Senyum dan tawa itu begitu indah. Seindah laut cerah dan langit biru yang menjadi latarnya.
"Ayo kejar aku. " Ucapnya sambil berlari menjauh. Rambutnya yang panjangnya sebahu berkibar tertiup angin laut.
Dipta mengejarnya. Berusaha menangkap gadis yang berlari di hadapannya. Langkahnya sudah maksimal. Anehnya gadis itu terlihat semakin menjauh dan mengarah ke tengah laut.
Dipta berteriak memanggil namanya. Anehnya semakin lama gadis itu tergulung ombak dan terseret ke tengah laut.
Dipta terus berteriak seraya berlari kearah laut untuk menolongnya. Anehnya laut itu terasa jauh dan tak terjangkau untuknya.
Mata Dipta terbuka, jantungnya berdegup kencang, nafasnya terengah-engah bercampur dengan keringat yang membasahi tubuhnya, seperti habis berlari berkilo-kilo meter jauhnya.
Setelah sekian lama mimpi itu datang lagi. Mimpi dimana dia melihat Gista.
Gista. Nama itu selalu terpatri di pikirannya. Seberapapun Dipta menghapus nama itu dari hidupnya, dia tidak akan bisa.
Tahun-tahun berlalu telah Dipta lewatkan tanpa sosok itu. Seseorang yang tadinya ada di kehidupannya dan memberikan warna di sana.
Selama lima tahun ini Dipta tidak pernah lagi melihatnya ataupun mendengar kabarnya. Gista seolah menghilang di telan bumi setelah ia memutuskannya melalui sambungan telepon. Hari dimana Dipta membuat gadis itu kecewa, itulah hari terakhir dimana ia mendengar suaranya.
Dipta meraup wajahnya kemudian meraih ponsel yang ada di atas meja. Jam di ponselnya menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah makan malam tadi Dipta bersantai di sofa sampai ketiduran. Ia pun bangkit untuk minum. Setelah itu ia menuju ranjang dan kembali tidur. Sayangnya butuh waktu agak lama untuk memejamkan matanya kembali. Sebab pikirannya di penuhi oleh Gista. Ya, Gista. Satu-satunya wanita yang begitu ia cintai dan rindukan.
***
Mobil yang di tumpangi Dipta mulai melambat saat sampai di posko KKN tempat adiknya tinggal. Dari dalam mobil ia melihat seseorang keluar posko sambil membenarkan masker yang menutupi wajahnya. Rambutnya panjang di gerai. Sayangnya cara jalan wanita itu pincang. Saat melihat sosok itu tidak tahu kenapa malah mengingatkannya pada Gista. Dipta menyangkal pemikirannya karena yang ia tahu Gista tidak berambut panjang dan jalannya tidak pincang.
Di belakang wanita itu ada seorang laki-laki muda yang usianya tidak jauh darinya. Di susul Dinar dan teman-temannya. Melihat para mahasiswa yang tampak sopan dan menghormati lelaki itu, Dipta bisa menyimpulkan jika kemungkinan lelaki itu adalah dosen mereka.
Setelah kendaraan didepan mobilnya pergi Dipta baru keluar dari mobil.
"Ya ampun... Cogan satu baru pergi sekarang datang cogan yang kedua, " Ucap Ratu tanpa malu-malu saat melihat Dipta turun dari mobil.
"Dasar gelo. " Olok salah satu teman Ratu.
"Kak Dipta... " Tanpa malu-malu dengan jalan yang masih terpincang Dinar menghampiri kakaknya lalu memeluknya. Senang melihat kakaknya datang.
"Mau di peluk juga. " Keinginan Ratu itu langsung mendapatkan toyoran dari Sofia yang berdiri di sebelahnya.
"Sakit dodol. " Omelnya.
"Siapa suruh gila. "
"Iiihh, biarin. Suka-suka aku. Bilang aja iri. "
Setelah pelukan mereka terurai, Dipta menyuruh pak Ahmad mengeluarkan barang-barang yang ia bawa untuk adiknya dan juga teman-temannya. Para teman laki-laki Dinar langsung membantu pak Ahmad mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil.
"Itu apa, kak? " Tanya Dinar.
"Buat kamu sama temen-temen kamu. "
"Makasih, ya, kak Dipta. Kakak baik banget. " Puji Dinar.
Teman-teman Dinar pun senang mendapat banyak makanan dari kakak teman satu kelompok mereka.
Di ruang tamu yang tidak begitu luas itu Dinar dan Dipta duduk di sana. Sedangkan teman-teman Dinar yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Tadi itu siapa? " Tanya Dipta.
"Siapa? " Dinar tidak mengerti maksud kakaknya.
"Tamu yang datang tadi. "
"Oh, itu pak Yudis. Dosen pembimbing. Tadi dia kesini sama ceweknya kayaknya. Ngakunya, sih, cuma temen tapi kayaknya nggak, deh. Cantik banget orangnya tapi sayang kakinya pincang."
Dipta langsung teringat wanita bermasker yang ia lihat tadi.
"Besok kakak pulang, " Kata Dipta setelah menyeruput teh yang di buat oleh Ratu dengan senang hati.
"Kok cepat banget? Perasaan baru kemarin kakak kesini. " Dumel Dinar dengan cemberut.
"Kamu udah baikan, udah sehat. Kakak juga udah jenguk kamu kesini. Kakak juga harus kembali kerja."
"Selalu gitu. " Dinar masih dalam mode cemberut. "Lebih memilih sibuk dengan pekerjaan. "
Dipta mengelus kepala adiknya sayang. Jarak usia mereka memang agak lumayan jauh yakni tujuh tahun. "Kamu tau, kan, pekerjaan kakak banyak. Aku juga nggak bisa ninggalin kantor lama-lama. "
"Kan ada papa sama sekertaris kakak. " Seingat Dinar kakaknya dulu tidak gila kerja seperti ini. Bahkan di hari libur pun tetap memilih bekerja sampai mama mereka marah-marah karena kakaknya jarang datang ke rumah.
"Kenapa, sih, kak Dipta gila kerja? Perasaan dulu nggak kayak gini. "
Dipta memilih kembali menyeruput tehnya daripada menjawab pertanyaan adiknya. Baginya gila kerja lebih baik daripada memikirkan hal yang membuatnya sakit. Meski kadang ingatan itu sewaktu-waktu masih menghampiri.
Dering telepon menarik perhatian Dipta. Laki-laki itu menarik ponsel dari saku celananya. Sudut bibirnya terangkat saat melihat panggilan video call dari 'my princess'.
Dipta men-slide tombol hijau di layar lalu munculah wajah mengemaskan itu.
"Papa... "