Intan datang di hari kedua Darren dan Cecilia di rawat, dia juga melarang Giovani dan Regina ikut serta karena mengkhawatirkan kesehatan keduanya yang gampang lelah di usia senja. Bahkan Safira yang baru melahirkan anak kembarnya juga dia larang untuk bepergian dengan alasan 3 keponakannya masih terlalu kecil untuk ikut serta di dalam penerbangan.
Kadang Darren merasa jika Intan yang lebih pantas disebut kakak sulung daripada Saphira yang sering kurang tegas dalam bertindak.
"Kakak sudah menyelidiki kasus ini dan menemukan jika ada pihak yang tidak menginginkan kamu menjadi CEO. Mereka berusaha menjegal kamu dengan berbagai cara, termasuk melibatkan orang yang tidak tahu apa-apa untuk melakukan tindakan anarkis," jelas Intan sambil merapikan rambutnya dengan jari.
"Cecilia kemarin juga sudah berkata seperti itu, Kak. Awalnya aku tidak percaya, tapi dia mengemukakan apa yang menjadi kecurigaannya dan sekarang ditambah dengan keterangan Kakak membuat aku yakin jika ini adalah awal dari perbuatan mereka untuk menjegal aku," Darren berkata dengan rasa sesak yang tiba-tiba bergelayut di d**a.
Sungguh perjuangannya untuk mencapai posisi CEO Sanjaya Group tidaklah semulus angannya. Tiba-tiba dia meragukan apakah dirinya layak untuk menggantikan sang ayah di masa depan.
"Feeling Cecilia ternyata semakin tajam rupanya," ucapan Intan memecahkan lamunan Darren dan segera menatap sang kakak dengan nanar.
''Menurut Kakak, apa yang harus aku lakukan saat ini?" tanya Darren yang terdengar putus asa.
Intan segera beranjak dari kursi lalu menuju kulkas untuk mengambil sebotol minuman teh rasa madu lemon dan menghabiskan setengahnya. Kebiasaan wanita itu yang memang memerlukan minuman dingin dan manis jika sedang banyak pikiran ataupun stress melanda.
Darren membiarkan Intan untuk berpikir sejenak guna menenangkan kegundahan hatinya. Sepertinya sang kakak sedang memikirkan hal lain di luar masalah para pendemo yang menolak pembangunan resort.
"Pilihannya hanya ada 2, mundur sekarang juga sebagai CEO atau melawan sampai titik darah penghabisan," ucap Intan dengan mimik wajah serius.
"Kak, perkataan Kakak terlalu hiperbola. Kita sudah tidak berperang lagi melawan penjajah yang memakai senjata..."
Darren mengaduh kesakitan saat jari Intan mendarat dengan mulusnya di jidatnya. Dengan garang wanita itu menatap sang adik sambil berkata.
"Itu cuma perumpamaan, Darren. Kakak kadang bingung sama kamu yang lemotnya kebangetan. Maksud Kakak, kamu sekarang juga harus memakai strategi untuk menghadapi lawan yang tidak kita ketahui siapa."
"Ibu Intan baru tahu jika Pak Darren memang kadang lemot dan tidak bisa dibilangin," Darren reflek mendengkus saat mendengar perkataan Cecilia yang masuk entah kapan.
Intan segera menuju ke arah Cecilia yang masih memakai kursi roda. Darren mengeluh dalam hatinya sebab terbayang sudah jika dia akan dimarahi dokter karena membiarkan Cecilia berkeliaran seenaknya seperti ini.
"Astaga, Cecilia, saya tidak menyangka jika luka kamu separah ini," ucap Intan sambil memperhatikan kondisi Cecilia yang berbalut perban di kedua tangan dan kakinya.
Bahkan dia juga harus memakai penyangga punggung untuk melindungi retakan di sekitar tulang punggungnya.
"Saya sudah tidak apa-apa, Bu Intan. Tugas saya sebagai personal asisten Pak Darren belum semuanya rampung. Maka dari itu saya mesti harus ke ruangan ini untuk berbicara dengan Pak Darren," ucapnya dengan tablet dan ponsel yang didekap di dadanya.
"Dan membiarkan saya menjadi sasaran amukan dokter yang menasehati kamu untuk lebih banyak beristirahat daripada bekerja. Terus sejak kapan kamu menjadi personal asisten saya?" sindir Darren sebelum Intan sempat membalas perkataan Cecilia.
"Kalau begitu, tinggal minta persetujuan dokter untuk saya segera pulang, beres. Saya menjadi personal asisten Bapak sejak kita mendarat di Bali," ucap Cecilia dengan nada tidak bersalah.
Darren kembali ternganga dibuatnya. Gadis angkuh ini benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya dia menganggap remeh kesehatannya demi pekerjaan yang dia anggap sebagai dewanya.
"Cecil, untuk kali ini saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Darren. Kondisi kamu lebih parah daripada Darren, tapi kamu yang berinisiatif untuk terus ke ruangan ini untuk berdiskusi dengan Darren. Padahal yang sebenarnya kamu melapor kepada Ayah mengenai kondisi terakhir Darren. Tidakkah kamu menyayangi dirimu sendiri?" teguran Intan yang keras membuat Cecilia seketika terdiam.
"Tapi, Bu. Prioritas saya saat ini memang adalah pekerjaan." Bantahnya dengan nada tegas tak lama sesudahnya.
"Cecil, tetap saja kesehatan itu yang utama. Jika terjadi apa-apa dengan kamu, siapa yang susah? Kamu juga, kan? Perusahaan mungkin akan memberikan dana kompensasi di awal, tapi itu tidak selamanya. Jadi sekarang lebih baik kamu kembali ke kamar dan berhenti melapor kepada Ayah. Biar saya yang akan menjelaskan semuanya kepada mereka," Cecilia hanya menghela nafas kasar, dia terlihat ingin protes tapi tidak dapat melakukannya.
Sepeninggal Cecilia, Intan kembali menatap Darren dengan tajam lalu berkata, "Sudah cukup kamu menyusahkan Cecilia. Kakak mendengar banyak keluhan dari staff kantor yang merasa tegang jika kalian berdua sudah berdebat alot dan mempertahankan pendapat masing-masing."
Protes segera Darren lancarkan kepada Intan yang hanya diam menanggapi keluh kesah sang adik selama bekerja dengan Cecilia. Intan bahkan menjitak dahi Darren dan
membuatnya memiliki pikiran jika gadis angkuh itu sebenarnya adalah adiknya
Intan.
"Kenapa Kakak malah membela gadis angkuh itu daripada aku yang adalah adik kandung Kakak." Sungut Darren sambil mengusap dahi yang masih terasa perih.
"Karena kamu memang pantas untuk dimarahi, sungguh keterlaluan sekali perlakuan kamu sama Cecilia," sahut Intan yang gemas dengan kelakuan sang adik.
"Kak, disini Cecilia duluan yang terus cari gara-gara sama aku. Padahal aku sudah membawa motornya ke bengkel dan membayarkan semua biaya servisnya," bela Darren yang merasa kejadian tempo hari sudah selesai.
"Dasar bocah semprul, motornya kamu tanggung jawab jawab bawa ke bengkel tapi orangnya kamu biarkan di jalan. Padahal tujuan kamu ke rumah sakit untuk menjenguk Ayah. Astaga, Darren! Otak kamu itu ada di mana, sih? 'Kan, kamu juga bisa sekalian membawa Cecilia ikut serta. Kamu tidak tahu apa kalau siku kanannya itu lecet akibat terbentur aspal!" Amukan Intan membuat Darren merasa tambah bersalah.
Jadi luka lebam yang sempat dia lihat di kedua betis itu memang disebabkan oleh kecelakaan itu? Tapi mengapa Cecilia hanya meminta agar motornya saja yang dibawa ke bengkel?
"Sejujurnya aku enggak tahu, Kak. Cecilia mengamuk sangat hebat waktu mengetahui motornya ringsek parah,” ungkap Darren dengan nada bersalah.
"Jadi cowok koq enggak peka," sindir Intan lalu menghabiskan minuman tehnya.
Kalau Intan sudah mengamuk seperti ini, Darren hanya dapat berdiam diri tanpa berani menyelanya. Yang ada omelan Intan bukannya mereda, malah semakin panjang jadinya.
"Darren, Kakak harus terbang ke Australia 3 jam lagi. Kamu jaga diri baik-baik selama Kakak tidak ada dan satu lagi, jangan memancing pertengkaran dengan Cecilia,'' ucap Intan dengan nada serius.
"Berapa lama Kakak di Australia? Dan tepatnya Kakak ke Australia yang bagian mana?" Darren bertanya kembali pada Intan yang memperlihatkan gelagat aneh.
Ponselnya yang sejak tadi bergetar hanya dibiarkan saja. Malah Intan mengatakan jika itu adalah telepon iseng yang tidak akan dia gubris. Tapi raut wajah tegangnya tidak luput dari pandangan mata Darren.
"Kakak ke Perth selama sebulan, ada sedikit masalah yang harus Kakak selesaikan sendiri. Kakak akan langsung kemari lagi sebelum ke Jakarta," Darren memicingkan mata, curiga dengan alasan yang diberikan oleh sang kakak.
Tak lama kemudian Intan keluar sebentar dengan alasan untuk berpamitan dengan Cecilia, meninggalkan Darren yang semakin bingung dengan kelakuan sang kakak.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Intan? Pikir Darren dalam hati