Perasaan Kerap Tidak Bisa Diatur Oleh Logika

1168 Words
“Nggak ada topik lain yang bisa dibahas ya, selain tentang drama hidup?” “Ya, kali mereka ngomongin sejarah hitler.” “Ngomong-ngomong si Malik mana ya, bukannya tadi ada pemanggilan ketua kelas?” Ica mencoba mengingatkan. “Bukannya dia sudah berangkat? Fyora menimpali. “Wo, wo, wo… Ciwi-ciwi sedang gibahin cowok terganteng di kelas?” Edward muncul bergaya tengil layaknya rapper. Tempat dudukku berada di belakang Ica dan Fyora. Aku duduk sendiri karena teman sebangkuku—Rada, sedang pergi ke luar kota bersama keluarganya. Dia sudah izin selama satu minggu lamanya. Akhir-akhir ini aku duduk sendiri. Sesekali Ica duduk di sampingku dan meninggalkan Fyora duduk sendiri. Tapi, karena Fyora takut untuk duduk sendirian, maka saat pelajaran berlangsung, Ica nggak berpindah-pindah ke bangkuku. Tapi, kerap juga Malik yang pindah ke bangkuku. Khususnya saat pelajaran matematika. “Ward, Malik mana?” “Nggak tahu, nih. Dari tadi nggak bilang keluar kelas mau ke mana. Ke kantin kali.” Malik duduk satu bangku dengan Edward. Mereka lebih akrab sejak setelah mereka konser satu panggung kemarin. Mereka berdua sepertinya juga sering ngopi bareng kalau malam. Aku dan Nissa kerap diajak, tapi aku nggak mau. Kadang Nissa yang pergi sendiri, ngopi sama mereka. “Lah, siapa yang kumpul?” Ica menyahut. “Kumpul naon?” tanya Edward sambil menirukan logat Malik. “Naon-naon, mangkanya, kuping itu jangan disumbat pake headset terus!” Ica kembali menyergah. “Grace, kamu aja gantiin si Malik itu.” Fyora menyuruh. Tanpa disuruh pun, sebenarnya aku tetap akan berkumpul. Itu tugasku sebagai wakil ketua kelas. Kacau kalau misalnya tidak ada perwakilan dari kelas yang memenuhi panggilan itu. Bisa-bisa seisi kelas terkena imbasnya. Tidak lupa, aku merogoh tas—mencari iPod Malik yang kemarin sempat dia pinjamkan. Sekaligus mencari dan memastikan dia benar ada di kantin atau tidak. Awas saja kalau sampai di kantin. “Wo, wo, wo, iPod-nya bisa dipinjem, tuh? “Wo, wo, wo, nih, pinjem,” celetukku sambil menodongkan tinju padanya. Fyora dan Ica tertawa. *** “Ternyata bener di sini?!” “Hem, kenapa?” Tidak merasa bersalah, terkejut atau apa, dia masih lahap menyantap makanan di depannya. “Ada pemanggilan ketua kelas tahu!” “Sudah selesai?” “Dih, sudah.” “Duduk di sini, temenin aku makan.” “Nggak, aku mau balik ke kelas,” cetusku. “Aku traktir, deh.” “Nggak.” “Aku sayang, deh.” “Nggak usah repot-repot!” Dia nyekikik. Aku memberikan iPod-nya. Sebenarnya cukup susah buat mengakui secara terang-terangan kalau selera musiknya itu bagus. “Suka?” “Suka.” “Salah satunya?” “Bob Dylan- Make you feel my love.” “Done.” “Ish, apaan, sih?! Itu judul lagu, Malik.” Dia nyekikik lagi, mulutnya masih membungkus makanan. “Udah, ah. Aku mau balik kelas.” “Bentar, ayo jalan bareng.” Setelah dia minum dan membersihkan mulutnya, dia ikut balik ke kelas. Aku masih saja heran sampai detik ini, suasana hubungan personal aku dengannya sudah sangat hangat. Tidak seperti sebelumnya yang setiap kami ngomong, selalu saja feedback-nya ketus. “Kamu jalan di sampingku, jangan mengekor.” “Hah? Kenapa?” “Biar aku nggak dilihatin cewek-cewek itu.” Dia membisik. “Bodo amat. Urus saja sendiri. Kok jadi aku yang dibawa-bawa.” Memang, setelah konser acara sekolah beberapa hari kemarin, aku lihat kalau Malik tidak terlihat asing lagi di sekolah ini. Yang menggumulinya tidak hanya aku, Nissa, dan Edward saja, tapi ada kakak-kakak kelas juga. Mulai dari modus mengajak Malik gabung ke ekstrakulikuler musik, dan modus-modus yang lain. Dan sekarang aku perhatikan sekilas kalau dia memang dilihatin cewek-cewek yang rata-rata anak-anak kelas XII. Tiba-tiba, Malik menggandeng tanganku yang membuatku berdiri semampai di sampingnya. Dia semakin mendongakkan kepalanya dan membiarkan bahunya semakin terlihat lebih gagah. “Apaan, sih?! Lepasin, Malik.” Aku coba mengumpat dan menghempaskan cengkeramannya. Malik tidak mengindahkan dan tetap menggandengku menuju kelas. Mau tidak mau, agar tidak mencuri perhatian dengan ribut-ribut, aku menurut—sambil memasang wajah kesal. Begitu sampai di tangga menuju kelas, dia melonggarkan cengkeramannya dan aku melepaskannya. “Kenapa, sih?!” Aku menggertak. Benar-benar marah. Berani-beraninya memegang tanganku di depan umum. “Kalau ada guru yang ngelihat gimana?” Dia menjeda laju langkahnya. Menjalar sorotnya ke kerumunan anak-anak di bawah. Aku turut memperhatikan kerumunan itu. Ah, aku tahu maksud dia menggandengku tadi. Di kerumunan itu ada Kak Tio. Aku nggak tahu maksudnya apa, dan apa masalahnya. Saat ini, aku merasa kalau aku nggak sedang berjalan dengan orang atau sekadar teman biasa. “Kenapa kalau ada dia? Toh, dia juga nggak punya pengaruh apa-apa ke aku?” Malik membalikkan badan. “Perasaan itu kerap tidak bisa diatur oleh logika. Grace.” “Kamu memang masih bisa meyakini kalau kendali kemudimu itu masih cukup aman dan mampu buat ngatur arah, tapi kamu nggak tahu kapan angin lebat itu menerpa dan menggoyahkan.” “Justru karena aku masih tahu dan mampu bagaimana mengendalikan kemudi itu.” “Kata masih itu sulit dipercaya, Grace. Dengan kata masih, nggak ada jaminan buat mampu seterusnya.” “Lalu apa masalahnya denganmu?” “Mau temani aku ke toko buku nanti?” Malik mengganti topik. “Nggak ada teman lain?” “Makhluk mana sekarang yang masih kerap ke toko buku?” “Ya sudah, nanti ngajak Nissa juga.” “Boncengan bertiga?” “Ya, aku boncengan sama Nissa. Kamu sendiri.” Kami berjalan menuju kelas. Aku kembali mengekor. “Nissa nanti ada tugas kelompok sama temen kelasnya. Dia pesen ke aku biar ngasih tahu kamu. Makanya nanti motorku dibawa dia.” “Masa iya dari kemarin-kemarin dia kerja kelompok terus?” “Tahu, deh.” Hampir menuju ambang pintu kelas, kami sedikit ribut. Karena aku nggak mau masuk barengan dengan si Malik. Sepertinya di kelas sudah ada guru. Terdengar hening. “Biar aku yang masuk duluan. Kamu nunggu di balik pintu lima menit, baru masuk.” “Kan, kamu tadi yang ikut kumpul. Kamu yang harus nunggu di sini. Aku masuk duluan” “Ya, masa iya, aku yang nunggu di sini sendiri? Kalau nanti ada Kak Tio tiba-tiba lewat sini gimana?” Wajah Malik langsung berubah jadi murung. Dalam hatiku, aku ketawa. Sengaja aku mengerjai dia. Karena aku tahu saat ini, senjata pamungkasku kalau sedang debat sama dia adalah dengan menyertakan Kak Tio sebagai penghancur mood-nya. Ini adalah kelas terakhir sebelum pulang. Rencanaku barusan berjalan dengan mulus untuk membuat Malik menunggu di luar selama lima menit sebagai hukuman kalau dia ke kantin saat pemanggilan ketua kelas. Begitu masuk kelas, Bu Elsa—Guru Sejarah, menanyakan aku habis dari mana. Setelah aku menjawab kalau aku habis ada kumpul ketua kelas, beliau mempersilakanku duduk. Aku ambil ponsel, dan segera memberi pesan ke Nissa untuk memastikan apakah dia memang ada kerja kelompok sepulang sekolah. Tidak sampai dua menit, pesanku dibaca dan langsung dibalas olehnya. Dan memang dia mengiyakan kalau setelah pulang sekolah, dia ada tugas kelompok ke rumah teman sekelasnya. Lima menit sudah berlalu, Malik dengan memperlihatkan wajah tenang, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Bu Elsa memandangnya dengan sorot mata curiga. “Habis dari mana kamu, kok baru masuk?” “Habis dari ruang tata usaha, Bu. Bayar SPP. Maaf,” ujarnya kalem. Dih, masang muka polos dia. Pake ada acara bohong segala lagi. Awas aja entar. Batinku geram karena menemui Malik yang berbohong. Mustinya dia bilang jujur kalau dia habis ke kantin karena lapar. Bukan sengaja berniat membolos pelajaran. Toh, kalau misalnya di marahin, dia masih punya niat dan keberanian buat kembali ke kelas. Jujur sebab telah melakukan perbuatan bodoh itu lebih terhormat daripada berlagak telah melakukan perbuatan baik, tapi dipenuhi kebohongan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD