Bab 10

1910 Words
JILL -  Jill pernah memimpikan Jess terkujur di atas ranjang dengan tubuh bersimbah darah, namun ia tidak pernah membayangkan Jess benar-benar berakhir dengan cara yang tidak kalah mengenaskannya. Jill telah mengenal wanita itu selama belasan tahun. Jess adalah rekan kerja ibunya di klub yang sama. Meskipun hubungan Jess dengan Alice Maureen tidak begitu baik, namun Jess telah menyukai Jill sejak Jill remaja. Menurutnya Jill jauh lebih baik ketimbang ibunya. Hubungannya dengan Jess menjadi semakin dekat persis setelah hari kematian Alice. Jess sering datang untuk sekadar menemani Jill melewati malam-malam panjang dengan mimpi buruk yang selalu menghantuinya. Terkadang, Jess hanya akan singgah sebentar untuk mengobrol dan seringnya mereka bertemu ketika langit masih cerah karena sore hingga dini hari, Jess akan berkeliaran di pinggir jalan, menunggu seseorang menjemputnya dengan sedan atau porsche mewah dan membawanya bermalam di motel-motel murah. Suatu hari Jess pernah mengetuk pintu rumah Jill sekitar pukul dua. Wanita itu datang dalam keadaan mabuk. Wajahnya dipenuhi oleh memar sedangkan kedua matanya memerah. Jess muntah berkali-kali sebelum aspirin akhirnya berhasil menekan rasa sakit itu dan membuat Jess tertidur hingga pukul sepuluh pagi. Jess jarang menceritakan sesuatu yang buruk tentang pekerjaannya, wanita itu menolak untuk membebani Jill dan Jess lebih seringnya membicarakan mimpi-mimpi lamanya bersama Jill. Jika Jess nyatanya terlibat dalam masalah selama satu tahun terakhir, Jill mungkin akan menjadi orang terakhir yang mengetahuinya – tidak peduli seberapa dekatnya mereka. Melebihi hubungan seorang teman, Jess sudah seperti keluarga untuknya. Hanya saja, perubahan sikap Jess yang terjadi selama satu bulan terakhir sebelum wanita itu ditemukan tewas di kediamannya, telah menimbulkan banyak asumsi di kepala Jill. Rasa penasaran itu muncul begitu saja. Dengan segera Jill akan menolak siapapun yang berasumsi bahwa Jess melakukan aksi bunuh diri. Sementara itu kepolisian tampaknya tidak begitu acuh. Tidak ada seorangpun yang memedulikan Jess untuk mengetahui kebenaran tentang penyebab kematian wanita itu. Dia bunuh diri, apa kau tidak bisa memahaminya? teriak Jeanette ketika Jill menghubunginya siang itu. Jeanette bisa menjadi begitu menjengkelkan – terutama saat suasana hatinya sedang kacau. Dan bukan hanya kewarasannya yang mulai terganggu, wanita itu juga merupakan parasit untuk Jess. Kematian Jess tampaknya mengguncang Jeanette, namun tidak cukup aneh untuk membuatnya penasaran. Dia menelan obat-obatan itu! Lanjut Jeanette. Dia mungkin sudah habis kesabaran, dia mungkin begitu membenciku karena tidak ada yang dapat kulakukan untuk menolongnya. Tidakkah kau memahaminya? Adikku memilih jalan keluar itu karena dia tidak tahan dengan apa yang dihadapinya. Mungkin itu juga akan terjadi padaku setelah kecelakaan. Aku tahu bagaimana seseorang bisa sekarat sehingga mati rasanya menjadi jalan keluar terbaik. Aku tahu dia berada di bawah tekanan dalam satu tahun terakhir dan aku menyesal tidak dapat berbuat apapun. Tapi dia sudah mati! Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya. Setidaknya, Jill berusaha melakukan sesuatu. Jill menyesal bahwa ia tidak dapat mencegah hal itu terjadi, sehingga ia merasa perlu untuk menebusnya. Namun jauh di lubuk hatinya, Jill tahu sesuatu yang salah telah terjadi. Jess tidak mati karena keputusannya dan Jill tetap bersikeras pada pendapat itu. Sore itu, Jill mengendarai sedan tua miliknya untuk sampai di kediaman Jess. Jill telah mengambil jalan pintas untuk sampai disana. Dulu ia sering melewati jalur hutan. Tom Wesley, petugas yang berjaga di kawasan itu selalu menutup gerbang pada pukul tujuh dan biasanya ia akan berkeliaran dengan anjing hitamnya sekitar pukul enam, saat itu pukul lima lewat tiga puluh menit. Setidaknya Jill masih memiliki waktu untuk mengendara keluar dari jalur itu. Lima belas menit kemudian, Jill sampai di belakang bukit. Rumah Jess berada tak jauh disana. Garis kuning masih dipasang mengelilingi bagunan berstruktur kayu itu, Jill akhirnya memutuskan untuk memarkir mobilnya di tepi jalan. Ia bergerak turun dan diam-diam mengendap masuk ke dalam rumah Jess. Polisi meninggalkan pintunya tidak terkunci, satu kesalahan fatal yang bisa saja memengaruhi penyelidikan. Lubang di jendela masih menganga, sementara itu angin menyapu dedaunan kering yang berguguran ke atas teras. Beberapa pita merah bekas penyelidikan masih berada di tempat yang sama. Sementara bagian dalamnya dibiarkan tetap sama seperti kali terakhir Jill melihatnya: noda hitam gelap di atas lantai, meja dan kursi di ruang tengah tepat dimana Jill menemukan Jess duduk tak bernyawa disana, sejumlah porselen kotor di atas bak pencuci piring, bekas muntahan di dasar tangga, bau urine yang menyengat dari kamar Jess hingga gagang telepon yang jatuh menggantung di atas lantai. Jill menggunakan kain tipis ketika meraih gagang telepon yang jatuh itu. Ia menyaksikan lampu merahnya berkedip-kedip yang menandakan bahwa ada sejumlah pesan suara yang masuk. Setelah menatap ke sekitarnya, ia menekan tombol ‘terima’ dengan ragu-ragu sebelum suara serak seseorang keluar dari mikrofon kecil itu. Jessie Sue, ini Jenny Ann dari pusat terapis. Aku ingin memberitahu bahwa kau memiliki jadwal kunjungan dengan Dr. Steve besok pada pukul dua siang. Jika kau hadir, tolong konfirmasi pesan ini. Aku akan menunggu jawabannya sampai pukul tujuh, jika tidak ada jawaban, maka dengan menyesal, kau harus menjadwalkan ulang untuk pertemuan selanjutnya. Terima kasih. Lampu mereah itu kemudian berkedip lagi, Jill menekan tombol ‘terima’ dan kali ini suara seorang wanita di seberang. Aku tahu apa yang kau lakukan pada suamiku, dasar kau p*****r! Kau sebaiknya menjauhi Ben dari kemaluanmu yang kotor dan kembalilah ke selokan, kau sialan! Jill mengulangi pesan itu sekali lagi, mendengar suara yang muncul disana lebih jelas dan berusaha mengenalinya. Ia kemudian melacak nomor si pengirim pesan melalui mesin telepon, kemudian dengan tergesa-gesa menggeledah seisi laci nakas untuk menemukan buku telepon. Jess sering meletakkannya di sembarang tempat. Jill telah memeriksa seluruh laci dan tidak menemukannya, jadi ia bergerak ke kamar Jess dan menemukan buku catatan kecil itu persis di bawah tumpukan pakaian. Sejumlah nama yang tercantum dalam buku telepon itu masih sanggup dikenalinya, namun Jess juga mencatat beberapa nomor telepon tak dikenal di beberapa halaman terakhir. Jill akhirnya memutuskan untuk menyimpan buku telepon itu di dalam tasnya dan mencari tahu nanti. Kali ini ia beralih ke lemari pakaian Jess yang mengintip terbuka. Jill mendorong pintunya secara perlahan menggunakan kain tipis, berhati-hati untuk tidak meninggalkan jejak dimanapun. Pintu lemari kemudian terbuka lebar. Jill memeriksa bagian atas dan bawah untuk memastikan jika ada sesuatu yang disembunyikan Jess di dalam sana, namun tidak ada apapun selain sejumlah pakaian yang digantung berjejer dan sejumlah mantel yang biasa digunakan Jess untuk pergi ke klub. Pakaian itu tampak tidak begitu asing karena Jill sering melihat Jess memakainya. Jess juga masih menyimpan mantel milik Jill yang dipinjamnya malam terakhir ketika mereka keluar bersama-sama. Jill ingat ia meninggalkan mantel itu karena terburu-buru, hanya saja, Jill tidak tahu kalau Jess menyimpannya disana. Jill menarik mantel itu dari dalam lemari kemudian mengenakannya dengan cepat. Dari sudut ruangan, ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Kini ia merasa asing mengenakan mantel biru itu, terutama ketika mencium wangi parfum Jess yang masih melekat disana dan ketika Jill merogoh ke dalam sakunya, terdapat sebuah kartu nama yang mungkin diletakkan oleh Jess disana. Dengan tergesa-gesa, Jill memasukkan beberapa barang milik Jess ke dalam tasnya: ia juga menemukan sebuah catatan di dapur, secarik kertas berisi resep obat di laci dan hingga sebuah buku bersampul coklat yang tampak asing di dalam rak. Setelah menuruni tangga, Jill bergerak menuju ruang tengah, tempat dimana ia menemukan Jess tewas. Wajahnya memucat saat melihat tempat itu lagi, kali ini hanya sebuah meja dan kursi kayu yang kosong. Jess membiarkan perapiannya mendingin selama beberapa hari. Tidak ada kayu bakar yang tersisa atau bekas abu yang memenuhi lantainya. Tombok batanya menghitam karena tidak pernah lagi dibersihkan selama satu tahun terakhir. Jill masih mengingat sofa biru tua di ruangan itu. Ia dan Jess pernah duduk disana, menyandarkan kepala sembari menyaksikan film favorit mereka. Noda hitam gelap bekas tumpahan bir masih terlihat. Jill juga mengingat kaca jendela di ruang tengah, pajangan-pajangan kayu dan sebuah bingkai foto. Hanya ada satu bingkai foto disana dan gambar yang terpajang di depannya adalah foto mereka bersama-sama di awal musim panas. Dalam gambar itu, Jill melihat Jess tersenyum ke arahnya. Jess masih tampak sehat, wajahnya tidak sepucat kali terakhir Jill melihatnya dan rasanya Jill masih mengingat suara tawa Jess yang keras dan bergemuruh. Tiba-tiba paru-parunya terasa sesak. Jill merasa udara dipompa keluar dari tubuhnya dan hawa panas di dalam ruangan itu memerangkapnya. Dengan terburu-buru, Jill melangkah keluar. Langkahnya goyah ketika ia mencapai teras dan Jill nyaris jatuh saat mencapai anak tangga. Pandangannya mulai kabur ketika ia menatap ke sekitar. Di kejauhan sana, Jill melihat sebuah sedan hitam bergerak mendekati mustang tua miliknya. Jauh sebelum pengemudi itu memarkirkan sedannya di depan mobil Jill, Jill sudah dapat menebak apa yang akan terjadi. “Sial.” Dengan tergopoh-gopoh, Jill melangkah menjauh. Ia sedang bergerak menuju halaman mendekati tembok sebelum Tobias menahannya. “Pergi!” pinta Jill tanpa menatapnya. Alih-alih mengacuhkannya, Tobias berkata, “ayo ikut aku!” “Tidak!” Laki-laki itu menarik lengan Jill, menahannya sembari menatap Jill lamat-lamat. “Tolong..” Ketika Tobias membimbingnya ke balik tembok, Jill tahu bahwa laki-laki itu berusaha menghindari seseorang petugas polisi lain yang sedang bersamanya. Jill hanya menatap sekilas melewati bahunya ketika petugas Joey Mrytle turun dari dalam mobil sembari mengawasi mereka di kejauhan. “Apa yang kau lakukan disini?” bisik Tobias begitu mereka berada cukup jauh dari jangkauan petugas Mrytle. Jill enggan menjawabnya, namun tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Tobias, laki-laki itu akan mengetahui apapun yang ingin diketahuinya, bahkan hanya dengan menatap tas hitam yang mengayun di salah satu pundak Jill. “Berikan itu padaku!” “Tidak!” “Kau tahu yang kau lakukan hanya akan membahayakan dirimu.” Tatapan Jill menantangnya dengan keras saat ia berkata, “aku tahu apa yang kulakukan.” “Kau mencuri barang bukti!” “Ini barang milik temanku dan aku tidak mencuri dari siapapun.” “Kumohon, Jill.. petugas Mrytle ada bersamaku, apa yang akan dia lakukan padamu? Tolong, berikan itu padaku.” “Tidak. Biarkan aku pergi!” “Jill..” Jill hendak berbalik sebelum Tobias menarik lengannya, dengan cepat Jill berusaha menepis tangan laki-laki itu sebelum kehadiran Joey Mrytle menghentikan mereka. “Ada apa?” Joey Mrytle menatap Jill tajam. Kehadirannya mampu membuat Jill merasa sesak. Laki-laki itu hanya beberapa inchi lebih tinggi dari Tobias, bertubuh besar, dan memiliki sepasang bahu yang lebar. Jill menebak usianya sekitar akhir tiga puluhan. Laki-laki itu juga memiliki suara serak dan sepasang mata gelap. Jill tidak mengenalnya cukup dekat dan ia hanya pernah berbicara dengannya sekali dalam interogasi kemarin. Tidak ada yang mengatakan bahwa petugas Mrytle memiliki keluarga, kehidupan pribadinya tampak begitu asing. Tidak ada cincin yang melingkari jari manisnya dan wajahnya sesekali muncul di surat kabar atau televisi, laki-laki itu adalah pria yang selalu berdiri di belakang Mike Suvillian, mungkin seorang tangan kanan dan melihat dari penampilannya, Jill mengira bahwa Joey Mrytle telah menjalani profesi itu untuk waktu yang cukup lama. “Ada apa?” ia mengulangi pertanyaannya, kali ini menatap Tobias. “Dia bersih,” sahut Tobias akhirnya. “Aku sudah memeriksanya, dia bersih.” “Apa yang kau lakukan disini?” Joey betanya pada Jill, namun Tobias lebih dulu menjawab pertanyaan itu jauh sebelum Jill membuka mulutnya. “Dia ingin pergi menuju kota. Dia hanya kebetulan melewati tempat ini.” “Apa kau tersesat?” ucap Joey sembari meletakkan kedua tangannya di atas pinggang. “Mobilmu ada disana.” “Aku tahu dimana mobilku,” timpal Jill dengan ketus. Matanya memandangi kedua pria itu secara bergiliran sebelum ia bergerak cepat melewati mereka sembari berkata, “permisi, aku sedang buru-buru.” Jill berjalan menuju mobilnya tanpa berbalik ke belakang, namun ia punya firasat bahwa dua pria itu masih terus mengawasinya. Hingga Jill akhirnya berhasil mengendarai mustang itu meninggalkan kediaman Jess, ia baru dapat bernafas lega.  - Beritahu saya tanggapan kalian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD