1. Panggilan
"Saya Terima nikah dan kawinnya Siska Putri Aninditha dengan mas ka-"
Di tempat lain di waktu yang sama seorang gadis terbaring diatas ranjang bangkar yang didorong oleh petugas rumah sakit. Pasien itu kritis dengan bersimbah darah.
***
5 Tahun Kemudian
Hidup seperti robot. Itulah yang di lakukanlah Pradipta Bagaskara setiap harinya. Bangun tidur - pergi bekerja - lalu kembali ke rumahnya. Tidak ada yang istimewa. Yang agak berbeda hanya saat weekend ketika jadwal wajib berkumpul di rumah orang tuanya untuk makan malam.
Pagi ini langit terlihat mendung. Dari balik jendela mobilnya Dipta melihat keluar. Semua kendaraan padat merayap karena terkena macet. Hal yang sudah biasa terjadi di kota metropolitan seperti Jakarta ini.
Dering ponsel menarik perhatian Dipta. Nama sang ayah muncul di layar ponsel. Ia pun langsung mengangkatnya.
"Hallo, Dipta." Terdengar suara sang ayah dari seberang ketika sambungan telepon terhubung.
"Iya, pa. Ada apa? " Tanya Dipta.
"Dimana kamu sekarang? "
"Lagi di jalan, pa. Mau ke kantor. "
"Kamu bisa datang ke rumah sekarang? Ada yang papa mau bicarakan sama kamu. "
"Sekarang, pa? "
"Iya."
"Ya udah, pa, aku kesana. "
Setelah sambungan telepon terputus Dipta memberitahu supir untuk menuju rumah orang tuanya. Tidak biasanya papa menyuruhnya datang ke rumah apalagi dl saat pagi seperti ini. Pastinya ada sesuatu yang penting.
Sesampainya di rumah orang tuanya Dipta melihat mamanya berada di meja makan bersama papanya.
"Pagi, ma, pa. " Sapa Dipta.
"Kamu sudah datang. " Timpal Agung Baskara.
"Sini, Dipta. Kita sarapan sama-sama. " Ajak Murni.
Dipta mengangguk lalu bergabung di meja makan bersama kedua orang tuanya.
"Mau kopi, Dipta?" Tawar sang mama.
"Boleh, ma. "
Murni meminta salah satu asisten di rumahnya untuk membuat kopi untuk sang putra.
"Kamu mau makan apa, Dipta? " Tanya Murni lagi.
Di meja makan itu tersaji beberapa makanan dari roti tawar, toast, serta nasi goreng.
"Aku sudah sarapan, ma. " Bohong Dipta. Padahal setiap pagi dia selalu skip sarapan. "Oia, katanya tadi papa ada yang mau di omongin sama aku. Soal apa, pa? " Dipta agak penasaran dengan apa yang akan di sampaikan oleh ayahnya.
"Sarapan dulu, Dipta. Nanti kamu sama papa bisa bicara setelah kalian sarapan." Potong sang mama.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan perusahaan. " Tebak Dipta.
"Tidak ada, " Jawab Agung setelah mengelap mulutnya dengan tisu. Tanda jika kegiatan sarapannya sudah selesai. "Papa mau kamu pergi ke Banyuwangi. "
Dipta mengangkat sebelah alisnya. Kenapa papanya menginginkannya pergi ke Banyuwangi. Setahunnya perusahaan mereka tidak ada rencana membuka cabang di kota itu.
"Adik kamu kecelakaan. " Lanjut sang papa.
"Dinar kecelakaan? Terus gimana keadaan dia sekarang?" Mendengar kabar adik satu-satunya kecelakaan tentu saja membuat Dipta kaget bercampur khawatir. Anehnya orang tuanya malah bersikap biasa saja.
"Adik kamu nggak kenapa-napa. " Sekarang mama yang menjawab. "Kamu sendiri tau, kan, adik kamu itu manja dan sering berlebihan. "
Tentu saja Dipta tahu hal itu.
"Dinar jatuh dari motor sama temannya. Tubuhnya cuma lecet sedikit dan kakinya terkilir. Dia minta mama dan papa nyusul dia ke Banyuwangi tapi kami tidak bisa. Kamu, kan, tau lusa pernikahan Surya."
Surya adalah sepupu Dipta.
"Kamu tau Surya meminta kami sebagai pengganti orang tuanya sebab orang tuanya sudah meninggal. Jadinya mama sama papa sepakat kalau kamu yang bakal jenguk Dinar. Adik kamu juga sudah tau."
"Tapi-" Dipta ingin menolak karena pekerjaan di kantor lumayan banyak.
"Kalau kamu kepikiran pekerjaan di kantor, kamu bisa serahkan sama sekertaris kamu dulu. Temui adik kamu dulu biar tidak merengek seperti anak kecil. " Sambung papa.
"Iya, pa. " Dipta menurut saja. "Dinar sekarang ada dimana? "
"Sudah pulang ke tempat KKN-nya. Kamu besok langsung kesana saja. "
Setahu Dipta adiknya itu sedang melakukan KKN di salah satu tempat di Banyuwangi. Dinar sendiri menempuh pendidikan S1-nya di kota Malang.
"Aku nggak tau tempat KKN-nya Dinar. "
"Papa sudah urus semuanya. Kamu tinggal berangkat saja. "
"Iya, pa. "
Keesokan harinya Dipta pergi ke Banyuwangi. Sesampainya di bandara internasional Banyuwangi sudah ada seseorang yang menjemputnya. Seorang laki-laki berusia awal empat puluhan bernama Ahmad yang akan mengantarkannya ke tempat KKN adiknya.
Dipta tidak tahu berapa lama perjalanan dari Bandara ke tempat adiknya tinggal. Selama perjalanan ia memilih tidur. Semalam ia begadang menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum di pindah alihkan pada sekretarisnya, Fikri.