu, anak-anak sosial itu kebanyakan laki-laki. Di kelasku saja, jumlah siswanya 40. Anak laki-lakinya berjumlah 26, sisanya adalah perempuan. Mungkin itu yang memicu Malik mendapatkan suara terbanyak—pasti pemilihnya anak laki-laki semua. Yang mungkin tidak terima kalau perempuan yang menjadi pemimpin di kelasnya.
Aku sempat kesal, kenapa harus dia?
Saat istirahat, dia menghampiriku, dan bilang, “Aku belum melakukan apapun dan sudah di atasmu.” Sambil menunjukkan tatapan sengak dan sok cool-nya itu yang membuat aku muak.
Setelah itu, aku mengingat yang Nissa katakan, “Kalau aku jadi Malik, menunjukkan sikap santun ke orang lain, mungkin karena aku tidak mau berurusan terlalu lama dengan orang itu. Terus, bisa saja dengan ribut, itu akan memicu ingatanmu tentang dia.”
Apakah ini kebetulan?