Malik: Kaya Itu Mitos Dalam Diri

1558 Words
“Pernah baca John Grisham?” “Em, Playing For Pizza, Camino Island, sama The Rooster Bar. Kenapa?” “The Confession?” “Belum, si.” “Ya udah, aku mau beli ini, sama buku SBMPTN aja.” Malik berdiri di rak yang menyediakan kategori n****+-n****+ terjemahan. Dia memegang n****+ John Grisham sambil membaca lamat-lama blurb buku itu. Toko Buku ini letaknya tidak jauh dari sekolah. Berada di pusat perbelanjaan. Namanya ‘Toko Buku Sarjana’. Ada dua lantai. Lantai satu menyediakan peralatan ATK: tas, pensil, rak buku, map, dan lain-lain. Lantai dua menyediakan khusus buku-buku bacaan. Dari mulai buku-buku cerita anak, n****+, buku teori, kitab suci, semuanya ada. Meski tidak selengkap gramedia, toko buku ini sangat recommended sebab ada tempat baca buku bagi mereka yang tidak mampu membeli buku. Aku nggak tahu konsepnya apa, selain sebagai tempat dagang, toko buku ini juga berlaku sebagai perpustakaan. Tidak jarang kalau toko buku ini digandrungi para pelajar dan mahasiswa. “Sejak kapan suka baca buku?” tanyaku. Malik masih sibuk mengitari rak-rak yang membuatnya terlihat ingin membawa pulang semua buku yang ada di rak itu. “Em, sejak aku tahu kalau aku harus sekolah.” “Emang baca buku itu tuntutan?” “Enggak. Yang termasuk tuntutan itu sekolah. Aku nggak tahu alasannya apa, kenapa aku disuruh sekolah. Satu jawaban yang sering aku dengar, biar pinter, katanya.” Malik mulai mengoceh. “Ya, emang sekolah itu sifatnya hak, bukan kewajiban. Kalau kamu nggak sekolah pun, nggak apa-apa. Toh, kamu nggak dipenjara.” “Tapi, stigma masyarakat akhir-akhir ini menganggap kalau orang pinter itu yang pendidikannya tinggi.” “Kata siapa?” “Hasil penelitian.” “Penelitian siapa?” “Penelitianku. He he he.” Malik nyekikik. “Tapi menurutku, sekarang tidak ada hierarki menurut pengetahuan. Tapi hierarki ekonomi. Asal dia kaya, orang lain aku segan sama orang itu. Terlepas pengetahuannya luas atau tidak. Sebaliknya, kalau orang itu miskin atau kehidupannya masih jauh dibilang mapan, dia sulit dihargai orang, walaupun pengetahuannya luas.” “Tapi nggak logis juga, orang yang pengetahuannya luas, mustinya mampu memperkaya hidupnya, karena pengetahuannya itu.” “Bener, sih. Ini tergantung ukuran masing-masing orang tentang apa itu kaya. Kalau bagi orang yang punya kekayaan dalam hal harta menganggap bahwa orang yang punya pengetahuan luas sebetulnya sudah kaya, meski orang tersebut hidup sederhana atau tidak mau melampaui gaya hidupnya sampai ke tingkat kaya harta. Tapi bagi orang awam yang kurang esensial dalam melihat sesuatu, pasti akan menyimpulkan kalau kaya adalah semata-mata karena punya banyak uang, banyak tanah, dan aset-aset lain. Tapi bagi orang yang mampu melihat segala sesuatu secara esensial dan mampu mensyukuri setiap koridor kehidupannya pasti paham bahwa dengan hanya punya bentuk tubuh sempurna tanpa cacat pun, itu sebenarnya sudah sangat kaya.” “That’s the point. Bagiku, kaya itu mitos dalam diri aja.” “Lalu kenapa kamu sekolah?” tanyaku lagi, sekadar make sure dengan ucapannya yang bilang bahwa sekolah itu adalah tuntutan. “Kalau orangtuaku tidak menaruh harapan besar terhadap pendidikanku, mungkin aku nggak akan melanjutkan ke SMA. Ini hanya semacam pengabdian ke orangtua buat bikin mereka seneng aja. Tapi tetap pada kenyataannya kalau pernah sekolah bukan berarti seseorang pernah berpikir. Bila saja, sekolah itu termasuk satu-satunya pabrik penghasil pikiran, maka orang tidak perlu internet, juga tidak perlu ada yang namanya WikiPedia. Untuk mampu berpikir, dunia secara keseluruhan ini adalah pabriknya. Sekolah ini adalah seperti lubang semut saja. Sistemnya, semakin banyak orang yang berduyun-duyun masuk ke lubang itu, maka akan semakin banyak makanan di dalamnya, dan lubang itu semakin terkenal dan berbahaya.” Maksud Malik adalah, sistem sekolah di Indonesia saat ini kebanyakan hanya fokus untuk mencari sebanyak-banyaknya murid. Bukan berfokus pada peningkatan skill setiap tenaga pendidik. Logikanya, semakin tenaga pendidik itu berkualitas, dia akan mampu membantu melahirkan pelajar-pelajar yang cerdas. Anak-anak yang ingin sekolah akan dengan sendirinya berduyun-duyun ke sekolah tersebut untuk mencari potensi tenaga pendidik yang mampu membantunya never give up terhadap apapun: belajar agama, belajar sains, dan lain-lain. Because, the right man, in the right place. Namun sekarang, pihak sekolah juga termasuk para guru, turut sibuk mempromosikan sekolahnya, tapi lalai untuk rajin meng-upgrade skill mengajar dan pengetahuannya. Padahal, etika dasarnya adalah murid yang membutuhkan guru, bukan guru yang membutuhkan murid. Itulah kenapa kebanyakan lahir pelajar-pelajar yang membangkang. Sebab dia pergi sekolah bukan secara sungguh-sungguh bahwa dia membutuhkannya, melainkan bisa jadi karena tuntutan, juga karena kekhawatiran diomongin orang karena tidak berpendidikan. “Kita ngoceh begini karena kita ragu untuk membahasnya dengan orangtua ya, karena bisa saja salah pengertian.” “Itulah kenapa kamu dulu sering tawuran, demo, dan ngelakuin hal bodoh lain, sebab ngerasa nggak butuh sekolah?” Malik mengalihkan perhatiannya sementara dari buku. Berjalan ke arahku sambil menenteng n****+ John Grisham “The Confession” yang ingin dia beli. “Tawuran, demo, karena melakukan itu bukan semata-mata orang lain berhak menjustifikasi bahwa aku ugal-ugalan, pelajar b***t, atau nggak punya moral. Justru karena mereka nggak bisa melihat esensinya. Memang secara estetika, perbuatan itu terlihat nggak senonoh, urakan, dan sebagainya. Juga seakan-akan aku terlihat nggak punya kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu dengan kepala dingin. Tapi, ada kalanya suatu persoalan bila nggak bisa diselesaikan dengan perundingan secara baik-baik, maka solusinya adalah tadi.” “Tapi, bahayanya kalau ada yang sampai meninggal gegara kejadian itu?” “Setidaknya aku punya alasan bahwa tujuanku melakukan itu adalah untuk tujuan yang bermoral. Makanya, haruslah ekstra berhati-hati untuk mendengarkan kisah orang lain, dari penyampaian orang lain. Aku nggak menyalahkan kamu mendengarkan ceritaku dari Nissa. Tapi, aku akan berhak menyalahkan kalau kamu sudah mengambil kesimpulan hanya berdasar dari cerita Nissa.” Aku bergeming. Malik terus berceloteh. “Misalnya, kalau Nissa pernah secara sekilas menceritakan kalau aku pernah terlibat tawuran saat aku masih sekolah di Bandung. Sebagai fakta memang betul, tapi sebagai pesan moral itu kurang nyampe. Sebab kalau hanya berhenti pada kata tawuran, sifatnya itu buruk. Makanya harus lengkap ceritanya. Karena aku tawuran bukan semata-mata atas tuntutan ego atau aku tidak mampu mengendalikan emosi. Pada dasarnya, memang ada upaya penyelesaian secara baik-baik. Seperti kalau misalnya ada salah satu temanku dijahilin, diledekin, lalu dipukul, lalu nggak ada itikad baik buat minta maaf setelah aku dan temen-temenku memperingatkan ya, jatuhnya itu tadi, tawuran. Terus kalau kejadian itu ketahuan oleh guru atau polisi, aku dan yang lain punya alasan buat membantah kalau tindakanku sama temen-temenku nggak salah.” “Apa alasannya? Bakal berlindung dengan cara mencari alibi” “Hem, aku nggak sepengecut itu. Kalau misalnya diskors pun, aku nggak apa-apa. Tapi tujuanku hanya meluruskan, supaya ada moral yang bisa ditata dan diperbaiki dalam sistem di sekolah. Baik dari muridnya, juga dari gurunya. Sekaligus kolaborasi keduanya.” Dia menjelaskan seperti rumus volume balok: panjang kali lebar kali tinggi. Pada intinya, dia termasuk orang dengan karakteristik yang nekat, yaitu dalam arti, dia akan teguh pendirian dengan sesuatu yang akan dia lakukan, asalkan menurut dia itu benar. Meskipun kebenaran itu sulit diterima oleh orang lain. Menurutku, apa yang kami bicarakan di toko buku hari ini merupakan sinopsisi masalah sosial akhir-akhir ini. Kecenderungan memaksakan kebenaran individual agar diterima oleh orang banyak. Yang menyebabkan timbulnya pertengkaran. Sebab, salah seorang yang mempunyai kebeneran versi yang lain tidak terima bahwa ada upaya doktrinasi dari sumber lain. Aku baru sadar, kalau percakapan kami itu bisa dibilang nggak sepele. Membicarakan sesuatu yang tanpa perencanaan, tapi ada suatu hal yang menarik ketika Malik perlahan-lahan membuka kedoknya yang sebenarnya. “Mau es krim atau es tehnya Mas Arif sambil makan siomay?” “Siomay Mas Arif!” tegasku. Traktiran, nih. He he he… *** “Eh, ngomong-ngomong akhir-akhir ini kamu kerja kelompok terus ya, Nis?” “Ya, sekali doang yang tiga hari kemarin, Grace.” “Tiga hari kemarin? Bukannya kemarin sore pulang sekolah juga ada tugas kelompok lagi?” “Mana ada, Grace.” Aku baru selesai cuci muka, dan Nissa sudah berada di ruang tamu sambil melakukan peregangan tubuhnya lamat-lamat. Hari minggu pagi ini, seperti biasa kami akan jogging bareng di stadion dekat sekolah. “Bawa air dari rumah aja, Grace.” “Iya, sudah.” “Bunda mana?” “Lagi ke pasar sama Bi Asih. Tadi aku udah pamit kok, kalau mau jogging.” “Em, ya udah ayo berangkat.” Sesampainya di stadion, kami langsung naik ke tribun. Memakai sepatu dan menyimpan sandal dan tas kecil berisi minuman kami. Seperti biasa, minggu pagi di stadion ini cukup ramai. Biasanya ada club sepak bola yang latihan, tapi nggak tahu hari ini rumputnya masih berdiri tegar dan terlihat segar, tidak diinjak-injak. Mungkin tim club sepak bolanya sedang migrasi ke tempat lain. “Bukannya itu si Malik, ya?” Aku mencari sosok itu. Dan memang Malik sedang mengitari jalur larian. Tidak tahu kenapa, akhir-akhir ini, diriku terlibat terlalu banyak dengan Malik. Tidak di sekolah, di toko buku, di kantin Mas Arif, juga di stadion ini. “Bukannya kemarin kamu tugas kelompok berangkatnya pakai motor Malik, ya?” Melihat Malik, aku jadi teringat kalau dia sempat bilang menyerahkan motornya ke Nissa kemarin. “Iya, soalnya Malik bilang, dia ada urusan. Makanya pulang telat, ya udah kubawa pulang.” “Pulang? Bukannya tugas kelompok?” “Dih, dibilangin enggak.” “Kan, kamu yang bales pesanku kemarin waktu pelajaran terakhir.” “Pelajaran terakhir?” Nissa sambil mencoba mengingat. “Ah, kemarin kan, si Malik sempat pinjam ponselku.” Keningku berkerut. “Iya, kemarin itu aku sama dia papasan di kantin. Nah, dia pinjem ponselku soalnya ponsel dia kuotanya habis,” tegasnya. “Hah? Jadi yang bales pesanku itu Malik?” “Pesan naon, sih?!" Nissa mikir sebentar. “Ah, iya, dia sempat bilang waktu balikin ponsel, kalau habis ketemu kamu di toko buku.” Aku sudah telanjur kesal. “Bukan hanya ketemu, ish!” “Ini mah, akal-akalannya dia biar mau bisa kutemenin ke toko buku.” “Hah?! Kalian jalan?!” Belum apa-apa, jantung Nissa sudah memompa daya oksigen terlalu kencang—kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD