Keesokan harinya lebih baik… tapi juga lebih buruk.
Setelah peristiwa sebelumnya dengan Kak Tio, aku malah ngerasa nggak enak karena terjadi perubahan suasana di hari-hari setelahnya. Dia cenderung lebih menjadi seperti pengintai. Ketika secara sekilas aku mendapati dia di kantin, dia hanya memandangiku dari jauh dengan tetap melebarkan senyumnya. Aku yang nggak merasakan apa-apa dari tatapannya itu, jatuhnya jadi bingung untuk bereaksi bagaimana. Salting juga enggak, lebih merasa seperti; “ini apaan, sih?” Tapi, baiknya itu aku nggak ngerasa lagi terganggu seperti sebelumnya ketika dia mendekatiku—aku risih.
Aneh saja menurutku, sebab bermula dari membahas sesuatu yang erat kaitannya dengan hubungan, malah jatuhnya seperti orang yang tidak kenal. Aku nggak mempermasalahkan itu. Toh, aku juga nggak berharap apapun pada dia. Walaupun karena reaksi dia yang masih teguh untuk mendekat sementara dia sudah menerima penolakan sebelumnya. Bayangin, sisa berapa makhluk yang seperti itu? Padahal dia masih punya banyak alasan untuk mendekati perempuan lain yang mau menerima dia tanpa alasan a, b, c, d. Atau yang membuatnya menjumpai ketidakpastian akan pilihannya.
Ketika dalam suatu momen, sekolah mengadakan kegiataan class meeting, yang diisi dengan aneka lomba olahraga. Ada futsal, bulutangkis, tenis meja, voli, basket, panahan, dan lari estafet yang dipertandingkan. Setiap kelas diwajibkan mengirimkan delegasi minimal mengikuti satu cabang olahraga yang diperlombakan. Nissa bersikukuh mengajakku mengikuti lomba basket, dan aku meng-iyakan.
Ketika perlombaan itu dibuka, antusias siswa begitu luar biasa. Apalagi bagi mereka yang mengikuti lomba futsal dan lari estafet, sangat ramai. Tidak segan-segan setiap kelas membentuk aliansi untuk memberikan dorongan kepada delegasi mereka yang ikut bertanding. Basket juga tidak kalah menarik. Para siswi berkerumun hanya sekadar menunggu cucuran peluh yang membasahi leher pemain basket laki-laki yang identik punya fisik yang ideal; tinggi dan bentuk tubuh yang atletis.
Salah satu keburukan entitas manusia dari segi laki-laki maupun perempuan akhir-akhir ini adalah mereka tidak punya alasan yang rasional mengapa dia melakukan sesuatu dan/atau apa yang melatarbelakangi kenapa dia ada di situ. Misalnya hari itu aku mengamati sekaligus menanyakan kepada satu-dua perempuan tentang antusiasnya berada di tribun untuk apa, semuanya menjawab: “Pemainnya ganteng-ganteng.” Begitu juga yang laki-laki, alasannya pun sama, karena ingin melihat d**a perempuan yang bergoyang ketika berlari. Aku tidak serta-merta menyalahkan alasan mereka yang tidak esensial itu, karena mereka berhak berfantasi. Toh, aku juga tidak berhak untuk menjustifikasi sesuatu hal yang menurut mereka menyenangkan.
Kembali ke perlombaan, dari babak penyisihan sampai tiba pada fase semifinal, tribun masih menahan penonton untuk tetap berada di tempatnya. Yang bermain adalah kelas XI IPA 1 melawan kelas XII IPS 4. Ini pertandingan yang mendebarkan. Asumsiku, kelas XI IPA 1 mungkin gaya permainannya hebat, hingga mampu melaju ke fase semifinal. Kelas XII yang lain malah sudah gugur di babak penyisahan dan babak 8 besar. Ini adalah pertandingan adu gengsi. Yang lebih tua ingin mempertahankan harga dirinya, yang lebih muda justru tidak mau mengalah.
Suporter yang dipastikan kelasnya gugur, sekarang beralih mendukung kelas lain yang masih bertahan. Tidak sedikit suporter kelas XII yang kelasnya sudah dinyatakan gugur, malah lebih memilih berada di pihak kelas XI IPA 1. Sekarang, selain umur, tampaknya kalkulasi pendukung juga menjadi faktor yang mampu mempengaruhi emosi setiap pemain.
Tugasku selain menjadi peserta lomba kali ini, juga tetap menjadi perekam lomba untuk aku bagikan kepada anggota pers pelajar sekolah. Tapi tidak hanya aku yang bertugas, seluruh anggota juga bertugas termasuk Nissa. Anggota pers pelajar yang tidak mengikuti lomba, lebih mendapatkan tugas ekstra untuk menggali berita. Mulai dengan mencatat nama-nama pemain yang menjadi bintang pada fase semifinal dan saat final nanti, juga mencatat kejadian-kejadian krusial yang berpotensi menjadi perhatian seluruh warga sekolah.
“Itu bukannya kakak kelas yang minta nomor ponselmu ya, Grace?”
Kedua mataku menjalar mencari sosok itu. Dia memakai ban kapten, sepatu mizuno warna putih, dan bernomor punggung 5. Lengannya dari ujung sampai telapak tangan terlihat. Putih mulus bukan seperti laki-laki pada umumnya.
Sejenak aku terdiam, peluit wasit membuyarkan perhatianku. Kak Tio meraih bola dimulainya pertandingan, mengoper ke rekan satu timnya. Tempo pertandingan sejak awal sudah sangat agresif. Kulit para pemain beradu, berbenturan. Belum sampai pergantian babak, raut emosi sudah terpancar dari wajah pemain kelas XII. Kak Tio bertanding sangat tenang, menguasai strategi timnya.
Berulang kali Kak Tio mencoba keberuntungan dengan menembak di jarak 3 poin. Tapi masih gagal. Saat ini, jarak skor masih sangat tipis. Sedang, anak-anak kelas XII yang unggul, Kak Tio dan kawan-kawan semakin gencar menekan barisan pertahanan lawan. Kedua kapten silih bergantian memerintah dan mengingatkan kawannya untuk menjaga pos-pos kosong, dan menempel ketat lawannya one on one.
Babak kedua dimulai. Keunggulan masih menjadi milik kelas XII. Setelah turun minum, tensi permainan menurun. Sampai pada saat Kak Tio disikut oleh pemain lawan setelah tembakan 3 poinnya mampu bersarang di ring lawan dan membalikkan kedudukan, tensi permainan mulai kembali naik, sangat cepat. Bahkan kali ini lebih cenderung kasar. Yang tadinya anak kelas XII sangat berhati-hati ketika merebut bola, kini sedikit ada upaya dorong-mendorong. Riuh tepuk tangan menonton semakin membuat pertandingan lebih seru.
“Greget juga ya, mainnya anak kelas XI.”
Deru angin mengibaskan daun-daun yang semula berpelukan erat dengan batang pohon. Terik matahari menembus sampai celah-celah fentilasi lapangan basket. Terdengar hamburan pujian di tribun di layangkan kepada masing-masing kelas dan pemain. Pertandingan ini juga mulai mencuri perhatian guru-guru dan staf sekolah. Yang tadinya lebih sering main gadget di tribun, kini lebih serius menonton, bahkan kerap meneriaki murid yang dikenal. Bahkan tukang kebun pun ikut menonton di pojokan belakang ring, sekaligus juga turut membantu mengambil bola apabila bola tersebut keluar lapangan pertandingan.
Pertandingan memasuki babak terakhir. Setiap pemain menuju keluar lapangan dan mendinginkan kepala. Sesekali juga menyusun strategi. Jarak skor sangat tipis. Kali ini kelas Kak Tio yang unggul. Babak terakhir ini menjadi penentuan.
Kedua tim sudah memasuki lapangan, Kak Tio mengibaskan rambutnya yang telah basah terkena air. Permainan dimulai dari garis pinggir lapangan. Bola buat kelas XII. Tekanan semakin terlihat di babak terakhir ini. Pertahanan semakin kokoh dari anak-anak kelas XI. Hampir tidak ada celah dan ruang yang nyaman untuk melayangkan tembakan bagi pemain-pemain kelas XII. Pemain beraksi sedikit, diikuti. Gerak ke samping, diikuti. Dijaga di belakangnya. Waktu terus berjalan. Sesekali instruksi staf dari tim kelas XII meminta time out untuk mengorganisir kepanikan anak-anak kelas XII yang tidak terkendali.
Waktu pertandingan tersisa dua menit. Penonton semakin riuh bersorak, mulai ada yang menggencarkan ejekan untuk mempengaruhi kondisi psikis lawan. Ini sangatlah berdampak buruk bagi situasi tim kelas XII. Waktu tinggal satu setengah menit, Kak Tio berhasil merebut bola dan segera sigap melakukan counter attack, satu lawan satu dengan kapten tim kelas XII.
Sret! Brakkk!
Tipuan Kak Tio gagal dan dia tergelincir. Kawan-kawan Kak Tio yang dalam kondisi ikut menyerang, mulai panik menyusun pertahanan. Tama—kapten kelas XII, berganti melakukan serangan balik. Dan…
Tama berhasil melakukan dunk! Jarak skor tinggal dua poin kali ini.
Waktu tinggal satu menit. Tim kelas XI, mencoba untuk kembali mengatur posisi, mengatur ritme, dan membiarkan pemain mulai mengatur napasnya masing-masing. Tidak ada upaya serangan yang dilakukan tim kelas XII. Sepertinya mereka lebih main aman, takut kecolongan angka seperti sebelumnya. Mereka memang hanya perlu menunggu peluit berakhir yang hanya tinggal setengah menit. Kelas XII semakin mencekam lawannya dengan agresivitas pertahanan dan pressure yang kuat. Lawannya hanya main saling oper, tidak ada upaya ingin menembak.
“Edo! Belakangmu!” Teriak Kak Tio.
Fian menyerobot bola dari Edo. Melewati lawannya yang masih terkejut karena kecerobohan Edo tadi. Anak-anak kelas XI bergegas kembali ke benteng pertahan, menyusun pertahanan kembali. Satu lawan, satu orang. Fian mengoper bole ke Roy. Roy mengambil ancang-ancang dan bersiap menembak… Kak Tio refleks ikut melompat, mengantisipasi tembakan…
“Tama!”
Ternyata hanya tipuan. Diopernya bola itu ke Tama, dan dia bersiap menembak. Waktu kurang lima detik…
Dan…
“Masuk!!!!!!”
***
“Juara tiga, selamat.” Aku masih tertinggal di lapangan basket karena masih ada penobatan juara. Tim kelasku mendapatkan juara dua, dikalahkan oleh kelas XI IPA 2—delegasi perempuan dari kelasnya Kak Tio.
Awalnya aku melihat kalau ada raut wajah kesal yang terpancar dari wajah Kak Tio. Mungkin karena pertandingan tadi, kelasnya hampir bisa meraih kemenangan. Tapi, mungkin dia sebagai kapten cenderung menyalahkan diri sendiri. Sebab dia merasa kalau gegara dirinya terpeleset tadi, itu yang menjadi penyebab timnya kalah.
“Ya begitu kalau terlalu obses sama kemenangan, kalau obses itu berlawanan dengan hasil akhirnya. Jatuhnya nyesel kek gini.” Aku berusaha menyindir. Entah dia mengerti maksudku atau tidak. Yang jelas, ucapanku itu berlaku secara objektif. Dalam hal apapun, dalam urusan apapun, dalam memperjuangkan siapapun, tidak hanya basket.
“Termasuk obsesku ke kamu, kan?” timpalnya lirih. Sambil memandang titik dia terpeleset tadi di lapangan basket.
Aku tidak sanggup berbohong.