7. Sebuah Keinginan

1041 Words
Siang ini Dipta menepati janjinya untuk menjemput Bella di sekolahnya. Gadis kecil itu langsung berlari saat melihatnya. "Papa... " Bella senang melihat Dipta. "Hallo, princess... " Sambut Dipta yang langsung membawa Bella dalam gendongannya. "Bella seneng baget... Hari ini papa jemput Bella. " "Iya, dong. Papa, kan, sudah janji." "Coba tiap hali begini. Bella pasti seneng banget." Dipta hanya tersenyum sambil menyelipkan helaian rambut Bella yang keluar dari kunciran lalu membawanya masuk ke dalam mobil. Dipta berniat mengajak Bella makan siang terlebih dahulu sebelum mengantarkan anak itu pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan Bella tidak bisa diam. Ada saja yang dibicarakan gadis kecil itu. Dari lampu lalu lintas yang warnanya berbeda, gedung yang bertingkat, sampai kenapa sambal itu pedas. Bagi Dipta itu lucu dan mengingatkannya akan seseorang. "Yang atas. Bukan yang itu. Aku nggak mau yang warnanya hijau. Aku mau yang warnanya kuning. Rasanya lebih manis." Pinta seorang gadis berseragam putih Abu-Abu yang berada di bawah pohon. "Yang ini? " Tanya Dipta yang berada diatas pohon jambu belakang sekolah. "Bukan. Yang atasnya." "Ini juga kuning, Tata..." "Iya, tau. Tapi aku mau atasnya." Dipta menginjak batang pohon yang lebih tinggi untuk mengambil jambu yang diinginkan pacarnya. "Yang ini? " Dipta memastikan lagi. "Iya, yang itu." Setelah memetik buah yang diinginkan Gista, Dipta langsung menjatuhkan buah itu dan Gista menangkapnya dengan tepat. Dengan buah jambu yang sudah didapat yang Dipta masukkan ke saku baju maupun saku celana, cowok itu turun dari pohon jambu. "Manis jambunya?" Tanya Dipta. "Manis, " Jawab Gista sambil mengunyah buah jambu. "Mau lagi? " "Boleh tapi ntar aja aku mau habisin ini dulu. Yuk, balik ke kelas." Sambil memakan buah jambu Gista merangkul lengan pacarnya. Di sekolah, semua murid, guru, satpam sekolah, bahkan pemilik kantin tahu jika Dipta dan Gista adalah pasangan kekasih. Keduanya resmi dengan hubungan mereka sejak kelas sebelas. Sepanjang perjalanan kembali ke kelas Gista tidak berhenti berceloteh tentang apa saja yang ia pikirkan sambil makan buah jambu. Dari kekesalannya akan PR fisika yang menyebalkan sampai gosip guru baru yang sepertinya mempunyai hubungan khusus dengan kepala sekolah mereka yang baru saja menduda karena baru di tinggal meninggal oleh istrinya. Ketika akan naik ke lantai dua Gista menghentikan langkah Dipta saat melihat salah satu murid yang sedang menyatakan cinta pada temannya di tengah lapangan sekolah. Di lihat dari serangan mereka yang masih kinclong sepertinya mereka anak kelas Sepuluh. "Dipta, lihat, deh. " Gista menunjuk ke lapangan sekolah. Sudah banyak anak-anak yang berkumpul di sana untuk menyaksikan pernyataan cinta si anak baru. "Kira-kira di terima nggak, ya? " Dipta mengedikkan bahu. Tidak perduli juga akan hasilnya. Di tolak ataupun di Terima itu resiko. "Iiihh, di tanya juga. Di Terima atau nggak? " Gista kembali bertanya. "Nggak tau, Tata... Di Terima atau nggak bukan urusan kita." "Aku cuma tanya pendapat kamu Dipta. Iiihhh... Nyebelin banget di tanya gitu nggak mau jawab." Dipta menghela nafas pelan lalu menjawab. "Kalau di lihat reaksi ceweknya yang nggak nyaman gitu pastinya akan di tolak." "Yakin? " "Sepertinya." "Tapi kalau menurutku cowok itu bakal di Terima." Dipta mengedikkan bahu lagi. Merekapun kembali memperhatikan kejadian yang berlangsung tidak jauh dari mereka. Suara teriakan Gista di sertai tepuk tangan sebab tebakannya benar. "Jadi inget waktu kamu nembak aku dulu, " Kata Gista dengan pandangan masih kearah lapangan. "Emangnya aku pernah nembak kamu? " Tanya Dipta bercanda. "Emang udah lupa? Kalau lupa kamu boleh nembak aku lagi. " Gista balik menggoda Dipta. "Lagi? No... " "Kenapa? Romantis tau... Dibawah hujan deras kamu nembak aku sambil bawa bunga dari kebun mama kamu yang udah layu soalnya kelamaan berada didalam tas." Disusul tawa Gista. Cantik sekali. Dipta kemudian mengacak rambut pacarnya lalu menaiki anak tangga untuk menuju kelasnya. "Eh, kok, malah kabur... Rambut aku rusak tau." Protes Gista sambil menyusul Dipta. Bukannya jawaban yang Gista jawaban melainkan Dipta berlari menjauhinya. Membuat Gista ikut berlari untuk mengejar orang yang dia sayang. Dipta sampai di restoran yang cukup padat di jam makan siang itu. Restoran ini adalah milik salah satu temannya ketika SD dulu. Dan tempat makan itu baru buka kira-kira sebulan ini. "Hai, bro... " Sapa Hengky. Si pemilik restoran. "Hai, Hengky. " Balas Dipta sambil membalas jabatan tangan teman masa kecilnya. Sekitar satu tahun yang lalu Dipta dan Hengky bertemu kembali sejak mereka lulus sekolah dasar. "Akhirnya... Big boss datang juga." "Sorry baru bisa kesini. " "It's okay... " Pandangan Hengky tertuju pada gadis kecil yang ada dalam gendongan Dipta. "Ini siapa?" "Anak aku." Jawaban yang tentu saja mengagetkan Hengky. "Anak kamu? " Tanyanya lagi. Rasanya masih tidak percaya jika Dipta sudah mempunyai anak. Dipta mengangguk. Meski belum lama bertemu Dipta, setahunnya teman kecilnya itu belum menikah. Atau dia yang tidak tahu akan hal itu? Kalau melihat gadis kecil yang di gendong Dipta sudah sebesar itu, pastinya pernikahan Dipta sudah lama. "Salim dulu sama, om Hengky. " Suruh Dipta. Dengan patuh Bella menuruti perintah Dipta. "Hallo, cantik... Namanya siapa? " Hengky beralih pada gadis kecil yang di gendong Dipta. "Bella, " Jawab Bella. "Bella. Nama yang cantik, secantik orangnya." "Temannya papa? " Bella bertanya pada Dipta. "Iya, sayang. " "Eh, ayo duduk. " Hengky membawa Dipta ke salah satu meja. Laki-laki itu menawarkan menu spesial di restorannya. Tak lupa juga dengan es krim untuk Bella. Dipta tersenyum saat melihat Bella yang lahap dalam memakan es krimnya. Meski sangat menyukai es krim, Bella tidak menolak saat Dipta menyuruhnya untuk makan menu lain yang sudah disajikan oleh pelayan. "Makan dulu, ya, sayang... Nanti makan es krimnya di lanjut lagi. " "Iya, papa. " Meski usianya masih empat tahun Bella sudah bisa makan sendiri dengan baik. Kadang ada juga anak seusia Bella yang menolak makan sendiri dan minta di suapi. Sebagai seorang ibu, Siska sudah mengajarkan hal yang baik untuk anaknya. "Papa." Panggil Bella. "Ya, sayang? " "Hali ini Bella seneng soalnya papa jemput Bella. " Dipta tersenyum mendengarnya. "Bella lebih seneeeng lagi... Kalau tiap hali bisa diantar jemput sama papa. " Percakapan seperti ini selalu terjadi saat mereka bertemu. Dipta tidak menyalahkan Bella. Gadis kecil itu hanya menginginkan sesuatu yang wajar di miliki oleh sebuah keluarga. "Papa, kan, harus kerja, sayang... " Dipta selalu memberikan alasan yang sama. "Ayah teman Bella juga kelja sepelti papa tapi mereka bisa tinggal satu rumah. Kenapa kita tidak sepelti itu? Bella, papa sama mommy tinggal satu rumah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD